NovelToon NovelToon

Ayah Dari Anakku

Prolog

Di luar tampak turun hujan di sertai petir. Tiara dan Arkana terlihat duduk saling bersebelahan. Semua teman-temannya sudah pulang terlebih dahulu.

Arkana sengaja tidak mengantarkan Tiara pulang dengan alasan masih rindu. Keduanya berpacaran hampir satu tahun. Walau tanpa restu Arkana berjanji akan memperjuangkan cinta sampai hubungan mendapatkan restu.

Wajar saja begitu. Arkana terlahir di keluarga berkecukupan. Sang Ayah merupakan pemilik sebuah perusahaan cukup besar di kota tersebut. Tentu saja restu sulit di dapatkan sebab Tiara hanya anak seorang pegawai negeri sipil. Ibu Tiara pedagang kaki lima di pasar. Tiara dapat memasuki universitas terkemuka mengunakan jalur beasiswa. Sudah bisa di pastikan kalau Tiara berasal dari keluarga menengah ke bawah.

"Bagaimana ini? Ayah bisa marah kalau aku pulang terlambat." Eluh Tiara cemas.

Hari ini mereka mengerjakan tugas kuliah di salah satu apartemen milik Arkana. Sempat Tiara berprotes akan hal tersebut. Dia ingin Arkana segera memberitahu di mana letak rumahnya walaupun untuk mengakui hubungan, Tiara tak menurut banyak.

"Sabar saja. Pasti setelah ini redah."

"Kalau saja kamu tadi membawa mobil." Eluh Tiara lagi. Bukan tanpa alasan dirinya cemas karena fikirannya mulai keruh sejak beberapa menit yang lalu.

Hawa dingin yang menusuk juga suasana ruangan dengan lampu redup seakan melengkapi. Ayah Tiara mewanti-wanti untuk menjaga kehormatan juga hal-hal yang menjurus pada sesuatu yang negatif. Sementara saat ini, suasana berubah canggung padahal mereka sudah terbiasa berada di satu ruangan.

Dengan nada pelan Arkana melontarkan permintaan maaf pada Tiara karena hari ini dia membawa motor bukan mobil. Padahal biasanya hampir tidak pernah Arkana membawa kendaraan beroda dua tersebut.

Tak ada yang dapat Tiara katakan kecuali jawaban ya. Arkana tidak pantas di salahkan sebab mobilnya memang sedang berada di bengkel.

Arkana memutar tubuhnya menghadap ke arah Tiara. Televisi tampak menyala namun sejak tadi mereka tidak fokus. Keduanya malah memikirkan debaran jantung yang semakin lama semakin menghantam kuat.

"Jujur saja Tiara. Meskipun kita masih sama-sama ingin melanjutkan kuliah tapi semakin ke sini hubungan terasa semakin hambar."

Sontak Tiara menoleh. Dia tentu terkejut dengan perkataan tersebut. Tiara menebak kalau Arkana merasa bosan pada hubungan mereka dan ingin mengakhirinya.

Namun dengan tegas Arkana menjawab tidak. Maksud dari perkataan hanyalah ungkapan keinginan untuk melakukan sentuhan selain bergandengan tangan.

Arkana menggeser tubuhnya lebih dekat. Tiara refleks menggeser tubuhnya menjauh sehingga membuat Arkana semakin di liputi rasa penasaran. Selama keduanya menjalin kasih, satu kali pun mereka tidak pernah melakukan sentuhan fisik terlalu ekstrim seperti berciuman.

"Lantas bagaimana?"

"Kamu mencintai ku kan?" Dengan cepat jemari Tiara di genggam erat.

"Itu sudah pasti Arka."

"Buktikan kalau begitu."

"Bukti? Ah tidak. Kamu mau meminta hal yang bukan-bukan." Tiara sudah bisa membaca ujung dari pembicaraan sebab dirinya pun cukup terbawa suasana.

"Tidak Tiara, kamu salah. Aku hanya ingin mengungkapkan perasaan dengan berciuman." Menyentuh bibirnya sendiri dengan ujung telunjuk.

"Aku tidak mau Arka. Itu tidak boleh. Perjalanan kita masih panjang. Kamu ingat kan? Aku ingin lulus dan mendapatkan pekerjaan bagus agar aku pantas untukmu dan kau juga harus giat belajar supaya bisa memimpin perusahaan Papamu."

Arkana tidak tampak marah. Dia tersenyum simpul seraya menatap Tiara lembut. Salah satu hal yang membuat Tiara jatuh hati. Bukan hanya tampan, sebab Arkana memiliki sikap lembut dan penuh perhatian. Kepekaannya hampir mencapai sempurna sehingga terkadang Arkana memberikan sesuatu yang di inginkan Tiara tanpa di minta.

