Cahaya Untuk Abidzar
Seorang pria tengah duduk bersama keempat temannya di kantin, sambil memakan bakso di sana.
"Zar, elo mau gak nyoba rokok ini?" Eza memberikan sebuah rokok pada Abidzar. Namun, sang empunya masih diam tidak menerimanya.
"Elo ini gimana sih? Abidzar itu anak pak ustadz, mana mungkin dia merokok," sahut Putra sambil mengisap rokoknya.
"Bener tu," sambung Rio yang juga tengah menghisap rokok.
Abidzar terdiam, karena dia bingung harus berbuat apa. Sejujurnya pria itu sangat menginginkan rokok. Namun, ia takut jika sang abah tahu maka habislah dia.
"Gue mau kok," ucap Abidzar yang mengambil rokok tersebut dan mulai menghisapnya.
Pria itu tersenyum, karena merokok itu sangat menyenangkan dan dia lupa kalau sang abah melarangnya melakukan hal itu.
"Gitu dong, jangan jadi bencong!" ucap Eza dan mereka melanjutkan kembali merokok.
Sore hari ...
Abidzar baru saja tiba di rumah dan dia langsung duduk di sofa tanpa mengucapkan salam, pada sang abah dan ummi.
"Assalamualaikum," ucap Toyib dengan sangat lembut.
Abidzar tersenyum kemudian menjawab salam sang abah.
"Wa'alaikumsalam."
Toyib menghampiri sang anak dan remaja itu mencium tangannya, kemudian dia duduk di samping Abidzar.
"Kok pulangnya sore sekali?" tanya Toyib dengan sangat lembut.
"Iya Bah, tadi kumpulan sama teman teman yang lain,'' jawab Abidzar.
Toyib mencium aroma rokok dari mulut Abidzar, karena aroma itu sangat menyengat. Namun, dia tidak mau suudzon pada sang anak dan berpikir positif saja.
'Mungkin dia terkena aroma asap rokok, karena semua teman-temannya merokok,' batin Toyib.
Abidzar merasa takut, karena kalau sang abah tahu dia merokok maka dia akan habis dan tidak akan di izinkan untuk berteman lagi dengan semua sahabatnya.
'Semoga Abah tidak mencurigai ku,' batin Abidzar.
Pria itu tersenyum pada sang abah, begitu juga dengan Toyib. Sampailah tiba umminya Abidzar.
"Assalamualaikum semuanya," ucap Inem dengan sangat lembut.
"Wa'alaikumsalam," jawab Abidzar dan Toyib secara bersamaan.
Inem duduk di samping sang suami, kemudian menatap wajah Abidzar yang terlihat sedang menyembunyikan sesuatu.
"Apa ada masalah?" tanya Inem dengan sangat lembut, dan kedua pria itu sama-sama menggelengkan kepala.
"Alhamdulillah," ucap Inem dengan sangat lega, karena dia takut adanya masalah dalam keluarga kecilnya.
Mereka bertiga bercerita bersama, dan Abidzar berpamitan untuk segera mandi, karena hari sudah semakin sore dan hampir Magrib.
Sesampainya di dalam kamar, Abidzar membuka tas dan mengambil rokok yang di belinya tadi, kemudian langsung menghisap rokok tersebut.
Pria itu tidak takut kalau sang abah sampai tahu dia merokok, sudah di pastikan apa yang akan terjadi.
.
.
.
Di Desa . . .
Seorang gadis berusia 25 tahun, bercadar sedang mendayung sepedanya dengan perlahan. Sebab, dia takut bajunya akan tersangkut.
Gadis mengentikan langkahnya di tengah jalan, saat melihat seekor kucing anggora terdampar tidak sadarkan diri.
"Ya Allah, kucing semahal ini, kenapa di buang?" Cahaya mengambil kucing tersebut dan membawanya.
Cahaya meletakan kucing anggora tersebut di keranjang sepedanya, kemudian melanjutkan kembali perjalanannya menuju rumah. Sebab, dia sudah terlambat mengajar mengaji.
Ya, Cahaya mendirikan rumah untuk anak-anak di desanya mengaji dengannya secara gratis. Namun, mereka masih saja memberikannya uang dan lainnya.
Setelah tiba di rumah, Cahaya langsung mambawa kucing mahal tersebut masuk. Sebab, hewan itu terlihat sangat lemas dan tidak berdaya.
