NovelToon NovelToon

Rugi 2 Darah Pengantin Pendekar

DPP 1: Kelompok Ular Pembunuh

*Darah Pengantin Pendekar (DPP)*

 

Empat ekor kuda berlari kencang di jalan utama kota Buntitan yang merupakan ibu kota dari Kadipaten Bantar Gepeng. Keempat kuda itu masing-masing ditunggangi oleh seorang pendekar berpedang.

Pendekar pedang pertama seorang lelaki berusia kisaran separuh abad minus sepuluh tahun. Dia tampan dengan hidung mancung dan alis yang tebal. Kepalanya yang berambut gondrong sebahu diikat oleh pita kuning yang pada bagian dahinya ada logam emas berbentuk kepala ular. Lelaki berpakaian hitam putih itu berperawakan gagah dengan tubuh dan otot yang kekar. Dia bernama Gurat Satria.

Pendekar pedang kedua seorang lelaki berbadan lebih besar dan lebih berotot. Usianya pun lebih tua, yakni separuh abad lebih lima tahun. Rambutnya pendek model cepak, membuatnya terlihat lebih muda, meski garis wajah sudah tidak bisa berdusta. Dia mengenakan baju hitam dengan jubah hijau gelap. Meski tubuhnya besar, tetapi senjatanya adalah pedang kecil yang mungil, bahkan seperti pisau besar. Dia bernama Toreh.

Pendekar pedang ketiga seorang lelaki bertubuh kurus dengan usia masih kepala dua. Satu tahun lagi dia akan punya tiga kepala. Jika kurus, tidak perlu dijelaskan tentang ototnya. Ada dua pedang yang menyilang di punggungnya. Rambut gondrong keritingnya diikat rapi di sisi kanan di kiri. Terlihat lucu seperti model rambut perempuan Indian. Dia mengenakan baju merah dan celana kuning. Dia bernama Gamak Pera.

Pendekar pedang keempat seorang wanita berusia matang, yakni separuh abad minus dua belas tahun. Ia sangat mudah diingat karena memiliki dua tahi lalat di pipi kirinya. Karena ada dua titik hitam, itu menandakan bahwa area wajah itu dilarang untuk dikecup. Justru dibibirlah yang memiliki tanda titik cium, yaitu satu tahi lalat. Wanita berpakaian kuning itu memiliki tubuh yang bagus sebagai seorang perempuan. Sepertinya dia tidak suka makan, karena terlihat jelas dia memiliki perut yang rata, mungkin sixpack. Dia bernama Kin Anti.

Keempat orang itu adalah bagian utama dari Kelompok Ular Pembunuh yang diketuai oleh Gurat Satria. Jadi, Gurat Satria adalah Ketua Ular Pembunuh.

Kelompok Ular Pembunuh adalah kelompok pembunuh bayaran ternama di kalangan dunia persilatan, bukan hanya di wilayah Kadipaten Bantar Gepeng, tapi sudah ternama ke berbagai wilayah kekuasaan Kerajaan Kutan.

Jika para petinggi Kelompok Ular Pembunuh sedang berkuda kencang, tentu ada perkara penting yang sedang ingin mereka selesaikan. Bisa jadi untuk membunuh calon korban pesanan, bisa jadi pula untuk mengambil pesanan, atau pergi seusai melaksanakan misi pesanan, atau kompor gas lupa dimatikan saat mereka pergi.

Selayaknya pendekar hebat yang tidak takut berurusan dengan siapa pun, keempat pembunuh bayaran itu terus memacu kencang kudanya meski di jalanan itu ramai oleh warga Buntitan.

Warga Buntitan yang sedang berjalan di pinggir jalan harus buru-buru lebih ke pinggir agar tidak terserempet kuda. Maklum, di masa itu belum ada asuransi dan BPJS, atau kamera CCTV yang bisa menjadi bukti senggol lari.

Set! Teb!

Tiba-tiba sebatang tombak melesat dari jauh dan menancap di tanah tengah jalan yang akan dilalui oleh keempat kuda pendekar itu.

