Abidzar langsung mengambil perlengkapan shalat dan berganti baju, mengunakan Jubah dan peci, kemudian dia mengerjakan shalat Dzuhur.
Setelah selesai, dia langsung bergegas pergi menuju kamar sang abah untuk meminta maaf atas perlakuan yang memalukan tadi.
Pria itu masuk dengan perlahan sambil mengucap salam. "Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam," jawab Toyib, dengan sangat lembut.
Abidzar mencium tangan sang abah, kemudian duduk di samping pria paru paru itu.
"Maafkan Abidzar, Abah," ucap Abidzar dengan sangat lembut.
Toyib mengangguk dan langsung memeluk sang anak, karena kata maaf itu yang ingin di dengarnya sejak tadi.
"Abah maafkan. Tapi, jangan selalu kamu ulang," jawab Toyib dengan sangat lembut.
"Insyaallah Abah," sahut Abidzar dengan sangat lembut, membuat hati Toyib sejuk.
Karena anak semata wayangnya mau menuruti keinginannya dan tidak membantah sedikitpun, walaupun Abidzar selalu membuat ulah.
'Ya Allah, jadikanlah Abidzar pria yang bertanggung jawab dan beriman. Aamiin,' batin Toyib sambil berdoa.
Toyib sempat frustasi dan melakukan tahajud setiap malam, agar sang putra menuruti keinginannya. Namun, tidak semua itu terkabul, karena dia yakin kalau Abidzar akan berubah seiring berjalannya waktu.
Inem mengintip percakapan anak dan suaminya, sehingga dia berdoa agar keluarga kecilnya selalu di berikan kesehatan dan keselamatan.
"Ya Allah, semoga Abidzar tidak akan mengulangi kesalahannya itu," ucap Inem penuh harapan, agar sang anak menjadi anak yang Sholeh.
Walaupun Abidzar tidak melanggar batas, tetap saja pria itu masih seringkali melakukan kesalahan-kesalahan di kampus. Membuat Toyib dan sang istri selalu mengelus dada.
Satu Minggu kemudian . . .
Abidzar bersama ketiga temannya sedang duduk di bangku, sambil terus memperhatikan sebuah mangga muda yang ada di depan rumah seseorang.
"Zar," panggil Rio sambil memberikan kode pada sang sahabat.
Abidzar langsung tersenyum sambil menghisap rokok Milik. Ya, mereka berempat bolos hanya untuk merokok, di kantin.
"Sepertinya kalian saja! Aku menunggu di sini!" jawab Abidzar, karena dia sedikit takut sang abah akan marah lagi.
"Elo payah," sambung Eza, yang terus-menerus memakan makanannya.
"Elo aja." Tunjuk Abidzar pada Putra yang sejak tadi hanya diam sambil menghisap rokok.
Pria itu langsung tersenyum dan menyusun rencana. Mereka berempat bukan menginginkan buah mangga itu. Namun, meraka dendam pada sang pemilik, karena sudah menuduh mereka mencuri padahal mahasiswa lain yang mencuri.
Keempat pria itu berjalan menuju pohon mangga Pak Asep, salah satu dosen mereka dan langsung merontokkan semua buah mangga itu.
Sang empunya melihat kejadian itu, sehingga dia berlari menuju pohon mangganya.
"Hei, dasar monyet kalian semuanya!" teriak Pak Asep.
"Kabur woi!" Keempat pria itu langsung kabur sebelum tertangkap basah oleh sang pemilik mangga.
"Dasar anak kurang asem!" teriak Pak Asep dengan geram, karena semua buah mangga nya habis.
Tawa keempat pria itu sangat keras, dan mereka kembali ke kantin dan minum kemudian merokok lagi.
"Aduh, gue tadi gak nahan lihat wajah pak Asep yang kesel banget," kekeh Eza sambil mengingat kembali wajah Pak Asep.
"Sama," sahut Rio.
"Gue takut," ucap Abidzar.
Membuat ketiga sahabatnya langsung menoleh dan heran, baru kali ini Abidzar berkata takut, setelah melakukan hal yang kriminal tadi.
"Elo takut?" tanya Putra dengan sangat tidak percaya.