"Hanya berciuman Baby. Aku paham dengan keinginan itu. Walaupun nantinya kamu tidak mendapatkan perkerjaan bagus. Kita akan tetap menikah. Aku tidak perduli pada larangan orang tuaku."

Jurus ampuh semakin gencar di lontarkan. Rupanya Arkana tipe lelaki yang tak terima jika di tolak. Apapun keinginan harus terpenuhi bagaimana pun caranya.

Tiara masih berusaha menolak keinginan Arkana dengan cara sehalus mungkin. Dia tentu tidak ingin menyakiti hatinya apalagi sampai membuat Arkana tersinggung. Tapi rupanya itu tidak sesuai harapan. Arkana memperlihatkan wajah tidak suka seraya melontarkan kalimat yang mampu membuat Tiara panik.

"Oh jadi menurut mu itu sesuatu yang buruk. Aku hanya ingin merasakannya. Tapi ya sudah kalau kamu tidak mau." Arka beranjak dari tempatnya. Dia mengambil kunci motor juga jaket. Hal itu membuat Tiara ikut berdiri lalu berjalan menghampirinya." Ku antarkan pulang. Ada satu jas hujan." Imbuhnya memasang wajah kecewa.

"Kamu marah?"

"Tidak Tiara. Mana bisa aku marah. Aku takut fikiran ku semakin keruh kalau kamu tetap berada di sini."

"Terus? Kalau jas hujan hanya satu, kamu bagaimana."

"Asal kamu tidak kehujanan. Aku tidak apa. Ayo."

Tiara meraih pergelangan Arka untuk menahannya pergi. Terlihat, Arka sempat tersenyum sejenak sebab rupanya dirinya masih berusaha mendapatkan keinginannya tadi.

"Jarak rumah cukup jauh. Kamu bisa sakit."

"Aku kuat."

"Ya sudah lakukan. Tapi hanya berciuman lalu selesai."

Arka menoleh dengan senyum mengembang. Akhirnya dia mendapatkan sesuatu yang memang sangat di inginkan. Selama ini Arka menahan diri untuk terlalu memaksa. Jujur saja jika dia pun sangat mencintai Tiara meski untuk menikah, hal itu belum terlintas.

.

.

.

.

.

.

.

.

Dua bulan kemudian...

Hari itu wajah Tiara tampak cemas. Dia berjalan ke setiap sudut kampus untuk mencari keberadaan Arka. Ada hal serius yang harus mereka bicarakan. Namun sampai Tiara kelelahan, Arka tidak juga di jumpai.

Triiiing...

Cepat-cepat Tiara merogoh saku celananya untuk mengambil ponsel. Ada sebuah pesan singkat yang berasal dari Arka.

💌Tunggu aku di depan kampus.

Tiara tersenyum. Tanpa berfikir lagi dia berjalan menuju pintu gerbang. Sudah tampak mobil Arka terparkir. Si pemilik bahkan bersandar pada body mobil, menunggu kedatangan Tiara.

"Kenapa tidak di parkir ke dalam?" Tanya Tiara ingin tahu. Tampak jelas kecemasan terpatri pada wajah Arka.

"Ada sesuatu yang ingin ku bicarakan."

Tiara menghela nafas panjang. Berita yang akan di sampaikan rasanya jauh lebih penting. Saat tangannya akan mengeluarkan sebuah testpack dari tas. Ucapan Arka membuatnya mematung.

"Jam sepuluh nanti aku harus pergi ke Italia." Tiara mengurungkan niatnya mengambil testpack tersebut. Tangannya tampak bergetar.

"Berlibur?" Tanya Tiara ingin tahu. Perasaan terasa mengambang sebab dirinya sadar sosok di hadapannya akan sulit di raih sementara kehamilannya butuh kejelasan.

Arkana menjelaskan jika dirinya harus mengikuti kehendak Papanya untuk melanjutkan kuliah di luar negeri. Tiara masih memakluminya. Keluarga Arkana tentu ingin anak semata wayangnya bisa memimpin perusahaan suatu hari nanti.

Tiara tersenyum canggung. Maniknya terlihat berkaca-kaca merasakan hantaman kuat tengah bergejolak di hati.

Kalau aku bicara soal kehamilan ini sama halnya aku menghancurkan mimpi Arka. Ya Tuhan... Apa yang harus ku lakukan?