Melihat ada yang berani mengusik perjalanan mereka, Gurat Satria memutuskan menghentikan kudanya dengan kaki depan terangkat tinggi. Hal yang sama dilakukan oleh ketiga rekannya.

Keempat pendekar pedang itu tidak perlu menunggu waktu lama, karena dari arah samping telah muncul berlari tiga ekor kuda yang kemudian berhenti di tengah jalan, menghadang keempat tokoh Kelompok Ular Pembunuh.

Sing! Set set!

Belum lagi ada kata-kata yang dikeluarkan oleh ketiga prajurit berkuda yang menghadang itu, tiba-tiba Gamak Pera melempar kedua pedangnya yang dia cabut dari punggungnya. Kedua pedang itu melesat berputar-putar menyerang ketiga prajurit itu.

Set set!

“Aak! Akk!” jerit dua orang prajurit yang lengannya pendapat sambaran pedang Gamak Pera.

Sambaran pedang itu memberi luka yang cukup besar pada lengan kedua prajurit tersebut. Darah dengan deras langsung mengucur dan menetes dari luka.

Hebatnya, kedua pedang Gamak Pera bisa berputar balik seperti bumerang dan kembali ditangkap oleh kedua genggaman pemiliknya.

“Kami tidak peduli kalian prajurit Adipati atau bukan. Jika tidak mau mati, minggirlah dari jalan!” seru Gurat Satria kepada punggawa prajurit yang tidak mendapat serangan pedang.

Punggawa prajurit yang berpakaian hanya celana dengan badan berotot tanpa baju, kecuali perhiasan dari statusnya sebagai seorang Kepala Keamanan, sempat terkejut melihat kedua anak buahnya sudah terluka parah pada bagian lengannya. Prajurit berpangkat Panglima Muda itu bernama Arit Batik.

“Aku adalah Panglima Muda Arit Batik, Kepala Keamanan Ibu Kota!” seru Arit Batik memperkenalkan diri tanpa gentar.

“Kami adalah tamu Adipati Bawel Semara. Seorang Panglima Muda pun akan kami habisi jika jadi penghalang kami!” ancam Gurat Satria.

“Aku sarankan, sayangi nyawa kalian,” kata Toreh pula, orang tertua di antara keempat pendekar itu.

“Ayo menyingkir!” perintah Arit Batik kepada kedua prajurit anak buahnya yang menahan sakit pada lengannya.

Kedua prajurit itu lebih suka untuk segera pergi agar luka mereka bisa diobati segera.

Arit Batik segera keluar dari jalan utama setelah mencabut tombaknya dari jalan.

Dengan menyingkirnya ketiga prajurit Ibu Kota itu, Gurat Satria dan ketiga temannya kembali melanjutkan perjalanan. Tempat yang mereka tuju adalah kediaman Adipati Bawel Semara.

Singkat waktu, sampai dan berhentilah keempat kuda itu di depan gerbang yang memiliki tiang besar dan tinggi, juga gerbang yang tinggi. Mirip gerbang rumah orang kaya pakai banget.

Gerbang besarnya tidak sebanding dengan pagar yang hanya setinggi dada. Gerbang itu dijaga oleh sepuluh prajurit berseragam warna jingga, putih, jingga. Baju dan celananya berwarna jingga. Sedangkan kain pada sabuknya berwarna putih.

Pagar yang memanjang berputar itu mengurung sebuah lingkungan luas dengan sebuah rumah besar, luas dan megah untuk ukuran di masa itu. Itulah kediaman Adipati Bawel Semara yang jumlah kekayaannya tidak pernah dilaporkan ke PKK.

Singkat cerita.

Bertemulah keempat pendekar itu dengan Adipati Bawel Semara.

Sosok Adipati adalah lelaki berpakaian warna perak tapi berhias emas sebagai asesoris. Lelaki separuh abad lebih sepuluh tahun berperut agak gendut itu mengenakan blangkon putih. Wajahnya memelihara kumis tebal dengan jenggot yang klimis karena rajin dikerok.

Saat menyambut kedatangan keempat tamunya, Adipati Bawel Semara didampingi oleh dua orang istrinya yang cantik-cantik.

