Suara derum mesin mobil terdengar berhenti tepat di garasi rumah. Membuat Muhsin yang sedang asik membaca koran mengalihkan perhatian. Dia bangkit, kemudian berjalan mendekati pintu rumah, dan membukakannya untuk Fatimah sang istri.
"Bagaimana keadaan, Qira?" Dia langsung bertanya.
Ingatannya tertarik pada waktu dimana anak pertamanya menghubungi mereka di waktu subuh. Dan memintanya untuk memeriksakan keadaan istrinya.
"Qira baik-baik saja. Tapi sekarang kelihatan lebih tirus, mungkin nafsu makannya sedang tidak bagus, setidaknya itu yang Qira jelaskan sama, Ambu."
Fatimah menekan remote control yang menggantung di kunci mobil, kemudian berjalan mendekat ke arah suaminya berada, membawa tempat bekas makanan yang dia bawa tadi.
"Aba rasa ada yang aneh sama Bima. Mereka itu bukan sepasang suami istri yang di persatuan karena perjodohan. Mereka dekat selama tiga tahun, … tapi sikap Aqira kepada Bima jelas terlihat aneh, masa setiap kali kesini dia kelihatan sungkan dan canggung, mana ada suami istri seperti itu." Pria itu berujar.
Muhsin menutup pintu rumahnya, lalu berjalan di belakang sang istri, yang saat ini terlihat sedikit gusar. Dan raut wajahnya sudah berubah ketika ia menerima telepon dari putra pertama mereka tadi pagi.
"Ambu merasa juga, kan? Ada yang aneh dari Bima dan Aqira. Awalnya Aba cuma nyangka perasaan Aba aja, tapi setelah dilihat-lihat, nyatanya kecanggungan Aqira terlihat sampai sekarang, padahal mereka menikah sudah satu bulan, lho!"
Fatimah menyerahkan wadah kotor tadi pada asisten rumah tangga, setelah itu dia mendekati sofa, dan menjatuhkan diri disana. Hatinya mulai gundah, apa yang suaminya katakan jelas ia pun merasakannya. Akan tetapi, dia masih berusaha untuk berbaik sangka.
"Ambu cuma berharap mereka baik-baik saja, Aba. Namanya rumah tangga pasti ada saja, dan itu normal terjadi." Suara Fatimah terdengar lemah.
Muhsin diam, karena apa yang Fatimah katakan ada benarnya.
"Zahra belum pulang kuliah?" Wanita itu mengalihkan pikiran suaminya.
"Tadi bilangnya ada tugas tambahan, jadi pulangnya terlambat."
Fatimah mengangguk.
"Ya sudah, Ambu mau sholat ashar dulu." Fatimah bangkit. "Aba sudah sholat?" Lantas dia bertanya, yang langsung di jawab anggukan oleh suaminya.
"Nanti setelah Maghrib kita ke rumahnya Rahma ya, Aba. Ambu kangen cucu-cucu Ambu, kesibukan orang tua nya membuat mereka jarang berkunjung kesini." Wanita itu mengeluh.
"Ya, nanti Aba antar." Muhsin menyahut.
Fatimah beranjak pergi dari area ruang tengah, mendekati salah satu pintu ruangan yang tertutup rapat, membukanya, kemudian masuk tak lupa menutup pintu ruangan itu seperti semula.
***
"Mbak Aqira?"
Seorang pemotor berhenti tepat di hadapan Aqira yang saat ini tengah berdiri di depan gerbang rumahnya.
"Oh, iya Mas." Dia yang tengah asik berbalas pesan dengan seseorang pun menekan tombol power, kemudian memasukan benda pipih itu kedalam tas miliknya.
Aqira maju beberapa langkah, menerima pemberian helm, lalu memakainya sebelum dia benar-benar naik ke atas motor sana.
"Klinik Bethsaida ya, Mbak?"
"Iya, mas."
Perlahan motor yang Aqira tumpangi melaju, meninggalkan rumah besar milik suaminya pada hampir petang.
Pandangan Aqira menengadah, menatap hamparan langit yang begitu luas. Warna biru yang sangat indah, dengan semburat kuning kemerah-merahan, juga awan-awan putih yang terbentuk sedemikian rupa, menjadi sebuah bukti bahwa kuasanya tidak pernah bisa disandingkan dengan siapapun.
Aqira memejamkan matanya, menikmati hembusan angin yang menerpa wajah. Sejuk, dan terasa seperti sedang melepaskan sesuatu yang begitu mengganjal di dalam hati. Beberapa kali Aqira menghirup dan menghembuskan nafasnya, berusaha mengatasi kegundahan di dalam diri, setelah berusaha terus menekan perasaannya terhadap Bima sang suami.
"Wahai Allah. Aku percayakan seluruh hidupku kepada diri-Mu. Aku ikhlas jika semua orang akan pergi meninggalkan aku, hanya saja tetaplah bersamaku, isi hatiku, agar aku tidak terlalu rapuh berjalan di dunia yang fana ini." Hatinya berbisik.
