NovelToon NovelToon

Kata Hati.

Chapter 01

Kana duduk di depan seorang pria lajang yang tampan tapi dingin juga terkesan angkuh. Setahu Kana, pria itu berprofesi sebagai dokter bedah yang hidup sendirian di sebuah apartemennya. Namanya Arif, begitu lah yang Kana dengar ketika mereka saling berjabat tangan beberapa menit lalu.

“Saya akan memberikan kamu gaji sekian.” Arif memberikan selembar kertas berserta daftar pekerjaan yang akan dilakukan Kana sebagai ART-nya.

Kana membacanya dengan seksama kemudian ia mengangkat tangannya. “Boleh saya bertanya, Pak?”

“Silakan.”

“Saya nggak perlu menginap disini, kan?”

“Ya. Kamu hanya perlu datang pagi, mengerjakan pekerjaanmu sampai selesai. Setelah itu kamu bisa pulang.”

“Apa saya harus membersikan apartemen Bapak setiap hari?” tanya Kana. Sebuah pertanyaan yang membuat Arif menaikkan sebelah alis matanya.

“Apakah kamu harus makan setiap hari?” Arif memberikan pertanyaan balik.

“Iya, Pak. Karena setiap hari saya lapar.” Jawab Kana dengan polosnya.

“Begitu pun dengan debu, setiap hari mereka pasti ada. Jadi setiap hari kamu harus datang bebersih. Itu sebabnya saya mempekerjakan ART. Ngerti?”

“Iya, Pak. Maaf, saya hanya bertanya. Soalnya, saya lihat, sepertinya Bapak tinggal sendirian, jadi… baik Pak, saya akan kerja dengan giat setiap hari!” Kana mengubah kalimatnya begitu menyadari perubahan ekspresi calon majikannya.

“Apa ada lagi yang mau kamu tanyakan? Soal gaji yang saya berikan, mungkin?”

“Kerjaan saya hanya, beberers, bebersih, nyuci baju sama nyetrika doang, kan, Pak?”

“Ya.”

“Kalau begitu, segini sudah cukup, Pak.” jawab Kana dengan mantap.

Arif mengerutkan keningnya sedikit. Biasanya ART-ART sebelumnya, setiap kali ditanya pertanyaan yang sama, mereka selalu menawar untuk dinaikkan seratus atau dua ratus lagi dengan alasan macam-macam. Tapi, Kana cukup kooperatif rupanya.

“Oke. Kalau begitu, semua aturan ada di kertas itu. Baca baik-baik. Jika ada yang mau kamu tanyakan, bisa kamu tanya lewat nomer ponsel saya disitu.”

“Baik Pak.” jawab Kana.

“Ini kunci apartemen saya.”

“Lho, saya mulai kerja hari ini, Pak?” Kana bertanya dengan ekspresi bingung.

“Memangnya kamu pikir kapan? Habis tahun baru masehi?”

“Saya pikir besok.”

“Memanya hari ini kamu belum bisa mulai? Bukannya kamu bilang kamu sedang tidak bekerja dimana pun.”

“Iya, sih, tapi… saya takut kalo langsung sendirian ditinggal tanpa pengawasan. Takut ada yang salah.” Jawab Kana yang lagi-lagi begitu apa adanya hingga membuat Arif kini menaikkan kedua alis matanya.

“Usiamu benar sudah 25 tahun, kan?”

“Benar dong, Pak. Kan tadi Bapak sudah lihat KTP saya. Itu KTP asli Pak, saya, mah, nggak punya uang untuk bikin yang nipu-nipu.”

“Bukan itu maksud saya.” Arif menarik napas. “Usia 25 tahun saya rasa sudah cukup bertanggung jawab dan bisa memilih juga memilah mana yang sekiranya bisa membuatmu dalam masalah atau tidak.”

Kana mengangguk pelan.

“Gunakan otakmu dan jadikan peraturan yang saya tulis sebagai panduan. Saya bukan hanya butuh ART yang cekatan dan resik, tapi juga harus inisiatif. Ngerti?”

“Ngerti Pak.” Kana mengangguk. Kemudian ia mengulurkan tangan untuk mengambil kunci apartemen yang barusan diletakkan di atas meja.

