*Darah Pengantin Pendekar (DPP)*
Setelah meninggalkan kediaman rumah Adipati Bawel Semara dengan membawa sebuah misi yang sudah dibayar separuh harga, Gurat Satria, Toreh, Gamak Pera, dan Kin Anti langsung menuju pulang.
Setelah berkuda cukup jauh, tibalah keempat pemimpin Kelompok Ular Pembunuh di sebuah kawasan hutan, tapi ada sebuah permukiman mewah di dalamnya.
Disebut mewah karena rumah-rumah panggungnya yang terbuat dari kayu, memiliki gaya ornamen seni dengan banyaknya ukiran-ukiran pada tiang, pintu, dinding hingga tangga yang rata-rata setinggi dada.
Banyak pula karya-karya pahatan patung kayu berseni yang menjadi hiasan-hiasan di depan hingga dalam rumah. Saking tingginya jiwa seni si pemahat, batang-batang pohon besar yang masih tumbuh di sekitar juga dipahati demi mengindahkan perkampungan dalam hutan itu.
Jumlah rumah yang tersedia di lingkungan itu sebanyak bisa menampung empat puluhan orang plus anak-anak kecil.
Kampung itu diberi nama Kampung Ular. Diberi nama itu karena yang tinggal di kampung tengah hutan tersebut adalah anggota Kelompok Ular Pembunuh dan anak istrinya. Namun, bukan berarti kampung itu banyak ularnya, perkara ular sama dengan tempat yang lain pada bagian hutan. Ular-ular adalah bagian dari habitat hutan, bukan ular yang dipelihara.
Gurat Satria dan ketiga rekannya akhirnya memasuki gapura kampung yang besar dan terbuat dari kayu kokoh berukir indah dengan selera seni yang tinggi.
“Ketua pulang! Ketua pulang!” teriak seorang warga sambil menjulurkan wajahnya ke utara, timur dan barat saat berteriak memberi kabar bagi orang sekampung.
Teriakan itu ternyata sukses membuat warga bermunculan. Semua kaum lelaki dewasanya dan sebagian kaum wanitanya berpakaian ala-ala pendekar.
Beberapa warga segera menyambut memegang tali kendali pada kepala kuda dan menuntunnya.
Orang yang lebih dulu turun dari kuda adalah Kin Anti. Wanita itu berjalan cepat kepada seorang pemuda tampan yang usianya bahkan lebih muda dari Gamak Pera, yakni dua puluh tiga tahun. Meski si pemuda jauh lebih muda, tetapi itu adalah suami Kin Anti. Sepertinya wanita itu suka dengan berondong mengkel.
Kin Anti dan suaminya yang bernama Janur Wilis berpelukan sebagai pelepas rindu, tapi tidak berciuman. Keduanya masih memiliki rasa malu karena disaksikan banyak orang. Namun, setelah berpelukan, dengan senyum yang selalu mengembang, mereka pergi dan masuk ke sebuah rumah. Di dalam sana, semuanya pun dilepas, tidak peduli bahwa si wanita dalam kondisi bau kecut setelah perjalanan jauh.
Sementara Gamak Pera disambut oleh seorang gadis yang cantik. Yaaa, pokoknya cantik. Titik. Jangan protes kalau gadis itu cantik. Status hubungan keduanya baru ikatan tanpa dokumen alias hubungan kekasih.
Sementara Toreh, seharusnya dia disambut oleh putri gadisnya yang bernama Rambati. Namun, gadis cantik yang menjadi kembangnya Kampung Ular tersebut tidak terlihat daun telinganya. Karena itulah, Toreh mencari-cari keberadaan putrinya yang berujung dengan tanda tanya.
Perasaan yang sama dialami oleh Gurat Satria. Seharusnya dia disambut oleh Rambati, putrinya Toreh karena gadis itu adalah kekasihnya.
“Ke mana Rambati, Kakang?” tanya Gurat Satria.
