Menikahi Pria Bisu

Menikahi Pria Bisu

1 Penghianatan

"Uh ... Sayang, sedikit lagi ... sedikit lagi! Emh, yaaa, seperti itu! Terus ... terus, Sayang ...."

Seorang wanita mengerang di sebuah kamar yang ada di apartemen. Melina yang mendengarnya terdiam sambil merasakan kepalanya berdenyut sakit, tangan dan kaki terasa bergetar seiring dengan detak jantung yang berpacu sangat kencang.

"Suara itu ... suara itu ... Ressa?" Gadis berusia 22 tahun itu semakin terpaku. Kotak kecil yang ada di tangannya pun sampai jatuh ke lantai karena tangannya tidak bertenaga.

Hari ini, niatnya Melina akan memberikan surprise—kado yang sangat spesial—di hari ulang tahun kekasihnya. Ia sudah membeli sebuah mobil keluaran terbaru seharga tiga ratus juga untuk kekasihnya—Moa. Ia menguras habis semua tabungannya demi hadiah yang sangat mahal itu.

Tapi, setelah apa yang dirinya lakukan, Moa malah bercinta dengan Ressa, teman yang selama ini ada di antara Moa dan Melina.

"Arghhhh ...."

Melina menangis tanpa bersuara. Ia tidak bisa marah, berteriak, tidak bisa pula masuk ke dalam kamar dan memergoki mereka yang sedang bermain kuda-kudaan. Ia hanya terdiam di depan pintu sambil menangis.

Hingga tiga puluh menit kemudian, pintu di depannya tiba-tiba terbuka. Ressa yang sudah mandi dan hanya mengenakan handuk putih melingkar di tubuhnya, keluar dari kamar dan melihat Melina yang ada di depan pintu. Ia pun terkejut dengan hal itu.

"Eh ... Mel! Ka-kau ada di sini?" Ressa terlihat panik. Ia tergagap sambil membenarkan posisi handuknya yang hampir turun ke bawah. Di leher putihnya terdapat banyak tanda merah bukti percintaan mereka.

"Mana Moa? Aku ingin berbicara denganya!" teriak Melina tanpa merespon pertanyaan Ressa.

"Minggir!" Melina mendorong Ressa ke samping, lalu masuk ke dalam kamar itu dengan tangan yang terkepal erat.

Setelah Melina pergi, Ressa pun bergegas ke dapur untuk mengambil pakaiannya. Tadi Moa melucuti pakaian Ressa di dapur sebelum akhirnya bertempur di tempat tidur.

"Moa!" panggil Melina sambil berjalan menghampiri.

"Eh ...." Saat ini Moa tidak berpakaian. Tidak ada satu helai benang pun yang menutupi tubuh kekarnya.

"Me-Mel? Kapan kau datang?" Moa baru turun dari tempat tidur dan bersiap pergi ke kamar mandi karena sekarang kamar mandinya sudah kosong.

"Apa yang kau lakukan? Kenapa tadi bilangnya, 'Tidak ada di apartemen!'? Katanya kau masih berada di tempat kerja dan aku tidak boleh datang ke sini!"

"Apa ini ... ini sudah kau rencanakan? Aku tidak boleh datang, sedangkan kau bersenang-senang dengan Ressa, teman kita sendiri?" lirih Melina dengan tangisan yang semakin menjadi.

Ia benar-benar terpuruk dan hancur. Kotak kecil yang dibawanya sebagai hadiah, sudah diinjaknya di depan pintu karena kesal. Mungkin sekarang remot mobil itu sudah rusak karena terus diinjak.

"Me-Mel! Bukankah tadi sudah aku bilang, kau jangan datang ke apartemen. Kenapa kau tidak bisa mendengarku? Aku bilang jangan datang, ya, jangan datang! Kenapa tidak menurut?"

Bukannya merasa bersalah, Moa malah marah. Ia sudah terpergok oleh Melina, hubungan mereka pun sudah pasti tidak bisa bertahan lagi. Jadi sekarang, dia balik memarahi.

"Jangan mentang-mentang aku sudah memberimu kata sandi apartemen ini, kau bisa datang seenaknya tanpa seizinku!" lanjutnya lagi masih belum puas.

"Asal kau tahu saja ...." Tiba-tiba Moa—yang tidak berpakaian—mendekat. Ia mendorong Melina hingga wanita itu terseret ke tembok. "Kita ini hanya berpacaran! Kau tidak berhak masuk seenaknya ke tempat tinggaku, juga tidak berhak melarangku melakukan apapun, termasuk mengganggu kesenanganku dengan Ressa!"

"Apa??? Ke-kesenangan?" Air mata Melina semakin deras keluar. Ia mendongak, menatap Moa dengan kesakitan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.

"A-apa hubungan kita yang sudah berjalan selama satu tahun ini hanya sebatas itu? Aku pikir ... aku ini spesial di hidupmu!" lirih Melina tak berdaya. Rasanya, napasnya akan berhenti saat itu juga.

Melina benar-benar tidak menyangka, pria yang dicintainya selama ini ternyata tidak menganggap hubungan mereka itu spesial, tidak menganggap Melina wanita istimewa di hidupnya.

"Haha!" tiba-tiba Moa tertawa. Detik berikutnya, ia mencengkram rahang Melina hingga wanita itu meringis kesakitan.

