NovelToon NovelToon

Menikahi Pria Bisu

1 Penghianatan

"Uh ... Sayang, sedikit lagi ... sedikit lagi! Emh, yaaa, seperti itu! Terus ... terus, Sayang ...."

Seorang wanita mengerang di sebuah kamar yang ada di apartemen. Melina yang mendengarnya terdiam sambil merasakan kepalanya berdenyut sakit, tangan dan kaki terasa bergetar seiring dengan detak jantung yang berpacu sangat kencang.

"Suara itu ... suara itu ... Ressa?" Gadis berusia 22 tahun itu semakin terpaku. Kotak kecil yang ada di tangannya pun sampai jatuh ke lantai karena tangannya tidak bertenaga.

Hari ini, niatnya Melina akan memberikan surprise—kado yang sangat spesial—di hari ulang tahun kekasihnya. Ia sudah membeli sebuah mobil keluaran terbaru seharga tiga ratus juga untuk kekasihnya—Moa. Ia menguras habis semua tabungannya demi hadiah yang sangat mahal itu.

Tapi, setelah apa yang dirinya lakukan, Moa malah bercinta dengan Ressa, teman yang selama ini ada di antara Moa dan Melina.

"Arghhhh ...."

Melina menangis tanpa bersuara. Ia tidak bisa marah, berteriak, tidak bisa pula masuk ke dalam kamar dan memergoki mereka yang sedang bermain kuda-kudaan. Ia hanya terdiam di depan pintu sambil menangis.

Hingga tiga puluh menit kemudian, pintu di depannya tiba-tiba terbuka. Ressa yang sudah mandi dan hanya mengenakan handuk putih melingkar di tubuhnya, keluar dari kamar dan melihat Melina yang ada di depan pintu. Ia pun terkejut dengan hal itu.

"Eh ... Mel! Ka-kau ada di sini?" Ressa terlihat panik. Ia tergagap sambil membenarkan posisi handuknya yang hampir turun ke bawah. Di leher putihnya terdapat banyak tanda merah bukti percintaan mereka.

"Mana Moa? Aku ingin berbicara denganya!" teriak Melina tanpa merespon pertanyaan Ressa.

"Minggir!" Melina mendorong Ressa ke samping, lalu masuk ke dalam kamar itu dengan tangan yang terkepal erat.

Setelah Melina pergi, Ressa pun bergegas ke dapur untuk mengambil pakaiannya. Tadi Moa melucuti pakaian Ressa di dapur sebelum akhirnya bertempur di tempat tidur.

"Moa!" panggil Melina sambil berjalan menghampiri.

"Eh ...." Saat ini Moa tidak berpakaian. Tidak ada satu helai benang pun yang menutupi tubuh kekarnya.

"Me-Mel? Kapan kau datang?" Moa baru turun dari tempat tidur dan bersiap pergi ke kamar mandi karena sekarang kamar mandinya sudah kosong.

"Apa yang kau lakukan? Kenapa tadi bilangnya, 'Tidak ada di apartemen!'? Katanya kau masih berada di tempat kerja dan aku tidak boleh datang ke sini!"

"Apa ini ... ini sudah kau rencanakan? Aku tidak boleh datang, sedangkan kau bersenang-senang dengan Ressa, teman kita sendiri?" lirih Melina dengan tangisan yang semakin menjadi.

Ia benar-benar terpuruk dan hancur. Kotak kecil yang dibawanya sebagai hadiah, sudah diinjaknya di depan pintu karena kesal. Mungkin sekarang remot mobil itu sudah rusak karena terus diinjak.

"Me-Mel! Bukankah tadi sudah aku bilang, kau jangan datang ke apartemen. Kenapa kau tidak bisa mendengarku? Aku bilang jangan datang, ya, jangan datang! Kenapa tidak menurut?"

Bukannya merasa bersalah, Moa malah marah. Ia sudah terpergok oleh Melina, hubungan mereka pun sudah pasti tidak bisa bertahan lagi. Jadi sekarang, dia balik memarahi.