Sesaat Tiara terdiam. Dia bingung mengambil keputusan. Setelah memikirkannya matang. Tiara menegakkan pandangannya. Berusaha kuat hanya untuk masa depan Arka, cinta pertamanya.

"Hubungan ini harus berakhir. Em ternyata Papa mengetahuinya."

Berita kepergian Arka sudah sangat menyakitkan. Di tambah lagi dengan pemutusan hubungan secara sepihak.

Suara Tiara terdengar bergetar. Saat dia ingin memperjelas perkataan Arkana barusan. Bagaimana tidak, sebab dirinya pun sangat membutuhkan Arkana untuk menghadapi permasalahan besar yang ada di depan.

"Terpaksa Tiara. Aku takut keluarga ku nekad."

Terdengar pengecut. Tapi di sini Tiara terlalu di butakan dengan cinta. Apalagi benih yang ada di perut tidak seharusnya ikut menanggung akibat. Tiara lebih memikirkan nasib benih di rahimnya. Takut kalau keluarga Arka memaksa untuk mengugurkan kandungan tersebut.

"Hm ya sudah. Sejak awal kita memang tidak pantas bersama. Terimakasih."

"Aku tidak pernah mengatakannya. Aku benar-benar mencintaimu."

"Aku juga. Tapi terkadang cinta tak harus memiliki." Nafas Arka terbuang kasar. Sejujurnya dia sangat menginginkan Tiara tapi keluarganya sudah melontarkan titah untuk mengakhiri hubungan.

"Maafkan aku Tiara. Aku tak dapat berbuat banyak. Hidupku berada di tangan mereka." Tiara mengangguk seraya mengusap sudut pipinya sesekali.

"Tak apa. Ini hanya masalah waktu." Jawab Tiara enteng padahal di perutnya sudah tumbuh benih milik Arka.

"Aku tahu kamu gadis yang kuat. Aku akan terus mengabari lewat telepon. Semoga dua tahun lagi keluarga ku berubah fikiran dan merestui hubungan kita."

Arka memeluk erat tubuh Tiara. Kepekaannya mendeteksi sesuatu yang salah. Arka merasa ada yang sedang Tiara tutupi namun waktu terlalu singkat sehingga terpaksa dia harus pergi.

🌹🌹🌹

Tiara memutuskan pulang, kepalanya mendadak pusing. Setibanya di rumah kedatangannya di sambut sang Ayah yang kala itu sedang sakit.

Pak Sandi yang merupakan Ayah Tiara, senantiasa menerapkan hidup disiplin. Kepulangan Tiara di jam pelajaran tentu membuatnya tidak suka. Mati-matian Pak Sandi membiayai kuliah agar nantinya Tiara mendapatkan perkerjaan bagus.

"Kenapa sudah pulang?" Tanya Pak Sandi seraya menatap tajam.

"Itu Yah. Aku sedang tidak enak badan." Segera saja Pak Sandi memeriksa dahi Tiara. Sedikit demam memang, wajah Tiara pun tampak pucat.

Pak Sandi menyarankan Tiara pergi ke Dokter. Akhir-akhir ini kesehatan Tiara memang sering terganggu. Puteri semata wayangnya itu lebih sering menghabiskan waktu di kamar dengan bermalas-malasan daripada keluar bersama teman-temannya.

Tapi Tiara menolak. Dia lebih dulu tahu kondisi tubuhnya setelah membeli testpack kemarin. Tidak ada yang bisa Pak Sandi lakukan kecuali menerima. Dia tidak pernah memaksakan kehendak meski penerapan hidup disiplin selalu di lakukan untuk menjaga Tiara.

Tiara berjalan melewati Pak Sandi yang masih menatapnya. Sebuah benda putih berbetuk panjang jatuh dari tas kuliahnya. Pak Sandi memungutnya dengan tangan bergetar. Bagaimana tidak. Sebab dia mengenali benda putih berbentuk panjang tersebut.

Tidak mungkin...

"Tunggu Tiara!!!" Panggil Pak Sandi dengan suara lantang. Tiara memutar tubuhnya. Dia mengurungkan niat masuk ke dalam kamar.

"Ada apa Yah?"

"Ini apa?" Memperlihatkan testpack. Sontak Tiara melebarkan matanya. Ekspresi tersebut sudah menunjukkan jawaban atas kekhawatiran Pak Sandi." Ayah sudah memperingatkan mu!!!" Plaaaaaakkkkkk!!!! Tiara terisak sambil tertunduk. Rahasia besar itu tidak bisa terus di tutupi. Lambat laun keluarganya pasti akan tahu.

"Maaf Yah. Maafkan Tiara...."

