"Hachooo!" Arif mengusap hidungnya yang gatal sejak tadi sampai membuatnya bersin-bersin. Mau tak mau dia harus mengoleskan minyak kayu putih pada lubang hidungnya agar mengurangi gatal dan bersinnya karena dia harus segera melaksanakan operasi.
"Apa kita perlu undur jadwal operasi, Dok?" tanya Mira yang melihat Arif mengoleskan minyak kayu putih.
"Nggak perlu, saya nggak apa-apa, cuma gatal aja nih hidung. Nanti juga membaik." jawab Arif, lalu memcuci tangannya denga sabun sesuai dengan prosedur kebersihan sebelum masuk ke dalam ruang operasi dan melakukan tindakan.
Setelah dua jam berlalu dan operasi yang dilakukannya berjalan dengan baik, Arif keluar dari ruang operasi setelah melepaskan sarung tangan dan mencuci tangannya, kemudian dia menemui pihak keluarga pasien yang menunggu di ruang tunggu untuk memberikan kabar bahwa operasi berjalan dengan baik.
Setiap kali melihat kelegaan dan rasa syukur dari pihak keluarga, selalu memberikan sensasi yang hangat dalam hati Arif. Kerinduan akan keluarga membuatnya selalu melakukan dan mengusahakan yang terbaik untuk menyelamatkan anggota keluarga di atas meja operasi.
Semenjak neneknya meninggal, Arif hidup sendirian, tanpa orang tua, tanpa sanak saudara. Pernah ada seseorang yang mengisi hatinya yang begitu kesepian. Seseorang yang awalnya hanya teman biasa namun naik level menjadi kekasih. Seorang wanita yang sangat ia cintai dan kasihi. Tapi sayang, ketulusan dan cinta yang diberikan Arif dikhianati begitu saja dengan pengkhianatan yang cukup menyakitkan.
Arif berjalan menuju ruanganya di lantai tiga rumah sakit itu, sambil berjalan, sambil menjawab sapaan orang-orang yang dilaluinya, dia tidak terlalu memerhatikan kalau seseorang tengah duduk menunggu di depan ruangannya. Sampai jarak pandang semakin dekat dan membuat jelas jarak pandangnya.
"Yunia?" Suara Arif tercekat pada pangkal tenggorokannya.
Wanita yang barusan dia sebut namanya itu sangat cantik, persis ciri-cirinya seperti yang pernah disebutkan oleh suster Mira. Mirip Ariel Tatum.
"Hai, Ar." Yunia tersenyum cantik sambil menyelipkan sejumput rambutnya ke belakang telinga. Sebuah sikap manis yang dulu mampu menyihir Arif.
.
.
.
Arif memilih kantin sebagai tempat untuk dirinya dan Yunia ngobrol berdua. Setelah sekian lama, setelah rasa sakit yang diderita Arif sendirian, setelah berbagai dilema yang dirasakan pria itu seorang diri, ini adalah kali pertama Arif duduk kembali berhadapan dengan Yunia.
Wanita itu masih sama cantiknya, namun hanya sedikit lebih kurus dari terakhir kali Arif bertemu dengannya, sekitar dua tahun lalu.
"Kamu apa kabar, Ar?" tanya Yunia dengan suaranya yang bernada manis seperti gula-gula, tapi membuat tenggorokan sakit jika kau memakan gula-gula terlalu banyak.
"Seperti yang kamu lihat. Aku sehat." jawab Arif datar.
"Kamu terlihat tidak suka bertemu denganku."
Arif menaikkan kedua alis matanya. "Memangnya aku harus bagaimana?"
Yunia tersenyum memaklumi sikap ketus Arif.
"Jadi ada apa kamu tiba-tiba mencariku?"
"Kangen saja." jawab Yunia santai.
Tapi tidak dengan hati Arif yang merasa bergemuruh seperti diterpa tornado. Bukan semacam gemuruh saking senangnya, justru ia merasakan sebaliknya.
"Apa maksudmu?"
"Apa kamu nggak bisa bersikap santai padaku, Ar?" tanya Yunia.
Tapi, Arif tetap bergeming dengan ekspresinya yang tidak bersahabat.
