"Kebangkitannya, membawa malapetaka dan pertumpahan darah yang amat mengerikan, nyawa setiap manusia bagaikan mainan ditangannya, dia akan membalaskan dendam yang telah lama terpendam, di ritual penumbalan."
Di Bawah terangnya sinar rembulan malam. Hawa dingin terasa begitu menusuk hingga ke tulang-tulang. Terbawa angin yang semakin bertiup kencang, menerobos masuk melalui celah-celah pintu dan jendela yang masih terbuka.
Seorang pemuda jangkung, berkemeja batik lengkap dengan stetoskop yang tergantung di lehernya, nampak tengah sibuk membereskan segala peralatan medis yang telah selesai ia gunakan.
Jagad Wahyu Linduaji, lelaki 35 tahun yang berprofesi sebagai seorang dokter itu tampak begitu lelah setelah seharian melayani pasien-pasien yang datang ke Klinik miliknya.
Sebuah Klinik kesehatan yang terletak jauh di pelosok desa pinggir hutan, Desa Randujati. Klinik ini tak hanya menerima pasien-pasien dengan keluhan sakit seperti pada umumnya, namun juga menerima pasien-pasien dengan segala keluhan yang berhubungan dengan dunia gaib dan tak masuk nalar. Karena itulah, banyak orang menyebutnya 'Klinik Gaib'.
"Mas! Sudah mau tutup? Masih jam 8 loh ini," tanya pemuda berkopiah hitam lengkap dengan tasbih yang tergantung di lehernya, pada Jagad.
Heru Suseno, merupakan salah satu partner kerjanya di klinik. Usianya jauh lebih muda dibandingkan dengan Jagad. Lelaki yang lebih sering dikenal dengan 'kang ruqyah' itu sudah bertahun-tahun ikut membantu Jagad dan ibunya dalam menangani pasien-pasien di klinik, sebagai seorang asisten dokter.
"Nanti kalau ada yang datang tinggal buka lagi, Her. Dingin soalnya," ujar Jagad sembari menutup rapat pintu Klinik sekaligus rumahnya.
Kriiiiiinggggg …!
Suara ponsel berdering begitu nyaring. Heru buru-buru mengangkat telepon yang ternyata dari pakdenya di kampung.
"Halo, pakde. Assalamu'alaikum, ada apa? Tumben malam-malam telepon Heru?" tanya Heru.
....
"Apa? Ya sudah, Heru pulang sekarang. Amankan seluruh warga dulu," ujar Heru lagi.
Jagad hanya diam menyimak pembicaraan Heru yang nampak begitu kaget dan panik.
"Mas, kita ke kampungku sekarang! Kutukan puluhan tahun yang lalu kembali terulang. Keluargaku dalam bahaya mas! Aku perlu bantuanmu juga mas Gun," ucap Heru panik.
"Biar ku telpon Guntur," ucap Jagad sembari berlalu menuju kamar.
***
Terlihat seorang lelaki yang hampir seumuran dengan Jagad tengah berbincang-bincang dengan beberapa tetangga di teras rumah. Setelah acara tahlilan selesai, masih banyak warga yang tinggal untuk sekedar berbincang-bincang dengannya.
Guntur Mahendra, lelaki 35 tahun yang juga berprofesi sebagai seorang dokter sama seperti Jagad. Ia sudah 2 tahun bekerja membantu Jagad di Klinik, dalam mengatasi hal-hal yang berbau mistis, setelah ijin prakteknya ditangguhkan.
Dering ponselnya menyela di tengah riuhnya senda gurau para warga yang sedari tadi menemaninya.
"Halo, Mas. Pripun?" (Halo, Mas. Ada apa?) Guntur segera mengangkat teleponnya yang ternyata dari Jagad.
"Budal ke kampung pakdenya Heru! Nanti aku kirimkan alamatnya, aku berangkat sekarang sama Heru!" ujar Jagad singkat padat dan tanpa basa basi. Setelah menyelesaikan kalimatnya, Jagad langsung menutup telepon tanpa mendengar jawaban Guntur.
Guntur segera masuk ke kamar, meninggalkan para tetangga yang masih asik bercengkrama. Ia segera mengemasi barang-barang dan pusaka yang ia butuhkan untuk menyusul Jagad dan juga Heru. Guntur masih belum tahu apa yang sedang terjadi, namun jika Jagad sudah memberi titah, itu berarti hal besar tengah terjadi.
