Kana melepas sandal ketika mulai bekerja kembali di apartemen Arif pagi keesokan harinya. Rambutnya masih setengah basah ketika ia sampai dan sengaja dibiarkannya tergerai begitu saja. Sangaja sekalian mengeringkan rambutnya dengan bantuan tiupan angin yang berhembus melalui jendela angkutan umum yang ditumpanginya.
"Selamat pagi, Pak." sapa Kana ceria ketika melihat masih ada Arif di apartemen. Pria itu sontak meliriknya sinis mendengar bagaimana Kana memanggilnya. "Eh, selamat pagi Dokter Arip." koreksi Kana yang sama sekali tidak memperbaiki tatapan sinis Arif, malah membuat pria itu semakin galak menatapnya.
"Arif. F. F." Arif mengoreksi dengan tajam.
Kana menggigit bibir menyadari kesalahannya. "Eh, maaf, Dok." Kana membungkukkan tubuhnya sebentar.
"Saya paling nggak suka orang memanggil saya dengan akhiran P seperti itu. Ngerti?"
"Ngerti, Dok. Maaf."
Arif mendengkus sebal. Lalu menyeruput sisa kopinya sambil mengecek kotak masuk pada emailnya.
"Dokter sudah sarapan?" tanya Kana sebagai bentuk basa-basa dan kesopanan. Karena dia datang membawa sebungkus nasi uduk dengan lauk sederhana yang menggugah selera masyarakat.
Tapi, Arif diam saja, terlalu serius menatap layar ponselnya yang menyala.
Jadi, Kana hanya mengedikkan bahu, dan membuka nasi uduknya yang dibungkus dengan kertas nasi. Dia memilih untuk duduk melantai di dapur dari pada duduk di bar stool sementara ada majikannya duduk di meja makan. Walaupun sebenarnya tidak masalah jika Kana duduk di bar stool, hanya saja, Kana merasa tidak nyaman.
Setelah membalas beberapa pesan pada kotak masuk dari emailnya, indra penciuman Arif kembali mencium aroma segar yang dia rasakan ketika ia pulang kerja semalam. Hidungnya mengendus-ngendus seperti seekor kucing yang mencari dari mana arah datangnya aroma ikan yang sedap itu. Arif mengarahkan hidungnya kesegala penjuru, dan aroma itu berasal dari arah dapur.
Arif mengernyitkan dahi, padahal pagi-pagi sekali tadi ketika ia membuat kopi, ia tidak mencium aroma itu lagi, tapi sekarang, aroma segar itu kembali menyapanya penciumannya.
Arif bangkit berdiri, sambil terus mengendus, kali ini seperti zormbie yang mencium aroma mangsa manusianya. Sampai ia masuk ke dalam dapur dan....
"WOAAA!"
"AAAKKK!"
Arif teriak begitu kaget melihat Kana di bawah sana sedang makan. Sementara Kana kaget karena mendengar Arif berteriak di atasnya.
"Apa yang sedang kamu lakukan di bawah sana? Kamu mau buat saya jantungan ya?!" Omel Arif sambil mengelus-elus dadanya sendiri.
"Uhuk! Uhuk!" Kana menepuk-nepuk dadanya juga, karena setelah teriak, ia tersedak sepotong orek tempe.
Melihat Kana yang semakin kesulitan karena tersedak dan panik, akhirnya dengan cekatan Arif membantu Kana untuk mengeluarkan sesuatu yang membuatnya tersedak itu dengan cara menarik tubuh Kana dengan cepat, memutarnya hingga Arif seperti memeluk Kana dari belakang, lalu menekan dan menghentak bagian bawah dadanya beberapa kali hingga.... plup! Sepotong tempe potongan cukup besar melompat keluar dari dalam mulut Kana dan mendarat dengan sempurna ke dalam wastafel.
Setelah Kana mulai bisa bernapas dengan normal, Arif segera menggaruk punggung Kana untuk mengalirkan darah dan oksigen sampai wajah Kana tidak lagi pucat. Kemudian ia melepaskan Kana, membiarkan gadis itu terbatuk-batuk pelan.
"Dokter kenapa ngagetin saya tadi, sih?" tanya Kana setelah bisa kembali menemukan ritme pernapasannya.
"Justru saya yang kaget melihat kamu di bawah sana. Ngapain kamu di bawah situ?" Arif membela diri. Karena dia memang sangat kaget.
"Dokter nggak lihat saya lagi sarapan?"
"Sarapan?" Arif melirik sebungkus kertas nasi berisi makanan yang sudah sebagian dimakan. "Kenapa kau harus makan di bawah sana? Apa kau tidak bisa makan di atas meja?"
"Saya... saya nggak enak aja kalau makan di atas meja."
"Kenapa nggak enak? Makanan itu akan berubah rasanya kalau kamu makan di atas meja?"
"Karena Dokter nggak sarapan, saya tanya Dokter diam saja, sementara saya hanya bawa satu bungkus. Kan, nggak sopan saja rasanya kalau saya makan di meja, sementara majikan saya nggak sarapan." jawab Kana membuat Arif kehilangan kata-katanya.
Benar-benar nge-blank isi otak dokter bedah muda itu mendengar jawaban Kana.
"Kamu tanya ke saya?" tanya Arif setelah menemukan kembali kosakata di dalam sel-sel otaknya.
"Iya. Tapi dokter diam saja." jawab Kana diiringi dengan anggukan kepala yang meyakinkan jawabannya.
Arif kembali menghela napas, menenangkan kembali dirinya setelah adegan tak terduga tadi. Tapi yang dia rasakan dalam indra penciumannya ketika menarik dan membuang napas adalah aroma segar itu begitu menguar kuat dari arah Kana. Hal itu membuatnya lupa sejenak dengan keterkejutannya dan kembali pada misi awalnya, yaitu mencari sumber aroma segar itu.