"Siapa dia!!! Katakan!!!" Tiara hanya menangis terisak, membuat Pak Sandi tidak sabar dan gelap mata. Dengan kasar dia menjambak rambut Tiara lalu memaksa menatapnya." Katakan siapa!!!!" Isakan tangis terdengar kian kencang namun Tiara masih bersikukuh tak menjawab.

"Astaga... Ayah.... Kenapa Tiara." Sang Ibu yang baru saja pulang dari pasar. Langsung meletakkan tas bawaannya untuk menolong Tiara." Lepas Yah. Ini anakmu!!" Ujar Ibu Tiara memohon.

"Dia membawa aib!! Katakan siapa lelaki itu!!!" Pak Sandi tidak juga menghentikan jambakan.

"Aku tidak tahu Yah.."

"Apa katamu!!! Kau tidak tahu!!!"

"Maaf Yah. Tiara tidak tahu.." Pak Sandi melepaskan jambakan namun kata-kata yang di ucapkan semakin membuat hidup Tiara hancur.

"Pergi!! Ayah Tidak mau melihat mu lagi!! Lebih baik Ayah tidak memiliki anak daripada harus membawa aib!!!" Setelah mengucapkan itu, Pak Sandi berlalu pergi. Sang Ibu mengikuti langkah Suaminya untuk merajuk. Namun Pak Sandi bukanlah orang yang mudah menarik kata-katanya.

Sekarang aku benar-benar sendiri...

🌹🌹🌹

Hanya untuk Haikal

Lima tahun kemudian...

Dengan berbekal uang tabungan, Tiara memilih pergi dari rumah walaupun kala itu Sang Ibu tak mengizinkan. Pak Sandi memaksa Tiara untuk mengugurkan kandungan namun tentu saja dirinya tidak mau. Sebuah konsekuensi harus Tiara tanggung. Sekarang dia hidup serba kekurangan bersama Haikal anaknya.

Di sebuah toko Roti Tiara tampak dengan ramah melayani pelanggan. Dia tersenyum seraya mengambil beberapa roti dan meletakkannya ke kotak yang tersedia. Tak ada yang berubah dari tubuhnya. Tiara masih terlihat cantik meski bertahun-tahun lamanya kesulitan membelenggu hidupnya.

"Totalnya satu juta lima puluh empat Kak." Ucap Tiara ramah. Dia memasukkan kotak roti kantung kresek besar lalu menyodorkannya pada pelanggan.

"Ini, kembaliannya ambil saja." Tiara tersenyum ramah dia memasukkan uang ke dalam laci.

"Terimakasih ya Kak. Em memangnya mau ada acara apa?" Tanya Tiara ramah. Pemuda yang membeli roti merupakan salah satu staf di perusahaan yang terletak di seberang jalan.

"Suruhan Bos. Katanya sih pemiliknya mau menjadikan perusahaan ini sebagai kantor pusat." Tiara mengangguk-angguk. Dia cukup mengenal pemuda yang di ketahui bernama Dion.

"Ra sudah jam 10 nih. Jangan ngobrol melulu, kasihan Adikmu."

Sahut Salsa, berusaha menutupi status yang sesungguhnya. Namun Tiara tampak marah. Dia tidak suka saat Salsa menyebut Haikal sebagai Adik.

Dion tampak tertawa kecil. Pembicaraan seperti sekarang seringkali terdengar. Salsa yang merupakan sahabat dekat Tiara ingin menutupi status Tiara yang di rasa sebuah aib.

"Jangan dengarkan Kak Dion. Anak kecil yang sering ke sini itu Adiknya Tiara bukan anaknya."

"Dia anakku hei Salsa. Jangan kau mengarang cerita. Permisi Kak." Tiara mengalungkan tas kecilnya lalu berjalan keluar toko.

"Kak Dion percaya siapa? Lihatlah. Wanita kecil seperti Tiara mana mungkin memiliki anak. Ya kan?"

Tak ada niat buruk. Salsa ingin Tiara segera bisa membuka hati untuk lelaki lain. Bukan maksud Tiara bertahan dengan kesendirian. Apalagi menjadikan Arka sebagai alasan untuk tak menikah sampai sekarang. Namun Tiara tidak mau menambah beban hidup, sebab awan gelap masih mengiringi kehidupannya. Tiara ingin fokus mengurus juga mendidik Haikal, satu-satunya harta berharga baginya.

"Aku lebih percaya pada Tiara. Permisi Salsa." Dion membawa dua kantung kresek besar lalu berjalan keluar toko menuju perusahaan di seberang jalan.