***
Jagad dan Heru berangkat berboncengan dengan motor supra tua peninggalan almarhum pak Junaidi, ayah Heru. Sedangkan Guntur berangkat sendirian dengan mobilnya dari kampung sang kakek.
Singkat cerita, Heru dan Jagad telah sampai terlebih dahulu di kampung tempat asal Heru. Jagad memarkirkan motor yang ia kendarai di halaman rumah pakde Parmin, yang merupakan kerabat Heru.
Tok ...tok... tok.
Heru mengetuk pintu rumah yang terlihat begitu gelap.
"Pakde! Ini Heru!" ucapnya.
Karena tak ada jawaban sama sekali dari balik pintu rumah, Heru memutuskan untuk segera menelpon lagi pakdenya.
"Mas, mereka udah ngumpul di rumahnya Pak Rt! Ayo nyusul aja, sepertinya banyak yang kesurupan," ujar Heru.
"Bentar Her, kamu coba lihat ke atas." Tunjuk jagad keatas rumah-rumah warga.
Beberapa bola api atau yang lebih dikenal dengan banaspati terlihat melayang-layang di beberapa rumah warga, termasuk rumah Pakde Parmin.
"Ladenin apa lari?" tanya Heru pada Jagad.
"Anggap aja sambutan! Serang," seru Jagad.
Jagad dan Heru berlari ke halaman salah satu rumah warga yang lebih luas. Terlihat pasukan banaspati beterbangan mengelilingi mereka berdua. Heru segera keluarkan tasbih dari dalam saku, ia mulai lantunkan dzikir dan doa-doa untuk menangkis setiap serangan dari mahluk-mahluk itu.
Jagad pun sudah bersiap dengan sebilah keris di tangannya. Keris Damarwulan, peninggalan leluhurnya yang telah turun temurun diwariskan ke keluarganya.
"Sir jumbat jumbit.
Aji segarit.
Ajur memala ajur durjana.
Bali mulih ojo mara teko.
Damarwulan paringi dalan.
Bismillahirrahmanirrahim
...."
Jagad rapalkan sebuah mantra leluhur untuk mengaktifkan energi di keris Damarwulan.
Suara-suara dentuman terdengar dari energi yang saling beradu, kilatan cahaya tercipta dari setiap benturan energi antara banaspati dengan keris Damarwulan. Menciptakan suasana yang lebih mencekam dari sebelumnya.
Para warga yang tengah berkumpul di rumah pak Rt, nampak makin panik saat mendengar suara-suara dentuman akibat pertempuran itu.
"Gimana ini, Pakde? Mas Heru belum datang juga? Makin banyak perempuan yang ikut kesurupan!" tanya Pak Rt yang terlihat begitu panik.
"Sebentar pak! Sepertinya suara-suara itu berasal dari tempat Heru dan temannya berada. Kita sabar dulu sambil terus berdoa, supaya mereka bisa sampai disini dengan selamat," ujar Parmin sembari menunggu Heru dengan gelisah di balik jendela kaca.
Heru semakin gencar melantunkan ayat-ayat suci seiring gencarnya serangan dari para mahluk kiriman itu.
"Semakin banyak yang datang! Sial, Guntur lama sekali!" gerutu Jagad.
Jagad semakin kewalahan melawan pasukan banaspati itu bersama Heru. Peluhnya mengalir deras membasahi kaos yang ia kenakan. Pandangannya pun seakan berkunang-kunang akibat serangan banaspati yang tiada henti.
Begitupun dengan Heru. Tampak darah segar keluar dari lubang hidungnya, serangan energi itu benar-benar tak bisa diremehkan.
Jagad semakin melemah, Ia bersiap meraga sukma untuk melepaskan sukma dari raganya.
"Jaga ragaku, Her!" titahnya pada Heru.
Jagad duduk bersila dengan keris yang menempel tepat di dada. Ia segera merapalkan mantra agar sukmanya berhasil terlepas sempurna dari raga yang semakin terasa melemah.
"Bismillahirrohmanirrohim.
Dzat gumilang tanpa sangkan.
Liyep, cut prucut.
Sukmaningsun metu saka raga.
Gampang saka sarining gampang sak niatku.
Lan slamet saka kersaning Allah.
Laa Ilaaha Illallah Muhammadurrasulullah."
Dalam sekejap sukmanya telah berhasil terlepas sempurna dengan membawa energi dari keris Damarwulan, ia serang habis-habisan kumpulan banaspati yang melayang-layang itu.