"Makanya ... kalau aku minta 'Itu', ya, dikasih! Bukan malah menolak dan so suci! Kalau dari awal kau memberikan bibir bawahmu itu kepadaku, tentu aku akan menganggapmu sebagai wanita yang sangat ... sangat spesial dalam hidupku!"

"Brengsek!"

PLAK!

Tiba-tiba Melina menampar wajah menyebalkan Moa hingga pria itu menoleh ke samping.

"Kau pria brengsek pertama yang pernah aku temui!" maki Melina sambil mendorong Moa agar menjauh. Yang awalnya sedih, sekarang tidak lagi.

"Aku bersyukur bisa melihat busukmu sekarang walau rasanya sangat sakit!" ucap Melina dengan emosi yang sudah tidak tertahankan lagi.

Melina menyeka air mata di wajahnya, lalu merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.

"Mulai detik ini, kita putus! Kita tidak perlu saling mengenal lagi di kemudian hari. Aku anggap, kebersamaan kita selama satu tahun ini sebagai kesialan yang tidak ingin aku ulangi!"

Setelah mengatakan kata-kata terakhirnya, Melina pun beranjak dari hadapan Moa. Ia berjalan menuju pintu keluar, lalu pergi dari sana tanpa membawa kembali kota kecil yang sudah jelek itu.

"Sayang! Kau tidak apa-apa, kan?" Ressa yang sudah berpakaian segera mendekat. Ia pun memungut kotak hadiah milik Melina yang ada di lantai.

Ressa merasa lega karena Melina sudah pergi.

"Ini... sepertinya Melina datang untuk memberimu hadiah!" Ressa menyerahkan kotak kecil itu pada Moa.

Namun, Moa tidak peduli. Ia menyimpan kotak jelek itu ke dalam laci, lalu merangkul pundak Ressa sambil menahan rasa sakit di pipinya karena tamparan dari Melina tadi.

"Halah, hanya hadiah kecil begitu saja! Paling-paling isinya dua buah cincin! Mentang-mentang anak orang kaya, dia ingin bertunangan denganku tapi membeli cincinnya sendiri. Itu sama saja dengan merendahkan aku sebagai pria!" cibir Moa sambil menatap sekilas kotak kecil yang ada di laci.

Sebagai wanita yang terlahir dari keluarga kaya, Melina kerap kali memberikan hadiah-hadiah kecil pada Moa—yang terlahir dari keluarga biasa. Melina pernah membeli jam tangan, ponsel, pakaian, dan bahkan rela menyumbangkan sebagian uangnya setiap bulan untuk biaya sewa apartemen Moa. Itu semua Melina lakukan karena cinta. Ia percaya, dirinya dan Moa saling mencintai dan mereka akan menikah.

"Sayang!" Moa memeluk Ressa. Ia berbisik tepat di telinga wanita yang tidak lebih cantik dari Melina itu.

"Hadiah yang sangat aku sukai ya, darimu ini!"

"Ah, kau bisa saja!" Ressa tersipu.

Tiba-tiba Moa mengangkat tubuh ramping Ressa, lalu membawanya ke tempat tidur.

"Aku ingin hadiah darimu satu kali lagi!" Moa membaringkan Ressa di tempat tidur. "Kedatangan Melina membuatku sakit kepala! Aku ingin menghilangkannya dengan bercinta denganmu lagi!"

"Emhhh ...." Ressa menggeliat.

Tanpa menunggu respon dari Ressa, Moa langsung membuka kembali pakaian wanita itu. Ia menghujamkan kembali senjata hitamnya dengan kekesalan yang memuncak.

Harga dirinya sebagai seorang pria hancur di depan Melina. Wanita itu menampar wajah Moa dan merendahkan dirinya. Apalagi dengan hadiah cincin itu, Moa benar-benar merasa terhina.

*

Di basement gedung apartemen, Melina berjalan dengan langkah yang sangat cepat menju sebuah mobil yang sudah didekorsi sangat bagus—khas mobil pengantin. Ada pita dan bunga di depan mobil baru tersebut, juga ada nama Mario Andara—Moa—di kaca depan.

Niatnya, Melina datang ke sana dengan menggunakan taksi, lalu nanti Moa akan mengantarnya pulang menggunakan mobil tersebut. Membayangkan hal itu saja, Melina sudah sangat senang.

"Uaaaaa!" Melina kembali menangis.

Ia menjerit di depan mobil MPV putih yang sudah diidamkan sebelumnya oleh Moa.

Dari arah utara, mobil yang sedang berjalan keluar tiba-tiba berhenti di belakang Melina. Seseorang pun keluar dari mobil tersebut.

"Nona! Anda tidak apa-apa, kan?" tanya orang itu yang khawatir karena Melina terus menangis.

Bukannya berhenti, tangisan Melina malah semakin kencang lagi. Ia pun memaki dan mengusir orang yang peduli terhadapnya itu.

"Pergi! Jangan ganggu aku! Semua pria di dunia ini sama saja! Sama-sama brengsek!"

"Pergi! Cepat pergi!" terikanya lagi tanpa menoleh ke belakang. Melina tidak tahu, orang itu siapa dan seperti apa.

Dari dalam mobil, pria yang sangat tampan duduk di kursi baris kedua sambil menurunkan kaca mobilnya. Ia mengangguk pada orang itu dan mengisyaratkan dia agar kembali masuk ke dalam mobil.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!