"Kamu pakai minyak wangi?" tanya Arif sekonyong-konyong.
"Hah? Minyak wangi?" Kana mengerutkan dahi. "Enggak. Saya nggak pernah pakai minyak wangi."
Arif mencondongkan tubuhnya ke arah Kana, membuat Kana mundur secara refleks dan naluri melindungi diri.
"Apa kamu memakai merk sabun terntentu? Atau shampo tertentu?" tanya Arif lagi.
"Hah? Saya hanya pakai sabun batangan yang harganya dua ribuan dan shampo saset yang beli satu gratis satu saja, kok, Dok. Kenapa memangnya, Dok?" tanya Kana kini bingung dengan tingkah Arif yang berubah aneh.
"Kalau detergen pakaian? Apa kamu pakai merk tertentu?"
"Sabun colek yang warna kuning, Dok."
"Body lotion?"
"Saya nggak pakai gituan, Dok. Mahal." jawab Kana meski ia sama sekali tidak mempunyai ide apapun atas pertanyaan-pertanyaan aneh Arif.
"Besok, bawa semua itu. Sabun mandi, shampo, dan sabun colek yang kamu pakai." Titah Arif dengan singkat dan aneh.
"Hah?" Kana mengenyitkan dahi.
"Jangan lupa dibawa besok." kata Arif mengingatkan lebih galak. "Ya sudah, lanjutkan sarapanmu, saya harus ke rumah sakit sekarang." Arif bergerak melangkah keluar dapur, tapi dia kembali menengok pada Kana yang masih terbengong-bengong. "Mulai sekarang, jangan makan di lantai seperti itu, makan di atas meja, duduk di kursi yang ada. Ngerti?"
"Eh... uh... iya, Dok."
Tanpa berkata-kata lagi, Arif mengambil tas kerjanya yang berada di atas meja makan, lalu keluar dari apartemennya sendiri, meninggalkan Kana yang masih tidak mengerti untuk apa Arif meminta Kana membawa sabun, shampo bahkan sabun colek yang dia gunakan? Seberapa kuatnya Kana mencoba mencari jawaban, tetap, Kana tidak menemukan titik terang sedikit pun.
"Apa dia benar-benar seorang dokter? Kok aneh begitu sih?"
.
.
.
"Gue aneh?" Arif menunjuk dirinya sendiri dengan kedua matanya yang melebar tak percaya. Setelah ia menceritakan apa yang dia alami pagi tadi kepada kedua temannya, Jodi dan Yoga.
Dua rekannya itu yang juga berprofesi sebagai sesama dokter masih terkekeh geli dengan cerita yang dijabarkan Arif barusan saja. Bahkan Yoga hampir saja menyemburkan makan siangnya di kantin.
"Gue rasa lo itu sudah terlalu lama menjomblo, Rif." ujar Jodi setelah tawanya reda.
"Cih, nggak ada hubungannya."
"Tapi, gue rasa Jodi ada benarnya, lho. Lo terlalu terjebak nostalgia sama Yunia, makanya sekarang otak lo rada-rada eror gitu." Yoga menimpali.
"Nggak ada hubungannya, ya sodara-sodara." Arif tetap tidak menerima ucapan teman-temannya.
"Ya lagian lo juga, ngapain nyuruh ART lo bawa segala sabun mandi, shampo sampe sabun colek cuci bajunya."
"Karena gue penasaran, aroma segar itu dari mana. Gue cek nih ya, karbol pel di apartemen gue masih sama. Berarti aroma segar itu bukan dari karbol pel gue, kan? Dan ternyata aroma itu berasal dari si Kana, itu artinya ada suatu produk yang dia pakai yang menghasilkan aroma itu."
"Ya, terus kenapa gitu kalau misalnya salah satu produk yang dia pakai punya aroma segar itu?"
"Ya gue mau beli, lah." jawa Arif santai. "Soalnya, sumpah, itu aroma segar banget, dan segarnya itu bikin tenang gitu loh. Bikin relaks. Wangi lilin aroma terapi yang ada di kamar gue saja nggak semenenangkan itu, man." jawab Arif.
"Eh, gimana nih, misalnya, aroma itu bukan dari sabun, shampo atau pun sabun colek itu, tapi memang aroma si Kana itu memang seperti itu secara alami. Gimana tuh?" tanya Yoga dengan pikirannya yang kadang-kadang juga suka di luar antariksa.
"Nggak mungkin lah, cewek kayak Kana itu paling aroma badannya bau keringet atau nggak bau matahari." sahut Arif meremehkan.
"Ya, kan, kalau misalnya doang. Lo bakal gimana?"
"Nggak mungkin." Sahut Arif kekeuh.
"Eh, gimana kalau misalnya lagi nih, aroma itu benar-benar aroma alaminya si Kana, terus si Kana malah bikin lo jatuh cinta?" Jodi ikut menimpali keterampilan Yoga, berpikir di luar antariksa.
"Itu makin nggak mungkin! Gue nggak bakal suka apa lagi sampai jatuh cinta sama cewek berisik kayak dia. Duh, bisa hancur ketenangan hidup gue." jawab Arif dengan sangat sesumbar.
Sementara di tempat lain, Kana yang sedang mencuci piring merasa telinganya berdengung.
"Duh, siapa sih ini yang lagi ngomongin aku? Aku sumpahin, bersin-bersin!"
.
.
.
Bersambung ya~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
meilanyokey
awas ya Arif akan termakan sumpahnya cinta mati lu NNT ke kana....
2023-12-28
0
Defi
dok kayak ngasih petuah untuk anak ya bukan ART 😂
2023-10-07
0
ummilia1180
hehehe...
2023-07-03
0