"Jangan mentang-mentang aku sudah memberimu kata sandi apartemen ini, kau bisa datang seenaknya tanpa seizinku!" lanjutnya lagi masih belum puas.

"Asal kau tahu saja ...." Tiba-tiba Moa—yang tidak berpakaian—mendekat. Ia mendorong Melina hingga wanita itu terseret ke tembok. "Kita ini hanya berpacaran! Kau tidak berhak masuk seenaknya ke tempat tinggaku, juga tidak berhak melarangku melakukan apapun, termasuk mengganggu kesenanganku dengan Ressa!"

"Apa??? Ke-kesenangan?" Air mata Melina semakin deras keluar. Ia mendongak, menatap Moa dengan kesakitan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.

"A-apa hubungan kita yang sudah berjalan selama satu tahun ini hanya sebatas itu? Aku pikir ... aku ini spesial di hidupmu!" lirih Melina tak berdaya. Rasanya, napasnya akan berhenti saat itu juga.

Melina benar-benar tidak menyangka, pria yang dicintainya selama ini ternyata tidak menganggap hubungan mereka itu spesial, tidak menganggap Melina wanita istimewa di hidupnya.

"Haha!" tiba-tiba Moa tertawa. Detik berikutnya, ia mencengkram rahang Melina hingga wanita itu meringis kesakitan.

"Makanya ... kalau aku minta 'Itu', ya, dikasih! Bukan malah menolak dan so suci! Kalau dari awal kau memberikan bibir bawahmu itu kepadaku, tentu aku akan menganggapmu sebagai wanita yang sangat ... sangat spesial dalam hidupku!"

"Brengsek!"

PLAK!

Tiba-tiba Melina menampar wajah menyebalkan Moa hingga pria itu menoleh ke samping.

"Kau pria brengsek pertama yang pernah aku temui!" maki Melina sambil mendorong Moa agar menjauh. Yang awalnya sedih, sekarang tidak lagi.

"Aku bersyukur bisa melihat busukmu sekarang walau rasanya sangat sakit!" ucap Melina dengan emosi yang sudah tidak tertahankan lagi.

Melina menyeka air mata di wajahnya, lalu merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.

"Mulai detik ini, kita putus! Kita tidak perlu saling mengenal lagi di kemudian hari. Aku anggap, kebersamaan kita selama satu tahun ini sebagai kesialan yang tidak ingin aku ulangi!"

Setelah mengatakan kata-kata terakhirnya, Melina pun beranjak dari hadapan Moa. Ia berjalan menuju pintu keluar, lalu pergi dari sana tanpa membawa kembali kota kecil yang sudah jelek itu.

"Sayang! Kau tidak apa-apa, kan?" Ressa yang sudah berpakaian segera mendekat. Ia pun memungut kotak hadiah milik Melina yang ada di lantai.

Ressa merasa lega karena Melina sudah pergi.

"Ini... sepertinya Melina datang untuk memberimu hadiah!" Ressa menyerahkan kotak kecil itu pada Moa.

Namun, Moa tidak peduli. Ia menyimpan kotak jelek itu ke dalam laci, lalu merangkul pundak Ressa sambil menahan rasa sakit di pipinya karena tamparan dari Melina tadi.

"Halah, hanya hadiah kecil begitu saja! Paling-paling isinya dua buah cincin! Mentang-mentang anak orang kaya, dia ingin bertunangan denganku tapi membeli cincinnya sendiri. Itu sama saja dengan merendahkan aku sebagai pria!" cibir Moa sambil menatap sekilas kotak kecil yang ada di laci.

Sebagai wanita yang terlahir dari keluarga kaya, Melina kerap kali memberikan hadiah-hadiah kecil pada Moa—yang terlahir dari keluarga biasa. Melina pernah membeli jam tangan, ponsel, pakaian, dan bahkan rela menyumbangkan sebagian uangnya setiap bulan untuk biaya sewa apartemen Moa. Itu semua Melina lakukan karena cinta. Ia percaya, dirinya dan Moa saling mencintai dan mereka akan menikah.