Bonus pengetahuan, Adipati Bawel Semara memiliki tiga orang istri. Namun, dia hanya punya keturunan dari istri tua yang usianya pun tidak jauh dari Adipati.

“Dengan kematiannya, aku punya alasan untuk mengusai semua usaha yang dia jalankan. Dan aku pun bisa dengan mudah memperistri putri cantiknya,” ujar Adipati Bawel Semara.

“Baiklah. Kapan Adipati menginginkan kematiannya?” tanya Gurat Satria.

“Secepatnya. Aku tinggal menunggu kabar baiknya saja. Sebagai tanda kesepakatan kita, separuh pembayaran aku berikan sekarang,” kata Adipati.

Seorang prajurit yang sejak tadi berdiri mengangkat sebuah kotak kayu lalu meletakkan barang bawaannya di meja.

Gurat Satria membuka penutup kotak kayu yang besarnya satu pelukan orang dewasa. Ketika dibuka, terlihatlah bahwa kotak kayu itu penuh oleh kepeng perunggu campur kepeng perak.

Sementara itu, istri Adipati yang bernama Lilis Angir berbisik kepada suaminya.

“Aku izin ke kamar mandi, Kakang,” bisik Lilis Angir, istri kedua Adipati.

Sang adipati hanya mengangguk.

Lilis Angir lalu bergegas pergi dan masuk ke dalam.

Di dalam rumah besar itu, ternyata Lilis Angir tidak langsung ke kamar mandi, tetapi dia berhenti di depan pintu kamar yang tertutup.

Tok tok tok!

Sambil memastikan tidak ada orang yang melihat atau berada di sekitar, Lilis Angir mengetuk halus pintu kamar.

Tidak berapa lama, ada suara lelaki yang bertanya pelan dari balik pintu.

“Kaukah itu, Lilis?” tanya suara lelaki di balik pintu.

“Iya. Ayahmu sedang kedatangan tamu pendekar dari Kelompok Ular Pembunuh,” bisik Lilis Angir.

“Ayah mau membunuh siapa?” tanya suara lelaki yang adalah putra Adipati Bawel Semara sendiri, tapi bukan putra Lilis Angir.

“Calon mertuamu,” jawab Lilis Angir.

“Apa?!” kejut lelaki di balik pintu. “Hmm, tapi tidak mengapa. Justru itu akan mempermudah aku.”

“Tapi, nanti malam kau tidur di sini?” tanya Lilis Angir.

“Iya,” jawab lelaki di balik pintu.

“Nanti malam aku ingin dimasuki,” kata Lilis Angir sambil tersenyum malu sendiri, padahal tidak ada yang melihatnya.

“Masuk saja, aku tidak akan mengunci pintu kamar nanti malam,” kata lelaki di balik pintu.

“Aku pergi,” kata Lilis Angir lalu kembali pergi menuju ke luar, bukan ke belakang, tempat adanya kamar mandi. (RH)

DPP 2: Di Mana Rambati

*Darah Pengantin Pendekar (DPP)*

 

Setelah meninggalkan kediaman rumah Adipati Bawel Semara dengan membawa sebuah misi yang sudah dibayar separuh harga, Gurat Satria, Toreh, Gamak Pera, dan Kin Anti langsung menuju pulang.

Setelah berkuda cukup jauh, tibalah keempat pemimpin Kelompok Ular Pembunuh di sebuah kawasan hutan, tapi ada sebuah permukiman mewah di dalamnya.

Disebut mewah karena rumah-rumah panggungnya yang terbuat dari kayu, memiliki gaya ornamen seni dengan banyaknya ukiran-ukiran pada tiang, pintu, dinding hingga tangga yang rata-rata setinggi dada.

Banyak pula karya-karya pahatan patung kayu berseni yang menjadi hiasan-hiasan di depan hingga dalam rumah. Saking tingginya jiwa seni si pemahat, batang-batang pohon besar yang masih tumbuh di sekitar juga dipahati demi mengindahkan perkampungan dalam hutan itu.

