Aqira membuka gorden-gorden rumahnya, menyeret kain tebal itu ke arah sudut, menyisakan tirai tipis yang masih membentang menutupi kaca, sehingga dapat menghalau cahaya matahari yang sudah terlihat cukup terik, padahal jam baru saja menunjukan pukul 07.00 pagi hari.
Cukup lama Aqira menatap ke arah luar, memperhatikan interaksi dua orang yang baru saja menjadi tetangga barunya. Mereka terlihat selalu bersama, melakukan beberapa aktivitas berdua, dengan canda tawa yang selalu terlihat.
Lalu Aqira meratapi dirinya sendiri. Betapa sebuah kesalahan yang tidak sengaja dia buat membuat hubungan rumah tangganya tidak membaik dari hari pertama sampai saat ini.
"Bukankah seharusnya kita juga seperti itu, Mas? Kita selalu bersama-sama, mempererat hubungan yang sudah terjalin, … tapi aneh! Hubungan kita justru merenggang semakin jauh, setelah ikatan pernikahan mempersatukan kita." Aqira bermonolog.
Lalu ia tertawa, berusaha membuat dunianya baik-baik saja, meskipun pada kenyataannya tidaklah seperti apa yang Aqira sandiwarakan.
Perempuan itu terlihat memejamkan matanya, menikmati rasa sesak di dalam dada sana yang semakin meningkat di setiap waktu, apalagi jika Aqira mengingat sikap Bima dulu dan sekarang, perbedaannya tentu sangatlah banyak.
"Ya Allah. Jika ini adalah salah satu cara engkau untuk menghukum hambamu ini. Maka hamba ikhlas, … tapi bolehkah hamba meminta satu hal? Semoga hamba dan Mas Bima tetap berjodoh."
Perempuan itu duduk di sofa ruang tengah, menatap sekeliling sembari menikmati keheningan rumah tersebut. Bangunan yang cukup kokoh, memiliki luas tanah yang cukup besar, segala fasilitas yang ada. Namun, itu tidak membuat dirinya bahagia, hal yang seharusnya ia rasakan setelah menikah dengan pria yang sangat dia cintai.
Segumpal daging yang terkurung di dalam tulang rusuk itu kembali terasa ngilu. Apalagi ketika mengingat perbedaan Bimasena dulu dan sekarang yang terlampau sangat jauh. Sikap perhatiannya hilang, juga pembawaan yang selalu lemah lembut, kini berubah menjadi pria yang sama sekali tidak Aqira kenali.
Pria yang selalu memprioritaskan dirinya, meskipun dalam keadaan sibuk sekalipun. Memperlakukan dirinya dengan sangat baik, tapi semunya kini sudah berubah. Pria yang penuh kelembutan, mempunyai sikap yang hangat, berubah menjadi sosok yang sangat dingin.
Dan sudah pasti itu disebabkan oleh dirinya.
Memiliki teman-teman dengan pergaulan bebas, membawa dirinya terjerumus pada dunia yang berbeda. Kesalahpahaman kecil, membuat Aqira hilang kendali, dan karena amarah dari rasa cemburu terhadap Bimasena yang selalu terlihat lebih dekat dengan para pramugari, membuat Aqira melakukan hal yang tidak sepatutnya terjadi.
"Ya Tuhan, aku menyesal. Jika saja semuanya bisa aku putar kembali, … aku tidak akan melakukannya." Aqira menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya.
Tok tok tok!!
"Qira?" Seseorang terdengar memanggil dari arah luar.
Dia menyingkirkan kedua tangannya, mengangkat pandangan, dan menatap pintu rumah yang tertutup dengan rapat.
"Aqira? Ambu datang, Neng?"
"Ambu!"
Aqira mengusap kedua pipinya, menghapus air mata yang entah sejak kapan terus bercucuran. Dia bangkit, kemudian berlari mendekati pintu.
"Aqi, …"
Klek!!
"Ambu?"
Aqira tampak menundukan pandangan, kemudian dia membungkuk, meraih tangan sang ibu mertua, dan menciumnya takzim.
"Ambu datang? Kenapa tidak kasih kabar? Kan kalau kasih kabar Qira bisa masakin, Ambu." Katanya, dia beralih merangkul pundak wanita paruh baya di hadapannya, lalu kemudian memeluk tubuh itu dengan sangat erat.
Pandangan Aqira beralih ke arah garasi, dimana terdapat satu mobil yang memang selalu di kendarai mertuanya. Umur tidak menjadi penghalang untuk wanita itu melakukan aktivitas normal seperti wanita-wanita muda pada umumnya.
Dia tersenyum, seraya menepuk-nepuk pundak sang menantu, kemudian mendorongnya perlahan sampai mereka kini dapat melihat satu sama lain dari jarak yang cukup dekat.