“Ada lagi yang mau kau tanyakan sebelum saya berangkat kerja.”

“Untuk sekarang, saya akan baca dulu Pak, peraturan-peraturannya. Kalau ada pertanyaan susulan, boleh ya Pak saya sms Bapak.”

“SMS? Kamu bisa pakai jaringan modem disini. Password-nya sudah saya tulis.”

“Anu, Pak.” Kana mengeluarkan benda kotak kecil dan jadul. “Hape saya, hape jaman dinosaurus, belom bisa pake internet. Bisanya buat nelpon sama sms aja.” Cengiran menghiasi wajah polos tanpa riasan.

Arif menghela napas. Ada tersebit rasa prihatin melihat bagaimana anak muda seusia Kana masih bertahan dengan elektronik jadul seperti itu, disaat semua orang seusianya sudah berlomba untuk menggunakan smart phone.

“Baiklah, tapi saya tidak menanggung biaya pengeluaran pulsa yang kamu pakai untuk menghubungi saya.”

“Tenang, Pak. Saya pakai paket nelpon dan sms gratis kesemua operator.” Kana tersenyum dengan bangga memberitahukan paket yang dia gunakan.

“Baiklah.” Arif berdiri seraya menengok jam tangannya. “Saya harus berangkat sekarang. Ingat, sebelum pulang, pastikan lampu ruang tengah menyala, dan semua tirai di tutup.”

“Baik Pak.” Kana ikut berdiri, ia mengekor Arif menuju pintu.

“Oh, satu lagi.” Arif tiba-tiba berbalik, sampai Kana yang tepat di belakangnya nyaris jatuh karena saking terkejutnya. Refleks Arif menangkap tangan Kana, menahan tubuh gadis itu agar tidak jatuh yang bisa membuat tulang ekornya kemungkinan cidera karena kesalahan kecil.

“Hei, hati-hati!” Arif menarik Kana hingga tubuh Kana yang tidak setinggi Arif kembali berdiri tegak. “Tulang ekormu bisa cidera. Jangan terlalu dekat berjalan ketika di belakang seseorang. Ngerti?”

“I-iya Pak.”

Arif kembali menghela napas. Gadis ini belum juga mulai bekerja, tapi sudah berkali-kali membuatku menghela napas.

“Satu lagi, jangan panggil saya Bapak, atau Pak. Saya nggak suka dengarnya.”

“Jadi saya harus panggil apa?” tanya Kana. Gadis menatap polos majikannya.

“Panggil saya Dokter. Dokter Arif.”

“Oh. Baik Pak dokter… Baik Dokter… Dokter Arip.”

Kontan kedua mata Arif melebar juga kedua alis matanya yang bergerak naik.

“Arif. Pakai F. Bukan Arip. A-R-I-F. Ngerti?”

“Eh… iya, ngerti Pa-eh, Dok, saya ngerti.”

Arif menggeleng seraya mendengkus. Oh astaga, sekarang aku malah mendengkus.

.

.

.

Sepergian Arif dari apartemennya yang dipercayakan pada gadis yang berasal dari kampung kecil di sebuah desa, Kana duduk melantai, bersandar pada badan sofa yang berbentuk seperti huruf L besar.

“Oke, ayo kita baca apa saja yang Dokter Arip tulis.” kata Kana pada dirinya sendiri.

Satu per satu ia membaca poin-poin peraturan yang ditulis oleh Arif.

Tak lama kemudian ponsel jadulnya berdering dengan ringtone khasnya. Nama ibu tertera pada layar kuning kecil itu.

“Ya, Bu. Baik, kok, agak sinis sih, tapi baik. Dia dokter. Tapi Kana nggak tau dia dokter apa. Iya, mulai kerja hari ini, tapi sekarang Kana lagi baca peraturan-peraturan yang boleh dan nggak boleh Kana lakukan di sini. Iya, Bu, Kana akan hati-hati. Doakan Kana, ya, Bu. Iya.”

Tut!

Setelah perbincangan singkat antara anak dan ibu, Kana kembali melanjutkan membaca peraturan berikutnya yang membuatnya harus membaca ulang dua kali.