Jumlah rumah yang tersedia di lingkungan itu sebanyak bisa menampung empat puluhan orang plus anak-anak kecil.

Kampung itu diberi nama Kampung Ular. Diberi nama itu karena yang tinggal di kampung tengah hutan tersebut adalah anggota Kelompok Ular Pembunuh dan anak istrinya. Namun, bukan berarti kampung itu banyak ularnya, perkara ular sama dengan tempat yang lain pada bagian hutan. Ular-ular adalah bagian dari habitat hutan, bukan ular yang dipelihara.

Gurat Satria dan ketiga rekannya akhirnya memasuki gapura kampung yang besar dan terbuat dari kayu kokoh berukir indah dengan selera seni yang tinggi.

“Ketua pulang! Ketua pulang!” teriak seorang warga sambil menjulurkan wajahnya ke utara, timur dan barat saat berteriak memberi kabar bagi orang sekampung.

Teriakan itu ternyata sukses membuat warga bermunculan. Semua kaum lelaki dewasanya dan sebagian kaum wanitanya berpakaian ala-ala pendekar.

Beberapa warga segera menyambut memegang tali kendali pada kepala kuda dan menuntunnya.

Orang yang lebih dulu turun dari kuda adalah Kin Anti. Wanita itu berjalan cepat kepada seorang pemuda tampan yang usianya bahkan lebih muda dari Gamak Pera, yakni dua puluh tiga tahun. Meski si pemuda jauh lebih muda, tetapi itu adalah suami Kin Anti. Sepertinya wanita itu suka dengan berondong mengkel.

Kin Anti dan suaminya yang bernama Janur Wilis berpelukan sebagai pelepas rindu, tapi tidak berciuman. Keduanya masih memiliki rasa malu karena disaksikan banyak orang. Namun, setelah berpelukan, dengan senyum yang selalu mengembang, mereka pergi dan masuk ke sebuah rumah. Di dalam sana, semuanya pun dilepas, tidak peduli bahwa si wanita dalam kondisi bau kecut setelah perjalanan jauh.

Sementara Gamak Pera disambut oleh seorang gadis yang cantik. Yaaa, pokoknya cantik. Titik. Jangan protes kalau gadis itu cantik. Status hubungan keduanya baru ikatan tanpa dokumen alias hubungan kekasih.

Sementara Toreh, seharusnya dia disambut oleh putri gadisnya yang bernama Rambati. Namun, gadis cantik yang menjadi kembangnya Kampung Ular tersebut tidak terlihat daun telinganya. Karena itulah, Toreh mencari-cari keberadaan putrinya yang berujung dengan tanda tanya.

Perasaan yang sama dialami oleh Gurat Satria. Seharusnya dia disambut oleh Rambati, putrinya Toreh karena gadis itu adalah kekasihnya.

“Ke mana Rambati, Kakang?” tanya Gurat Satria.

“Aku juga tidak tahu,” jawab Toreh yang sudah turun dari kuda dan membiarkan kudanya dibawa oleh seorang anggota Kelompok Ular Pembunuh.

“Rambati sudah beberapa hari ini pergi dan belum kembali,” kata seorang lelaki seusia Gurat Satria. Lelaki berambut pendek berikat kepala putih itu menyandang pedang di pinggang kanan. Dia salah satu tokoh dalam kelompok tersebut. Dia bernama Ronggolate.

“Ke mana?” tanya Toreh.

“Menonton pertandingan pendekar di Kademangan Butogilo,” jawab Ronggolate.

“Ada-ada saja, padahal besok pagi kita akan pergi menyerang ke Kademangan Butogilo,” kata Toreh.

Gurat Satria memberikan peti uang yang berat kepada Ronggolate yang menahan dengan kedua tangannya.

“Bagikan dan beri tahu bahwa besok pagi kita akan menyerang ke Kademangan Butogilo!” kata Gurat Satria.

“Baik,” ucap Ronggolate.

“Panggilkan Candara untuk mengurut-urutku. Aku perlu melenturkan otot sebelum pekerjaan besok,” kata Gurat Satria.

“Baik,” ucap Ronggolate.

