Aqira berusaha menarik kesadarannya, ketika mendengar suara-suara yang cukup nyaring dari dalam kamar yang dia huni bersama suaminya. Mata perempuan itu mengerjap, berusaha menyesuaikan diri terhadap cahaya lampu yang terasa sangat menusuk.
Dan disanalah Bima. Berdiri di samping tempat tidur, seraya memasukan beberapa pakaian ke dalam sebuah koper berukuran besar.
"Kamu terbang hari ini, Mas? Kenapa tidak memberitahu aku?" Suara Aqira terdengar parau. Dia bangkit, dan mengubah posisi berbaringnya menjadi duduk bersandar di atas tempat tidur sana.
Bima hanya melirik, dan tidak membalas sepatah katapun.
"Kemana?"
Aqira terus berusaha membuat Bima luluh, setidaknya sampai pria itu berkenan menjawab setiap pertanyaannya. Karena sudah satu bulan terakhir mereka tidak lagi berbicara dengan baik, terlebih jika hanya berdua saja, berbeda ketika di hadapan orang tua, Bima bahkan memperlihatkan kepribadian lain, sehingga tidak ada yang mengetahui jika rumah tangga keduanya kini sedang berada di ujung tanduk.
Kedua kaki perempuan itu turun, kemudian berdiri, dan mendekati sofa yang terletak tidak jauh dari posisinya saat ini untuk membawa kerudung yang ia sampirkan di pegangan sofa.
"Mau aku bantu?" Aqira mendekat.
Namun, Bima menepis tangan istrinya cukup kencang tanpa berbicara apa-apa.
"Tida apa-apa, sudah kewajiban aku. Lain kali bicara kalau mau kerja. Biar aku siapkan, dan kamu tidak perlu repot-repot mempersiapkan semuanya sendirian." Dia berusaha tetap tersenyum meskipun perasaannya sudah benar-benar hancur.
Dirinya sangat ingin menangis, tapi hal itu tidak membantu apa-apa, jadi sebisa mungkin Aqira menahan air matanya yang sudah hampir meleleh.
"Hhheuh!" Bima menghela nafas. "Menjauhlah, aku bisa melakukannya, bahkan jauh sebelum aku menikah denganmu, aku sudah mandiri dan dapat melakukan apapun sendiri tanpa bantuan siapa-siapa." Akhirnya Bima bersuara.
Membuat Aqira terlihat sedikit tersenyum.
"Baiklah, kalau begitu aku siapkan bekal saja yah! Kamu berangkat subuh? Ya sudah tunggu sebentar aku akan buatkan roti isi dulu untuk sarapan." Tiba-tiba saja Aqira tampak tersenyum ceria.
Pandangannya menengadah, menatap jam dinding, dimana jarum jam terlihat baru saja menunjukkan pukul 03.00 dini hari.
"Tidak usah!"
"Hanya sebentar, Mas. Kamu bisa tunggu kan?" Katanya sambil berjalan mendekati pintu kamar yang tertutup.
"Tidak usah, aku tidak akan membawanya."
Aqira beranjak memasuki kamar mandi. Beberapa detik ada disana, kemudian keluar dengan keadaan wajah yang segar. Dia bersikap seperi biasa, dan menghiraukan larangan yang Bima ucapkan. Tidak peduli sekeras apa suaminya menolak, dirinya hanya sedang berusaha memperbaiki semua kesalahnya pada Bima.
"Aku memang salah, Mas. Tapi biarkan aku menebus kesalahanku ini, … setidaknya sampai kebencianmu itu sedikit hilang." Batinnya berbicara.
Sementara kakinya terus melangkah ke arah luar, menuju area dapur yang terletak di salah satu sudut rumah yang hanya mereka tempati berdua.
Bima memejamkan mata. Rasanya begitu sulit menjalani rumah tangganya bersama Aqira, tapi tidak ada yang bisa dirinya lakukan. Bercerai bukanlah jalan keluar, jika itu terjadi tidak hanya orang tua Aqira yang merasa terpukul, melainkan kedua orang tuanya juga, terlebih kelembutan Aqira membuat semua keluarganya menyukai perempuan yang sudah satu bulan menyandang status sebagai istrinya itu.
"Oh astaga!" Pria itu berbisik lirih.
"Rasanya sangat berat, mengetahui pasanganmu sendiri berkhianat. Aku menikahi wanita yang sebelumnya sudah di jamah orang lain. Kau sudah tidak bisa menatap Aqira seperti dulu, Bima. Cara pandangmu terhadap dia sudah sangat berbeda, rasa kesal, kecewa, marah dan benci selalu datang tiba-tiba hanya karena melihat wajahnya yang terus tersenyum." Bima mendesah frustasi, lalu menyapu wajahnya cukup kencang.
***
Satu piring berisikan roti panggang Aqira letakan di atas meja makan, bersama satu tas bekas yang sudah siap. Tak lupa dengan susu dan air putih hangat seperti biasa. Salah satu kebiasaan Bima yang Aqira ketahui dari sejak jaman mereka pacaran.
"Selesai."
Aqira hendak pergi menuju kamar, tapi langkahnya terhenti ketika melihat suaminya berjalan keluar sambil menyeret koper berukuran besar.
Tubuh kekar tinggi menjulang, memakai kemeja putih lengan panjang, celana berwarna hitam, lengkap dengan atribut yang menempel. Satu tangannya menarik pegangan koper, sementara satu tangan yang lain menggenggam topi pet yang selalu pilot kenakan. Dengan jas berwarna navy yang memiliki aksen garis-garis kuning tersampir di lengannya.
