Arif paling tidak suka menjawab panggilan telepon dari nomor-nomor yang tidak dia kenal, karena itu artinya orang yang menelepon adalah orang-orang asing yang kemungkinan besar akan melakukan penipuan dan juga terkadang adalah telepon dari agen-agen asuransi yang terkadang menawarkan asuransi mereka dengan memaksa. Arif sangat tidak menyukai menjawab telepon semacam itu.
Dan dari tadi, ponselnya terus saja bergetar, menampilkan sederet angka asing pada layar sentuh ponselnya. Dan si penelepon sepertinya tidak tahu bagaimana cara untuk berhenti. Pantang menyerah sampai benar-benar membuat Arif terganggu.
"Sus, sebentar, saya sepertinya harus jawab telepon dulu." kata Arif setelah mereka keluar dari kamar perawatan kelas 2 setelah melakukan visit dengan dokter-dokter koas lainnya. Dan masih ada empat pasien lagi yang harus dia kunjungi.
"Baik, Dok." jawab Suster Mira.
Arif menjauh sedikit dari suster Mira dan dokter-dokter koas untuk akhirnya memutuskan untuk mejawab panggilan asing yang dilakukan oleh satu nomor ini.
"Ya?" Satu kata singkat yang dingin dan tidak bersahabat menjawab panggilan telepon yang terus membuat ponselnya bergetar.
"Pak Dokter? Ini saya, Kana, Pak... eh, Dokter."
Astaga, gadis itu ternyata. Arif memejamkan mata menahan kesal. "Ada apa? Kenapa kau menelepon?"
"Kata dokter, kalau ada yang mau saya tanya, saya bisa hubungi Bap... eh, dokter."
"Ya, memang, tapi bukannya kamu bilang akan SMS, bukan telepon?"
"Oh iya, maaf, Pak... eh, Dokter, ternyata paket gratis yang masih ada tinggal paket gratis telpon, paket SMS gratisnya sudah habis." jelas Kana dengan cepat.
"Ada apa? Cepat katakan, saya sedang bekerja."
"Iya, Dok, sama, saya juga." sahut Kana menyebalkan, tapi ada benarnya juga.
"Jadi apa yang mau kamu tanya." Arif berusaha mengabaikan rasa kekinya.
"Anu, Dok, ini peraturan nomer 6 dan 8. Saya nggak ngerti. Bagaimana kalau ada pakaian warna lain selain hitam dan putih? Apa harus dikelompokkan sesuai warna juga?"
"Saya hanya punya pakaian warna hitam, putih dan beberapa batik. Jadi nggak akan ada warna lain."
"Benaran nggak ada warna lain?"
"Peraturan nomer 8," Arif mengabaikan nada keterkejutan Kana, "Sudah jelas, kamu nggak perlu masuk ke dalam kamar saya. Biar saya yang membersihkan kamar saya sendiri."
"Lalu dimana saya harus menaruh pakaian-pakaian dokter yang sudah saya setrika?"
"Taruh saja di sofa." jawab Arif tidak sabaran. "Ada lagi?"
"Sudah Dok."
"Bagus." tanpa menunggu kata-kata lainnya. Arif langsung memutuskan sambungan telepon mereka. Dia membuang napas kesal. Sepertinya dia melakukan kesalahan dengan menerima gadis itu bekerja sebagai ART-nya.
Setelah selesai dengan panggilan telepon dan menyimpan nomer Kana dengan nama 'CURUT', ia kembali bertugas untuk visit ke pasien-pasien lainnya.
.
.
.
"Ih, langsung dimatiin gitu aja?" Kana menatap tak percaya ponsel jadulnya. Ia geleng-geleng kepala menganggap sikap majikannya sangat tidak sopan untuk seorang yang berpendidikan tinggi.
Setelah mendapatkan jawaban atas pertanyaannya, Kana mulai kembali melakukan pekerjaannya, ia menuju ruangan laundry dan mulai memilah pakaian-pakaian kotor.
"Wah... wah... wah..." Semakin banyak yang dia pisahkan, semakin banyak kata 'wah' lolos dari bibirnya. "Ternyata benar, pakaian pak dokter hanya ada hitam sama putih doang?" Kana berdecak seraya menggelengkan kepala tak percaya.
"Dan kemeja batik juga warna hitam. Astaga apa Pak dokter buta warna?"
Otak Kana yang berpikiran sederhana itu pun mulai berspekulasi sendiri sambil melakukan pekerjaannya.
*Mungkin si pak dokter memang buta warna, makanya dia hanya punya warna pakaian hitam dan putih saja.
Atau pak dokter punya suatu kelaian yang ngebuat pak dokter alergi warna lain selain warna hitam dan putih?
