Ayah Dari Anakku
Di luar tampak turun hujan di sertai petir. Tiara dan Arkana terlihat duduk saling bersebelahan. Semua teman-temannya sudah pulang terlebih dahulu.
Arkana sengaja tidak mengantarkan Tiara pulang dengan alasan masih rindu. Keduanya berpacaran hampir satu tahun. Walau tanpa restu Arkana berjanji akan memperjuangkan cinta sampai hubungan mendapatkan restu.
Wajar saja begitu. Arkana terlahir di keluarga berkecukupan. Sang Ayah merupakan pemilik sebuah perusahaan cukup besar di kota tersebut. Tentu saja restu sulit di dapatkan sebab Tiara hanya anak seorang pegawai negeri sipil. Ibu Tiara pedagang kaki lima di pasar. Tiara dapat memasuki universitas terkemuka mengunakan jalur beasiswa. Sudah bisa di pastikan kalau Tiara berasal dari keluarga menengah ke bawah.
"Bagaimana ini? Ayah bisa marah kalau aku pulang terlambat." Eluh Tiara cemas.
Hari ini mereka mengerjakan tugas kuliah di salah satu apartemen milik Arkana. Sempat Tiara berprotes akan hal tersebut. Dia ingin Arkana segera memberitahu di mana letak rumahnya walaupun untuk mengakui hubungan, Tiara tak menurut banyak.
"Sabar saja. Pasti setelah ini redah."
"Kalau saja kamu tadi membawa mobil." Eluh Tiara lagi. Bukan tanpa alasan dirinya cemas karena fikirannya mulai keruh sejak beberapa menit yang lalu.
Hawa dingin yang menusuk juga suasana ruangan dengan lampu redup seakan melengkapi. Ayah Tiara mewanti-wanti untuk menjaga kehormatan juga hal-hal yang menjurus pada sesuatu yang negatif. Sementara saat ini, suasana berubah canggung padahal mereka sudah terbiasa berada di satu ruangan.
Dengan nada pelan Arkana melontarkan permintaan maaf pada Tiara karena hari ini dia membawa motor bukan mobil. Padahal biasanya hampir tidak pernah Arkana membawa kendaraan beroda dua tersebut.
Tak ada yang dapat Tiara katakan kecuali jawaban ya. Arkana tidak pantas di salahkan sebab mobilnya memang sedang berada di bengkel.
Arkana memutar tubuhnya menghadap ke arah Tiara. Televisi tampak menyala namun sejak tadi mereka tidak fokus. Keduanya malah memikirkan debaran jantung yang semakin lama semakin menghantam kuat.
"Jujur saja Tiara. Meskipun kita masih sama-sama ingin melanjutkan kuliah tapi semakin ke sini hubungan terasa semakin hambar."
Sontak Tiara menoleh. Dia tentu terkejut dengan perkataan tersebut. Tiara menebak kalau Arkana merasa bosan pada hubungan mereka dan ingin mengakhirinya.
Namun dengan tegas Arkana menjawab tidak. Maksud dari perkataan hanyalah ungkapan keinginan untuk melakukan sentuhan selain bergandengan tangan.
Arkana menggeser tubuhnya lebih dekat. Tiara refleks menggeser tubuhnya menjauh sehingga membuat Arkana semakin di liputi rasa penasaran. Selama keduanya menjalin kasih, satu kali pun mereka tidak pernah melakukan sentuhan fisik terlalu ekstrim seperti berciuman.
"Lantas bagaimana?"
"Kamu mencintai ku kan?" Dengan cepat jemari Tiara di genggam erat.
"Itu sudah pasti Arka."
"Buktikan kalau begitu."
"Bukti? Ah tidak. Kamu mau meminta hal yang bukan-bukan." Tiara sudah bisa membaca ujung dari pembicaraan sebab dirinya pun cukup terbawa suasana.
"Tidak Tiara, kamu salah. Aku hanya ingin mengungkapkan perasaan dengan berciuman." Menyentuh bibirnya sendiri dengan ujung telunjuk.
"Aku tidak mau Arka. Itu tidak boleh. Perjalanan kita masih panjang. Kamu ingat kan? Aku ingin lulus dan mendapatkan pekerjaan bagus agar aku pantas untukmu dan kau juga harus giat belajar supaya bisa memimpin perusahaan Papamu."
Arkana tidak tampak marah. Dia tersenyum simpul seraya menatap Tiara lembut. Salah satu hal yang membuat Tiara jatuh hati. Bukan hanya tampan, sebab Arkana memiliki sikap lembut dan penuh perhatian. Kepekaannya hampir mencapai sempurna sehingga terkadang Arkana memberikan sesuatu yang di inginkan Tiara tanpa di minta.
"Hanya berciuman Baby. Aku paham dengan keinginan itu. Walaupun nantinya kamu tidak mendapatkan perkerjaan bagus. Kita akan tetap menikah. Aku tidak perduli pada larangan orang tuaku."