Pertempuran berlangsung cukup lama, hingga jam sudah menunjukan pukul 2 malam. Kumpulan banaspati itu pun berangsur lenyap dan menghilang. Setelah dirasa keadaan aman, ia segera kembali ke raganya.
"Ayo cepat nyusul warga!" ajak Heru setelah Jagad sadar.
Dengan sisa-sisa tenaga yang mereka miliki, mereka segera melajukan motornya menuju ke rumah Pak Rt.
Ditengah malam yang begitu mencekam, rumah besar pak Rt nampak masih terdengar begitu riuh. Tangisan, jeritan dan lantunan ayat-ayat suci saling bersahutan memenuhi seisi ruangan.
"Assalamu'alaikum, Pak Rt … ini Heru, buka pintunya!" panggil Heru didepan pintu rumah Pak Rt yang cukup luas.
Pakde Parmin segera membukakan pintu untuk keponakannya tersebut.
"Syukur kalian selamat. Ayo masuk, tolong mereka!" ucap pakde Parmin sembari mempersilahkan Heru dan Jagad masuk.
Heru segera melihat kondisi beberapa warga yang tengah kesurupan. Mereka tampak meraung-raung, menangis dan menjerit kesakitan saat Heru mendekatinya. Lantunan ayat-ayat ruqyah terus terucap dari mulut Heru tanpa henti. Satu per satu, para wanita yang kerasukan itu pun mulai sadar.
Tinggalah seorang gadis yang sedari tadi terus tersenyum menyeringai ke arah Heru dan Jagad.
"Hahahaha ... goblok! Mereka akan tetap mati ditangan Tuanku! Mereka sudah ditakdirkan untuk menjadi tumbal, hahahaha," ucap gadis itu dengan suara serak dan begitu berat.
"Tidak ada satupun makhluk yang berhak mengambil nyawa manusia selain Sang Maha Pencipta," balas Jagad.
"Hahahaha …." Gadis itu hanya kembali tertawa menyeringai ke arah Heru dan Jagad.
Jagad bersiap mengambil kerisnya, namun tiba-tiba saja gadis itu terjatuh tak sadarkan diri.
"Dia pergi!" ucap Jagad pelan.
"Semuanya, jangan ada yang melamun. Terus berdoa!" teriak Heru pada seluruh warga yang berkumpul.
"Hahahahahahahahaha ... kalian akan mati! Bulan purnama akan hadir, ritual penumbalan akan terulang hahahaha …." Sebuah suara tak berwujud terdengar begitu melengking.
Jagad celingukan mencari-cari sosok yang memberikan ancaman tersebut.
"Menurut jadwal, besok malam merupakan puncak bulan purnama kuning. Jika kita tak berhasil mematahkan kutukannya, kita semua akan mati disini," ujar Parmin.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kutukan ini kembali terulang, Pakde?" tanya Heru penasaran.
"Seseorang pasti telah melepas makhluk itu dari sumur keramat, dan bersekutu dengannya. Leluhur kita telah bersusah payah mengurungnya disana, mau tak mau kita harus mengurungnya kembali Heru." Raut wajah Parmin terlihat begitu serius saat mengatakan itu, tangannya mengepal erat sembari menatap ke arah keponakannya. "Dendamnya begitu besar pada leluhur warga desa, kita semua pasti akan mati jika dia benar-benar terlepas," ucap Parmin, membuat seluruh orang yang berada di sana mulai menangis ketakutan.
Bersambung....
Ditengah pekatnya keheningan malam, Guntur melajukan mobil dengan kecepatan penuh. Sesekali ia lihat arloji yang melingkar di tangan kirinya, berharap ia bisa secepatnya sampai ke tempat Heru dan Jagad berada.
Guntur melewati jalur pegunungan yang begitu sepi. Tak ada satupun kendaraan yang terlihat selain mobil miliknya.
Saat melewati kawasan hutan yang begitu luas, Guntur merasakan aura negatif mencoba mendekatinya.
"Khi ... khi ... khi ...." Suara melengking terdengar begitu menusuk telinga.
Guntur menoleh kearah kursi kosong dibelakangnya, namun tak ia temukan siapapun. Saat ia hendak menoleh kembali ke depan, tiba-tiba sebuah pemandangan menjijikan terpampang nyata didepan mukanya. Wajah hancur penuh darah dan nanah, nampak jelas dimata Guntur.
