Abidzar duduk di hadapan Anto, karena dia sedang menghafal ijab Kabul yang akan di lakukan nanti. Sebab, dia tidak pernah belajar dan baru kali ini di hari pernikahannya.
"Alhamdulillah saya sudah ingat, Pak," ucap Abidzar dengan keringat yang membasahi seluruh tubuhnya.
"Alhamdulillah, bisa kita mulai?" tanya Anto pada semua orang yang ada di sana.
"Bisa!" jawab semuanya dengan serempak.
"Alhamdulillah, sekarang jabat tangan saya," ucap Anto.
Abidzar deg-degan dan menjabat tangan calon mertuanya itu, sambil melirik sang ayah yang ada di sampingnya.
"Bismillahirrahmanirrahim," Anto dan Abidzar berdoa agar ijab Kabul ini akan berjalan lancar, tanpa adanya halangan sedikitpun.
Setelah Abidzar membaca Alfatihah dan Sholawat nabi, mulailah Anto menatap wajah Abidzar dengan sangat dalam.
"Abidzar Maheswari," ucap Anto.
"Saya Pak," jawab Abidzar yang menjabat tangan calon mertuanya itu.
"Abidzar Maheswari Bin Toyib Maheswari, saya nikah, 'kan dan kawin, 'kan engkau dengan putri saya, Cahaya Aisha Binti Anto Mahendra, dengan maskawin seperangkat alat shalat dibayar tunai!"
Hening.
Abidzar hanya diam, dan keringat yang membasahi tangannya kemudian semua orang di sana was-was melihat pria itu hanya diam.
Hingga Abidzar menarik nafas dalam-dalam, dan mengucapkan ijab Kabul dengan sangat lancar.
"Saya terima nikah dan kawinnya, Cahaya Aisha Binti Anto Mahendra dengan maskawin tersebut dibayar tunai!"
"Bagaimana? Para saksi?" tanya Pak penghulu yang ada di hadapan Abidzar.
"Sah!" jawab semuanya dengan serempak.
"Alhamdulillah."
Semua orang yang ada di sana langsung membaca doa, dan Abidzar terdiam karena memikirkan bagaimana nasibnya selanjutnya yang masih remaja harus menikah wanita dewasa.
Di dalam kamar ...
Semua wanita yang ada di dalam membaca doa bersama, dan Cahaya menangis tersedu-sedu, sambil memeluk sang ibu.
"Cahaya, mengapa menangis?" tanya Inem pada sang menantu.
Cahaya melepaskan pelukannya dari sang ibu, kemudian memeluk ibu mertuanya sama seperti dia memeluk ibu kandungnya.
"Nak, kamu sekarang manjadi anak Ummi sama seperti suamimu itu," ucap Inem dengan sangat lembut.
"Iya Ummi," jawab Cahaya dengan sangat lembut.
Fatimah terharu sehingga dia juga ikut menangis, dan memeluk sang bibi Juminten yang ada di sampingnya.
.
.
.
"Alhamdulillah semua berjalan dengan lancar," ucap Anto sambil menatap kepergian semua orang yang hadir tadi.
"Alhamdulillah Mas," sahut Toyib.
Abidzar masih diam, karena seingatnya dulu Cahaya lebih dewasa darinya dan dia juga belum pernah melihat wajah gadis itu.
'Bagaimana ini? Tiba-tiba saja aku menjadi suami, di umurku yang masih 21 tahun,' batin Abidzar sambil terus berpikir.
Langkah apa yang selanjutnya akan di ambil, karena dia datang ke pesantren untuk belajar dan sekarang malah menjadi suami yang masih bocil.
"Abidzar seperti dia tidak sabar untuk melihat istrinya," goda Toyib pada sang anak, dan Anto langsung bangun.
"Nak, ayo ikut Abi menemui istrimu." Anto manarik tangan Abidzar dan berjalan menuju kamar pengantin.
Sedangkan Toyib, memilih berkeliling di sekitar pondok yang sudah sangat lama tidak ia kunjungi.
Anto mengetuk-ngetuk pintu kamar pengantin dan pintu terbuka, Fatimah yang membuka pintu kamar.
"Assalamualaikum," ucap Anto.
"Wa'alaikumsalam, Paman," jawab Fatimah dengan sopan.
Anto masuk ke dalam, dan mengajak semua ke luar dari dalam kamar, karena mereka ingin pasangan baru itu berkenalan.
Kini tinggallah Abidzar dan Cahaya berdua di dalam kamar yang berhiaskan bunga, di setiap sudut kamar.