“Mencuci pakaian harus dipisahkan sesuai warna? Hah? Putih dengan putih. Hitam dengan hitam. Pakaian batik jangan menggunakan mesin cuci tapi cukup dikucek saja. Lalu bagaimana dengan pakaian warna merah, kuning, biru, ungu, hijau? Apa harus dipisah-pisah juga?”

Kana langsung menandai poin tersebut untuk ditanyakan nanti setelah dia selesai membaca semua peraturan.

Poin selanjutnya kembali membuatnya mengerutkan dahi.

“Dilarang masuk ke dalam kamar utama.” Kana menggosok hidungnya ketika merasa bingung. “Lalu gimana aku bisa bersihin dan beresin kamarnya? Memang kamarnya anti debu, ya? Oke, tandain!”

Setelah membaca keseluruhan peraturan dan tidak ada lagi yang perlu ditandai untuk ditanyakan pada Arif. Kana bangkit berdiri, dia berkeliling apartemen untuk membuatnya familier dengan keadaan dan tempat-tempat penyimpanan alat-alat kebersihan dan benda-benda sebelum ia mulai bekerja. Ia bahkan melihat ke dalam setiap lemari penyimpanan di dapur untuk mengenal situasi di  dapur agar memudahkannya untuk mencari ini dan itu, untuk menyimpan ini dan itu.

Kana cukup teliti meski ia terlihat rapuh dan sembrono.

.

.

.

“Siang, Dok.” Suster asistennya menyapa ketika Arif datang dan masuk ke dalam ruangannya.

“Siang.” Jawab Arif seraya meletakkan ponsel dan tasnya di atas meja kerjanya.

“Lesu amat, Dok. Memang belum dapat juga ART-nya?” tanya si suster sambil memberikan berkas pasien.

“Sudah, pagi ini dia sudah datang dan hari ini dia mulai langsung kerja. Tapi… huft.”

“Wah, ada tapinya, kenapa, Dok? Orang tua lagi yang datang?” tanya suster Mira, suster asisten yang sudah seperti kakaknya sendiri saking seniornya suster Mira.

“Bukan.” Arif menggeleng. “Masih cukup muda, tapi… apa ya, saya merasa dia akan bekerja menyebalkan dan sembrono.”

“Kalau begitu kenapa diterima, Dok?”

“Entah lah, meski begitu, dia terlihat cukup…”

“Cantik?”

“Hei!”

“Hehehe, canda, Dok.”

“Sudah lah, kenapa jadi membahas ART saya. Bagaimana dengan pasien yang dari ICU kemarin, apa sudah dipindah ke perawatan?”

“Sudah, Dok. Keadaannya juga berangsur baik.”

“Oke, ada jadwal kunjungan hari ini, kan?” tanya Arif sambil membaca berkas-berkas pasien baru.

“Iya, Dok. Nanti jam empat sore.”

Arif mengangguk.

“Oh ya, Dok. Sebenarnya tadi ada yang nyariin Dokter.” Kata Suster itu.

“Siapa? Pasien?”

Suster itu menggeleng. “Orangnya cantik banget, Dok, seperti artis… duh siapa itu nama artisnya, yang main film Sayap-Sayap bareng Nicolas Saputra. Oh, Ariel Tatum. Iya benaran deh, Dok. Tadi mirip sama Ariel Tatum.”

Seketika gerakan tangan Arif yang sedang membalik halaman berkas pasien terhenti. Matanya tidak lagi fokus membaca, meski wajahnya tetap mengarah pada berkas. Tenggorokannya tiba-tiba kering seperti padang pasir yang gersang tanpa oasis.

“Lalu… ehem, kemana dia?”

“Nggak tau, Dok. Kayaknya tadi nunggu cukup lama di kursi tunggu, tapi sekarang nggak keliahatan lagi. Mungkin sudah pulang, Dok. Dia dateng cukup pagi, Dok.”

Arif mengangguk, lalu meneruskan pergerakan tangannya.