Lelaki itu lalu pergi dengan membawa peti berisi uang. Toreh berjalan mengiringi Ronggolate.

“Jadi Rambati pergi ke Kademangan Butogilo sudah beberapa hari dan tidak pulang-pulang?” tanya Toreh lagi. Sebagai orangtua tunggal dari putrinya jelas Toreh merasa khawatir, meski putrinya itu tergolong pendekar wanita sakti.

“Iya, sudah hampir sepekan,” jawab Ronggolate. “Tapi Kulum Ratih sudah menyusulnya dua hari yang lalu ke sana.”

“Tidak biasanya dia pergi-pergi seperti itu,” ucap Toreh.

“Sebelumnya dia pernah pergi ke Kademangan Butogilo juga, tapi hanya sehari. Sepertinya ada yang dia sembunyikan. Karenanya aku menyuruh Kulum Ratih untuk menyusulnya,” kata Ronggolate. “Kenapa Rok Gebrak dan Rok Gandir tidak pulang bersama kalian, Kakang?”

“Mereka akan menyusul dengan mengawal harta yang kita dapat dari Kerajaan Kutan. Kita harus menunggu Menteri Gewodadi menyiapkan pembayaran kita, sedangkan kami harus segera memenuhi panggilan Adipati Bawel Semara. Jadi kami pulang lebih dulu dan mereka berdua yang akan mengawal harta kita,” jelas Toreh.

“Apakah bayaran ini sudah semuanya?” tanya Ronggolate.

“Ini baru separuhnya,” jawab Toreh.

Ternyata di belakang mereka berdua ada banyak warga atau anggota kelompok yang mengikuti dengan sabar, bahkan anak-anak. Itu biasa terjadi jika Ronggolate sedang membawa sesuatu yang diduga uang banyak.

Hingga akhirnya, Ronggolate berhenti dan naik di sebuah panggung papan beratap seperti sebuah gazebo sederhana tanpa dinding. Tiang panggung itu penuh oleh ukiran indah. Di situ Ronggolate naik dan meletakkan peti kayunya.

Sementara Toreh sudah pergi pulang ke rumahnya.

Warga Kampung UIar berkerumun seperti warga yang ingin berebut mendapatkan pembagian santunan orang miskin. Namun, tidak ada dorong-dorongan atau desak-desakan. Meski berkerumun, tetapi tenang dan tertib, juga tidak berisik. Karena hal seperti itu sudah biasa bagi mereka, yaitu pembagian kepeng.

Sreert!

Ronggolate menuangkan semua kepeng yang ada di dalam peti kayu di lantai papan.

“Waaah! Hahaha!” pukau para warga Kampung Ular itu lalu tertawa senang berjemaah.

Kelompok Ular Pembunuh merupakan komunitas yang unik. Meski mereka kelompok pembunuh bayaran, tetapi mereka memiliki kekuatan sosial yang tinggi. Harta hasil dari kerja membunuh orang itu tidak dimonopoli oleh ketua atau tokoh-tokoh dalam kelompok, tetapi dibagi untuk semua, baik yang pembunuh atau sekedar pelengkap di Kampung Ular. Namun, jika ada lebih sekepeng dua kepeng bagi pemimpin atau yang bekerja membunuh, bisa dimaklumi dan hal yang wajar.

Rasa saling percaya kepada sesama anggota kelompok tinggi. Karenanya, tidak ada yang menaruh curiga jika hanya ada dua anggota yang ditugaskan mengawal harta pembayaran jasa membunuh. Itu karena tingginya rasa percaya mereka. Meski demikian, hukuman bagi seorang pengkhianat tidak ada toleransi, yaitu hukuman mati tanpa pandang bulu.

Dua orang anggota ikut naik membantu Ronggolate untuk menghitung kepeng. Satu per satu warga dibagikan sejumlah kepeng. Mereka menerima dengan suka hati. Namun, meski sudah dapat, mereka tidak langsung pergi. Itu karena sering ada putaran kedua. Meski tidak dicatat atau ditandai yang sudah menerima, tidak ada yang berani berlaku curang dalam menerima pembagian.

