Keesokan harinya ...
Abidzar mengunakan Jubah dan peci berwarna putih, terlihat sangat Sholeh dan tampan. Sebab, biasanya dia jarang berpakaian seperti ini.
"Ya Allah, semoga abah berbuah pikiran dan tidak membawaku ke pesantren," ucap Abidzar sambil berdoa.
Pria itu sangat berharap sang abah tidak jadi membawanya ke pesantren, karena dia tidak mau berjatuhan dari semua sahabatnya dan ummi-nya.
"Abidzar!" panggil Inem sambil memasuki kamar sang anak.
"Saya Ummi," jawab Abidzar dengan sangat lembut, sambil membawa tas sekolah miliknya.
Inem tersenyum karena melihat sang anak sangat tampan dan Sholeh, dan dia langsung menghampiri Abidzar.
"Masya Allah, anak ummi sangat tampan, dan Sholeh," ucap Inem dengan sangat lembut.
Abidzar tersenyum dan mencium tangan Inem dengan sangat lembut, dan langsung menggandeng tangan wanita itu berjalan ke luar.
"Ummi, apa abah tidak berubah pikiran?" tanya Abidzar dengan penuh harapan, kalau sang abah tidak jadi mengirimnya ke pesantren.
"Jawabannya kamu sudah tahu," jawab Inem dengan sangat lembut.
Abidzar menghela nafas panjang, karena harapannya sudah musnah dan harus tetap ke pesantren, terpisah dari semua temannya.
Setibanya mereka di ruang tamu, Toyib langsung mengambil ponsel Abidzar dari tangan sang anak.
"Loh, kenapa di ambil Abah?" tanya Abidzar dengan sangat heran.
"Abidzar, di pesantren tidak ada santri yang mengunakan ponsel," jawab Toyib sambil mematikan ponsel sang anak.
"Hah? Lalu, bagaimana cara Abidzar menelpon Abah dan Ummi?" tanya Abidzar dengan sangat lirih.
"Nak, setelah sampai di sana pak Ustadz akan menjelaskan semua padamu apa yang boleh dan tidak," jawab Inem dengan sangat lembut, agar sang anak bisa mengerti.
Abidzar merasa sangat sedih, karena dia sudah kehilangan semua. Bukan hanya teman, ponselnya juga ikut di ambil oleh sang abah.
"Ayo!" Toyib bergegas pergi dari sana, sambil membawa koper milik Abidzar masuk ke dalam mobil.
Setelah semua masuk ke dalam, Toyib mulai mengemudikan mobil dengan perlahan menuju kampung halaman sang sahabat, yang mendirikan pondok pesantren bersamanya.
Jarak ke kampung dari rumahnya mencapai empat jam perjalanan, dan tidak mungkin Abidzar kabur pulang ke rumah. Sebab, jarak nya sangat jauh.
'Hatiku sangat hancur berkeping-keping, karena tidak pernah aku merasa sedih seperti ini,' batin Abidzar dengan lirih.
Toyib sengaja memberikan Abidzar Jubah, karena sesampainya mereka di sana akan ada acara pernikahan anak sahabatnya.
'Semoga mereka bisa menjadi pasangan yang rukun,' batin Toyib.
Di Desa . . .
Seorang wanita yang sedang menggunakan makeup menangis tersedu-sedu, karena dia tidak ingin di jodohkan oleh sang Abi dengan pria yang belum di kenalnya.
"Cahaya, kamu jangan! Menangis lagi, karena sebentar lagi kamu harus mengunakan cadar," ucap Fatimah dengan sangat lembut.
"Fatimah, apa yang harus aku lakukan? Karena hari ini aku akan menikah, dengan pria yang sama sekali tidak aku kenal,' ucap Cahaya dengan lirih.
"Sabarlah, Abi tidak akan menikahkan mu dengan pria jahat. Pasti, Abi sudah menyiapkan pasangan yang sangat baik untukmu," sahut Fatimah dengan sangat lembut.
Cahaya berhenti menangis, dan menghapus air mata kemudian dia mengunakan cadarnya. Gadis itu duduk di bibir ranjang sambil menunggu mempelai pria datang dan melakukan ijab Kabul.
'Ya Allah, semoga calon imam yang di pilih Abi untuk Cahaya pria yang Sholeh dan taat pada agama,' batin Cahaya sambil berdoa.
.
.
.
Setibanya Abidzar dan Ummi Abah nya, terlihat rumah Pak Ustadz Anto sangat ramai seperti akan ada acara di sana.
"Abah, apa ada acara di sini?" tanya Abidzar dengan sangat heran, dan terus menatap ke arah janur kuning melengkung.
"Iya, akan ada pernikahan anak Ustadz Anto," jawab Toyib sambil menurunkan barang-barang.