Guntur spontan membanting stir mobilnya ke tepi jalan. Meskipun ia telah terbiasa dengan mahluk-mahluk itu, namun tetap saja ia kaget.
Brakkkkk ...!
Mobilnya membentur tepi tebing disamping jalan. Beruntung, ia tidak membanting stir kesebelah kanan. Sebelah kanan jalan tersebut merupakan jurang yang begitu curam, jika sampai terperosok sudah dipastikan mobilnya akan hancur.
"Diancok! Demit?!" rutuk Guntur.
Saat ia menabrak tebing, mahluk itu tiba-tiba menghilang begitu saja. Mungkin karena hal seperti inilah kecelakaan maut di daerah ini sering terjadi, banyak sekali mahluk-mahluk jail yang dengan sengaja menakut-nakuti manusia.
Guntur keluar dari mobil untuk mengecek kerusakan mobilnya. Tampak bemper depan yang sedikit penyok namun tak terlalu parah.
Guntur segera kembali masuk kedalam mobil. Ia mencoba menghidupkan kembali mobilnya, namun berkali-kali ia coba, mobilnya tetap enggan menyala. Padahal jika dilihat dari kerusakannya, tak mungkin bisa membuat mobil itu sampai mogok.
Guntur keluar mengambil segenggam tanah, ia rapalkan doa-doa untuk melihat energi apa yang telah mengganggu perjalanannya. Lalu ia lemparkan segenggam tanah itu kesekitar tempat ia berdiri sembari memejamkan mata.
"Khekhekhe ... ternyata kau bukan orang sembarangan cah bagus!" ucap mahluk berwujud nenek bungkuk dengan muka separuh hancur yang bertengger tepat diatas mobil.
Guntur hanya menyunggingkan senyumnya sebentar lalu berucap, "Jangan halangi perjalananku, jika tak ingin ku musnahkan," ancam Guntur.
"Khekhekhe ... sombong sekali kau manusia! Rasakan ini!!" seru mahluk itu sembari melemparkan tongkatnya ke arah Guntur.
Krakkkkk ...!
Tongkat yang mahluk itu lempar hancur seketika oleh tangan Guntur. Tampaknya Guntur memang sedang tak ingin bermain-main.
"Aaaaakkkkhhh ... kurang ajar?!" Makhluk itu bersiap kembali mendekat dan menyerang kearah Guntur.
Guntur rapalkan doa untuk melawan mahluk itu. Dalam sekali pukulan tangan Guntur mampu mengubah mahluk itu menjadi asap dan perlahan lenyap.
"Sial ... suatu saat akan ku balas bocah?!" teriak mahluk itu sesaat sebelum menghilang.
"Sing ora kepingin dadi koyo Mak Lampir iku, minggir!" (Yang tak ingin menjadi seperti Mak Lampir itu, minggir?!) teriak Guntur pada beberapa mahluk yang diam-diam memperhatikan Guntur dari balik semak-semak, pepohonan dan bebatuan disekitar tempatnya berada.
Guntur masuk dan menghidupkan kembali mobilnya. Terlihat seorang kakek tua telah duduk dikursi samping Guntur.
"Kula tumut," (Saya ikut) ujar kakek itu tiba-tiba.
"Asal kau tak mengganggu dan memintaku melakukan kemauanmu! Aku bukan manusia yang bisa dengan mudah diperbudak mahluk-mahluk sepertimu!" tegas Guntur.
"Njih!" (Iya) ucap kakek itu singkat.
Guntur membiarkan mahluk itu tetap bersamanya, selama mahluk itu tak membawa dampak negatif untuk dirinya.
Setelah beberapa jam perjalanan, Guntur akhirnya sampai di desa yang dimaksud Jagad. Terlihat gapura desa yang bertuliskan Ds. Kramat.
Suasana begitu sunyi, sepi dan mencekam. Masih terasa residu-residu sisa pertempuran ghaib yang Guntur rasakan.
"Dia akan bangkit! Ritual Banjir Getih akan kembali terulang!" ujar kakek tua disamping Guntur.
"Apa maksudnya? Siapa yang bangkit?" tanya Guntur penasaran.
"Nyai Woro! Dia dulu adalah manusia setengan iblis yang dengan keji membunuh para gadis di desa ini untuk dijadikan tumbal. Disetiap bulan purnama kuning datang, ritual banjir getih selalu jadi momok menakutkan bagi seluruh warga sekitar. Hingga akhirnya ada yang berhasil mengurungnya di sumur kramat di ujung desa ini. Namun, sepertinya kurungannya telah dibuka seseorang!" jelas kakek itu.
"Lalu? Siapa kamu sebenarnya? Sepertinya kamu sangat mengerti dengan hal yang tengah terjadi di kampung ini," tanya Guntur.
"Namaku Karto, dulu akulah suaminya. Akulah yang mengubah wanita biasa itu menjadi iblis karena kebodohanku!" jelasnya.
Tampak penyesalan terpancar dari wajahnya yang telah renta. Ia pun mulai menceritakan kisah pilu istrinya kepada Guntur.
***
Seorang wanita dengan wajah setengah hancur akibat luka bakar, terlihat berjalan mengendap-endap mengintip ke dalam kamar. Netranya meremang, kakinya terasa lemas seketika, saat mendapati pemandangan di depan matanya.
Lelaki yang sangat ia cintai dan sayangi, lelaki yang selama bertahun-tahun menjadi suaminya, tengah asik bercumbu mesra dengan seorang gadis yang beberapa hari ini ia pekerjakan dirumahnya.
Tampak terdengar jelas des*han demi des*han dari mulut kedua manusia biadap itu dari balik pintu. Nyi Woro jatuh terduduk menahan rasa sesak didada. Hatinya begitu perih menyaksikan penghianatan oleh suami dan juga pembantu barunya itu.
Ia bangkit dengan sisa kesadarannya, ia dobrak pintu kamar pembantunya itu dengan susah payah. Hingga terlihatlah Mbah Karto yang tampak terperanjat dan melepaskan pelukannya dari Sriatun.
"Kurang ajar kau Karto?! Tega-teganya kau lakukan ini padaku Karto?!" sentak Nyi Woro.
"Kenapa? Kau tak terima? Lalu menurutmu, kamu masih bisa melayaniku dengan wajah menjijikan seperti itu?" balas Karto sembari menunjuk wajah Nyi Woro dengan telunjuknya, "Harusnya kau bersyukur, aku tak membuangmu. Aku masih mengijinkanmu tetap menjadi nyonya di rumah ini. Harusnya kau berterima kasih padaku. Sekarang, relakan aku bahagia bersama Sri yang jauh lebih bisa memuaskanku!" ujar Karto dengan begitu angkuhnya.
"Hikhikhik ... kau lupa? Siapa yang membuat wajah cantiku menjadi seperti ini? Kau lupa Karto?" Nyi Woro tampak begitu marah, "Ini ulahmu Karto! Kau yang menyebabkan wajahku menjadi seperti ini! Dan sekarang, kau malah melakukan hal menjijikan itu dengannya?" balas Nyi Woro disela isak tangisnya.
Nyi Woro merupakan seorang sinden yang cukup terpandang didesanya. Namun, ia terpaksa harus merelakan masa kejayaannya tersebut lantaran wajahnya yang cidera. Akibat tak sengaja terbakar saat bertengkar dengan sang suami yang selalu cemburu saat melihat Nyi Woro berlenggak-lenggok diatas panggung, dikelilingi banyak kaum laki-laki yang terpesona dengan wajah ayunya.
Kala itu Karto tak sengaja mendorong tubuh Nyi Woro hingga membentur meja, tintir yang terletak diatas meja pun jatuh mengenai wajah Nyi Woro hingga membakar separuh wajahnya. Sejak saat itulah Karto mulai enggan menyentuhnya.
"Cukup tutup mulut mu itu Woro?! Aku akan tetap menjadikan gadis ini milikku, kau bisa enyah dari rumah ini jika tak suka!" sentak Karto.
"Benar, pergilah! Karena aku akan segera menggantikan posisimu sebagai nyonyq dirumah ini. Kau akan kujadikan budak, jika ingin tetap dirumah ini," timpal Sriatun yang menggelayut manja di lengan kekar Mbah Karto. "Iya kan mas?"
"Iya cah ayu!" jawab Karto.
Nyi Woro tampak begitu geram dengan kelakuan kedua manusia didepannya.
"Tunggu pembalasanku! Akan kupastikan kalian dan seluruh keturunan kalian menderita, aku akan menuntut balas atas penghianatan ini?!" tegas Nyi Woro.
"Hahahahhaha ... cukup omong kosongmu Woro! Pergi! Minggat dari rumah ini?!" usir Karto sembari mendorong tubuh Nyi Woro begitu keras.
Nyi Woro berjalan terseok-seok tak tentu arah. Ia sama sekali tak memiliki kerabat ataupun saudara. Ia tak tahu harus kemana, dengan wajah menjijikan itu, tak mungkin akan ada yang membantunya.
Ia berjalan ditengah gelapnya malam menuju hutan seorang diri. Merenungi nasib buruknya yang seolah tak memberinya kesempatan untuk bernafas bebas sedikitpun. Ia bulatkan tekad untuk mengakhiri hidupnya, didekat sebuah sendang yang terkenal wingit.
Setelah sampai, Ia berdiri tepat disamping sendang. Tangannya menggenggam sebilah pisau yang siap menusuk kearah lehernya sendiri. Isak tangisnya seakan tak bisa lagi ia tahan. Ia menangis sesenggukan, menumpahkan segala rasa sakit yang menyayat hatinya.
Crusshhhhh ....
Tusukan pisau tajam itu berhasil menembus hingga kedalam leher. Ia tarik kembali pisau itu, membuat cucuran darah segar mengalir dengan begitu deras dari bekas tusukannya.
Tubuhnya ambruk membentur tanah merah dan kesadarannya pun perlahan mulai menghilang. Sebelum semua berganti gelap, samar-samar ia melihat sosok perempuan yang begitu cantik mendekat kearahnya.
"Jangan mati! Balaskan dulu dendamu, aku akan membantumu!" bisik wanita itu.
"To-tolong aku!" rintih Nyi Woro.
Terlihat wanita itu menusukan sesuatu tepat di bekas luka Nyi Woro. Darah pun mulai berhenti keluar, dan perlahan Nyi Woro sadar kembali.
"Jadilah pengikutku, maka akan ku bantu kau selesaikan dendammu!" bujuk wanita itu sembari tersenyum manis.
"Njih Nyai! Saya siap mematuhi segala perintahmu, tolong bantu saya. Bantu saya membalas penghinaan ini," ujar Nyi Woro dengan sorot mata tajam.
"Panggil aku Nyai Plorok, aku akan menyatu denganmu dan akan ku balaskan semua hinaan itu dengan hal yang lebih keji!" ujar wanita cantik itu penuh penekanan.
Nyi Woro benar-benar terbuai oleh iming-iming semu iblis wanita itu, hingga merelakan hidupnya untuk menyatu dengan Nyai Plorok sepenuhnya.
Bersambung....
Semenjak kepergian Nyi Woro malam itu, Karto dan Sri hidup dengan tenang dan bahagia. Tanpa ada sedikitpun penyesalan terbersit dalam hati mereka berdua. Sebelum akhirnya malapetaka pun datang.
Langit malam bergemuruh, kilatan cahaya petir melambai - lambai. Malam tampak begitu mencekam tak seperti biasanya.
"Mas! Kok petirnya menakutkan. Gak seperti biasa ya?" ujar Sri pada Karto.
"Halah, paling mau hujan Sri," jawab Karto.
"Tapi, biasanya gak seserem ini loh petirnya!" ujar Sri lagi.
"Wes lah Sri, wong cuma mendung mau hujan. Gak usah mikir macam - macam, ayo ke kamar udah malam," ajak Karto sembari menuntun istri barunya itu dengan begitu mesra.
Mereka berdua pun akhirnya memilih untuk segera tidur, meskipun sebenarnya Sri masih merasa gelisah. Firasatnya merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi.
Tepat ditengah malam, pintu rumah besar Karto tiba - tiba terbuka dengan sendirinya.
Brakkkk....
Suaranya terdengar cukup keras, hingga membuat Karto dan Sri terbangun dari mimpi indahnya.
"Opo mas?" tanya Sri yang ketakutan.
"Embuh! Tak lihat dulu, jangan - jangan maling," ujar Karto sembari membenahi sarungnya.
Karto berjalan perlahan mendekati pintu kamarnya.
Bruakkkkkk....
Karto terpental jatuh, bersamaan dengan hancurnya pintu dikamarnya.
"Aaaaaakkkhhhhh..., mas Karto!" Sri berteriak histeris melihat apa yang tengah terjadi. Iapun segera berlari menghampiri Karto.
Tampak Nyi Woro berdiri dengan wajah cantiknya. Netranya menatap tajam kearah Sri dan Karto bergantian. Tampak jelas dendam dan kemarahan tergambar di wajah ayunya.
"Wo..., Woro! Kau kembali?" ucap Karto tergagap, "ba..., bagaimana wajah..., wajahmu...," Ia nampak terkejud melihat wajah Woro yang telah kembali cantik, bahkan lebih cantik dari sebelumnya.
"Aku kembali Karto! Kemarilah!" ujar Nyi Woro dengan senyum manisnya.
Seakan terhipnotis dengan paras ayu Nyi Woro, Karto berjalan perlahan kearah Nyi Woro tanpa mempedulikan Sriatun yang tengah ketakutan.
Nyi Woro membentangkan kedua tangannya seolah menyambut kedatangan lelaki tua itu. Karto dengan senang hati memeluk tubuh Nyi Woro yang terlihat begitu menggoda dimatanya.
Lain halnya dengan Sri, ia jatuh terduduk menyaksikan wanita yang tengah dipeluk Karto itu perlahan berubah. Wajah hancurnya terlihat begitu menyeramkan, nanah, darah dan belatung mengeliat memenuhi luka diwajahnya. Darah pun terlihat mengucur deras dari lehernya.
Rasa takut yang luar biasa membuat tubuh Sri melemas dan tak mampu lagi berkata - kata.
"Bersiaplah untuk pembalasanku gadis sundal!" ucap Nyi Woro lirih sembari menatap tajam ke arah Sri.
"Ampun Nyi! Ampun! Maafkan saya," ucap Sri dengan air mata yang berlinang.
Nyi Woro hanya menyeringai ke arah Sri tanpa menggubris ucapannya.
Karto masih terus memeluk tubuh Nyi Woro dengan begitu hangat. Hingga tanpa ia sadari kuku - kuku panjang Nyi Woro perlahan menusuk punggungnya hingga menembus jantungnya.
"Aaaakkkhhhh..., Woro, lepaskan! Sakit Woro...," Karto berteriak kesakitan.
Nyi Woro terus mencabik - cabik tubuh Karto hingga tak berkutik. Karto tewas begitu mengenaskan ditangah Nyi Woro malam itu juga.
Setelah puas bermain dengan Karto, Nyi Woro perlahan mendekati Sriatun. Tampak peluh mengalir dipelipis Sri, air matanya mengucur begitu deras. Mulutnya berusaha berteriak, namun suaranya seperti tercekat dan tak mampu berucap apapun.
Ia hanya mampu bergerak mundur mencoba menghindari Nyi Woro. Sialnya, ia sudah tersudut. Tubuhnya bersandar didinding kayu rumah Karto dengan putus asa.
Nyi Woro mendekatkan wajah menjijikannya sedekat mungkin dengan wajah Sri. Sri menutup matanya rapat - rapat sembari menahan rasa mual akibat bau busuk yang berasal dari borok diwajah Nyi Woro.
Nyi Woro meraih leher Sriatun, ia angkat tinggi - tinggi tubuh gundik suaminya itu, lalu ia hempaskan tubuhnya dengan begitu kasar ke tanah.
Brugghhh....
Sri tampak meringis kesakitan sembari memegangi lehernya yang telah memerah akibat cengkeraman Nyi Woro.
"Ampun Nyi! Ampun! Ampuni saya Nyi!" rintih Sri sambil terisak.
"Sundal tak tahu diri! Setelah semua yang kau lakukan, menurutmu aku masih mau mengampunimu? Jangan gila kamu Sri..., hahahha...," Nyi Woro pun tertawa sinis mendengar permintaan maaf Sri.
Nyi Woro kembali mendekati Sri yang telah menggigil ketakutan. Ia raih wajah sembab Sri dengan kasar.
"Aaaarrrrgggghhh...," Sri mengejang kesakitan saat Nyi Woro mencoba merobek dan mengelupas kulit wajahnya dengan paksa.
Sreeetttttt....
Tampak jelas wajah ayu Sri telah koyak. Nyi Woro menarik paksa sukma Sri keluar dari raganya dan terserap menyatu dengan Nyi Woro.
Sungguh tak terbayangkan lagi rasa sakit yang gadis itu rasakan.
"Hahahahah..., kau memang sangat cantik Woro!" ucap Nyi Woro sembari menyisir rambutnya didepan cermin.
Puas memandangi paras ayunya, ia kembali pergi untuk mencari beberapa perempuan untuk dijadikan tumbal kecantikannya.
Suara jeritan saling bertautan. Suara kentongan mengalun begitu nyaring memekakan telinga.