“Candara, setelah ini, Ketua minta diurut,” ujar Ronggolate kepada seorang wanita muda berwajah cantik yang diberinya segenggam kepeng.

“Baik,” jawab wanita berusia kepala tiga minus dua tahun itu.

Candara dipanggil untuk mengurut Gurat Satria bukan karena dia cantik, tetapi karena dia memang berkeahlian dalam hal itu.

Drap drap drap!

Di saat itu, ada seekor kuda yang berlari memasuki Kampung Ular. Orang yang menungganginya adalah seorang perempuan berusia kepala tiga lebih tiga tahun. Dia menyandang pedang di punggungnya. Wajahnya akan mudah diingat karena satu alis kirinya putus di tengah. Entah apa penyebabnya?

Karena warga sedang sibuk urusan pembagian jatah kepeng, tidak ada orang yang mempedulikan kedatangannya karena dia juga orang Kampung Ular.

Wanita itu menghentikan kudanya di depan sebuah rumah karena dia melihat tanda bahwa Ketua sudah pulang dari Kerajaan Pajangan.

“Kakang Toreh! Apakah kau di dalam?” teriak wanita itu di depan pintu yang terbuka.

“Ya!” sahut Toreh dari dalam.

Tidak berapa lama, dari dalam rumah keluar Toreh dengan tubuh bertelanjang dada, tapi sudah bersih dari keringat dan wajahnya pun sudah cerah. Sepertinya Toreh baru saja membersihkan wajahnya dengan sabun wajah khusus bapak-bapak. Dia memang seorang duda, jadi tidak ada istri yang bisa disuruh untuk mencucikan wajahnya.

“Kau sudah pulang, Kulum Ratih. Di mana Rambati?” tanya Toreh langsung menanyakan putrinya.

Kulum Ratih adalah orang yang katanya pergi menyusul Rambati ke Kademangan Butogilo.

“Rambati hari ini menikah dengan seorang pendekar di Kademangan Butogilo,” jawab Kulum Ratih.

“Apa?!” pekik Toreh, serius terkejut. (RH)

DPP 3: Pernikahan Rugi Sabuntel

*Darah Pengantin Pendekar (DPP)*

 

Rugi Sabuntel hari ini terlihat sangat tampan, lebih tampan dibandingkan jika tidak didandani sebagai seorang pengantin. Meski tubuhnya gemuk gendut besar, tetapi bajunya tidak kesempitan karena ukurannya memang pas.

Saat ini Rugi Sabuntel, Pendekar Gendut Budiman, menikah dengan seorang pendekar wanita yang dikenal dengan nama Pengantin Tanpa Suami.

Pengantin wanita terlihat sangat cantik dan jelita. Entah, apakah cantik dan jelita dua kata yang berbeda arti atau dua kata yang satu arti? Jangan dijawab karena ini tidak iseng-iseng berhadiah.

Pengantin Tanpa Suami di-make-up menjadi cantik dengan bedak dan gincu lebih tebal dan lebih berwarna, meski hakekatnya Pengantin Tanpa Suami lebih cantik tanpa make-up.

Saat itu, sudah senja, kedua mempelai yang tampil dengan busana mewah warna kuning-kuning emas campur putih-putih seperti belahan telur rebus yang dimodif, sedang duduk di pelaminan, bersanding bak raja gendut dengan ratu langsingnya.

Setelah menjalani berbagai macam ritual dan prosesi tahapan pernikahan menuju halal, kini pengantin dipajang di pelaminan di saat semua tamu undangan bersuka ria dengan makanan dan hiburan.

Rugi Sabuntel dan Pengantin Tanpa Suami telah resmi menjadi suami istri. Itu sangat membahagiakan bagi kedua pengantin. Tidak lama lagi malam akan menjelang dan pengantin tinggal melaksanakan dua prosesi lagi sebagai penyempurna dari pernikahan tersebut. Kedua prosesi itu adalah mandi bersama dan tidur bersama. Sudah menjadi pemahaman bersama apa makna dari “tidur bersama”, yakni bukan sekedar murni tidur bersama, tapi juga tentunya ada proses saling meniduri.