Jurus ampuh semakin gencar di lontarkan. Rupanya Arkana tipe lelaki yang tak terima jika di tolak. Apapun keinginan harus terpenuhi bagaimana pun caranya.
Tiara masih berusaha menolak keinginan Arkana dengan cara sehalus mungkin. Dia tentu tidak ingin menyakiti hatinya apalagi sampai membuat Arkana tersinggung. Tapi rupanya itu tidak sesuai harapan. Arkana memperlihatkan wajah tidak suka seraya melontarkan kalimat yang mampu membuat Tiara panik.
"Oh jadi menurut mu itu sesuatu yang buruk. Aku hanya ingin merasakannya. Tapi ya sudah kalau kamu tidak mau." Arka beranjak dari tempatnya. Dia mengambil kunci motor juga jaket. Hal itu membuat Tiara ikut berdiri lalu berjalan menghampirinya." Ku antarkan pulang. Ada satu jas hujan." Imbuhnya memasang wajah kecewa.
"Kamu marah?"
"Tidak Tiara. Mana bisa aku marah. Aku takut fikiran ku semakin keruh kalau kamu tetap berada di sini."
"Terus? Kalau jas hujan hanya satu, kamu bagaimana."
"Asal kamu tidak kehujanan. Aku tidak apa. Ayo."
Tiara meraih pergelangan Arka untuk menahannya pergi. Terlihat, Arka sempat tersenyum sejenak sebab rupanya dirinya masih berusaha mendapatkan keinginannya tadi.
"Jarak rumah cukup jauh. Kamu bisa sakit."
"Aku kuat."
"Ya sudah lakukan. Tapi hanya berciuman lalu selesai."
Arka menoleh dengan senyum mengembang. Akhirnya dia mendapatkan sesuatu yang memang sangat di inginkan. Selama ini Arka menahan diri untuk terlalu memaksa. Jujur saja jika dia pun sangat mencintai Tiara meski untuk menikah, hal itu belum terlintas.
.
.
.
.
.
.
.
.
Dua bulan kemudian...
Hari itu wajah Tiara tampak cemas. Dia berjalan ke setiap sudut kampus untuk mencari keberadaan Arka. Ada hal serius yang harus mereka bicarakan. Namun sampai Tiara kelelahan, Arka tidak juga di jumpai.
Triiiing...
Cepat-cepat Tiara merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel. Ada sebuah pesan singkat yang berasal dari Arka.
💌Tunggu aku di depan kampus.
Tiara tersenyum. Tanpa berfikir lagi dia berjalan menuju pintu gerbang. Sudah tampak mobil Arka terparkir. Si pemilik bahkan bersandar pada body mobil, menunggu kedatangan Tiara.
"Kenapa tidak di parkir ke dalam?" Tanya Tiara ingin tahu. Tampak jelas kecemasan terpatri pada wajah Arka.
"Ada sesuatu yang ingin ku bicarakan."
Tiara menghela nafas panjang. Berita yang akan di sampaikan rasanya jauh lebih penting. Saat tangannya akan mengeluarkan sebuah testpack dari tas. Ucapan Arka membuatnya mematung.
"Jam sepuluh nanti aku harus pergi ke Italia." Tiara mengurungkan niatnya mengambil testpack tersebut. Tangannya tampak bergetar.
"Berlibur?" Tanya Tiara ingin tahu. Perasaan terasa mengambang sebab dirinya sadar sosok di hadapannya akan sulit di raih sementara kehamilannya butuh kejelasan.
Arkana menjelaskan jika dirinya harus mengikuti kehendak Papanya untuk melanjutkan kuliah di luar negeri. Tiara masih memakluminya. Keluarga Arkana tentu ingin anak semata wayangnya bisa memimpin perusahaan suatu hari nanti.
Tiara tersenyum canggung. Maniknya terlihat berkaca-kaca merasakan hantaman kuat tengah bergejolak di hati.
Kalau aku bicara soal kehamilan ini sama halnya aku menghancurkan mimpi Arka. Ya Tuhan... Apa yang harus ku lakukan?
Sesaat Tiara terdiam. Dia bingung mengambil keputusan. Setelah memikirkannya matang. Tiara menegakkan pandangannya. Berusaha kuat hanya untuk masa depan Arka, cinta pertamanya.
"Hubungan ini harus berakhir. Em ternyata Papa mengetahuinya."
Berita kepergian Arka sudah sangat menyakitkan. Di tambah lagi dengan pemutusan hubungan secara sepihak.
Suara Tiara terdengar bergetar. Saat dia ingin memperjelas perkataan Arkana barusan. Bagaimana tidak, sebab dirinya pun sangat membutuhkan Arkana untuk menghadapi permasalahan besar yang ada di depan.
"Terpaksa Tiara. Aku takut keluarga ku nekad."
Terdengar pengecut. Tapi di sini Tiara terlalu di butakan dengan cinta. Apalagi benih yang ada di perut tidak seharusnya ikut menanggung akibat. Tiara lebih memikirkan nasib benih di rahimnya. Takut kalau keluarga Arka memaksa untuk mengugurkan kandungan tersebut.
