Kata Hati.
Kana duduk di depan seorang pria lajang yang tampan tapi dingin juga terkesan angkuh. Setahu Kana, pria itu berprofesi sebagai dokter bedah yang hidup sendirian di sebuah apartemennya. Namanya Arif, begitu lah yang Kana dengar ketika mereka saling berjabat tangan beberapa menit lalu.
“Saya akan memberikan kamu gaji sekian.” Arif memberikan selembar kertas berserta daftar pekerjaan yang akan dilakukan Kana sebagai ART-nya.
Kana membacanya dengan seksama kemudian ia mengangkat tangannya. “Boleh saya bertanya, Pak?”
“Silakan.”
“Saya nggak perlu menginap disini, kan?”
“Ya. Kamu hanya perlu datang pagi, mengerjakan pekerjaanmu sampai selesai. Setelah itu kamu bisa pulang.”
“Apa saya harus membersikan apartemen Bapak setiap hari?” tanya Kana. Sebuah pertanyaan yang membuat Arif menaikkan sebelah alis matanya.
“Apakah kamu harus makan setiap hari?” Arif memberikan pertanyaan balik.
“Iya, Pak. Karena setiap hari saya lapar.” Jawab Kana dengan polosnya.
“Begitu pun dengan debu, setiap hari mereka pasti ada. Jadi setiap hari kamu harus datang bebersih. Itu sebabnya saya mempekerjakan ART. Ngerti?”
“Iya, Pak. Maaf, saya hanya bertanya. Soalnya, saya lihat, sepertinya Bapak tinggal sendirian, jadi… baik Pak, saya akan kerja dengan giat setiap hari!” Kana mengubah kalimatnya begitu menyadari perubahan ekspresi calon majikannya.
“Apa ada lagi yang mau kamu tanyakan? Soal gaji yang saya berikan, mungkin?”
“Kerjaan saya hanya, beberers, bebersih, nyuci baju sama nyetrika doang, kan, Pak?”
“Ya.”
“Kalau begitu, segini sudah cukup, Pak.” jawab Kana dengan mantap.
Arif mengerutkan keningnya sedikit. Biasanya ART-ART sebelumnya, setiap kali ditanya pertanyaan yang sama, mereka selalu menawar untuk dinaikkan seratus atau dua ratus lagi dengan alasan macam-macam. Tapi, Kana cukup kooperatif rupanya.
“Oke. Kalau begitu, semua aturan ada di kertas itu. Baca baik-baik. Jika ada yang mau kamu tanyakan, bisa kamu tanya lewat nomer ponsel saya disitu.”
“Baik Pak.” jawab Kana.
“Ini kunci apartemen saya.”
“Lho, saya mulai kerja hari ini, Pak?” Kana bertanya dengan ekspresi bingung.
“Memangnya kamu pikir kapan? Habis tahun baru masehi?”
“Saya pikir besok.”
“Memanya hari ini kamu belum bisa mulai? Bukannya kamu bilang kamu sedang tidak bekerja dimana pun.”
“Iya, sih, tapi… saya takut kalo langsung sendirian ditinggal tanpa pengawasan. Takut ada yang salah.” Jawab Kana yang lagi-lagi begitu apa adanya hingga membuat Arif kini menaikkan kedua alis matanya.
“Usiamu benar sudah 25 tahun, kan?”
“Benar dong, Pak. Kan tadi Bapak sudah lihat KTP saya. Itu KTP asli Pak, saya, mah, nggak punya uang untuk bikin yang nipu-nipu.”
“Bukan itu maksud saya.” Arif menarik napas. “Usia 25 tahun saya rasa sudah cukup bertanggung jawab dan bisa memilih juga memilah mana yang sekiranya bisa membuatmu dalam masalah atau tidak.”
Kana mengangguk pelan.
“Gunakan otakmu dan jadikan peraturan yang saya tulis sebagai panduan. Saya bukan hanya butuh ART yang cekatan dan resik, tapi juga harus inisiatif. Ngerti?”
“Ngerti Pak.” Kana mengangguk. Kemudian ia mengulurkan tangan untuk mengambil kunci apartemen yang barusan diletakkan di atas meja.
“Ada lagi yang mau kau tanyakan sebelum saya berangkat kerja.”