Pernikahan ini sangat unik dan berhias drama penuh sakit hati di balik kebahagiaan itu sendiri.

Jika Rugi Sabuntel memiliki kejelasan tentang latar belakang, siapa orangtua dan garis nasabnya, maka berbeda dengan Pengantin Tanpa Suami yang tidak jelas siapa nama aslinya, orangtuanya atau di mana rumahnya.

Keputusan pernikahan mereka seperti insiden yang direkayasa oleh alam, tidak bisa ditolak oleh kekuatan manusia. Keputusan menikah terjadi di saat mereka hanya saling kenal nama, tanpa ada pedekate lebih dulu, apalagi ta’aruf.

Bermula dari turnamen Duel Pendekar Butogilo, ketika di semifinal pertandingan Pengantin Tanpa Suami duel dengan Pendekar Macan Langit. Karena provokasi Pendekar Macan Langit, Pengantin Tanpa Suami yang yakin akan menjadi juara mengumumkan, jika ada pendekar lelaki yang bisa mengalahkannya tanpa membunuhnya, maka dia akan menikah dengannya.

Saat pertandingan semifinal, Pengantin Tanpa Suami bisa mengalahkan Pendekar Macan Langit. Namun, pendekar wanita dari luar Kademangan Butogilo itu takluk di tangan Pendekar Gendut Budiman alias Rugi Sabuntel. Karena itulah Pengantin Tanpa Suami harus menikah dengan Rugi. Urusan cinta nomor ketiga belas, yang penting jadi istri dulu.

Meski belum kenal dengan Pengantin Tanpa Suami secara dekat, tetapi kucing mana yang menolak disuguhi ikan segar, bukan ikan busuk. Dalam kata lain, lelaki mana yang menolak ditawari calon istri seorang wanita cantik jelita. Gratis pula. Terlebih saat itu, Rugi Sabuntel tidak memiliki hubungan berdokumen atau hubungan tanpa dokumen dengan wanita mana pun. Urusan cinta, Rugi masih main di area pinggiran saja.

Hasilnya adalah yang dihasilkan hari ini. Rugi Sabuntel resmi beristrikan Pengantin Tanpa Suami, meskipun mempelai perempuan tidak memiliki wali. Namun, pada saat itu, semua bisa diatur dan semua dianggap sah. Kini tinggal eksekusi malamnya.

Pernikahan yang dilangsungkan di kediaman kedua Demang Segara Gara di Desa Buangbiang tersebut, berlangsung seperti pesta rakyat. Memang, sangat perlu diketahui, pernikahan mewah dan semarak itu seratus persen dibiayai oleh Demang Segara Gara, sebagai bonus bagi Rugi Sabuntel yang menjuarai Duel Pendekar Butogilo.

Warga Desa Buangbiang dan para pendekar yang kalah dalam turnamen, tapi masih bugar, jelas tidak mau menyia-nyiakan makanan enak yang serba gratis, yang penting kantung-kantung perut masih memadai untuk menampung makanan.

Selain urusan lidah dan perut, para tamu juga sangat butuh hiburan. Demang Segara Gara nanggap orkes gamelan plus sinden dan penari, serta wayang sebagai hiburan di malam harinya.

Kebahagiaan juga dirasakah oleh ibu Rugi yang bernama Junimi, yang akrab dengan nama panggilan Mak June, lebih terdengar keren di telinga. Kakek Rugi yang semakin tua juga bahagia, yaitu Kakek Sambo yang bukan mantan jenderal polisi.

Ki Robek, guru Rugi Sabuntel yang bertahun-tahun tinggal di dalam hutan, sesekali ingin kembali merasakan riangnya pesta dan lezatnya makanan. Karena itulah dia tidak menolak ketika diminta hadir dalam pernikahan muridnya.

Kebahagiaan juga meliputi diri sahabat lengket Rugi Sabuntel, yaitu Blikik yang berencana menikahi calon istri kedua, dan Bendong yang merupakan tandem Rugi sebagai perampok budiman. Jahatnya Blikik, dia justru mengajak calon istri keduanya daripada mengajak istri sahnya ke pesta itu. Sementara istrinya tidur memeluki guling karung sendirian di rumah dan hanya makan daun singkong rebus yang dicocol sambal tanpa garam.