"Sayang!" Moa memeluk Ressa. Ia berbisik tepat di telinga wanita yang tidak lebih cantik dari Melina itu.

"Hadiah yang sangat aku sukai ya, darimu ini!"

"Ah, kau bisa saja!" Ressa tersipu.

Tiba-tiba Moa mengangkat tubuh ramping Ressa, lalu membawanya ke tempat tidur.

"Aku ingin hadiah darimu satu kali lagi!" Moa membaringkan Ressa di tempat tidur. "Kedatangan Melina membuatku sakit kepala! Aku ingin menghilangkannya dengan bercinta denganmu lagi!"

"Emhhh ...." Ressa menggeliat.

Tanpa menunggu respon dari Ressa, Moa langsung membuka kembali pakaian wanita itu. Ia menghujamkan kembali senjata hitamnya dengan kekesalan yang memuncak.

Harga dirinya sebagai seorang pria hancur di depan Melina. Wanita itu menampar wajah Moa dan merendahkan dirinya. Apalagi dengan hadiah cincin itu, Moa benar-benar merasa terhina.

*

Di basement gedung apartemen, Melina berjalan dengan langkah yang sangat cepat menju sebuah mobil yang sudah didekorsi sangat bagus—khas mobil pengantin. Ada pita dan bunga di depan mobil baru tersebut, juga ada nama Mario Andara—Moa—di kaca depan.

Niatnya, Melina datang ke sana dengan menggunakan taksi, lalu nanti Moa akan mengantarnya pulang menggunakan mobil tersebut. Membayangkan hal itu saja, Melina sudah sangat senang.

"Uaaaaa!" Melina kembali menangis.

Ia menjerit di depan mobil MPV putih yang sudah diidamkan sebelumnya oleh Moa.

Dari arah utara, mobil yang sedang berjalan keluar tiba-tiba berhenti di belakang Melina. Seseorang pun keluar dari mobil tersebut.

"Nona! Anda tidak apa-apa, kan?" tanya orang itu yang khawatir karena Melina terus menangis.

Bukannya berhenti, tangisan Melina malah semakin kencang lagi. Ia pun memaki dan mengusir orang yang peduli terhadapnya itu.

"Pergi! Jangan ganggu aku! Semua pria di dunia ini sama saja! Sama-sama brengsek!"

"Pergi! Cepat pergi!" terikanya lagi tanpa menoleh ke belakang. Melina tidak tahu, orang itu siapa dan seperti apa.

Dari dalam mobil, pria yang sangat tampan duduk di kursi baris kedua sambil menurunkan kaca mobilnya. Ia mengangguk pada orang itu dan mengisyaratkan dia agar kembali masuk ke dalam mobil.

2 Ini Pertama Bagiku

Setelah puas menangis, Melina bergegas pergi meninggalkan tempat itu menggunakan taksi. Ia tidak langsung pulang ke rumah, tapi pergi ke tempat tinggal temannya untuk mencurahkan semua yang ia rasakan.

***

Hingga di malam hari, di kamar hotel yang nampak luas dan nyaman, Melina berbaring di tempat tidur dengan perasaan yang amat sangat tidak karuan. Ia sudah mengunduh sebuah aplikasi yang bernama "ReChat". Aplikasi ini merupakan aplikasi pesan instan yang memiliki fitur untuk menemukan teman baru berdasarkan lokasi terdekat. Dan, hal gilanya adalah, Melina mengunggah foto mobil yang dihias sangat indah yang merupakan hadiah untuk Moa. Namun tidak ada nama apapun di bagian depan, tidak ada pula stiker nama Moa di mobil tersebut yang sebelumnya sudah Melina tempel. Kata-kata di unggahan foto tersebut ialah, "Puaskan aku! Mobil ini akan menjadi milikmu! Syarat, pria bersih yang belum pernah bersentuhan dengan wanita!"