"Hm ya sudah. Sejak awal kita memang tidak pantas bersama. Terimakasih."
"Aku tidak pernah mengatakannya. Aku benar-benar mencintaimu."
"Aku juga. Tapi terkadang cinta tak harus memiliki." Nafas Arka terbuang kasar. Sejujurnya dia sangat menginginkan Tiara tapi keluarganya sudah melontarkan titah untuk mengakhiri hubungan.
"Maafkan aku Tiara. Aku tak dapat berbuat banyak. Hidupku berada di tangan mereka." Tiara mengangguk seraya mengusap sudut pipinya sesekali.
"Tak apa. Ini hanya masalah waktu." Jawab Tiara enteng padahal di perutnya sudah tumbuh benih milik Arka.
"Aku tahu kamu gadis yang kuat. Aku akan terus mengabari lewat telepon. Semoga dua tahun lagi keluarga ku berubah fikiran dan merestui hubungan kita."
Arka memeluk erat tubuh Tiara. Kepekaannya mendeteksi sesuatu yang salah. Arka merasa ada yang sedang Tiara tutupi namun waktu terlalu singkat sehingga terpaksa dia harus pergi.
🌹🌹🌹
Tiara memutuskan pulang, kepalanya mendadak pusing. Setibanya di rumah kedatangannya di sambut sang Ayah yang kala itu sedang sakit.
Pak Sandi yang merupakan Ayah Tiara, senantiasa menerapkan hidup disiplin. Kepulangan Tiara di jam pelajaran tentu membuatnya tidak suka. Mati-matian Pak Sandi membiayai kuliah agar nantinya Tiara mendapatkan perkerjaan bagus.
"Kenapa sudah pulang?" Tanya Pak Sandi seraya menatap tajam.
"Itu Yah. Aku sedang tidak enak badan." Segera saja Pak Sandi memeriksa dahi Tiara. Sedikit demam memang, wajah Tiara pun tampak pucat.
Pak Sandi menyarankan Tiara pergi ke Dokter. Akhir-akhir ini kesehatan Tiara memang sering terganggu. Puteri semata wayangnya itu lebih sering menghabiskan waktu di kamar dengan bermalas-malasan daripada keluar bersama teman-temannya.
Tapi Tiara menolak. Dia lebih dulu tahu kondisi tubuhnya setelah membeli testpack kemarin. Tidak ada yang bisa Pak Sandi lakukan kecuali menerima. Dia tidak pernah memaksakan kehendak meski penerapan hidup disiplin selalu di lakukan untuk menjaga Tiara.
Tiara berjalan melewati Pak Sandi yang masih menatapnya. Sebuah benda putih berbetuk panjang jatuh dari tas kuliahnya. Pak Sandi memungutnya dengan tangan bergetar. Bagaimana tidak. Sebab dia mengenali benda putih berbentuk panjang tersebut.
Tidak mungkin...
"Tunggu Tiara!!!" Panggil Pak Sandi dengan suara lantang. Tiara memutar tubuhnya. Dia mengurungkan niat masuk ke dalam kamar.
"Ada apa Yah?"
"Ini apa?" Memperlihatkan testpack. Sontak Tiara melebarkan matanya. Ekspresi tersebut sudah menunjukkan jawaban atas kekhawatiran Pak Sandi." Ayah sudah memperingatkan mu!!!" Plaaaaaakkkkkk!!!! Tiara terisak sambil tertunduk. Rahasia besar itu tidak bisa terus di tutupi. Lambat laun keluarganya pasti akan tahu.
"Maaf Yah. Maafkan Tiara...."
"Siapa dia!!! Katakan!!!" Tiara hanya menangis terisak, membuat Pak Sandi tidak sabar dan gelap mata. Dengan kasar dia menjambak rambut Tiara lalu memaksa menatapnya." Katakan siapa!!!!" Isakan tangis terdengar kian kencang namun Tiara masih bersikukuh tak menjawab.
"Astaga... Ayah.... Kenapa Tiara." Sang Ibu yang baru saja pulang dari pasar. Langsung meletakkan tas bawaannya untuk menolong Tiara." Lepas Yah. Ini anakmu!!" Ujar Ibu Tiara memohon.
"Dia membawa aib!! Katakan siapa lelaki itu!!!" Pak Sandi tidak juga menghentikan jambakan.
"Aku tidak tahu Yah.."
"Apa katamu!!! Kau tidak tahu!!!"
"Maaf Yah. Tiara tidak tahu.." Pak Sandi melepaskan jambakan namun kata-kata yang di ucapkan semakin membuat hidup Tiara hancur.
"Pergi!! Ayah Tidak mau melihat mu lagi!! Lebih baik Ayah tidak memiliki anak daripada harus membawa aib!!!" Setelah mengucapkan itu, Pak Sandi berlalu pergi. Sang Ibu mengikuti langkah Suaminya untuk merajuk. Namun Pak Sandi bukanlah orang yang mudah menarik kata-katanya.
Sekarang aku benar-benar sendiri...
🌹🌹🌹
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments