Klinik Ghaib : 3 Pendekar Tanah Jawa
"Kebangkitannya, membawa malapetaka dan pertumpahan darah yang amat mengerikan, nyawa setiap manusia bagaikan mainan ditangannya, dia akan membalaskan dendam yang telah lama terpendam, di ritual penumbalan."
Di Bawah terangnya sinar rembulan malam. Hawa dingin terasa begitu menusuk hingga ke tulang-tulang. Terbawa angin yang semakin bertiup kencang, menerobos masuk melalui celah-celah pintu dan jendela yang masih terbuka.
Seorang pemuda jangkung, berkemeja batik lengkap dengan stetoskop yang tergantung di lehernya, nampak tengah sibuk membereskan segala peralatan medis yang telah selesai ia gunakan.
Jagad Wahyu Linduaji, lelaki 35 tahun yang berprofesi sebagai seorang dokter itu tampak begitu lelah setelah seharian melayani pasien-pasien yang datang ke Klinik miliknya.
Sebuah Klinik kesehatan yang terletak jauh di pelosok desa pinggir hutan, Desa Randujati. Klinik ini tak hanya menerima pasien-pasien dengan keluhan sakit seperti pada umumnya, namun juga menerima pasien-pasien dengan segala keluhan yang berhubungan dengan dunia gaib dan tak masuk nalar. Karena itulah, banyak orang menyebutnya 'Klinik Gaib'.
"Mas! Sudah mau tutup? Masih jam 8 loh ini," tanya pemuda berkopiah hitam lengkap dengan tasbih yang tergantung di lehernya, pada Jagad.
Heru Suseno, merupakan salah satu partner kerjanya di klinik. Usianya jauh lebih muda dibandingkan dengan Jagad. Lelaki yang lebih sering dikenal dengan 'kang ruqyah' itu sudah bertahun-tahun ikut membantu Jagad dan ibunya dalam menangani pasien-pasien di klinik, sebagai seorang asisten dokter.
"Nanti kalau ada yang datang tinggal buka lagi, Her. Dingin soalnya," ujar Jagad sembari menutup rapat pintu Klinik sekaligus rumahnya.
Kriiiiiinggggg …!
Suara ponsel berdering begitu nyaring. Heru buru-buru mengangkat telepon yang ternyata dari pakdenya di kampung.
"Halo, pakde. Assalamu'alaikum, ada apa? Tumben malam-malam telepon Heru?" tanya Heru.
....
"Apa? Ya sudah, Heru pulang sekarang. Amankan seluruh warga dulu," ujar Heru lagi.
Jagad hanya diam menyimak pembicaraan Heru yang nampak begitu kaget dan panik.
"Mas, kita ke kampungku sekarang! Kutukan puluhan tahun yang lalu kembali terulang. Keluargaku dalam bahaya mas! Aku perlu bantuanmu juga mas Gun," ucap Heru panik.
"Biar ku telpon Guntur," ucap Jagad sembari berlalu menuju kamar.
***
Terlihat seorang lelaki yang hampir seumuran dengan Jagad tengah berbincang-bincang dengan beberapa tetangga di teras rumah. Setelah acara tahlilan selesai, masih banyak warga yang tinggal untuk sekedar berbincang-bincang dengannya.
Guntur Mahendra, lelaki 35 tahun yang juga berprofesi sebagai seorang dokter sama seperti Jagad. Ia sudah 2 tahun bekerja membantu Jagad di Klinik, dalam mengatasi hal-hal yang berbau mistis, setelah ijin prakteknya ditangguhkan.
Dering ponselnya menyela di tengah riuhnya senda gurau para warga yang sedari tadi menemaninya.
"Halo, Mas. Pripun?" (Halo, Mas. Ada apa?) Guntur segera mengangkat teleponnya yang ternyata dari Jagad.
"Budal ke kampung pakdenya Heru! Nanti aku kirimkan alamatnya, aku berangkat sekarang sama Heru!" ujar Jagad singkat padat dan tanpa basa basi. Setelah menyelesaikan kalimatnya, Jagad langsung menutup telepon tanpa mendengar jawaban Guntur.
Guntur segera masuk ke kamar, meninggalkan para tetangga yang masih asik bercengkrama. Ia segera mengemasi barang-barang dan pusaka yang ia butuhkan untuk menyusul Jagad dan juga Heru. Guntur masih belum tahu apa yang sedang terjadi, namun jika Jagad sudah memberi titah, itu berarti hal besar tengah terjadi.
***
Jagad dan Heru berangkat berboncengan dengan motor supra tua peninggalan almarhum pak Junaidi, ayah Heru. Sedangkan Guntur berangkat sendirian dengan mobilnya dari kampung sang kakek.
Singkat cerita, Heru dan Jagad telah sampai terlebih dahulu di kampung tempat asal Heru. Jagad memarkirkan motor yang ia kendarai di halaman rumah pakde Parmin, yang merupakan kerabat Heru.
Tok ...tok... tok.
Heru mengetuk pintu rumah yang terlihat begitu gelap.
"Pakde! Ini Heru!" ucapnya.
Karena tak ada jawaban sama sekali dari balik pintu rumah, Heru memutuskan untuk segera menelpon lagi pakdenya.
"Mas, mereka udah ngumpul di rumahnya Pak Rt! Ayo nyusul aja, sepertinya banyak yang kesurupan," ujar Heru.
"Bentar Her, kamu coba lihat ke atas." Tunjuk jagad keatas rumah-rumah warga.
Beberapa bola api atau yang lebih dikenal dengan banaspati terlihat melayang-layang di beberapa rumah warga, termasuk rumah Pakde Parmin.
"Ladenin apa lari?" tanya Heru pada Jagad.
"Anggap aja sambutan! Serang," seru Jagad.
Jagad dan Heru berlari ke halaman salah satu rumah warga yang lebih luas. Terlihat pasukan banaspati beterbangan mengelilingi mereka berdua. Heru segera keluarkan tasbih dari dalam saku, ia mulai lantunkan dzikir dan doa-doa untuk menangkis setiap serangan dari mahluk-mahluk itu.
Jagad pun sudah bersiap dengan sebilah keris di tangannya. Keris Damarwulan, peninggalan leluhurnya yang telah turun temurun diwariskan ke keluarganya.
"Sir jumbat jumbit.
Aji segarit.
Ajur memala ajur durjana.
Bali mulih ojo mara teko.
Damarwulan paringi dalan.
Bismillahirrahmanirrahim
...."
Jagad rapalkan sebuah mantra leluhur untuk mengaktifkan energi di keris Damarwulan.
Suara-suara dentuman terdengar dari energi yang saling beradu, kilatan cahaya tercipta dari setiap benturan energi antara banaspati dengan keris Damarwulan. Menciptakan suasana yang lebih mencekam dari sebelumnya.
Para warga yang tengah berkumpul di rumah pak Rt, nampak makin panik saat mendengar suara-suara dentuman akibat pertempuran itu.
"Gimana ini, Pakde? Mas Heru belum datang juga? Makin banyak perempuan yang ikut kesurupan!" tanya Pak Rt yang terlihat begitu panik.
"Sebentar pak! Sepertinya suara-suara itu berasal dari tempat Heru dan temannya berada. Kita sabar dulu sambil terus berdoa, supaya mereka bisa sampai disini dengan selamat," ujar Parmin sembari menunggu Heru dengan gelisah di balik jendela kaca.
Heru semakin gencar melantunkan ayat-ayat suci seiring gencarnya serangan dari para mahluk kiriman itu.
"Semakin banyak yang datang! Sial, Guntur lama sekali!" gerutu Jagad.
Jagad semakin kewalahan melawan pasukan banaspati itu bersama Heru. Peluhnya mengalir deras membasahi kaos yang ia kenakan. Pandangannya pun seakan berkunang-kunang akibat serangan banaspati yang tiada henti.
Begitupun dengan Heru. Tampak darah segar keluar dari lubang hidungnya, serangan energi itu benar-benar tak bisa diremehkan.
Jagad semakin melemah, Ia bersiap meraga sukma untuk melepaskan sukma dari raganya.
"Jaga ragaku, Her!" titahnya pada Heru.
Jagad duduk bersila dengan keris yang menempel tepat di dada. Ia segera merapalkan mantra agar sukmanya berhasil terlepas sempurna dari raga yang semakin terasa melemah.
"Bismillahirrohmanirrohim.
Dzat gumilang tanpa sangkan.
Liyep, cut prucut.
Sukmaningsun metu saka raga.
Gampang saka sarining gampang sak niatku.
Lan slamet saka kersaning Allah.
Laa Ilaaha Illallah Muhammadurrasulullah."
Dalam sekejap sukmanya telah berhasil terlepas sempurna dengan membawa energi dari keris Damarwulan, ia serang habis-habisan kumpulan banaspati yang melayang-layang itu.
Pertempuran berlangsung cukup lama, hingga jam sudah menunjukan pukul 2 malam. Kumpulan banaspati itu pun berangsur lenyap dan menghilang. Setelah dirasa keadaan aman, ia segera kembali ke raganya.
"Ayo cepat nyusul warga!" ajak Heru setelah Jagad sadar.
Dengan sisa-sisa tenaga yang mereka miliki, mereka segera melajukan motornya menuju ke rumah Pak Rt.
Ditengah malam yang begitu mencekam, rumah besar pak Rt nampak masih terdengar begitu riuh. Tangisan, jeritan dan lantunan ayat-ayat suci saling bersahutan memenuhi seisi ruangan.
"Assalamu'alaikum, Pak Rt … ini Heru, buka pintunya!" panggil Heru didepan pintu rumah Pak Rt yang cukup luas.
Pakde Parmin segera membukakan pintu untuk keponakannya tersebut.
"Syukur kalian selamat. Ayo masuk, tolong mereka!" ucap pakde Parmin sembari mempersilahkan Heru dan Jagad masuk.
Heru segera melihat kondisi beberapa warga yang tengah kesurupan. Mereka tampak meraung-raung, menangis dan menjerit kesakitan saat Heru mendekatinya. Lantunan ayat-ayat ruqyah terus terucap dari mulut Heru tanpa henti. Satu per satu, para wanita yang kerasukan itu pun mulai sadar.
Tinggalah seorang gadis yang sedari tadi terus tersenyum menyeringai ke arah Heru dan Jagad.
"Hahahaha ... goblok! Mereka akan tetap mati ditangan Tuanku! Mereka sudah ditakdirkan untuk menjadi tumbal, hahahaha," ucap gadis itu dengan suara serak dan begitu berat.
"Tidak ada satupun makhluk yang berhak mengambil nyawa manusia selain Sang Maha Pencipta," balas Jagad.
"Hahahaha …." Gadis itu hanya kembali tertawa menyeringai ke arah Heru dan Jagad.
Jagad bersiap mengambil kerisnya, namun tiba-tiba saja gadis itu terjatuh tak sadarkan diri.
"Dia pergi!" ucap Jagad pelan.
"Semuanya, jangan ada yang melamun. Terus berdoa!" teriak Heru pada seluruh warga yang berkumpul.
"Hahahahahahahahaha ... kalian akan mati! Bulan purnama akan hadir, ritual penumbalan akan terulang hahahaha …." Sebuah suara tak berwujud terdengar begitu melengking.
Jagad celingukan mencari-cari sosok yang memberikan ancaman tersebut.
"Menurut jadwal, besok malam merupakan puncak bulan purnama kuning. Jika kita tak berhasil mematahkan kutukannya, kita semua akan mati disini," ujar Parmin.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kutukan ini kembali terulang, Pakde?" tanya Heru penasaran.
"Seseorang pasti telah melepas makhluk itu dari sumur keramat, dan bersekutu dengannya. Leluhur kita telah bersusah payah mengurungnya disana, mau tak mau kita harus mengurungnya kembali Heru." Raut wajah Parmin terlihat begitu serius saat mengatakan itu, tangannya mengepal erat sembari menatap ke arah keponakannya. "Dendamnya begitu besar pada leluhur warga desa, kita semua pasti akan mati jika dia benar-benar terlepas," ucap Parmin, membuat seluruh orang yang berada di sana mulai menangis ketakutan.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 73 Episodes
Comments
🥰Siti Hindun
Assalamu'alaikum..
Mampir Aku Kak☺️
2023-10-28
1
Sari N
baru juga datang, udah disambut sama mantra2 aja 😭 kak nahan nih 👻🙈
2023-08-13
2
Sena Fiana
😆😁😁
2023-07-18
2