"Duuuuhhh Ra! Kalau begitu terus mana bisa dapat jodoh!" Gerutu Salsa sambil membetulkan posisi roti.

.

.

.

.

Tiara memacu motornya sedikit cepat. Dia tidak ingin Haikal menunggunya terlalu lama. Rutinitas seperti sekarang menjadi kesibukan baru. Haikal mulai bersekolah di sebuah taman kanak-kanak semenjak beberapa bulan lalu.

Haikal menunggu kedatangan Tiara di depan pos satpam. Ada seorang guru tampak menemani Haikal sebab sebagian besar murid sudah pulang. Sambil tersenyum sungkan, Tiara memarkir motornya lalu menghampiri.

Tiara menjelaskan soal keterlambatannya. Sang guru tidak mempermasalahkan hal tersebut. Dia tahu kalau Tiara adalah singel mom yang berusaha membagi waktu.

Sebuah surat pemberitahuan di sodorkan. Tiara mengambilnya dengan sopan sambil tersenyum manis. Tangan kanannya merangkul kedua pundak Haikal erat.

"Terimakasih Bu."

"Sama-sama Ma. Hati-hati ya Haikal."

Sambil melambai si guru berjalan masuk ke area sekolah. Setelah membalas dengan senyuman, Tiara pun mengiring Haikal menuju motor.

"Hari ini Haikal belajar apa saja?" Tanya Tiara seraya memasangkan helm pada Haikal.

"Bermain peran terus menggambar Ma." Jawab Haikal lemas.

"Kenapa wajahmu begitu sayang? Ada yang menjahili Haikal di sekolah? Katakan pada Mama." Tiara duduk di pijakan kaki motor matiknya agar keduanya bisa sejajar.

"Tidak. Mama kan tahu Haikal punya banyak teman."

"Terus kenapa bersedih."

"Tadi Haikal memerankan menjadi seorang Ayah sementara Haikal tidak punya Ayah." Hati Tiara seakan tercabik belati ketika Haikal membahas tentang sosok Ayah. Namun meski begitu, sekalipun Tiara tidak pernah mempengaruhi Haikal untuk membenci sosok tersebut.

Bukan tanpa alasan Tiara merasa kecewa. Apa yang di katakan Arka lima tahun lalu sangat tidak sesuai. Semenjak keduanya berpisah, satu kali pun Arka tak pernah memberikan kabar. Kontaknya tidak bisa di hubungi padahal saat itu Tiara berharap Arka bisa sedikit meringankan beban dengan menghiburnya.

Apa Tiara menyesal? Awalnya seperti itu. Tapi ketika Haikal lahir, rasa sesal seketika menghilang. Tiara sangat menyanyangi Haikal dan berjanji akan merawatnya dengan sepenuh hati.

"Haikal punya Ayah kok."

"Mama selalu berkata itu tapi wujud Ayah tidak pernah ada." Protes Haikal.

"Ayah berkerja sayang. Haikal harus mengerti."

"Berapa lama lagi Ma. Haikal ingin punya Ayah seperti teman-teman." Dengan lembut Tiara memeluk erat tubuh Haikal.

"Sabar sayang. Ayah pasti pulang." Suatu saat kamu akan mengerti kenapa Mama harus berbohong.

"Haikal tidak sabar. Haikal mau punya Ayah."

"Itu kenapa Haikal harus sabar." Tiara menjauhkan tubuhnya. Tampak jelas matanya berkaca-kaca sehingga membuat Haikal merasa menyesal. Meski umurnya masih empat tahun, tapi Haikal seakan bisa memahami beratnya beban hidup yang di pikul Tiara.

"Haikal sabar. Tapi Mama tak boleh menangis. Maafkan aku Ma. Aku hanya ingin punya Ayah."

Ingin rasanya Tiara menangis namun tertahan. Dia tidak ingin membuat Haikal ikut menanggung akibat dari kebodohannya dulu.

"Jangan minta maaf. Kamu tidak bersalah. Mama juga merindukan Ayah tapi kita harus sabar ya." Sedikit senyuman mencoba Tiara suguhkan. Meski ingin rasanya dia menghapus sosok yang di sebut Ayah pada memori otak Haikal.

"Ya Haikal akan sabar."

"Hm kita pergi ke toko roti dulu. Siang nanti kita baru pulang. Haikal mau makan apa? Sekalian kita beli." Tiara berdiri lalu mengangkat tubuh Haikal dan mendudukkannya di jog belakang.

"Mama sudah makan?"

"Belum sayang."

"Mama ingin makan apa?" Ucap Haikal malah bertanya.