“Untuk sekarang, saya akan baca dulu Pak, peraturan-peraturannya. Kalau ada pertanyaan susulan, boleh ya Pak saya sms Bapak.”
“SMS? Kamu bisa pakai jaringan modem disini. Password-nya sudah saya tulis.”
“Anu, Pak.” Kana mengeluarkan benda kotak kecil dan jadul. “Hape saya, hape jaman dinosaurus, belom bisa pake internet. Bisanya buat nelpon sama sms aja.” Cengiran menghiasi wajah polos tanpa riasan.
Arif menghela napas. Ada tersebit rasa prihatin melihat bagaimana anak muda seusia Kana masih bertahan dengan elektronik jadul seperti itu, disaat semua orang seusianya sudah berlomba untuk menggunakan smart phone.
“Baiklah, tapi saya tidak menanggung biaya pengeluaran pulsa yang kamu pakai untuk menghubungi saya.”
“Tenang, Pak. Saya pakai paket nelpon dan sms gratis kesemua operator.” Kana tersenyum dengan bangga memberitahukan paket yang dia gunakan.
“Baiklah.” Arif berdiri seraya menengok jam tangannya. “Saya harus berangkat sekarang. Ingat, sebelum pulang, pastikan lampu ruang tengah menyala, dan semua tirai di tutup.”
“Baik Pak.” Kana ikut berdiri, ia mengekor Arif menuju pintu.
“Oh, satu lagi.” Arif tiba-tiba berbalik, sampai Kana yang tepat di belakangnya nyaris jatuh karena saking terkejutnya. Refleks Arif menangkap tangan Kana, menahan tubuh gadis itu agar tidak jatuh yang bisa membuat tulang ekornya kemungkinan cidera karena kesalahan kecil.
“Hei, hati-hati!” Arif menarik Kana hingga tubuh Kana yang tidak setinggi Arif kembali berdiri tegak. “Tulang ekormu bisa cidera. Jangan terlalu dekat berjalan ketika di belakang seseorang. Ngerti?”
“I-iya Pak.”
Arif kembali menghela napas. Gadis ini belum juga mulai bekerja, tapi sudah berkali-kali membuatku menghela napas.
“Satu lagi, jangan panggil saya Bapak, atau Pak. Saya nggak suka dengarnya.”
“Jadi saya harus panggil apa?” tanya Kana. Gadis menatap polos majikannya.
“Panggil saya Dokter. Dokter Arif.”
“Oh. Baik Pak dokter… Baik Dokter… Dokter Arip.”
Kontan kedua mata Arif melebar juga kedua alis matanya yang bergerak naik.
“Arif. Pakai F. Bukan Arip. A-R-I-F. Ngerti?”
“Eh… iya, ngerti Pa-eh, Dok, saya ngerti.”
Arif menggeleng seraya mendengkus. Oh astaga, sekarang aku malah mendengkus.
.
.
.
Sepergian Arif dari apartemennya yang dipercayakan pada gadis yang berasal dari kampung kecil di sebuah desa, Kana duduk melantai, bersandar pada badan sofa yang berbentuk seperti huruf L besar.
“Oke, ayo kita baca apa saja yang Dokter Arip tulis.” kata Kana pada dirinya sendiri.
Satu per satu ia membaca poin-poin peraturan yang ditulis oleh Arif.
Tak lama kemudian ponsel jadulnya berdering dengan ringtone khasnya. Nama ibu tertera pada layar kuning kecil itu.
“Ya, Bu. Baik, kok, agak sinis sih, tapi baik. Dia dokter. Tapi Kana nggak tau dia dokter apa. Iya, mulai kerja hari ini, tapi sekarang Kana lagi baca peraturan-peraturan yang boleh dan nggak boleh Kana lakukan di sini. Iya, Bu, Kana akan hati-hati. Doakan Kana, ya, Bu. Iya.”
Tut!
Setelah perbincangan singkat antara anak dan ibu, Kana kembali melanjutkan membaca peraturan berikutnya yang membuatnya harus membaca ulang dua kali.
“Mencuci pakaian harus dipisahkan sesuai warna? Hah? Putih dengan putih. Hitam dengan hitam. Pakaian batik jangan menggunakan mesin cuci tapi cukup dikucek saja. Lalu bagaimana dengan pakaian warna merah, kuning, biru, ungu, hijau? Apa harus dipisah-pisah juga?”