TRING!

Tiba-tiba ada pesan masuk di akun ReChat Melina. Ia pun segera melihat.

["Lokasi?"]

Karena fitur di aplikasi itu bisa menemukan teman baru berdasarkan lokasi terdekat, jadi saat ini orang itu merupakan orang yang paling dekat dengan Melina.

["King Hotel!"] balas Melina dengan tangan yang mulai bergtar hebat.

Melina sangat gugup mengetahui ada pria yang menanggapi postingannya.

Padahal ia pikir, di zaman modern seperti sekarang ini, tidak mungkin ada pria suci yang belum bersentuhan dengan wanita. Tidak mungkin pula ada pria yang akan menanggapi postingannya dengan syarat seperti itu.

"Apa karena hadiahnya mobil, jadi semua pria tertarik dengan tawaran ini?"

Hahaha!

Tiba-tiba Melina tertawa. Ia menertawakan kebodohan pria-pria yang tertarik dengan uang dan juga wanita, seperti halnya kekasihnya—Moa.

Melina pun segera bertanya, ["Apa kau sudah sering melakukannya?"]

["Tidak! Aku tidak tahu dan tidak mengerti caranya! Tapi aku akan mencoba untuk memuaskanmu!"] balas pria itu.

Dada Melina kembali berdebar. Antara hidup dan mati, ia sangat ketakutan membaca balasan dari pria itu.

"Apa benar dia pria bersih? Bagaimana kalau dia pria cacat?"

Kalau pria normal, rasanya tidak mungkin ada yang masih polos dan belum bersentuhan dengan wanita.

["Baiklah! Berikan nomor kamarmu kepadaku! Aku akan segera datang. Kebetulan aku masih berada di King Hotel, jadi kita bisa segera bertemu!"]

"Ahhh ...." Melina semakin kecewa dengan hal itu.

Setahunya, orang yang datang ke hotel biasanya selalu membawa pasangan. Entah itu pasangan kekasih, atau pasangan hidup/istri. Melina berpikir, mungkin pria itu juga datang bersama pasangannya.

Karena Melina masih "Online", tapi tidak membalas, pria itu kembali mengirim pesan. Dia menjelaskan apa yang dirinya lakukan di hotel tersebut.

["Ada pertemuan keluarga. Aku di aula lantai 1. Kau ada di kamar berapa?"]

Karena pria itu berkata demikian, Melina langsung menjawab, ["703."]

["Oke! Bersiaplah! Aku akan segera datang!"]

Setelah itu, Melina melempar ponselnya ke lantai. Ia mencengkram kepalanya sekuat tenaga sambil menjerit, melampiaskan kekesalan atas kebodohannya.

Nasi sudah menjadi bubur, Moa sudah menghianatinya, dan sekarang Melina sudah memberitahu nomor kamarnya pada orang lain. Ia pun akan melakukan apa yang Moa dan Ressa lakukan tadi siang di kamar apartemen.

"Bersenang-senang!"

Tok! Tok! Tok!

Terdengar suara ketukan dari luar pintu. Melina yang dari awal sudah memakai lingeri cantik nan seksi segera turun dari tempat tidur, lalu berjalan menuju pintu keluar.

Walau ini terasa aneh dan sangat memalukan, tapi, demi melampiaskan emosinya yang dikhianati oleh sang kekasih, Melina mencoba untuk tetap tenang. Ia membuka pintu sedikit demi sedikit, lalu melihat seseorang yang berdiri di depan pintu kamarnya.

Ketika pintu dibuka, Melina terpaku sambil membuka setengah dari mulutnya. Pria di depannya begitu tampan. Dia memiliki tubuh tinggi dan kekar, juga mengenakan setelan jas yang sangat bagus. Wajahnya putih dengan tata letak mata, hidung, dan bibir yang begitu indah dan sempurna. Pria itu sangat sempurna, bahkan lebih keren dari aktor di film-film. Rasanya Melina belum pernah melihat pria setampan itu sebelumnya.