"Loh kok malah tanya sama Mama?"

"Mama kan kerja harus banyak makan biar kuat." Tiara terkekeh kecil sambil melajukan motornya.

"Pegangan tangan ya."

"Iya Ma. Terus Mama mau makan apa?" Tanya Haikal mengulang.

"Mama belum lapar."

"Ah bohong."

"Bohong bagaimana?"

"Haikal tidak mau makan kalau begitu."

"Bagaimana kalau ayam crispy?" Lihatlah Arka. Dia anak yang baik dan mulai bisa menjaga ku.

"Ya Ma. Kita makan berdua ya."

"Hm."

Memang Tiara tidak bisa memberikan kehidupan mewah. Gaji yang tergolong kecil membuatnya terpaksa sering mengalah hanya untuk Haikal.

Seluruh kebutuhannya di nomer duakan apalagi dalam hal makanan. Tiara sering tidak sarapan pagi dan baru mengisi perut di jam makan siang. Semua yang di lakukan semata-mata agar Haikal terpenuhi kebutuhannya.

Sambil menunggu pesanannya di buat, Tiara membuka surat pemberitahuan yang di berikan guru Haikal. Nafasnya terbuang kasar ketika pihak sekolah mewajibkan membayar tunggakan biaya pendaftaran sebelum tahun ajaran baru.

Satu juta? Ah dari mana lagi aku mendapatkan uang? Untuk biaya daftar ulang pun belum ada. Kalau berhutang lagi? Aku sungkan pada Salsa.

"Apa yang guru katakan Ma?" Segera saja Tiara melipat kertas lalu memasukkannya ke dalam tas.

"Hanya jadwal pembelajaran sayang." Jawab Tiara mencoba menutupi.

Haikal tersenyum lalu kembali berlarian di sekitar tempat tersebut. Sesekali Tiara terpaksa tersenyum ketika Haikal menatap ke arahnya. Dia benar-benar tidak ingin membuat Haikal ikut terbebani.

Wajah mereka sangat mirip..

Tepat di saat hati Tiara berkata demikian, Haikal tidak sengaja menabrak seseorang. Bergegas saja Tiara berdiri dan menghampiri.

"Astaga sayang hati-hati." Setelah memastikan keadaan Haikal baik-baik saja. Tiara berdiri lalu berniat meminta maaf." Tolong maafkan anak sa...." Ucapannya tertahan di kerongkongan ketika dia sangat mengenal sosok tinggi berjas rapi tersebut.

Arkana...

🌹🌹🌹

Bertemu kembali

Sejak turun dari mobil, mata Arka sudah menangkap sosok Tiara. Perasaannya terasa mengambang sampai-sampai Arka memilih berdiam padahal para relasi tampak menunggu di dalam.

Arka sadar sudah mengingkari janjinya pada Tiara beberapa tahun lalu. Semenjak tinggal di luar negeri, pergaulan Arka berubah bebas. Dia kerapkali bergonta-ganti pasangan. Hal tersebut adalah alasan kenapa nama Tiara terlupakan begitu saja. Apalagi restu tidak juga di dapatkan sehingga Arka memilih tinggal di luar kota untuk menghindar.

Oh Tiara sudah punya anak? Itu berarti aku tidak berdosa. Mungkin Tiara sadar kalau dulu hanyalah cinta monyet..

Begitulah yang terbesit di benak Arka. Dia baru memutuskan turun ketika tahu Tiara bersama seorang anak kecil yaitu Haikal. menurut Arka mereka impas. Dia meninggalkan Tiara begitupun sebaliknya.

"Arka..." Sekuat hati Tiara menguatkan perasaannya agar air mata tidak jatuh. Sungguh ingin dia berteriak nyaring pada gendang telinga Arka untuk menyadarkan akan janji di masa lalu.

"Tidak ku sangka kita bisa bertemu di sini." Arka menjabat tangan Tiara erat bahkan hendak memeluknya. Namun gerakannya tertahan saat Haikal menghalau perbuatan tersebut.

"Jangan sembarang menyentuh Mama ku." Cegah Haikal seraya menatap tidak suka ke arah Arka.

"Oh maaf. Em aku dan Mamamu berteman."

"Tidak Om. Mamaku tak punya teman lelaki." Arka tertawa kecil sambil menatap ke arah Tiara yang masih terpaku.

"Anakmu lucu sekali. Siapa namanya?"

Dia tidak merasa bersalah dan bisa tertawa selepas itu. Apa aku yang terlalu berharap?

"Dia Haikal."