“Ya, sudah biarkan saja. Katakan padanya, kalau dia datang lagi, minta dia untuk buat janji dulu. Jangan sembarangan bertemu pada jam kerja, karena saya ada pasien-pasien yang harus saya utamakan.” Kata Arif dengan nada suaranya yang berubah menjadi dingin dan tegas sampai membuat si suster senior jadi agak tertegun.

“Ngerti?”

“B-baik Dok.”

.

.

.

Bersambung ya~

Chapter 02

Arif paling tidak suka menjawab panggilan telepon dari nomor-nomor yang tidak dia kenal, karena itu artinya orang yang menelepon adalah orang-orang asing yang kemungkinan besar akan melakukan penipuan dan juga terkadang adalah telepon dari agen-agen asuransi yang terkadang menawarkan asuransi mereka dengan memaksa. Arif sangat tidak menyukai menjawab telepon semacam itu.

Dan dari tadi, ponselnya terus saja bergetar, menampilkan sederet angka asing pada layar sentuh ponselnya. Dan si penelepon sepertinya tidak tahu bagaimana cara untuk berhenti. Pantang menyerah sampai benar-benar membuat Arif terganggu.

"Sus, sebentar, saya sepertinya harus jawab telepon dulu." kata Arif setelah mereka keluar dari kamar perawatan kelas 2 setelah melakukan visit dengan dokter-dokter koas lainnya. Dan masih ada empat pasien lagi yang harus dia kunjungi.

"Baik, Dok." jawab Suster Mira.

Arif menjauh sedikit dari suster Mira dan dokter-dokter koas untuk akhirnya memutuskan untuk mejawab panggilan asing yang dilakukan oleh satu nomor ini.

"Ya?" Satu kata singkat yang dingin dan tidak bersahabat menjawab panggilan telepon yang terus membuat ponselnya bergetar.

"Pak Dokter? Ini saya, Kana, Pak... eh, Dokter."

Astaga, gadis itu ternyata. Arif memejamkan mata menahan kesal. "Ada apa? Kenapa kau menelepon?"

"Kata dokter, kalau ada yang mau saya tanya, saya bisa hubungi Bap... eh, dokter."

"Ya, memang, tapi bukannya kamu bilang akan SMS, bukan telepon?"

"Oh iya, maaf, Pak... eh, Dokter, ternyata paket gratis yang masih ada tinggal paket gratis telpon, paket SMS gratisnya sudah habis." jelas Kana dengan cepat.

"Ada apa? Cepat katakan, saya sedang bekerja."

"Iya, Dok, sama, saya juga." sahut Kana menyebalkan, tapi ada benarnya juga.

"Jadi apa yang mau kamu tanya." Arif berusaha mengabaikan rasa kekinya.

"Anu, Dok, ini peraturan nomer 6 dan 8. Saya nggak ngerti. Bagaimana kalau ada pakaian warna lain selain hitam dan putih? Apa harus dikelompokkan sesuai warna juga?"

"Saya hanya punya pakaian warna hitam, putih dan beberapa batik. Jadi nggak akan ada warna lain."

"Benaran nggak ada warna lain?"

"Peraturan nomer 8," Arif mengabaikan nada keterkejutan Kana, "Sudah jelas, kamu nggak perlu masuk ke dalam kamar saya. Biar saya yang membersihkan kamar saya sendiri."

"Lalu dimana saya harus menaruh pakaian-pakaian dokter yang sudah saya setrika?"

"Taruh saja di sofa." jawab Arif tidak sabaran. "Ada lagi?"

"Sudah Dok."

"Bagus." tanpa menunggu kata-kata lainnya. Arif langsung memutuskan sambungan telepon mereka. Dia membuang napas kesal. Sepertinya dia melakukan kesalahan dengan menerima gadis itu bekerja sebagai ART-nya.

Setelah selesai dengan panggilan telepon dan menyimpan nomer Kana dengan nama 'CURUT', ia kembali bertugas untuk visit ke pasien-pasien lainnya.

.

.

.

"Ih, langsung dimatiin gitu aja?" Kana menatap tak percaya ponsel jadulnya. Ia geleng-geleng kepala menganggap sikap majikannya sangat tidak sopan untuk seorang yang berpendidikan tinggi.