"Enh?" tanya orang itu menggunakan bahasa isyarat.

Melina yang tadinya bengong pun kini segera tersadar. Ia memalingkan mukanya ke samping, lalu menutup dadanya yang terbuka dengan tangan.

"Mau mencari siapa?" tanya Melina dengan berpura-pura bego.

Takutnya pria itu bukan pria yang tadi berkirim pesan dengannya.

Tanpa bersuara dan tanpa memberinya bahasa isyarat, pria itu menulis sesuatu di tab yang dibawanya.

"Monica?"

"Ah ...." Melina segera tersadar. Pria itu ternyata memang pria yang tadi ada di aplikasi ReChat. Dan, nama Monica ... itu adalah nama samaran yang dipakai Melina di aplikasi tersebut.

"I-iya!"

"Bagaimana dengan tawaran itu? Apa kau serius?" tanya pria itu, masih berupa kata-kata pada layar tab.

Sepertinya pria itu tidak bisa berbicara. Melina pun sampai mengerutkan kening karena heran.

Pria itu menuliskan kata-katanya lagi. "Bukankah syaratnya hanya pria bersih yang belum pernah bersentuhan dengan wanita? Tidak ada syarat lain lagi, kan? Seperti bisu atau tuli!"

"Ah ...." Itu memang benar.

Melina benar-benar terpaku. Ia terdiam sambil menyilangkan kedua tangannya di dada.

Walau saat ini dirinya ingin melakukan apa yang telah Moa dan Ressa lakukan, tapi bukan berarti ia akan menyerahkan keperawanannya pada pria bisu. Ia ingin bercinta dengan pria normal yang bisa berbicara dan mendengar, juga bisa memuaskannya di atas tempat tidur.

'Aishhh! Sial! Ini sih, bukan kesenangan, tapi penderitaan!'

'Sial ... sial ... sial ....' Melina terus memaki dirinya di dalam hati. Ia tidak bisa menarik kata-katanya lagi yang telah membuat pengumuman kalau dirinya ingin dipuaskan dengan imbalan sebuah mobil.

"Aishhh!"

Setelah menenangkan diri beberapa detik, akhirnya Melina menanggapi.

"Oke! Bukankah kau menginginkan imbalan—mobil itu? Kalau kau mau, ambil saja .... Ambil saja mobil itu tanpa kau harus bersusah payah membajak sawah! Sawanya juga masih kering, kau pasti kesulitan! Aku akan memberikan mobil itu langsung padamu tanpa syarat apapun!"

Melina masuk ke dalam kamarnya. Ia mengambil kunci cadangan mobil itu, lalu diberikan pada pria bisu.

"Ini ... untukmu! Ambillah! Sekarang kau boleh pergi!" usirnya sambil menyelipkan kunci mobilnya di tangan pria bisu.

Pria itu pun tidak menolak, tidak juga membantah apa yang Melina katakan. Dia hanya terdiam sambil melihat kunci mobil yang ada di tangannya.

Pria itu semakin yakin, mobil yang ada di postingan aplikasi ReChat itu adalah mobil yang sama dengan mobil yang tadi siang dilihatnya di tempat parkir sebuah apartemen ketika dirinya sedang menjenguk teman. Dan, punggung wanita yang sedang menangis tadi ... sama persis dengan punggung wanita yang saat ini ada di hadapannya.

"Di mana mobil itu?" tanya pria bisu yang masih mengetik kalimatnya pada tab.

Dengan cepat, Melina segera menjawab, "Di tempat parkir apartemen yang ada di jalan utara! Kau cari saja sendiri mobil yang ada di foto itu."

Melina tidak ingin menyebutkan nama gedung apartemen tempat Moa tinggal. Karena baginya, hal itu sangat menyakitkan. Dirinya terlalu bodoh untuk dimanfaatkan oleh pria brengsek seperti Moa.

"Oke!" Pria bisu pun mengangguk tanpa bersuara.