“Aku juga tidak tahu,” jawab Toreh yang sudah turun dari kuda dan membiarkan kudanya dibawa oleh seorang anggota Kelompok Ular Pembunuh.
“Rambati sudah beberapa hari ini pergi dan belum kembali,” kata seorang lelaki seusia Gurat Satria. Lelaki berambut pendek berikat kepala putih itu menyandang pedang di pinggang kanan. Dia salah satu tokoh dalam kelompok tersebut. Dia bernama Ronggolate.
“Ke mana?” tanya Toreh.
“Menonton pertandingan pendekar di Kademangan Butogilo,” jawab Ronggolate.
“Ada-ada saja, padahal besok pagi kita akan pergi menyerang ke Kademangan Butogilo,” kata Toreh.
Gurat Satria memberikan peti uang yang berat kepada Ronggolate yang menahan dengan kedua tangannya.
“Bagikan dan beri tahu bahwa besok pagi kita akan menyerang ke Kademangan Butogilo!” kata Gurat Satria.
“Baik,” ucap Ronggolate.
“Panggilkan Candara untuk mengurut-urutku. Aku perlu melenturkan otot sebelum pekerjaan besok,” kata Gurat Satria.
“Baik,” ucap Ronggolate.
Lelaki itu lalu pergi dengan membawa peti berisi uang. Toreh berjalan mengiringi Ronggolate.
“Jadi Rambati pergi ke Kademangan Butogilo sudah beberapa hari dan tidak pulang-pulang?” tanya Toreh lagi. Sebagai orangtua tunggal dari putrinya jelas Toreh merasa khawatir, meski putrinya itu tergolong pendekar wanita sakti.
“Iya, sudah hampir sepekan,” jawab Ronggolate. “Tapi Kulum Ratih sudah menyusulnya dua hari yang lalu ke sana.”
“Tidak biasanya dia pergi-pergi seperti itu,” ucap Toreh.
“Sebelumnya dia pernah pergi ke Kademangan Butogilo juga, tapi hanya sehari. Sepertinya ada yang dia sembunyikan. Karenanya aku menyuruh Kulum Ratih untuk menyusulnya,” kata Ronggolate. “Kenapa Rok Gebrak dan Rok Gandir tidak pulang bersama kalian, Kakang?”
“Mereka akan menyusul dengan mengawal harta yang kita dapat dari Kerajaan Kutan. Kita harus menunggu Menteri Gewodadi menyiapkan pembayaran kita, sedangkan kami harus segera memenuhi panggilan Adipati Bawel Semara. Jadi kami pulang lebih dulu dan mereka berdua yang akan mengawal harta kita,” jelas Toreh.
“Apakah bayaran ini sudah semuanya?” tanya Ronggolate.
“Ini baru separuhnya,” jawab Toreh.
Ternyata di belakang mereka berdua ada banyak warga atau anggota kelompok yang mengikuti dengan sabar, bahkan anak-anak. Itu biasa terjadi jika Ronggolate sedang membawa sesuatu yang diduga uang banyak.
Hingga akhirnya, Ronggolate berhenti dan naik di sebuah panggung papan beratap seperti sebuah gazebo sederhana tanpa dinding. Tiang panggung itu penuh oleh ukiran indah. Di situ Ronggolate naik dan meletakkan peti kayunya.
Sementara Toreh sudah pergi pulang ke rumahnya.
Warga Kampung UIar berkerumun seperti warga yang ingin berebut mendapatkan pembagian santunan orang miskin. Namun, tidak ada dorong-dorongan atau desak-desakan. Meski berkerumun, tetapi tenang dan tertib, juga tidak berisik. Karena hal seperti itu sudah biasa bagi mereka, yaitu pembagian kepeng.
Sreert!
Ronggolate menuangkan semua kepeng yang ada di dalam peti kayu di lantai papan.
“Waaah! Hahaha!” pukau para warga Kampung Ular itu lalu tertawa senang berjemaah.