Setelah mendapatkan jawaban atas pertanyaannya, Kana mulai kembali melakukan pekerjaannya, ia menuju ruangan laundry dan mulai memilah pakaian-pakaian kotor.

"Wah... wah... wah..." Semakin banyak yang dia pisahkan, semakin banyak kata 'wah' lolos dari bibirnya. "Ternyata benar, pakaian pak dokter hanya ada hitam sama putih doang?" Kana berdecak seraya menggelengkan kepala tak percaya.

"Dan kemeja batik juga warna hitam. Astaga apa Pak dokter buta warna?"

Otak Kana yang berpikiran sederhana itu pun mulai berspekulasi sendiri sambil melakukan pekerjaannya.

*Mungkin si pak dokter memang buta warna, makanya dia hanya punya warna pakaian hitam dan putih saja.

Atau pak dokter punya suatu kelaian yang ngebuat pak dokter alergi warna lain selain warna hitam dan putih?

Kasihan juga sih kalo seperti itu, padahal dia dokter, tapi tetap saja ya kadang Dokter juga nggak bisa menyembuhkan penyakitnya sendiri*.

Sementara Kana memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang dialami Arif dalam hidupnya, di rumah sakit saat sedang mengecek keaadan pasien, tiba-tiba saja telinganya berdengung, sampai membuat kepalanya refleks menyentak miring dengan pelan.

****

Arif memijat tengkuk lehernya ketika masuk ke dalam apartemennya. Aroma segar langsung menyapa indra penciumannya yang membuatnya merasa lebih baik setelah seharian di rumah sakit.

Ia melihat sekeliling apartemennya, mencari kesalahan dan keteledoran yang - Arif yakin - pasti dilakukan Kana. Tapi, setelah berkeliling dan mengecek setiap hal, tidak ada satu pun hal yang terlewat dari tugas Kana sebagai ART.

Pakaian yang sudah disetrika tersusun rapi di atas sofa sesuai warna. Tidak ada piring, gelas atau apa pun di wastafel yang sudah bersih dan kering. Bantal-bantal sofa bersandar dengan rapi dan manis. Bahkan di kamar mandi pun tidak ada setetes air di atas lantai.

"Keren juga ini orang hasil kerjanya." Puji Arif. Dia duduk mengenyakkan tubuhnya sebentar, menikmati aroma segar yang baru kali pertama dia hirup di apartemennya. Aromanya cukup menenangkan.

"Perasaan, sabun pembersih lantai yang biasa aku beli tidak seperti ini aromanya." Kemudian Arif tersadar tentang sesuatu.

"Tunggu dulu," Dia duduk tegak. "Aku pernah mencium aroma ini juga sebelum berangkat kerja tadi pagi. Tapi dimana ya?"

.

.

.

Kana meletakkan tas selempang lusuhnya di atas alas kapuk tipis di dalam kamar kosnya. Ia meluruskan kaki, memijit-mijit sebentar kemudian merebahkan dirinya di atas kasurnya sambil membuang napas panjang.

"Mulai besok, aku punya dua pekerjaan berarti. Pagi sampai siang, aku di apartemennya pak dokter. Siang sampai sore aku ngasuh anak. Lumayan lah, buat nambahin uang saku." kata Kana dengan matanya yang lelah tapi jiwanya begitu bersemangat. Karena setelah selesai mengerjakan pekerjaan di tempat Arif, dia mendapatkan pekerjaan lain sebagai pengasuh balita, hanya beberapa jam saja, dan masih di lingkungan apartemen yang sama dengan Arif.

"Uh, ngantuk sekali." Tapi baru saja ia memejamkan mata, tiba-tiba saja ada keributan di luar yang membuatnya mau tak mau kembali membuka matanya dengan berat. Ia mengntip dari balik tirai jendelanya, dilihatnya, tetangga kos nya sepertinya sedang bertengkar dengan kekasihnya.

Jelas Kana mendengar ada sebuah perselingkuhan yang terjadi, tapi entah siapa yang selingkuh dan siapa yang diselingkuhi, Kana tidak mau ambil pusing. Dirinya sudah cukup lelah dengan hidupnya yang sulit. Yang penting, meski sulit, ia mempunyai keluarga yang lengkap dan pacar di kampung yang setia akan menunggunya dan berjanji akan menikah dengan Kana setelah pacarnya itu mendapatkan hasil pembagian warisan peninggalan kakeknya.