Detik berikutnya, bukannya pergi setelah menerima konci mobil itu, pria bisu malah masuk ke dalam kamar Melina, lalu menutup pintunya dengan rapat. Ia pun menatap Melina yang terkejut dengan tindakannya.

"Nona Monica, karena saya sudah menerima bayaran atas pekerjaan ini, jadi saya akan melakukan semuanya dengan baik! Saya akan memuaskan Anda!"

Melina membaca tulisan di tab yang selalu dipegang oleh pria bisu tampan itu. Ia pun melangkah ke belakang untuk menghindar.

"Ah ... ti-tidak! Aku sudah tidak menginginkanya lagi!" balas Melina dengan tergagap. Ia terus mundur ke belakang, sedangkan pria itu terus maju ke arahnya.

Detik berikutnya, pria itu menyimpan tab di tangannya ke sofa yang ada di sampingnya, membuka jas ditubuhnya, lalu membuka tiga kancing kemeja bagian atas.

Penampilannya saat ini malah terlihat semakin tampan dan seksi saja. Melina sampai tidak bisa berkedip karena takjub.

Dengan gerakan yang sangat cepat, tangan Melina ditarik, lalu dia masuk ke dalam pelukan pria bisu yang sangat wangi dan bersih itu. Sepertinya dia baru mandi dan mengganti pakaiannya dengan pakaian yang baru dicuci.

Wangi sabun, wangi pewangi pakaian, dan wangi parfum pria yang begitu lembut masuk ke indra penciuman Melina. Ia pun sampai terbuai dan menikmati wangi tubuh pria itu.

"Hen?" Pria bisu bertanya. Dia memeluk Melina, menunduk, menatap Melina yang kecil dan imut dengan jarak yang sangat dekat.

Tinggi Melina hanya sebahu pria itu. Ia bisa dengan mudahnya mengangkat Melina dan membawanya ke tempat tidur.

Karena Melina sangat nyaman di dalam pelukan pria bisu, tanpa sadar dia mengangguk sambil memejamkan mata. Perlahan tangannya terulur, memeluk pinggang kekar pria bisu dengan perasaan yang amat sangat tidak karuan. Antara ragu, nyaman, juga kesal karena perbuatan kekasihnya, Melina tidak bisa berpikir apapun lagi.

Beberapa detik kemudian, pria bisu mengangkat tubuh kecil Melina, lalu membawanya ke tempat tidur.

"Ini pertama bagiku! Kau harus pelan saat melakukannya!" lirih Melina di dalam pelukan pria bisu.

"Enh!" Pria itu mengangguk, menatap Melina dengan jakun yang terus bergerak naik turun.

3 Sangat Mengerikan

Di malam yang dingin dan sepi, sepasang—pria dan wanita—yang tidak saling mengenal, berpelukan dan bermesraan di atas tempat tidur yang sama dan di dalam selimut yang sama. Tubuh polos keduanya saling menempel satu sama lain diiringi suara ******* yang penuh dengan kenikmatan.

Inginnya pria bisu itu bertanya pada Melina, "Apa kau menikmatinya?". Tapi dia tidak bisa melakukan hal itu karena suaranya masih hilang.

Sebuah kecelakaan empat tahun yang lalu telah merusak pita suara dan membuat Revano Danendra yang saat ini sudah berusia 29 tahun tidak dapat berbicara. Tenggorokannya terluka dan tertusuk oleh besi yang tidak terlalu besar. Kalau terlambat sedikit saja, mungkin nyawanya tidak bisa tergolong.

Hingga tidak tahu, pergulatan panas mereka sudah berlangsung berapa lama. Melina kabur dari kamar itu setelah mereka menyudahi permainan dan pria bisu tertidur pulas di tempat tidur.

***

Di siang hari, Melina terbangun di kamarnya karena suara ribut dari lantai satu. Ada suara teriakan dan jeritan dari seorang wanita yang sangat tidak asing di telinganya.