"Oh, siapa suaminya?" tanya Abidzar sambil melihat sang Ummi membawa keranjang berisi seperangkat alat Shalat.
"Kamu," jawab Toyib sambil membawa kotak kecil yang berisikan kalung emas.
"Oh," gumam Abidzar sambil berjalan masuk. Namun, dia langsung menghentikan langkahnya.
'Tunggu? Bukankah Abah tadi mengatakan aku calon mempelai prianya?' batin Abidzar.
"Maksudnya Abah, pengantinnya adalah Abidzar?" tanya Abidzar sambil menunjuk dirinya, dan sang Abah menganggukkan kepala.
"Apa maksudnya, Abah?" tanya Abidzar sambil berjalan masuk bersama kedua orang tuanya.
Toyib tidak menjawab, karena semua keputusan yang di ambilnya tidak akan bisa berubah.
Abidzar terdiam dan berjalan dengan perlahan, karena melihat semua para Ustadz ada di sana.
"Assalamualaikum," ucap Toyib dan keluarganya secara bersamaan.
"Wa'alaikumsalam!" jawab semua orang yang ada di sana dengan serempak.
Anto langsung memeluk Toyib, sahabat yang sudah lama sekali tidak di temui, dan matanya melirik ke arah pria yang sangat tampan mengenakan Jubah.
"Masya Allah, anak mu sangat tampan dan Sholeh," ucap Anto dengan sangat lembut.
Abidzar tersenyum dan mencium tangan Anto dengan sangat lembut dan sopan, kemudian dia mencium tangan semua yang ada di sana.
"Mas Anto, di mana para wanita?" tanya Inem, karena dia tidak melihat adanya wanita di ruangan itu.
"Di dalam kamar, kamu masuk saja," jawab Anto.
Inem bergegas pergi dari sana, karena dia merasa tidak nyaman kalau semua orang di sana pria semua.
"Mari duduk, pasti kalian lelah." Anto membawa calon menantunya duduk di sampingnya, sedang Toyib duduk dengan para sahabatnya yang lain.
.
.
.
Imen mengetuk pintu kamar yang sudah pasti itu adalah kamar pengantin. Sebab, banyaknya hiasan bunga dan lainnya di depan pintu kamar.
Tak berselang lama akhirnya pintu terbuka, dan Juminten yang membuka pintu tersebut.
"Juminten!"
"Inem!"
Kedua wanita itu langsung berpelukan dengan penuh haru, karena sudah beberapa tahun terakhir tidak bertemu.
"Hei, ayo masuk ke dalam. Lihat menantu mu," ucap Juminten dengan sangat lembut.
"Terimakasih, ayo." Mereka berdua masuk ke dalam dan melihat calon pengantin sedang duduk.
"Assalamualaikum Neng Cahaya," ucap Inem dengan sangat lembut.
"Wa'alaikumsalam Bu," jawab Cahaya sambil mencium tangan calon mertuanya itu.
"Masya Allah, anak kamu Sholeha sekali," puji Inem dan Cahaya tersipu malu. Namun, semua orang tidak bisa melihatnya karena dia menggunakan cadar.
"Cahaya, dia adalah calon mertua mu," ucap Juminten.
Cahaya terkejut, karena dia sudah lama mengenal keluarga Inem dan wanita itu hanya memiliki satu anak saja yaitu Abidzar. Pria yang selalu membuat onar.
'Ya Allah, hilang sudah impian hamba memiliki suami dewasa,' batin Cahaya.
Cahaya diam sambil mengingat pertemuan terakhir kalinya dengan Abidzar, sewaktu pria itu masih SD. Namun, dia tidak tahu wajah calon suaminya itu. Sebab, Cahaya tidak boleh melihat wajah pria secara langsung.
"Cahaya, ini kalung dari Ummi dan Abah untuk kamu," ucap Inem dengan sangat lembut, sambil memberikan kotak kecil yang di bawa Toyib tadi.
"Terimakasih Ummi," jawab Cahaya dengan sangat lembut sambil menerima kalung tersebut.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Sulaiman Efendy
PASTI SI SUAMI CAHAYA SI ABIZAR
2023-12-05
1
Sulaiman Efendy
SIAPA SURUH LO BANDEL DN GK NURUT PERINTAH & LARANGAN ORG TUA, LO MLH TURUTI AJAKN TEMAN2 SETAN LO..
BRGAULAH DGN TEMAN2 YG MMBAWA LO PADA KBAIKAN.. BUKAN KESESATAN..
2023-12-05
1
Isna Wati
berangkat ke pesantren bukan nya suruh ngaji malah di suruh nikah gimana ceritanya sih thor lanjut
2023-06-01
3