Itu, sudah cukup bagi Kana. Hidup sederhana, penuh kejujuran, saling menyayangi dan melengkapi. Hidup bahagia yang diimpikan Kana tidak muluk-muluk.

Ia kembali merebahkan dirinya di atas kasur, masih lengkap dengan pakaiannya, Kana sudah lengsung terlelap dalam gelapnya malam. Berharap mimpi indah akan menjadi bunga tidurnya malam ini setelah melalui hari yang panjang dan baru baginya.

Merantau seorang diri ke kota, tanpa saudara atau pun kenalan, bukan hal yang mudah dijalani seseorang, apa lagi perempuan. Tapi, Kana berhasil melaluinya. Entah karena mujur atau memang dirinya yang supel, jadi ia mudah mendapatkan kenalan yang dapat memberikannya informasi pekerjaan seperti mendapatkan pekerjaan di tempat Arif, dan besok malah nambah sebagai babysitter.

.

.

.

Bersambung ya~

Chapter 03

Kana melepas sandal ketika mulai bekerja kembali di apartemen Arif pagi keesokan harinya. Rambutnya masih setengah basah ketika ia sampai dan sengaja dibiarkannya tergerai begitu saja. Sangaja sekalian mengeringkan rambutnya dengan bantuan tiupan angin yang berhembus melalui jendela angkutan umum yang ditumpanginya.

"Selamat pagi, Pak." sapa Kana ceria ketika melihat masih ada Arif di apartemen. Pria itu sontak meliriknya sinis mendengar bagaimana Kana memanggilnya. "Eh, selamat pagi Dokter Arip." koreksi Kana yang sama sekali tidak memperbaiki tatapan sinis Arif, malah membuat pria itu semakin galak menatapnya.

"Arif. F. F." Arif mengoreksi dengan tajam.

Kana menggigit bibir menyadari kesalahannya. "Eh, maaf, Dok." Kana membungkukkan tubuhnya sebentar.

"Saya paling nggak suka orang memanggil saya dengan akhiran P seperti itu. Ngerti?"

"Ngerti, Dok. Maaf."

Arif mendengkus sebal. Lalu menyeruput sisa kopinya sambil mengecek kotak masuk pada emailnya.

"Dokter sudah sarapan?" tanya Kana sebagai bentuk basa-basa dan kesopanan. Karena dia datang membawa sebungkus nasi uduk dengan lauk sederhana yang menggugah selera masyarakat.

Tapi, Arif diam saja, terlalu serius menatap layar ponselnya yang menyala.

Jadi, Kana hanya mengedikkan bahu, dan membuka nasi uduknya yang dibungkus dengan kertas nasi. Dia memilih untuk duduk melantai di dapur dari pada duduk di bar stool sementara ada majikannya duduk di meja makan. Walaupun sebenarnya tidak masalah jika Kana duduk di bar stool, hanya saja, Kana merasa tidak nyaman.

Setelah membalas beberapa pesan pada kotak masuk dari emailnya, indra penciuman Arif kembali mencium aroma segar yang dia rasakan ketika ia pulang kerja semalam. Hidungnya mengendus-ngendus seperti seekor kucing yang mencari dari mana arah datangnya aroma ikan yang sedap itu. Arif mengarahkan hidungnya kesegala penjuru, dan aroma itu berasal dari arah dapur.

Arif mengernyitkan dahi, padahal pagi-pagi sekali tadi ketika ia membuat kopi, ia tidak mencium aroma itu lagi, tapi sekarang, aroma segar itu kembali menyapanya penciumannya.

Arif bangkit berdiri, sambil terus mengendus, kali ini seperti zormbie yang mencium aroma mangsa manusianya. Sampai ia masuk ke dalam dapur dan....

"WOAAA!"

"AAAKKK!"

Arif teriak begitu kaget melihat Kana di bawah sana sedang makan. Sementara Kana kaget karena mendengar Arif berteriak di atasnya.