"Assalamualaikum, Ummi, Abah!" ucap Cahaya yang baru saja masuk ke dalam.
"Wa'alaikumsalam," jawab Juminten dengan sangat lembut pada sang anak.
Cahaya langsung mencium tangan sang ibu, kemudian dia menceritakan semuanya tentang kucing mahal tersebut.
"Ya Allah, siapa yang tega membuang kucing semahal ini?" Juminten langsung mengendong kucing itu.
"Sekalian mandiin Ummi, Cahaya mau mengajar mengaji dulu." Cahaya bergegas pergi dari sana.
Sedangkan Juminten langsung memandikan kucing tersebut dengan sangat lembut, seperti anak sendiri.
Cahaya mengajar mengaji bersama sang Abah, dan menyelesaikan tugas itu. Kemudian mereka berdua masuk ke dalam rumah.
"Di mana kucing itu?" tanya Anto.
Karena tadi Cahaya menceritakan tentang kucing yang di temukan di pinggir jalan, pada sang Abah.
"Mungkin bersama ummi, karena tadi Cahaya memberikannya pada ummi," jawab Cahaya sambil terus berjalan.
Sesampainya mereka di dalam kamar utama, terlihat Juminten sedang memberikan makanan kucing, dan mereka berdua langsung menghampiri Juminten.
"Ummi, dia terlihat sangat lapar," ucap Cahaya dengan sangat lembut.
Anto terus-menerus menatap kucing itu, dan dia tahu berapa harga kucing tersebut. Namun, mengapa pemiliknya tega membuangnya begitu saja?
"Kucing ini harganya ratusan juta. Tapi, kenapa sang pemiliknya rela membuangnya?" heran Anto.
Juminten dan Cahaya juga berpikir seperti itu. Namun, mereka tidak terlalu memikirkan karena yang mereka utamakan adalah kucing itu.
"Sudahlah, kalau sang pemiliknya datang kita langsung berikan saja," ucap Juminten dengan sangat lembut.
"Bener itu," tamba Cahaya, karena dia satu pemikiran dengan sang ummi.
Anto tersenyum, karena dia juga berpikir seperti itu. Walaupun mereka harus mengurus kucing tersebut.
.
.
.
Keesokan harinya ...
Pagi ini, Toyib dan Inem di panggil ke kampus Abidzar, karena pria itu membuat kemarin membuat ulah di kampus. Yang mengharuskan kehadiran orang tuanya datang.
"Ya Allah, apa lagi yang Abizar buat," ucap Inem dengan sangat lirih.
Toyib memeluk sang istri, dan terus melajukan mobilnya dengan perlahan menuju kampus sang anak. Walaupun dia kesal namun ia harus menahan rasa kesal itu.
'Abidzar kenapa kamu terus-menerus membuat kesalahan sih?' batin Toyib.
Sesampainya di kampus Abidzar, Toyib dan Inem langsung bergegas pergi menuju ruang dosen dan masuk ke dalam.
Terlihat sang anak ada di sana, dan mereka langsung menghampiri Abidzar kemudian duduk di samping sang anak.
"Kenapa kamu buat masalah lagi?" tanya Toyib sambil menggelengkan kepalanya, karena dia lelah sang anak terus-menerus membuat kesalahan.
"Pak, sebenarnya ... " Dosen menceritakan semua yang terjadi, sehingga Toyib mengelus dadanya.
"Sekarang kita pulang," ucap Toyib dengan sangat pelan.
Toyib bersama Inem pulang juga Abidzar naik mobil, sampai di rumah meraka langsung berjalan masuk ke dalam.
Abidzar duduk di sofa, sedangkan Toyib masuk ke dalam dan mengambil sajadah berserta perlengkapan untuk Shalat.
Toyib tidak mengatakan apapun dan memberikan Abidzar perlengkapan shalat itu, dan pria itu langsung menerima, karena dia tahu mengapa sang abah memberikan itu.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
muhammad hasbi Hasbi
ini tidak ada lanjutan nya lagi ya?
2023-07-11
2
el
ku kira abidzar ini masih SMA, ternyata dah kuliah yaaa
soalnya alur cerita seperti menjelaskan kisah siswa SMA
2023-06-24
1
🌈Rainbow🪂
mampir
2023-06-02
1