Kasihan juga sih kalo seperti itu, padahal dia dokter, tapi tetap saja ya kadang Dokter juga nggak bisa menyembuhkan penyakitnya sendiri*.
Sementara Kana memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang dialami Arif dalam hidupnya, di rumah sakit saat sedang mengecek keaadan pasien, tiba-tiba saja telinganya berdengung, sampai membuat kepalanya refleks menyentak miring dengan pelan.
****
Arif memijat tengkuk lehernya ketika masuk ke dalam apartemennya. Aroma segar langsung menyapa indra penciumannya yang membuatnya merasa lebih baik setelah seharian di rumah sakit.
Ia melihat sekeliling apartemennya, mencari kesalahan dan keteledoran yang - Arif yakin - pasti dilakukan Kana. Tapi, setelah berkeliling dan mengecek setiap hal, tidak ada satu pun hal yang terlewat dari tugas Kana sebagai ART.
Pakaian yang sudah disetrika tersusun rapi di atas sofa sesuai warna. Tidak ada piring, gelas atau apa pun di wastafel yang sudah bersih dan kering. Bantal-bantal sofa bersandar dengan rapi dan manis. Bahkan di kamar mandi pun tidak ada setetes air di atas lantai.
"Keren juga ini orang hasil kerjanya." Puji Arif. Dia duduk mengenyakkan tubuhnya sebentar, menikmati aroma segar yang baru kali pertama dia hirup di apartemennya. Aromanya cukup menenangkan.
"Perasaan, sabun pembersih lantai yang biasa aku beli tidak seperti ini aromanya." Kemudian Arif tersadar tentang sesuatu.
"Tunggu dulu," Dia duduk tegak. "Aku pernah mencium aroma ini juga sebelum berangkat kerja tadi pagi. Tapi dimana ya?"
.
.
.
Kana meletakkan tas selempang lusuhnya di atas alas kapuk tipis di dalam kamar kosnya. Ia meluruskan kaki, memijit-mijit sebentar kemudian merebahkan dirinya di atas kasurnya sambil membuang napas panjang.
"Mulai besok, aku punya dua pekerjaan berarti. Pagi sampai siang, aku di apartemennya pak dokter. Siang sampai sore aku ngasuh anak. Lumayan lah, buat nambahin uang saku." kata Kana dengan matanya yang lelah tapi jiwanya begitu bersemangat. Karena setelah selesai mengerjakan pekerjaan di tempat Arif, dia mendapatkan pekerjaan lain sebagai pengasuh balita, hanya beberapa jam saja, dan masih di lingkungan apartemen yang sama dengan Arif.
"Uh, ngantuk sekali." Tapi baru saja ia memejamkan mata, tiba-tiba saja ada keributan di luar yang membuatnya mau tak mau kembali membuka matanya dengan berat. Ia mengntip dari balik tirai jendelanya, dilihatnya, tetangga kos nya sepertinya sedang bertengkar dengan kekasihnya.
Jelas Kana mendengar ada sebuah perselingkuhan yang terjadi, tapi entah siapa yang selingkuh dan siapa yang diselingkuhi, Kana tidak mau ambil pusing. Dirinya sudah cukup lelah dengan hidupnya yang sulit. Yang penting, meski sulit, ia mempunyai keluarga yang lengkap dan pacar di kampung yang setia akan menunggunya dan berjanji akan menikah dengan Kana setelah pacarnya itu mendapatkan hasil pembagian warisan peninggalan kakeknya.
Itu, sudah cukup bagi Kana. Hidup sederhana, penuh kejujuran, saling menyayangi dan melengkapi. Hidup bahagia yang diimpikan Kana tidak muluk-muluk.
Ia kembali merebahkan dirinya di atas kasur, masih lengkap dengan pakaiannya, Kana sudah lengsung terlelap dalam gelapnya malam. Berharap mimpi indah akan menjadi bunga tidurnya malam ini setelah melalui hari yang panjang dan baru baginya.
Merantau seorang diri ke kota, tanpa saudara atau pun kenalan, bukan hal yang mudah dijalani seseorang, apa lagi perempuan. Tapi, Kana berhasil melaluinya. Entah karena mujur atau memang dirinya yang supel, jadi ia mudah mendapatkan kenalan yang dapat memberikannya informasi pekerjaan seperti mendapatkan pekerjaan di tempat Arif, dan besok malah nambah sebagai babysitter.
.
.
.
Bersambung ya~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
meilanyokey
Hai Arif siap2 lu akan jatuh cinta Ama curut ini.... dasar dokter sombong
2023-12-28
0
riska
jahatnyaaa
2023-11-07
0
Defi
Oalah, nasebmu Kana memang jaminan pacarmu di kampung setia eh 😂
2023-10-07
0