"Apa yang sedang kamu lakukan di bawah sana? Kamu mau buat saya jantungan ya?!" Omel Arif sambil mengelus-elus dadanya sendiri.

"Uhuk! Uhuk!" Kana menepuk-nepuk dadanya juga, karena setelah teriak, ia tersedak sepotong orek tempe.

Melihat Kana yang semakin kesulitan karena tersedak dan panik, akhirnya dengan cekatan Arif membantu Kana untuk mengeluarkan sesuatu yang membuatnya tersedak itu dengan cara menarik tubuh Kana dengan cepat, memutarnya hingga Arif seperti memeluk Kana dari belakang, lalu menekan dan menghentak bagian bawah dadanya beberapa kali hingga.... plup! Sepotong tempe potongan cukup besar melompat keluar dari dalam mulut Kana dan mendarat dengan sempurna ke dalam wastafel.

Setelah Kana mulai bisa bernapas dengan normal, Arif segera menggaruk punggung Kana untuk mengalirkan darah dan oksigen sampai wajah Kana tidak lagi pucat. Kemudian ia melepaskan Kana, membiarkan gadis itu terbatuk-batuk pelan.

"Dokter kenapa ngagetin saya tadi, sih?" tanya Kana setelah bisa kembali menemukan ritme pernapasannya.

"Justru saya yang kaget melihat kamu di bawah sana. Ngapain kamu di bawah situ?" Arif membela diri. Karena dia memang sangat kaget.

"Dokter nggak lihat saya lagi sarapan?"

"Sarapan?" Arif melirik sebungkus kertas nasi berisi makanan yang sudah sebagian dimakan. "Kenapa kau harus makan di bawah sana? Apa kau tidak bisa makan di atas meja?"

"Saya... saya nggak enak aja kalau makan di atas meja."

"Kenapa nggak enak? Makanan itu akan berubah rasanya kalau kamu makan di atas meja?"

"Karena Dokter nggak sarapan, saya tanya Dokter diam saja, sementara saya hanya bawa satu bungkus. Kan, nggak sopan saja rasanya kalau saya makan di meja, sementara majikan saya nggak sarapan." jawab Kana membuat Arif kehilangan kata-katanya.

Benar-benar nge-blank isi otak dokter bedah muda itu mendengar jawaban Kana.

"Kamu tanya ke saya?" tanya Arif setelah menemukan kembali kosakata di dalam sel-sel otaknya.

"Iya. Tapi dokter diam saja." jawab Kana diiringi dengan anggukan kepala yang meyakinkan jawabannya.

Arif kembali menghela napas, menenangkan kembali dirinya setelah adegan tak terduga tadi. Tapi yang dia rasakan dalam indra penciumannya ketika menarik dan membuang napas adalah aroma segar itu begitu menguar kuat dari arah Kana. Hal itu membuatnya lupa sejenak dengan keterkejutannya dan kembali pada misi awalnya, yaitu mencari sumber aroma segar itu.

"Kamu pakai minyak wangi?" tanya Arif sekonyong-konyong.

"Hah? Minyak wangi?" Kana mengerutkan dahi. "Enggak. Saya nggak pernah pakai minyak wangi."

Arif mencondongkan tubuhnya ke arah Kana, membuat Kana mundur secara refleks dan naluri melindungi diri.

"Apa kamu memakai merk sabun terntentu? Atau shampo tertentu?" tanya Arif lagi.

"Hah? Saya hanya pakai sabun batangan yang harganya dua ribuan dan shampo saset yang beli satu gratis satu saja, kok, Dok. Kenapa memangnya, Dok?" tanya Kana kini bingung dengan tingkah Arif yang berubah aneh.

"Kalau detergen pakaian? Apa kamu pakai merk tertentu?"

"Sabun colek yang warna kuning, Dok."

"Body lotion?"

"Saya nggak pakai gituan, Dok. Mahal." jawab Kana meski ia sama sekali tidak mempunyai ide apapun atas pertanyaan-pertanyaan aneh Arif.

"Besok, bawa semua itu. Sabun mandi, shampo, dan sabun colek yang kamu pakai." Titah Arif dengan singkat dan aneh.

"Hah?" Kana mengenyitkan dahi.