"Baiklah, aku datang sebenarnya ingin memberitahumu bahwa kami telah berakhir. Aku dan Alex, kami tidak lagi bersama. Dan aku sangat menyesali perbuatanku, dia mengkhianatiku." Yunia menghela napas. "Mungkin ini karma untukku atas perbuatanku padamu."
Arif melipat kedua tangannya di depan dada, memasang ekspresi yang lebih keras lagi. "Lalu apa tujuanmu memberitahuku soal ini?"
"Aku tidak ada tujuan dan maksud apa-apa, Ar. Aku hanya ingin memberitahumu." jawab Yunia.
"Kamu tahu, aku orang yang percaya bahwa jika seseorang menyampaikan sebuah informasi, pasti ada maksud dan tujuan yang mendasarinya. Jadi, jangan katakan omong kosong kalau kau tidak ada maksud apa-apa."
"Baiklah, mungkin aku memang mempunyai maksud lain, tapi sungguh, bukan untuk memintamu kembali padaku, karena aku tahu itu pasti tidak akan mungkin. Dan aku rasa, aku tidak akan sanggup menanggung rasa bersalahku. Tapi, mungkin, kita bisa menjadi baik."
"Maksudmu menjadi baik?"
"Setidaknya kita tidak saling membenci, atau kau tidak membenciku. Setidaknya, berikan aku kesempatan untuk bisa kembali menjadi temanmu."
Arif mendengkus. Ia menggelengkan kepala. "Respon apa yang kau harapkan dariku sekarang?" tanya Arif dengan nada sinis.
"Apakah kau berpikir bahwa responku akan menunjukkan rasa simpatik? Empati? Atau luluh dengan memaklumi perbuatan kalian di belakangku?"
"Aku sungguh minta maaf, Ar." Sesal Yunia.
"Permintaan maafmu bahkan tidak memberikan efek sedikit pun untuk meredakan nyeri yang kalian torehkan." kata Arif membuat Yunia semakin penuh sesal.
"Untuk mentertawai karma yang kau terima saja, aku sudah tidak sudi."
"Ar..."
"Sebaiknya kau jalani saja hidupmu dengan jalanmu sediri, tapi jangan pernah mencari jalan untuk menemui lagi, karena semuanya sudah selesai."
Yunia menghela napas, ia sungguh memaklumi sikap Arif.
"Apa kamu sudah bersama dengan wanita lain?" Pertanyaan Yunia dijawab dengan smartphone Arif yang bergetar dan berbunyi sebuah panggilan masuk. Nama 'CURUT' tertera di sana.
"Ya." jawab Arif, sambil menunjukkan layar ponselnya di depan Yunia.
"Curut? Apa itu semacam panggilan sayang?" tanya Yunia. Terbesit rasa iri pada si penelepon.
"Ya. Dan aku sudah memulai lembaran baru hidupku, Dan dalam rencana indahku, kau dan Alex tidak akan pernah ada dalam lembaran-lembaran berikutnya. Kalian hanya sepenggal cerita dari lembaran yang sudah kubalik. Ngerti?"
Arif berdiri seraya menjawab panggilan teleponnya dengan sapaan sayang. "Ya, sayang, maaf lama, aku sedang ada tamu. Tapi sudah selesai. Ada apa?" Ujar Arif dengan nada lembut penuh kasih sayang dan cinta. "Apa? Kamu mau masak dinner untuk kita? Mau banget dong. Nanti aku usahin pulang cepat ya. Okay. See you. Love you."
.
.
.
"Hah? Halo? Dokter? Ini Dokter Arif, kan?" kata Kana kebingungan mendengar suara Arif yang begitu mesra memanggilnya sayang. "Dokter! Ini saya, Dok, Kana. K-A-N-A. Ih, apaan sih Dok, nggak jelas banget!" Omel Kana, tapi omelannya tidak mendapatkan pencerahan sama sekali, panggilan telepon itu diputuh sebelah pihak oleh pihak Arif.
"Apa-apaan sih ini si Dokter? Kenapa aneh banget! Ih! Geli banget lagi pada sayang-sayangan. Love you segala! Apaan dah maksudnya? Jangan-jangan ini orang punya gangguan mental nih. Serem amat!"
