Jam sudah menunjukan pukul 19.00 malam hari.
Namun, Aqira masih terduduk menunggu antrian dengan suasana rumah sakit yang sudah terlihat sangat sepi. Tempat-tempat praktek mulai selesai, dan sepertinya dia sangatlah terlambat.
Pandangannya terus tertuju pada salah satu pintu ruangan yang tertutup rapat. Dimana sebuah papan menempel dengan tulisan, (Dr. Ulfa Dwiyanti. SpOG.) Dan Aqira berada disana hasil dari rekomendasi Dokter Hengky, ketika Aqira meminta Dokter perempuan untuk menanganinya.
Pintu ruangan Dokter akhirnya terbuka. Bersamaan dengan keluarnya seorang perempuan hamil besar, disusul seorang pria setelahnya.
"Aqira Nissa?" Seorang wanita berpakaian rapi memanggilnya dari ambang pintu.
Wanita tersebut tersenyum saat pandangan keduanya beradu.
"Sudah periksa tensi darah sebelumnya?" Lantas wanita itu bertanya, seraya tersenyum ramah kepada Aqira, wanita yang kini sudah berdiri di hadapannya.
Perempuan yang di maksud menganggukan kepala.
"Di klinik sudah periksa tensi darah dan berat badan juga, Sus." Aqira menjelaskan, yang segera mendapatkan anggukan dari asisten Dokter yang sedang bertugas malam ini.
"Baik."
Dia membuka pintu ruangan semakin lebar, menatap Aqira, lalu mempersilahkannya untuk segera masuk.
"Assalamualaikum, selamat sore Dokter." Ucap Aqita.
Seorang Dokter wanita yang sedang membaca dokumen yang diserahkan asistennya mengangkat pandangan, kemudian tersenyum hangat.
"Wa'alaikumussalam. Silahkan duduk, Ibu Aqira."
Aqira mengangguk, kemudian menarik ujung kursi, dan duduk di hadapan Dokter cantik, yang usianya terlihat masih muda.
"Sudah pergi ke klinik, dan mendapatkan rujukan untuk pergi ke sini?"
"Iya, Dok."
"Baik, mau konsultasi seputar apa?"
Aqira menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan-lahan melalui mulut.
Dokter hanya menatap Aqira yang tampak sedang mempersiapkan diri. Bukan tidak tahu, akan tetapi dia membiarkan Aqira berbicara sendiri, karena pada rujukan sebelumnya Dokter yang bersangkutan sudah menulis apa yang akan Aqira lakukan.
"Tidak apa-apa, jangan pernah merasa diri kita ini adalah manusia paling hina. Saya ini seorang Dokter, bertugas mengayomi masyarakat, bukan tetangga komplek yang akan menghakimi setiap permasalahan orang lain."
Aqira menatap wanita cantik di hadapannya. Pakaian yang serba tertutup, pembawaan lemah lembut, dengan senyum penuh kehangatan. Dan sepertinya ia beruntung mendapatkan rekomendasi Dokter Obgyn yang mengerti keadaannya saat ini.
"Lakukan apapun yang membuat kamu nyaman untuk bercerita kepada saya, Aqira." Dokter menatap Aqira lekat-lekat.
"Saya, …"
"Katakan apa yang terasa mengganjal di hatimu. Terdengar tidak profesional memang, jika Dokter berbicara seperti saya sekarang. Tapi saya mengerti keadaan kamu, dan ingin membuat kamu nyaman berbicara kepada saya, jadi kita buat Konsul sekarang senyaman mungkin. Kamu juga pasien saya yang terakhir, kita bisa berbicara santai saja jika kamu merasa terbebani sekarang."
Mata Aqira berkaca-kaca, menatap wanita di hadapannya dengan perasaan tidak menentu. Bagaimana bisa orang yang baru dia temui begitu mengerti keadaannya. Namun, kenapa Bima tidak bisa mengerti itu? Bahkan dia tidak pernah mau diajak bicara empat mata, baik-baik dari hati ke hati tanpa amarah seperti biasanya.
Kepala Aqira tertunduk, seraya mengusap pelupuk matanya yang mulai terasa di penuhi air mata.
"Saya takut, Dok."
Akhirnya Aqira berbicara, setelah beberapa menit diam dengan perasaan yang berkecamuk.
"Saya pernah melakukan hal yang sangat hina sebelum menikah dengan suami saya. Dan setelah dia tahu, dia meminta saya untuk melakukan tes HIV." Tenggorokannya terasa kering, dengan dada yang terasa sesak.
Sesuatu yang awalnya ingin Aqira sembunyikan, dan mencari-cari alasan lain untuk jawaban di setiap pertanyaan Dokte. Nyatanya perempuan itu tidak mampu, beban yang dia pikul sangatlah berat sampai tidak bisa kembali menutupinya.
"Apa saya kelihatan sakit Dok? Apa saya terlihat sangat buruk sampai dia meminta hal itu?" Air matanya terus berderaian.