"Aishhh, ada apalagi ini? Kenapa Mama dan Papa bertengkar terus? Apa mereka tidak tahu, aku baru mau tidur?" Melina menggerutu.

Ia yang baru pulang beberapa jam yang lalu, masih mengantuk karena semalaman dihajar oleh pria bisu sampai dirinya kelelahan.

"Kak! Kakak! Bangun, Kak! Bangun! Papa, Kak! Papa kecelakaan!" teriak adiknya di depan pintu kamar Melina. Suaranya terdengar panik dan penuh dengan ketakutan.

"Si-siapa yang kecelakaan?" Melina mendengarnya, tapi dia tidak terlalu jelas mendengar ucapan adiknya yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas itu.

"Papa, Kak! Papa! Papa kecelakaan dan katanya dia meninggal. Bangunlah ...." Sekarang adiknya mulai menangis sejadi-jadinya di depan pintu kamar Melina.

Ayahnya yang dari kemarin pergi bertugas keluar kota, sekarang dinyatakan meninggal oleh polisi. Saat ini di rumahnya sudah ada tiga orang polisi yang datang dan memberitahu hal tersebut

"Papa!" Melina pun segera bangun.

Ia terhuyung berjalan menuju pintu sambil menahan sakit di sekujur tubuhnya, terutama di bagian area sensitifnya. Rasanya sangat sakit dan pedih.

Melina pun membuka pintu.

"Kakak! Huaaaa!" Adiknya menyergap Melina.

Dia menangis di dalam pelukan kakaknya.

"Di mana Mama?" Melina bertanya.

Tadi dia mendengar suara teriakan dan jeritan yang sangat keras dari lantai bawah. Awalnya, Melina mengira ibunya sedang bertengkar dengan ayahnya. Tapi ternyata ....

"Mama pingsan, Kak! Huaaaa!"

"Apa?"

Melina dan adiknya pun bergegas turun ke bawah.

Di ruang tamu, ibunya sudah pingsan. Melina pun segera menyuruh pelayan untuk memindahkan ibunya ke kamar.

"Begini Nona! Tadi pagi, pukul 3 dinihari, seorang pria dengan identitas ini mengalami kecelakaan tunggal yang mengakibatkan mobilnya menghantam pembatas jalan lalu terpental beberapa meter. Satu orang meningga dan satu orang lagi selamat!" jelas pihak kepolisian sambil menyerahkan dompet yang berisi uang, kartu tanda penduduk, dan beberapa kartu lainnya.

Dilihat dari kartu tanda pengenalnya, sudah bisa dipastikan kalau itu ayahnya Melina.

"Di mana ayah saya sekarang?" tanya Melina dengan perasaan yang sudah tidak karuan. Antara percaya dan tidak, tapi itu adalah ayahnya.

"Di rumah sakit Fredika, Nona!" jawab petugas kepolisian itu dengan tegas.

Melina pun bersiap pergi ke sana.

Sebelum pergi, Melina bertanya pada polisi. "Lalu yang satunya lagi, siapa?"

Setahunya, kemarin itu ayahnya pergi ke luar kota seorang diri. Dia tidak membawa teman, kerabat, atau bahkan asisten pribadinya. Ayahnya pergi sendiri tanpa ditemani oleh siapa pun.

"Seorang wanita! Dia langsung dibawa oleh keluarganya!" jawab polisi dengan jujur sesuai dengan apa yang terjadi tadi pagi.

"Wa-wanita?"

Siapa?

Dengan beribu pertanyaan yang masih menumpuk di kepalanya, Melina pergi bersama petugas kepolisian itu menuju rumah sakit tempat ayahnya berada. Melina pun menyuruh teman baiknya untuk datang dan menemaninya di rumah sakit.

"Oke! Oke! Aku akan segera ke rumah sakit! Kita bertemu di sana!" balas teman baiknya dari seberang telepon.

Setelah itu, sambungan telepon ditutup.