Kemudian Aqira membuka mata, menatap langit, dengan seulas senyuman yang terbit di kedua sudut bibirnya.
"Aku percaya kepada-Mu. Apa yang akan menjadi milikku, maka akan tetap kembali walaupun sudah pergi. Dan jika bukan, maka sekuat apapun aku mempertahankannya, maka engkau akan tetap menjauhnya dariku."
***
Setelah menempuh perjalan 30 menit lamanya. Kini Aqira berada di salah satu klinik di daerah tempat tinggalnya saat ini.
Suasana klinik terlihat cukup ramai. Terdapat beberapa pasien yang sedang menunggu antrian.
"Nomor antrian B102." Panggilan kembali terdengar setelah ia menunggu beberapa menit.
Pandangan Aqira menunduk, menatap secarik kertas di dalam genggamannya. Kemudian dia bangkit, dan mendudukan diri di kursi yang sudah disediakan.
"Iya, Ka? Ada yang bisa saya bantu?" Seorang wanita berpenampilan rapi bertanya dengan senyum ramah.
Aqira mengangguk.
"Saya mau konsultasi, Mbak." Ujar Aqira.
Wanita di hadapannya mengangguk, seraya menatap layar komputer di hadapannya.
"Boleh bantu informasi data dirinya, Ka?"
Aqira membuka tas miliknya, lalu mengeluarkan sebuah kartu identitas pada wanita di hadapannya.
Perempuan itu menunggu dengan perasaan berdebar. Ia mulai takut dengan ponis yang mungkin saja nanti Dokter katakan, meskipun tidak ada satupun gejala yang dia rasakan. Suasana terasa semakin dingin, tatkala rasa gugup dan gelisah beradu padu menjadi satu.
"Silahkan." Katanya sambil menggeser kartu yang sempat Aqira berikan. "Kakak boleh tunggu di poli umum, dari sini lurus, tempat tunggunya di sebelah kanan.
"Baik, terimakasih Mbak."
Aqira bangkit, kemudian meninggalkan tempat pendaftaran, menuju poli umum yang disarankan.
***
"Selamat, malam?" Dokter menyapa lebih dulu saat Aqira masuk ke dalam ruangannya.
Aqira mengangguk, lalu tersenyum.
"Silahkan duduk."
"Terimakasih, Dok."
Aqira menarik kursi di hadapan meja Dokter. Kemudian duduk.
"Saya mau konsultasi, Dok. Tapi sebenarnya saya malu jika harus menjawab beberapa pertanyaan Dokter nanti." Aqira jujur.
Dokter hanya tersenyum.
"Jadi saya harus mulai dari mana?" Saking gugupnya Aqira sampai melayangkan pertanyaan konyol.
"Begini saja, anda mau konsultasi soal apa?"
Aqira bungkam.
"Saya tidak akan bertanya banyak hal jika itu yang anda takutkan." Dokter pria dengan name tag Hengky itu menatap Aqira sambil terus tersenyum.
Berusaha membuat sang pasien nyaman dari rasa gelisah yang sedang ia rasakan.
"Saya mau periksa HIV Dok." Dengan suara bergetar Aqira berujar.
Tidak ada reaksi apa-apa, Dokter lagi-lagi hanya memperlihatkan senyumannya.
"Ada keluhan?"
Aqira menggelengkan kepala.
"Sakit saat buang air kecil?"
"Nggak, Dok."
"Keputihan berlebih?"
"Nggak juga."
"Anda merasa baik-baik saja?"
"Iya."
Dokter merapatkan punggungnya pada sandaran kursi, seraya melipat kedua tangan di dada. Pria itu berusaha bersikap normal, seperti halnya seorang teman, bukan antara Dokter dan pasiennya. Karena ia paham, perempuan yang saat ini mendatanginya sedang merasa tertekan. Terlihat dari Aqira yang beberapa kali menundukan kepala, sambil memainkan jari-jari tangannya.
"Anda merasa baik-baik saja. Lalu kenapa datang dan ingin memeriksakan diri? Apa seseorang memberikan ancaman kepada anda. Maaf, bukan lancang, tapi sepertinya anda butuh psikolog, bukan Dokter umum, atau spesialis kelamin dan kandungan."
"Mental saya baik-baik saja, Dok. Saya hanya ingin berjaga-jaga saja." Jawab Aqira.
"Ya sudah, kalau begitu saya sarankan untuk datang ke poli kandungan."
Aqira mengangguk.
......................
Duh Aqira, peluk cium dari jauh🫂
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
☘👑ʜᴀᴘsᴀ ͪ͢ ͦ ᷤ ͭ ͤ ᷝ💣
duhh aqira
baik-baik ya
2023-07-13
1
Sari Rahayu
yg sabar ya aqira... semua org pasti punya kesalahan
2023-07-13
1
☠ᴳᴿ🐅ɴᴇ𝐀⃝🥀⍣⃝ꉣꉣ🥑⃟🔰π¹¹
semoga hasil nya negatif
2023-07-05
1