Dokter mengangguk paham.
"Mungkin beliau sangat mencintai istrinya, sampai ia harus melakukan sesuatu lebih awal untuk berjaga-jaga." Wanita itu berusaha membesarkan hati Aqira.
Aqira tidak menjawab.
"Sejauh ini. Tidak ada yang terlihat jika kamu sakit, Aqira. Tapi ayo kita lakukan tes dulu, … jika kamu mau lebih tau bisa melakukan pemeriksaan lebih lanjut ke laboratorium, tapi untuk saat ini kita masih bisa melakukannya disini."
Aqira mengangguk.
"Baik, kita mulai yah."
Dokter menatap asistennya yang sedari tadi berdiri di dekat pintu, menyaksikan interaksi keduanya.
"Sus, boleh minta tolong di tensi lagi, sama timbang berat badan. Kita mulai dari sana agar tidak terlalu tegang, oke?"
"Baik."
Pintu ruangan yang sudah tertutup kembali dibuka.
"Mari, Bu Aqira." Suster mempersilahkan.
Aqira mengangguk, dia mengusap kedua pipinya yang basah, menghapus sisa tangisan perempuan itu, untuk kemudian bangkit dan kembali berjalan keluar untuk melakukan pemeriksaan awal yang sesungguhnya sudah Aqira lakukan di klinik beberapa jam lalu.
***
Trekk!!
Aqira merasakan perih di jari tangan bagian tengah, ketika jarum menusuk dengan sekaligus, dan mengeluarkan darah setelahnya.
"Perih, Dok." Aqira meringis.
Dokter hanya tersenyum, lalu memberikan alkohol swab pada bekas luka Aqira, dan menekannya agar darah berhenti mengalir.
"Ini hanya sedikit, kalau ke lab di ambilnya cukup banyak. Di ambilnya juga langsung dari pembuluh darah." Katanya seraya memasukan darah Aqira pada salah satu alat yang diletakkan di atas mejanya.
Sorot mata Aqira terus tertuju pada benda pipih itu, dimana satu garis samar mulai terlihat.
Dadanya berdebar-debar.
Dan setelah beberapa saat, hasil dari alat tes itu sendiri terlihat jelas. Dimana garis satu terlihat dengan warna merah menyala.
"Negatif!" Ucap Dokter sambil tersenyum kepada Aqira.
"Sebenarnya sudah bisa di tengah. Tekanan darah bagus, berat badan ideal, tidak nyeri saat pipis, tidak keputihan juga. Tapi karena kamu sangat ingin, maka inilah hasilnya, kamu baik-baik saja Aqira."
Mata Aqira terpejam, lalu dia merapatkan punggung pada sandaran kursi, sambil menghembuskan nafas penuh kelegaan. Sesuatu yang terasa mengganjal di dalam dadanya kini hilang, dan tes itu membuktikan jika dirinya baik-baik saja.
"Ya ampun aku takut sekali!" Aqira terkekeh kencang, kemudian buliran air mata jatuh membasahi pipi tanpa perempuan itu sadari, yang dengan cepat dia usap untuk mengeringkan pipinya.
"Tesnya negatif, kamu sehat, kamu baik-baik saja."
Aqira mengangguk.
"Jika beliau meminta kamu melakukan tes. Makan kamu juga berhak meminta beliau untuk melakukan hal yang sama."
Namun, Aqira segera menggelengkan kepala. Menolak usulan dari Dokter yang sedang bersamanya saat ini.
"Tidak usah Dok. Sepertinya saya yang bermasalah." Aqira tersenyum getir.
"Tidak, kamu tidak bermasalah. Semua orang mempunyai masa lalu, … dan semua orang berhak memperbaikinya, ingat! Allah itu tidak pernah melihat siapa kita dimasa lalu, tapi ia melihat siapa yang akan datang dan meminta ampunan-Nya." Dokter kembali menyemangati Aqira.
Tangisan Aqira terus berlanjut, akan tetap perempuan itu berusaha untuk terus meredamnya.
"Baik, kalau begitu kita buat surat pernyataan jika kamu baik-baik saja."
Dokter menarik satu lembar kertas, dan mulai menulis pernyataan di dalamnya.
Aqira menarik nafasnya, dan menghembuskan melalui mulut. Melepaskan semua yang terasa mengganjal di dalam dada.
"Terimakasih Dokter, terimakasih banyak." Ucap Aqira.
......................
Maaf ya, othor banyak cucian hari ini🤭
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
🍃EllyA🍃
Author aq ijin mampir..
smbil nunggu up nya Papp jo...
mksh
2023-07-14
1
Dzulfan Ahlami
aku terhuru hara😭😭😭😭
2023-07-05
1
☠ᴳᴿ🐅ɴᴇ𝐀⃝🥀⍣⃝ꉣꉣ🥑⃟🔰π¹¹
alhamdulilah hasil nya baik
2023-07-05
1