Rekan-rekan seprofesi Rugi Sabuntel, yaitu sesama buruh di gudang jagung milik Demang Segara Gara, turut diundang meski beda desa.

Namun, dibalik orang-orang yang bahagia itu, ada beberapa orang yang memendam sakitnya patah hati di balik senyuman mereka yang kadang-kadang mekar. Mereka adalah tiga orang wanita yang merasa putus cinta di saat cinta itu belum disambung.

Wanita pertama adalah Ageng, salah satu pendekar anak buah Demang Segara Gara. Dia menaruh hati kepada Rugi Sabuntel karena dia mengidolakan pendekar gendut itu. Namu, itu adalah rasa yang terpendam.

Wanita kedua adalah Campani, putri Demang Segara Gara. Sudah ada beberapa lelaki yang mengajukan lamaran, tetapi gadis jelita itu justru jatuh hati kepada Rugi Sabuntel yang tidak memiliki fisik ideal. Rasa yang baru saja tumbuh sebagai tunas di hati, sayangnya belum pernah terutarakan, terlebih Rugi Sabuntel sejauh ini hanya main lirik belaka.

Wanita ketiga adalah Nyai Demang, istri Demang Segara Gara. Meski sudah memiliki suami yang gagah dan kaya raya, tetapi pesona Rugi Sabuntel sebagai seorang pendekar telah menggoda Nyai Demang untuk bergenit ria kepada karyawannya itu. Kegenitan Nyai Demang kepada Rugi Sabuntel adalah isyarat yang jelas bahwa dia menaruh hati kepada sang pendekar. Namun, status sebagai istri orang, terlebih itu istri sang majikan, jelas jadi penghalang dunia dan kubur.

Hubungan dengan ketiga wanita cantik itu tidak cukup kuat dijadikan alasan bagi Rugi Sabuntel untuk menolak lowongan memperistri Pengantin Tanpa Suami, yang menarik jiwa jomblo dan poligami setiap lelaki.

Saat ijab kabul, Pengantin Tanpa Suami mengaku bernama asli Rambati. Dengan resminya mereka menikah, maka nama Pengantin Tanpa Suami diubah menjadi Pengantin Bersuami.

Sebentar lagi matahari di sisi barat terbenam dan sebentar lagi Rugi Sabuntel akan berkamar.

Drap drap drap...!

“Hea hea hea!”

“Aaa! Aaa...!”

Tiba-tiba terdengar suara lari kaki banyak kuda di sela-sela suara gamelan dan nyanyian sinden. Suara lari kuda yang mendekati kediaman pesta itu membuat orang-orang menengok ke luar halaman rumah.

Suara lari kuda itu diikuti oleh teriakan-teriakan menggebah yang liar, disusul suara jeritan sejumlah warga perempuan yang segera berlarian dari area depan.

Terkejutlah semua orang melihat kedatangan serombongan orang berkuda yang sudah menghunus pedang di tangan. Orang-orang berkuda berpakaian pendekar itu bahkan menggebah kudanya masuk ke area pesta yang banyak tamu.

Para tamu segera berlarian untuk menyelamatkan diri. Jelas mereka takut jika saja para pengacau itu membunuh dengan pedangnya.

Prakr!

Prasmanan makanan pun ditabrak kuda hingga tumbang membuat makanan berantakan di tanah.

Satu ekor kuda bahkan masuk hingga ke depan pelaminan, di mana Rugi Sabuntel telah berdiri dengan wajah yang marah. Berbeda dengan Rambati yang terpaku melihat kemunculan orang-orang yang dikenalnya.

“Rambati! Tinggalkan lelaki itu dan kembalilah ke Kampung Ular. Aku yang akan menikahimu!” seru lelaki penunggang kuda dengan wajah marah pula. Lelaki itu tidak lain adalah Gurat Satria, Ketua Kelompok Ular Pembunuh. (RH)

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!