"Lho!" Wanita itu segera bereaksi. "Kenapa mata kamu sembab?" Katanya sedikit terdengar khawatir.
"Aqira tidak apa-apa, Ambu. Tadi sempat nonto drama, terus sedikit terbawa suasana saja." Aqira terkekeh.
Dia berusaha menyembunyikan kesedihannya.
"Benarkah? Ambu takut kamu menangis karena Bima."
"Mas Bima baik begitu. Mana mungkin aku di buat menangis, Ambu ada-ada saja." Aqira tertawa lagi.
"Masuk, Ambu. Nanti Aqira masakin!"
Ibunda dari Bima tersenyum, kemudian menganggukan kepalanya.
"Qira boleh duluan, … ada sesuatu yang ketinggalan di dalam mobil."
Aqira menurut, tampan banyak bertanya dia masuk ke dalam rumah. Perempuan itu berjalan ke arah dapur, membawa gelas untuk kemudian di isi dengan air putih hangat.
Terlebih dulu ia menyimpannya di atas meja, membawa nampan, dan meletakan gelas air minum itu disana. Setelah itu Aqira berali pada lemari pendingin, membawa buah Anggur hijau, lalu menyimpannya di atas nampan yang sama, tentunya setelah di cuci dan diberikan tempat terlebih dahulu.
"Tidak usah repot-repot masak, Qira. Ambu bawa sayur asem, ikan asin dan kerupuk. Kebetulan Bibi masak ini di rumah, siapa tahu kamu kangen masakan kampung."
Aqira tersenyum, dia berjalan mendekati ibu mertuanya yang sudah mendudukan diri di sofa ruangan tengah, kemudian meletakan apa yang dia bawa dari dapur.
"Qira sama Mas Bima belum sempat belanja lagi, Ambu. Di kulkas hanya tersisa, Anggur."
Wanita dengan pakaian serba tertutup itu terdiam, menatap wajah menantunya yang memang terlihat sangat berbeda. Selain sembab karena sudah menangis, pipi Aqira pun terlihat lebih tirus, dengan mata panda yang terlihat begitu jelas bergurat melingkar di pelupuk mata.
"Kamu bilang sedang nonton? Nonton dimana? Ambu tidak mendengar suara televisi menyala."
"Oh, tadi aku matikan sebelum membuka pintu. Habisnya kalau ada suara orang manggil suka nggak kedengeran." Aqira beralasan.
"Benarkah?"
"Iya." Aqira tersenyum lebar, berusaha untuk menyakitkan mertuanya yang sedang menatap penuh curiga.
"Ambu rasa kamu sedang menyembunyikan sesuatu. Apa kalian bertengkar?"
Aqira langsung menjawab pertanyaan ibu dari suaminya itu dengan gelengan kepala.
"Nggak Ambu. Serius kami tidak sedang bertengkar, kita baik-baik saja." Perempuan itu tertawa pelan.
"Qira cuma belum terbiasa, Ambu. Awal-awal nikah kan kita sama-sama terus, apa-apa barengan. Tapi setelah Mas Bima kembali bertugas, akunya sering di tinggal, nggak pulang seminggu, di rumah cuma beberapa hari. Aneh ya, Ambu? Padahal tiga tahun pacaralan LDR, tapi sekarang kayaknya lebih terasa aja gitu. Kaya kangen aja sama Mas Bima."
Sang mertua hanya mengulum senyum.
"Ya sudah. Tidak usah sedih, Ambu sengaja datang bawa mobil sendiri hanya untuk menemani kamu. Tadi subuj Bima telpon, katanya dia harus terbang ke Singapura, … mungkin sengaja memberi kabar agar Ambu datang kesini."
Mendengar itu hatinya terasa semakin sakit. Karena pada kenyataannya mereka sama-sama tengah bersandiwara. Dan yang paling parahnya adalah membohongi orang tua masing-masing, hanya untuk menutupi rumah tangga yang saat ini sudah tidak baik-baik saja.
"Hemmm, … dan aku tidak tahu ikatan pernikahan ini betahan sampai kapan. Karena sejatinya tidak akan ada kebohongan yang terus tertutup rapat. Mungkin sekarang aku hanya tinggal mempersiapkan diri." Hati kecil Aqira berbicara.
......................
Tolong bantu rate bintang 5 boleh?
Cuyung kalian banyak-banyak 🫂
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Rifa Endro
hhhh,
2024-04-22
0
khair
nurut sama suami... gk usah ladeni apa apa ya jalani.. jangan bikin aturan sendiri,,kalo suami gk suka msalh jadi muak
pelan pelan..
2023-08-25
1
☠ᴳᴿ🐅ɴᴇ𝐀⃝🥀⍣⃝ꉣꉣ🥑⃟🔰π¹¹
aamiin semoga bertahan selamanya
2023-07-05
1