***

Dua hari kemudian, di rumah duka yang ada di pusat kota, Melina dan sang adik terus berada di samping peti mati ayahnya dan menerima ucapan bela sungkawa dari para rekan dan kerabat yang hadir. Semua orang sangat terpukul dengan musibah ini. Mereka tidak menyangka kalau Tuan Moco akan mengalami kecelakaan yang sangat hebat hingga meninggal dunia.

"Aku dengar, Tuan Moco pergi bersama selingkuhanya! Mereka berciuman di dalam mobil ketika sedang menyetir. Makanya, mobilnya hilang kendali lalu kecelakaan!"

"Ya, kau benar! Aku pun mendengar hal itu!"

"Katanya, Tuan Moco berbohong pada istri dan anaknya. Bilangnya mau pergi bertugas ke luar kota, padahal pergi bercinta!"

"Iiiiiii sangat mengerikan!"

"Ssttt, apa kalian tahu? Polisi sedang mendalami kasus kecelakaan itu. Ada kemungkinan, Tuan Moco yang sudah meninggal akan ditetapkan sebagai tersangka. Dia dan wanita yang ada di dalam mobil tertangkap kamera sedang berciuman. Kelalaian itu akan membuat seseorang yang sudah meninggal ditetapkan sebagai tersangka," jelas yang lainnya.

Dari samping mereka, ada seorang wanita yang tampang dan penampilannya sangat mirip dengan laki-laki, wajahnya sangat tampan dan manis dengan rambut yang pendek. Di dadanya ada gundukan gunung kembar yang tidak terlalu besar. Wanita tomboy itu berdehem dan menghentikan omong kosong mereka semua.

"Ehem!"

***

Di tempat lain, di meja makan yang sudah terdapat banyak makanan, seorang pria berusia 54 tahun berkata pada putra sulungnya yang terdiam sambil mengunyah makanannya.

"Revan! Apa kau tidak malu, punya mulut, tapi tidak bisa berbicara? Padahal kau ini terlahir normal dan sempurna. Semua wanita pun menyukamu! Tapi sekarang, setelah kau bisu, jangankan wanita, lalat pun enggan untuk datang kepadamu!"

"Sebaiknya tenggorokanmu dioperasi lagi! Dokter bilang kau bisa kembali memiliki suara setelah dilakukan operasi lanjutan!" tambah Tuan Rava dengan serius.

Tuan Rava sudah tidak sabar ingin segera menimang cucu dari Revano—putra pertamanya. Ia terus memaksa dan membujuk putranya agar mau menjalani operasi lanjutan, setelah itu dia bisa menikah.

"Sudah ... sudah! Biarkan Revan menghabiskan makanannya dulu. Setelah makan, barulah berbicara lagi!" timpal ibu tiri Revano yang terlihat sangat baik. Padahal dia tidak menyukai Revano dari dulu sampai sekarang.

Bukannya diam setelah istrinya bersuara, Rava malah kembali berbicara. Ia menawari Revano sesuatu yang sangat diinginkan oleh semua orang, termasuk anak tirinya.

"Jika kau menikah, aku akan menyerahkan posisiku saat ini kepadamu! Kau akan memimpin perusahaan, dan, saham sebesar 10% milik ibumu akan beralih menjadi milikmu! Bagaimana?"

Itu sebuah tawaran yang sangat menggiurkan. Bukan hanya akan naik jabatan menjadi presiden direktur di perusahaan ayahnya, tapi juga akan mengambil saham ibunya yang selama ini ditahan oleh Tuan Rava.

"Beri aku waktu!" balas Revano yang dia tulis pada tab kesayangannya.

"Satu tahun! Aku hanya akan memberimu waktu selama satu tahun! Kalau dalam waktu satu tahu kau tidak menikah juga, selamanya kesempatan itu tidak akan ada lagi! Aku tidak akan memberikan jabatan itu kepadamu. Juga saham ibumu, jangan harap selamanya kau bisa mengambil saham itu dari tanganku."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!