"Hai Haikal. Aku Arka. Em sebentar Tiara. Kenapa wajahnya mirip dengan ku?" Arka kembali menambahkan kalimat yang membuat perasaan Tiara terhantam." Ayahmu pasti sangat tampan." Imbuh Arka lagi.

"Aku tidak...."

"Sayang pesanan kita sudah selesai. Em maaf Arka kami harus pergi."

"Kenapa terburu-buru? Aku hanya meeting sebentar. Kita bisa mengobrol setelah itu."

"Tidak. Aku harus berkerja. Permisi. Ayo sayang." Tiara mengandeng Haikal menuju kasir untuk membayar pesanan mereka. Sengaja dia melewati pintu samping untuk menghindari Arka yang ternyata masih menatapnya.

Aku tinggal di sini untuk menghindari nya. Tapi kita di pertemukan lagi. Ah lega rasanya.. Tiara sudah menikah. Beban hidup ku terasa ringan.

Kepekaan Arka yang dulu, perlahan terkikis oleh kelakuannya sendiri. Seringnya bergonta-ganti pasangan membuatnya kesulitan membedakan mana benar dan mana yang salah. Ajaran keluarganya pun merasuk. Uang bisa menyelesaikan semua, menurutnya.

"Maaf tadi ada teman lama." Ujar Arka menjelaskan. Dia menjabat satu persatu tangan relasi lalu duduk.

"Baik Pak Arka kita mulai."

Meeting pun di mulai. Tidak seperti biasanya fokus Arka teralihkan. Entah kenapa fikirannya tertuju pada Tiara. Parasnya berputar-putar di otak selayaknya yang pernah di rasakan dulu.

Tidak. Kenapa aku malah memikirkan dia? Apa aku masih menyukainya? Ah mana mungkin? Tunangan ku jauh lebih cantik. Jangan membuat ulah Arka. Keluarga mu sudah percaya dan kau tidak boleh merusaknya..

Sekuat hati Arka berusaha melupakan, sosok Tiara bahkan sempat menghilang bertahun-tahun di otaknya. Tapi Arka tidak memahami, kenapa pertemuan singkat tadi membuatnya kembali di liputi kebimbangan. Bukan hanya soal Tiara, tapi kemiripan wajah Haikal pun menimbulkan tanda tanya besar.

Siapa Suami Tiara?

"Pak maaf. Ini ringkasan meeting tadi." Seorang lelaki menyodorkan selembar kertas. Dia merupakan sekertaris nya.

"Hm." Arka membaca setiap kalimat yang di tulis si sekertaris.

"Pak Arka sedang ada masalah?"

"Tidak." Jawab Arka cepat.

"Saya lihat Pak Arka kurang fokus."

"Mungkin terlalu lelah. Kamu tahu kan bagaimana sibuknya aku." Si sekertaris mengangguk setuju. Dia mengakui keuletan Arka dalam mengembangkan perusahaan yang mengakibatkan sebagian waktunya terkikis." Rapikan bagian ini lalu salin dengan rapi. Kita tidak boleh telat menghadiri acara. Papa bisa marah." Arka bergegas berdiri di ikuti si sekertaris menuju perusahaan milik keluarga Arka.

🌹🌹🌹

Sementara Tiara melajukan motornya dengan perasaan kalut. Sungguh dia ingin melupakan sosok Arka dalam hidupnya. Tiara bahkan berencana akan membicarakan fakta sesungguhnya saat Haikal dewasa kelak tanpa merepotkan apalagi sampai memberitahu Arka.

Kenapa dia ada di kota ini? Padahal aku ingin melupakan semuanya dan tidak mau bertemu dengan nya lagi. Bagiku.. Haikal sudah lebih dari cukup. Aku bahagia memiliki nya walaupun kedua orang tuaku tak mengsetujui.

Tiara tidak sadar. Bagaimana dia bisa mudah melupakan Arka kalau Haikal memiliki paras yang sama. Keduanya bak pinang di belah dua, sangat mirip begitupun kepekaan yang mulai tampak pada sikap Haikal.

"Mama kenapa?" Tanya Haikal seraya memeluk erat pinggang Tiara.

"Tidak ada apa-apa sayang."

"Aku tidak suka lelaki tadi. Dia menyentuh Mama sembarangan." Tiara tersenyum simpul untuk menutupi kegelisahannya.

"Beruntung sekali Mama punya anak pemberani seperti kamu."

"Ya. Aku akan melindungi Mama dari apapun sampai Ayah kembali." Hati Tiara semakin bercampur aduk. Entah dia harus senang atau kesal menanggapi pertemuannya dengan Arka tadi.