Kelompok Ular Pembunuh merupakan komunitas yang unik. Meski mereka kelompok pembunuh bayaran, tetapi mereka memiliki kekuatan sosial yang tinggi. Harta hasil dari kerja membunuh orang itu tidak dimonopoli oleh ketua atau tokoh-tokoh dalam kelompok, tetapi dibagi untuk semua, baik yang pembunuh atau sekedar pelengkap di Kampung Ular. Namun, jika ada lebih sekepeng dua kepeng bagi pemimpin atau yang bekerja membunuh, bisa dimaklumi dan hal yang wajar.
Rasa saling percaya kepada sesama anggota kelompok tinggi. Karenanya, tidak ada yang menaruh curiga jika hanya ada dua anggota yang ditugaskan mengawal harta pembayaran jasa membunuh. Itu karena tingginya rasa percaya mereka. Meski demikian, hukuman bagi seorang pengkhianat tidak ada toleransi, yaitu hukuman mati tanpa pandang bulu.
Dua orang anggota ikut naik membantu Ronggolate untuk menghitung kepeng. Satu per satu warga dibagikan sejumlah kepeng. Mereka menerima dengan suka hati. Namun, meski sudah dapat, mereka tidak langsung pergi. Itu karena sering ada putaran kedua. Meski tidak dicatat atau ditandai yang sudah menerima, tidak ada yang berani berlaku curang dalam menerima pembagian.
“Candara, setelah ini, Ketua minta diurut,” ujar Ronggolate kepada seorang wanita muda berwajah cantik yang diberinya segenggam kepeng.
“Baik,” jawab wanita berusia kepala tiga minus dua tahun itu.
Candara dipanggil untuk mengurut Gurat Satria bukan karena dia cantik, tetapi karena dia memang berkeahlian dalam hal itu.
Drap drap drap!
Di saat itu, ada seekor kuda yang berlari memasuki Kampung Ular. Orang yang menungganginya adalah seorang perempuan berusia kepala tiga lebih tiga tahun. Dia menyandang pedang di punggungnya. Wajahnya akan mudah diingat karena satu alis kirinya putus di tengah. Entah apa penyebabnya?
Karena warga sedang sibuk urusan pembagian jatah kepeng, tidak ada orang yang mempedulikan kedatangannya karena dia juga orang Kampung Ular.
Wanita itu menghentikan kudanya di depan sebuah rumah karena dia melihat tanda bahwa Ketua sudah pulang dari Kerajaan Pajangan.
“Kakang Toreh! Apakah kau di dalam?” teriak wanita itu di depan pintu yang terbuka.
“Ya!” sahut Toreh dari dalam.
Tidak berapa lama, dari dalam rumah keluar Toreh dengan tubuh bertelanjang dada, tapi sudah bersih dari keringat dan wajahnya pun sudah cerah. Sepertinya Toreh baru saja membersihkan wajahnya dengan sabun wajah khusus bapak-bapak. Dia memang seorang duda, jadi tidak ada istri yang bisa disuruh untuk mencucikan wajahnya.
“Kau sudah pulang, Kulum Ratih. Di mana Rambati?” tanya Toreh langsung menanyakan putrinya.
Kulum Ratih adalah orang yang katanya pergi menyusul Rambati ke Kademangan Butogilo.
“Rambati hari ini menikah dengan seorang pendekar di Kademangan Butogilo,” jawab Kulum Ratih.
“Apa?!” pekik Toreh, serius terkejut. (RH)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
🍒⃞⃟•§¢•🎀CantikaSaviraᴳᴿ🐅
seorang pembunuh tapi masih mempunyai jiwa sosial🤧
2024-03-30
0
ˢ⍣⃟ₛ Sergio Barca Sjrozn
waduhh, ternyata nikahh
2024-03-27
1
ˢ⍣⃟ₛ Sergio Barca Sjrozn
gembading y om🤣🤣
2024-03-27
0