"Jangan lupa dibawa besok." kata Arif mengingatkan lebih galak. "Ya sudah, lanjutkan sarapanmu, saya harus ke rumah sakit sekarang." Arif bergerak melangkah keluar dapur, tapi dia kembali menengok pada Kana yang masih terbengong-bengong. "Mulai sekarang, jangan makan di lantai seperti itu, makan di atas meja, duduk di kursi yang ada. Ngerti?"

"Eh... uh... iya, Dok."

Tanpa berkata-kata lagi, Arif mengambil tas kerjanya yang berada di atas meja makan, lalu keluar dari apartemennya sendiri, meninggalkan Kana yang masih tidak mengerti untuk apa Arif meminta Kana membawa sabun, shampo bahkan sabun colek yang dia gunakan? Seberapa kuatnya Kana mencoba mencari jawaban, tetap, Kana tidak menemukan titik terang sedikit pun.

"Apa dia benar-benar seorang dokter? Kok aneh begitu sih?"

.

.

.

"Gue aneh?" Arif menunjuk dirinya sendiri dengan kedua matanya yang melebar tak percaya. Setelah ia menceritakan apa yang dia alami pagi tadi kepada kedua temannya, Jodi dan Yoga.

Dua rekannya itu yang juga berprofesi sebagai sesama dokter masih terkekeh geli dengan cerita yang dijabarkan Arif barusan saja. Bahkan Yoga hampir saja menyemburkan makan siangnya di kantin.

"Gue rasa lo itu sudah terlalu lama menjomblo, Rif." ujar Jodi setelah tawanya reda.

"Cih, nggak ada hubungannya."

"Tapi, gue rasa Jodi ada benarnya, lho. Lo terlalu terjebak nostalgia sama Yunia, makanya sekarang otak lo rada-rada eror gitu." Yoga menimpali.

"Nggak ada hubungannya, ya sodara-sodara." Arif tetap tidak menerima ucapan teman-temannya.

"Ya lagian lo juga, ngapain nyuruh ART lo bawa segala sabun mandi, shampo sampe sabun colek cuci bajunya."

"Karena gue penasaran, aroma segar itu dari mana. Gue cek nih ya, karbol pel di apartemen gue masih sama. Berarti aroma segar itu bukan dari karbol pel gue, kan? Dan ternyata aroma itu berasal dari si Kana, itu artinya ada suatu produk yang dia pakai yang menghasilkan aroma itu."

"Ya, terus kenapa gitu kalau misalnya salah satu produk yang dia pakai punya aroma segar itu?"

"Ya gue mau beli, lah." jawa Arif santai. "Soalnya, sumpah, itu aroma segar banget, dan segarnya itu bikin tenang gitu loh. Bikin relaks. Wangi lilin aroma terapi yang ada di kamar gue saja nggak semenenangkan itu, man." jawab Arif.

"Eh, gimana nih, misalnya, aroma itu bukan dari sabun, shampo atau pun sabun colek itu, tapi memang aroma si Kana itu memang seperti itu secara alami. Gimana tuh?" tanya Yoga dengan pikirannya yang kadang-kadang juga suka di luar antariksa.

"Nggak mungkin lah, cewek kayak Kana itu paling aroma badannya bau keringet atau nggak bau matahari." sahut Arif meremehkan.

"Ya, kan, kalau misalnya doang. Lo bakal gimana?"

"Nggak mungkin." Sahut Arif kekeuh.

"Eh, gimana kalau misalnya lagi nih, aroma itu benar-benar aroma alaminya si Kana, terus si Kana malah bikin lo jatuh cinta?" Jodi ikut menimpali keterampilan Yoga, berpikir di luar antariksa.

"Itu makin nggak mungkin! Gue nggak bakal suka apa lagi sampai jatuh cinta sama cewek berisik kayak dia. Duh, bisa hancur ketenangan hidup gue." jawab Arif dengan sangat sesumbar.

Sementara di tempat lain, Kana yang sedang mencuci piring merasa telinganya berdengung.

"Duh, siapa sih ini yang lagi ngomongin aku? Aku sumpahin, bersin-bersin!"

.

.

.

Bersambung ya~

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!