Bima melirik sekilas.
"Mas, …"
Suara dering notifikasi dari ponsel Bima terdengar, membuat Aqira terdiam seketika.
"Ya?"
Pria itu berbicara setelah menggeser tombol hijau, dan mendekatkan handphone pada daun telinganya.
"Ini mau berangkat. Paling sampai di bandara jam lima pagi." Katanya seraya menatap arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Ya, baiklah."
Bima terlihat mengangguk-anggukan kepala. Dan setelah itu dia kembali menyimpan ponsel di saku celananya.
"Roti bakarnya sudah siap, Mas. Makanlah dulu agar tidak masuk angin, aku juga buatkan kamu susu hangat. Ini masih sangat pagi, dan kamu tidak bisa pergi dengan perut kosong." Aqira berjalan mengikuti Bima.
Pria itu tidak menggubris, dia membuka lemari tempat penyimpanan sepatu, lalu mendudukan diri di kursi yang tersedia.
"Mas?"
Bima tidak menjawab. Seolah dirinya tidak mendengar suara dan wujud Aqira, sehingga membuat pria itu terlihat tak memperdulikan keberadaannya.
"Aku ambilkan kesini, …"
"Tidak usah!" Sentak Bima.
Pandangan yang semulanya tertunduk, kini dia angkat, menatap istrinya dengan tatapan tidak suka.
"Tapi aku sudah menyiapkan roti panggang untuk kamu."
"Buang saja, aku tidak peduli." Katanya lalu kembali mengenakan sepatunya.
Aqira diam untuk beberapa saat. Dia berpikir keras memikirkan cara agar Bima mau memakan apa yang sudah dia siapkan.
"Kamu tidak mau sarapan dulu? Meskipun hanya sepotong roti?"
"Hemmm, … buang saja! Mulai sekarang aku tidak akan makan di rumah. Seperti apa yang semalam aku katakan, berhentilah membuang-buang waktu, aku tidak akan menyentuhnya walaupun hanya sedikit."
"Tidak usah di buang kalau kamu tidak mau. Nanti aku yang makan, … tapi tunggu aku bawakan dulu tas bekalnya. Aku masak beef slice lada hitam kesukaan kamu."
Tanpa menunggu jawaban Bima, Aqira beranjak mendekati meja makan. Buru-buru dia membawa tas bekas suaminya, dan kembali setengah berlari menuju tempat dimana Bima berada saat ini.
Pria itu sudah benar-benar siap, dia bahkan sudah membuka kunci pintu, Tampa berniat untuk menunggu dirinya.
"Mas, bekalmu."
Dengan senyuman menyejukan Aqira menyodorkan tas berukuran sedang itu.
Bima menoleh, menatap Aqira lekat-lekat tanpa ekspresi apapun. Namun, hal yang tidak Aqira sangka terjadi, Bima menepis tas bekal yang di sodorkan Aqira sampai benda itu terjatuh di atas lantai dengan sangat kencang.
Brakkk!!
"Dasar kau sialan! Berhentilah bersikap sok manis seperti ini. Tidak perlu menyiapkan apapun. Aku masih mampu membelinya di luar sana, kau dengar, huh!?"
Deg!!
Jantung Aqira bedebar hebat.
"Bersikaplah baik hanya di depan orang tua kau dan aku. Selebihnya kita jalani masing-masing, … aku mengizinkan kamu tinggal disini dengan satu catatan, ingat? Cobalah membatasi diri, aku sudah benar-benar jijik kepadamu."
Pria itu tidak berteriak, bahkan suaranya terdengar rendah. Akan tetapi penekanan kata di setiap ucapan, tatapan mata yang tajam, dengan telunjuk yang terus diarahkan kepadanya, membuat nyali Aqira menciut begitu saja.
Dan tidak ada yang bisa dia lakukan selain menangis. Rasanya ingin menyerah saja, satu bulan bukan waktu sebentar untuk menghadapi sikap Bima yang berubah drastis. Akan tetap perasaannya berkhianat, sesuatu di bagian hati paling dalam berbicara, jika dirinya tidak bisa pergi dan meminta perpisahan, karena rasa cinta itu sendiri sudah terbentuk sangat besar.
Lalu apa yang harus dirinya lakukan sekarang? Entahlah, mungkin kembali mencoba untuk memperbaiki semuanya, meskipun sudah jelas itu akan sangat sulit.
"Aku akan terbang ke Singapura. Ada waktu lima hari untuk kau memeriksakan diri, … aku harus benar-benar hati-hati dari kemungkinan terkena penyakit tertular seperti itu!"
Aqira tidak menjawab, dia hanya terus menangis sambil menatap suaminya dengan tatapan sendu. Berharap Bima merasa iba, dan memaafkannya setelah ini.
"Lakukan tes HIV. Dan aku mau lihat hasilnya setelah pulang nanti."
Bima mendorong pintu, lalu keluar dari dalam rumahnya. Meninggalkan Aqira yang saat ini sedang berusaha meredam suara tangisannya.
......................
Ayo bisa yokkkk 🥲🥲
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
Rifa Endro
ya amsyong , tega dsn kasar sekali kata2nya. but, itu yg harus kamu terima kan Aqira
2024-04-22
0
khair
makanya tau diri jadi perempuan tuh... jangan diem diem aja sok bersih...
lakinya aja jujur... tinggal dia jujur aja biar ketauan mau lanjut apa gak... ini kan menjebak namanya
2023-08-25
1
Sari Rahayu
tega 😭
2023-07-12
1