"Iya, kalau pak Asep ngadu sama abah bagaimana? Gue pasti di kirim ke pesantren," jawab Abidzar.
Ya, seminggu yang lalu Toyib berpesan jika sang anak membuat kesalahan sekali lagi, maka dia akan mengirim sang anak ke pesantren milik sahabatnya di kampung.
"Udahlah, lagian itu tadi cuma kerjaan biasa doang. Mana mungkin pak Toyib marah sama elo," sahut Eza sambil meminum soda.
"Iya, bener tu, cuma mangga doang," tambah Rio.
Abidzar tersenyum, walaupun hati kecilnya merasa sangat cemas dan takut akan di kirim ke pesantren oleh sang abah.
30 menit kemudian . . .
Keempat pria itu masih di kantin dan merokok, tanpa rasa takut para orangtuanya akan datang.
Mata Eza membulat sempurna, saat melihat pria yang ada di belakang tubuh Abidzar, membuatnya langsung melemparkan rokok yang ada di tangannya.
"Zar," panggil Eza sambil memberikan kode, agar sang sahabat menoleh. Namun, pria itu sama sekali tidak menggubrisnya dan terus merokok.
Putra dan Rio, sama-sama terkejut melihat siapa yang ada di belakang Abidzar dan sang empunya masih saja tidak mau menolah.
"Zar, lihat---" terputus saat pria yang ada di belakang Abidzar mengibaskan tangan, yang artinya mereka harus pergi.
Dengan kecepatan kilat ketiga pria itu langsung lari dan meninggalkan Abidzar, sehingga pria itu terkejut kemudian menoleh.
"Kalian mau ke mana?" Abidzar menutup mulut sambil melemparkan rokok yang ada di tangannya.
"Untuk apa di buang? Kalau abah sudah melihatnya sejak tadi?" tanya Toyib.
Ya, sejak tadi Toyib mengamati sang anak yang sangat lahap merokok dan juga ketiga teman anaknya itu.
"Abah, semuanya tid---" terputus karena Toyib sudah mengibaskan tangannya dan bergegas pergi dari sana, yang artinya Abidzar harus mengikutinya.
"Ya Allah, bagaimana ini? Aku tidak mau di kirim ke pesantren?" gumam Abidzar sambil terus berjalan mengikuti langkah sang abah.
Rumah Toyib . . .
Abidzar diam sambil mencubit-cubit ujung bajunya, karena dia sangat cemas karena semua ucapan sang abah akan terjadi.
"Ummi, siapkan semua perlengkapan Abidzar, karena dia akan abah kirim ke pesantren Anto," ucap Toyib pada sang istri.
"Baik Abah," jawab Inem sambil bergegas pergi dari sana.
Abidzar terdiam, karena dia sama sekali tidak mau kalau di kirim ke pesantren. Apa lagi dia di sana tidak mengenal siapapun.
"Abah, bisakah Abi tetap di sini?" tanya Abidzar dengan sangat lembut.
Toyib tidak mengatakan apapun, dan dia bergegas pergi dari sana masuk ke dalam kamarnya.
Abidzar Menghela nafas dalam-dalam, karena tahu sang Abah marah padanya. Bahkan, sangat marah karena pria itu sudah tidak mau bicara padanya lagi.
"Apakah ummi bisa membujuk abah?" gumam Abidzar sambil berjalan masuk ke dalam kamarnya.
Pria itu melihat sang ummi tengah mengemasi barang-barangnya, dan dia langsung menghampiri wanita itu dan memeluknya.
"Ummi, apakah bisa membujuk abah?" tanya Abidzar dengan sangat lembut.
"Tidak, karena ummi juga marah padamu. Bukankah kamu tahu abah dan ummi sangat melarang kamu merokok?" jawab Inem dengan pertanyaan.
"Maaf Ummi," ucap Abidzar dengan lirih.
Karena dia harus menerima semua kenyataan bahwa sang abah akan mengirimi ke pesantren, yang ada di desa di orang diri di sana.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Maulana ya_Rohman
konsekwensinya.... bener gak thor🤔🤔🤔🤔🤔🤔
2023-05-31
2