Kana langsung menandai poin tersebut untuk ditanyakan nanti setelah dia selesai membaca semua peraturan.
Poin selanjutnya kembali membuatnya mengerutkan dahi.
“Dilarang masuk ke dalam kamar utama.” Kana menggosok hidungnya ketika merasa bingung. “Lalu gimana aku bisa bersihin dan beresin kamarnya? Memang kamarnya anti debu, ya? Oke, tandain!”
Setelah membaca keseluruhan peraturan dan tidak ada lagi yang perlu ditandai untuk ditanyakan pada Arif. Kana bangkit berdiri, dia berkeliling apartemen untuk membuatnya familier dengan keadaan dan tempat-tempat penyimpanan alat-alat kebersihan dan benda-benda sebelum ia mulai bekerja. Ia bahkan melihat ke dalam setiap lemari penyimpanan di dapur untuk mengenal situasi di dapur agar memudahkannya untuk mencari ini dan itu, untuk menyimpan ini dan itu.
Kana cukup teliti meski ia terlihat rapuh dan sembrono.
.
.
.
“Siang, Dok.” Suster asistennya menyapa ketika Arif datang dan masuk ke dalam ruangannya.
“Siang.” Jawab Arif seraya meletakkan ponsel dan tasnya di atas meja kerjanya.
“Lesu amat, Dok. Memang belum dapat juga ART-nya?” tanya si suster sambil memberikan berkas pasien.
“Sudah, pagi ini dia sudah datang dan hari ini dia mulai langsung kerja. Tapi… huft.”
“Wah, ada tapinya, kenapa, Dok? Orang tua lagi yang datang?” tanya suster Mira, suster asisten yang sudah seperti kakaknya sendiri saking seniornya suster Mira.
“Bukan.” Arif menggeleng. “Masih cukup muda, tapi… apa ya, saya merasa dia akan bekerja menyebalkan dan sembrono.”
“Kalau begitu kenapa diterima, Dok?”
“Entah lah, meski begitu, dia terlihat cukup…”
“Cantik?”
“Hei!”
“Hehehe, canda, Dok.”
“Sudah lah, kenapa jadi membahas ART saya. Bagaimana dengan pasien yang dari ICU kemarin, apa sudah dipindah ke perawatan?”
“Sudah, Dok. Keadaannya juga berangsur baik.”
“Oke, ada jadwal kunjungan hari ini, kan?” tanya Arif sambil membaca berkas-berkas pasien baru.
“Iya, Dok. Nanti jam empat sore.”
Arif mengangguk.
“Oh ya, Dok. Sebenarnya tadi ada yang nyariin Dokter.” Kata Suster itu.
“Siapa? Pasien?”
Suster itu menggeleng. “Orangnya cantik banget, Dok, seperti artis… duh siapa itu nama artisnya, yang main film Sayap-Sayap bareng Nicolas Saputra. Oh, Ariel Tatum. Iya benaran deh, Dok. Tadi mirip sama Ariel Tatum.”
Seketika gerakan tangan Arif yang sedang membalik halaman berkas pasien terhenti. Matanya tidak lagi fokus membaca, meski wajahnya tetap mengarah pada berkas. Tenggorokannya tiba-tiba kering seperti padang pasir yang gersang tanpa oasis.
“Lalu… ehem, kemana dia?”
“Nggak tau, Dok. Kayaknya tadi nunggu cukup lama di kursi tunggu, tapi sekarang nggak keliahatan lagi. Mungkin sudah pulang, Dok. Dia dateng cukup pagi, Dok.”
Arif mengangguk, lalu meneruskan pergerakan tangannya.
“Ya, sudah biarkan saja. Katakan padanya, kalau dia datang lagi, minta dia untuk buat janji dulu. Jangan sembarangan bertemu pada jam kerja, karena saya ada pasien-pasien yang harus saya utamakan.” Kata Arif dengan nada suaranya yang berubah menjadi dingin dan tegas sampai membuat si suster senior jadi agak tertegun.
“Ngerti?”
“B-baik Dok.”
.
.
.
Bersambung ya~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Defi
semoga gak ikutan darah tinggi ya bisa bahaya
2023-10-07
0
Defi
teope deh ya Kana 😂🤣
2023-10-07
0
Defi
yang satu bawaannya tarek urat mulu dan satu lagi polos 😂
2023-10-07
0