Ingat Tiara. Ini keputusan mu sendiri. Mungkin saja saat itu Arka mengurungkan niat pergi ke Italia kalau kamu menceritakan semuanya.

Hanya mungkin sebab Tiara merasa sudah mengambil jalan yang benar. Dirinya hanya merasa kecewa atas janji Arka yang tak mengirimkan kabar apapun. Walaupun tidak bisa hadir sebagai Ayah untuk Haikal, paling tidak hadirlah sebagai teman berkeluh kesah. Begitulah pemikiran Tiara.

.

.

Singkat waktu, setibanya di lokasi. Seperti biasa, Haikal bermain di ruang karyawan sambil menunggu Tiara selesai berkerja. Dia tidak tega meninggalkan Haikal sendirian di kontrakan.

Para tetangga terkadang banyak mulut. Mereka kerapkali meledek Arka dan bertanya perihal lokasi Ayahnya sekarang. Tentu saja hal itu membuat Tiara naik pitam sehingga dia melarang Haikal bergaul dengan anak-anak para tetangga nyinyir.

"Kenapa kamu bilang begitu sih Ra. Aku melakukannya agar kamu tidak memikirkan lelaki yang meninggalkan mu." Tiara membuang nafas kasar sambil memakai celemek.

"Tidak ada hubungan Sa. Jangan libatkan anakku. Dia sudah sangat menderita. Kau teman atau bukan sih?" Jawab Tiara ketus.

"Ini untuk kebaikan..."

"Aku tidak berniat punya hubungan lagi! Tujuan hidupku hanya Haikal. Aku ingin membesarkan dia tanpa ada gangguan. Berpacaran, menikah. Aku muak mendengar itu. Kau paham aku tidak membutuhkan mereka! Aku mampu Sa! Aku mampu!"

Salsa terdiam sesaat. Tidak biasanya Tiara terpancing emosi. Salsa sering mendapatkan jawaban candaan ketika dirinya menyuruh Tiara membuka hati untuk yang lain.

"Maaf Ra. Aku tidak bermaksud begitu."

"Hm." Bersamaan dengan itu sebuah mobil pengantar roti datang. Tiara pergi meninggalkan Salsa yang masih menyesal akan ucapannya sendiri." Tumben Pak cepat." Sapa Tiara pada sopir.

"Kebetulan tadi sedang kosong Mbak Ara. Jadi langsung saya kirim." Jawabnya sambil mengeluarkan beberapa kardus berisi roti pesanan Tiara." Rame ya Mbak, masih pagi sudah pesan lagi?" Imbuhnya ramah.

"Perusahaan depan mau ada acara Pak. Tadi rotinya di borong semua."

"Wah nanti dapat bonus dari Bos dong."

"Hahaha. Tidak Pak. Sama saja. Paling kalau lebaran saja dapat THR." Tiara sedikit terhibur dengan obrolan tersebut. Meskipun si sopir berumur 45 tahun. Tapi pembicaraan tersambung dengan baik.

Sementara Sopir mengeluarkan barang. Tiara mengecek satu persatu dan menyamakannya dengan nota yang di bawa. Tiba-tiba telepon berbunyi. Tiara bergegas meraih gagang telepon yang terletak tidak jauh dari tempatnya berdiri.

📞📞📞

"Jollan bakery. Ada yang bisa kami bantu.

"Ini aku Dion.

"Oh Kak Dion. Ada apa?

"Rotinya kurang Ra. Tolong kirim lagi ya.

"Berapa Kak?

"20 kotak lagi. Isinya sama dengan yang tadi ya.

"Hm baik segera ku kirim Kak.

"Aku tunggu.

📞📞📞

Tiara meletakkan gagang telepon sambil melirik ke arah Salsa yang terlihat sibuk.

Seharusnya ada kurir tambahan untuk mengirim barang. Eluhnya dalam hati.

"Ada pesanan lagi Mbak?"

"Ya Pak."

"Urus pesanan itu dulu saja. Bapak juga tidak terburu-buru kok daripada kamu kena semprot."

"Tunggu ya Pak."

Tiara selalu kewalahan kalau terjadi hal seperti sekarang. Salsa hanya bisa menghitung dalam jumlah kecil. Jika laporan di serahkan padanya selalu ada selisih angka sehingga terpaksa Tiara yang menghandle. Gawatnya, Salsa juga tidak bisa menaiki motor. Terkadang ingin rasanya Tiara mengeluh pada si Bos. Tapi dia masih memiliki hati dan berusaha tutup mulut meski itu berarti Tiara harus siap merangkap menjadi apapun.

🌹🌹🌹

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!