Hening.
Keduanya hanya diam dalam pikiran masing-masing, karena mereka tidak tahu harus berbuat apa dan bicara apa! Karena, mereka berdua sama-sama canggung.
'Cahaya, dia adalah suamimu kamu harus melayaninya dengan baik,' batin Cahaya.
Dengan keberanian Cahaya menatap wajah Abidzar untuk yang pertama kalinya, dan dia sangat mengangumi wajah sang suami.
'Masya Allah, suamiku sangat tampan, walaupun wajahnya masih terlalu muda,' batin Cahaya.
"Assalamualaikum suamiku," ucap Cahaya dengan sangat bergetar hebat, karena ini kali pertamanya memanggil pria dan menatap wajah pria.
Abidzar langsung menoleh dan menatap bola mata Cahaya, karena hanya mata gadis itu yang terlihat.
"Wa'alaikumsalam," jawab Abidzar dengan sangat lembut.
"Apa boleh aku melihat wajahmu?" tanya Abidzar, karena dia sangat penasaran ingin melihat wajah sang istri.
"Boleh," jawab Cahaya dengan sangat lembut.
Abidzar tersenyum, kemudian dengan perlahan membuka cadar Cahaya dan sangat terpana akan kecantikan sang istri.
'Masya Allah, cantiknya istriku. Bahkan, wajahnya masih sangat muda,' batin Abidzar.
Keduanya hanya saling bertatapan karena masih merasa canggung. Sebab, pertemuan kali ini mereka menjadi sepasang suami-istri.
"Maafkan abah, karena sudah menjodohkan kita dan Mbak memiliki suami yang masih muda," ucap Abidzar dengan sangat lirih.
Karena dia berpikir tidak mungkin dia bisa menjadi suaminya yang baik untuk Cahaya, karena umurnya masih sangat muda dan jauh berbeda dengan gadis itu.
"Insyaallah, kalau kamu bersungguh-sungguh ingin menjadi suami yang baik, pasti Allah akan mengabulkan hal itu," ucap Cahaya dengan sangat lembut.
Abidzar tersenyum, karena dia senang melihat wanita yang sangat Shalihah menjadi istrinya. Walaupun mereka belum saling mengenal satu sama lainnya dengan dalam.
.
.
.
Inem dan Juminten bercerita bersama sambil membuka kotak hantaran dari Inem, karena wanita itu akan kembali sore hari nanti.
"Inem, setelah sampai di sana jangan lupa untuk mengabari kami," ucap Juminten dengan sangat lembut.
"Insyaallah," jawab Inem sambil tersenyum manis pada sahabatnya itu.
"Bibi, jangan lupa sering-seringlah ke mari," ucap Fatimah, karena dia sangat merindukan wanita itu.
"Insyaallah Fatimah, gadis kecil ku. Jika aku memilih putra dua, sudah pasti akan aku jodohkan denganmu," ucap Inem sambil mengelus-elus kepala Fatimah.
Membuat gadis itu tersipu malu, dan mereka kembali membuka semua barang pemberian dari Inem.
Sedangkan Anto dan Toyib, mereka duduk di taman sambil menatap ke arah semua santri yang ada di sana sedang memotong rumput.
"Mas, jika anakku salah jangan sungkan-sungkan untuk menegurnya, karena sekarang dia juga anakmu," ucap Toyib dengan sangat lembut.
Anto tersenyum, karena sang sahabat terlihat sangat mengkhawatirkan anak yang sudah dewasa. Bahkan sudah menikah dengan anaknya.
"Tenang saja! Aku akan selalu menegur anak kita, kalau dia salah," jawab Anto dengan sangat bergembira.
"Terimakasih banyak, kamu tahu bukan Mas, aku menikahkan mereka karena Abidzar merokok," ucap Toyib dengan sangat lembut.
Anto tersenyum karena dia merasa lucu, kalau Abidzar menikah gara-gara ketahuan merokok oleh Toyib.
"Insyaallah, anakku juga akan memberikannya pelajaran agar bisa berjalan di jalan Allah," ucap Anto sambil tersenyum manis.
"Aamiin," jawab Toyib.
Toyib tahu anak Anto sangat pandai dalam agama Islam, sebab itulah dia menikahkan Abidzar dan anak sahabatnya. Walaupun lebih tua dari umur anaknya.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
rhy_vt🌹
aq nunggu malam pertama nya min🤭🤭😜😜😜😜
2023-06-01
3