Tiba-tiba ponselnya berdering nyaring sampai membuat Kana terlonjak hingga ponselnya terlepas dari genggamannya dan jatuh di atas lantai. Untungnya, ponsel jadul sangat kuat iman. Jadi, terjatuh di atas lantai tidak membuatnya rapuh.
Nama dokter Arif kembali muncul pada layar kecil ponselnya. Kana menjawab siap menyerocos untuk menuntut penjelasan, tapi rupanya Arif langsung menjelaskan lebih dulu tanpa diminta.
"Maaf soal yang barusan." kata Arif. "Saya terpaksa harus berpura-pura seolah saya menelepon kekasih saya. Karena ada mantan saya datang dan... aish! Kenapa juga saya harus menjelaskan ke kamu." Arif berdecak sebal sendiri.
"Ya memang harus dijelasin, Dok, kalau nggak, nanti kalau saya salah paham gimana?" Sahut Kana.
"Eh, jangan bilang kamu udah salah paham dan kegeeran?"
Kana menghela napas. "Tenang aja, Dok, biar begini-begini, saya punya pacar di kampung." jawab Kana dengan bangga dan penuh percaya diri. "Saya nggak perlu pura-pura punya pacar." Sindir Kana pada akhirnya.
"Eh, kamu ngeledek saya?" terdengar nada sebal pada suara Arif.
Tapi, Kana tertawa menahannya agar tidak mengeluarkan suara. "Enggak ngeledek, kok, Dok. Tapi kan memang kenyataannya begitu."
"Kamu... errgh! Sudah lah, ada apa kamu tadi nelpon saya?" Arif jelas berusaha mengabaikan kekesalannya dan mencoba untuk menetralkan emosinya.
"Oh, ini, Dok, saya lihat stok sayuran di kulkas sudah hampir layu, kalau mau, saya bisa masakin buat Dokter, dari pada kebuang."
"Memangnya kamu bisa masak?"
"Bisa dong!"
"Ya sudah terserah kamu saja."
"Tapi, Dok..."
"Apa lagi?"
"Saya pikir, kalau untuk Dokter makan sendirian, sepertinya akan kebanyakan, kecuali nanti malem Dokter makan berdua. Jadi, boleh nggak, kalau sebagian saya bungkus untuk bekal saya?" tanya Kana, takut-takut. Tapi juga nekat. Dari pada bahan makanan dan masakannya malah mubazir.
"Terserah. Kalau kamu mau bawa juga silahkan, yang penting pastikan saja porsi untuk saya makan cukup. Jangan sampai saya malah beli makanan lagi gara-gara porsi saya kurang."
Kana malah terkekeh. "Maaf, Dok." Kana menyadari pasti saat ini Dokter Arif dengan bersungut mendengar suara tawanya. "Siap, Dok. Pokoknya nanti porsi untuk Dokter sangat pas. Nggak kurang, nggak berlebihan juga."
"Ya. Ada lagi yang mau kamu tanya? Saya mau visit pasien sekarang."
"Enggak ada, Dok." jawab Kana.
Dan lagi-lagi, Arif memutus sambungan telepon lebih dulu.
Kana mengingat kembali kata-kata Arif, membayangkan Dokter setampan Arif, dan sukses seperti itu, harus berpura-pura menelepon pacar baru di depan mantannya. Alih-alih merasa kasihan, Kana malah tertawa. Membayangkan ekspresi Arif ketika berpura-pura. Pasti sangat menggelikan.
"Padahal, ganteng, sukses, mapan, tapi jomblo. Kasian." ujar Kana penuh prihatin. Ia hanya tidak tahu saja apa yang terjadi di kampungnya.
.
.
.
Bersambung ya~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Defi
nah kan aroma tidak sedap belum tercium sama si Kana
2023-10-07
0
Defi
dok..itu jantung Kana aman kan 😂
2023-10-07
0
Defi
dokter Arif kamu keren dan tegas sama orang yang udah menyakitimu, jangan beri celah untuk Yunia masuk lagi karena masa lalu itu udah layak dibuang jauh-jauh..
2023-10-07
0