Itulah awal mula kutukan banjir getih dimulai, tak ada siapapun yang tahu siapa sosok yang menyebabkan malapetaka mengerikan di desa itu. Karena Nyi Woro tak pernah sekalipun menampakan wajah aslinya saat mencari mangsa.
Kejadian naas itu terus berulang disetiap bulan purnama datang. Kehidupan Nyi Woro juga semakin terpandang, dengan kecantikan dan kemampuannya ia mampu membuat siapapun bertekuk lutut.
Hingga suatu ketika, ada seorang perempuan asing singgah di desa itu. Perempuan itu berhasil menggagalkan ritual penumbalan dan mengurung Nyi Woro di sumur keramat diujung desa.
***flasback off***
Guntur mendengarkan cerita mbah Karto dengan seksama sembari terus melajukan mobilnya ke tempat Jagad dan Heru berada.
Guntur menepikan mobilnya di sebuah rumah besar yang terdengar begitu ramai. Rumah itu terlihat dikelilingi oleh energi - energi negatif yang terus berputar - putar dan mencoba masuk ke dalam rumah.
Lantunan ayat suci terus mengalun dari dalam rumah, terdengar juga suara tangisan dari para warga yang tengah berkumpul.
Guntur melangkah keluar dari mobilnya dengan terus merapalkan doa - doa untuk menghalau serangan energi dari mahluk - mahluk itu.
Terlihat begitu banyak mahluk - mahluk mengerikan melayang - layang disekitar rumah. Pasukan lelembut dengan beraneka bentuk mengerikan itu menatap tajam kearah Guntur yang semakin mendekat.
Duarrr....
Satu serangan berhasil mendarat tepat didepan Guntur. Beruntung, Guntur dengan cekatan menghindar.
"Astagfirrullah! Kuaget cok!" rutuk Guntur pada mahluk yang menyerangnya.
Mendengar teriakan dari luar rumah, Jagad dan Heru segera menyusul keluar rumah.
"Lambemu cok!" timpal Heru sembari menyabet mulut Guntur dengan sarungnya.
"Heh kalian itu, cak cok cak cok!" protes Jagad.
"Kaget mas! Ini pocong, kunti, sampai demit disabilitas pada ngumpul semua gini, ampuh tenan suhune!" ujar Guntur.
"Kayanya mereka mau balas kekalahan banaspati yang tadi mas," timpal Heru.
"Aduh! Mana badan udah pegel - pegel," gerutu Jagad, "dewekan isoh gak Gun? Gak kuat aku!" tanyanya pada Guntur.
"Uhm, aku juga masuk dulu. Jagain yang didalem!" Heru mulai beralasan, "Selamat berjuang mas Gun, jangan sampai kalah kasian dek Trisnya, ihiirrr," goda Heru.
"Sontoloyo tenan! Mosok dewekan aku?" protes Guntur, "demit segini banyak lawan satu," gerutu Guntur.
"Halah! Masa calon suami kuncen Pakugeni gak wani? Lemah!" goda Heru lagi.
"Semprul! Ya sudah, hushhh..., ngalih kono!" usir Guntur, "bakal tak lempit kabeh demit - demit iki, ambyar dadi awu! Gak ono ceritane seorang Guntur Mahendra lemah," ujar Guntur dengan begitu sombongnya.
Pertempuran pun kembali terjadi. Guntur melawan demit - demit itu dengan sekuat tenaga. Sayangnya ia tak bisa mengalihkan medan pertempuran ke alam lintas dimensi seperti yang pernah Trisnya lakukan. Para warga yang berada didalam rumah pak Rt mendengar dengan jelas suara - suara dentuman dari luar rumah. Kilatan cahaya juga terlihat saling bertautan akibat benturan - benturan energi yang tercipta.
Heru terus menuntun warga agar tak berhenti melantunkan ayat - ayat suci Al - qur'an. Jagad juga fokus mengawasi dan menjaga para warga yang berada didalam rumah.
Mahluk - mahluk itu terus menyerang Guntur tanpa jeda, hingga membuat tenaga Guntur cukup terkuras. Guntur mengeluarkan keris peninggalan mendiang kakeknya, lalu ia rapalkan mantra untuk mengaktifkan energinya.
Dengan gagah berani, Guntur menebas setiap demit yang mendekat dengan kerisnya itu. Satu per satu mahluk - mahluk itu mulai menguap menjadi asap dan menghilang. Guntur tampak begitu puas karena mampu menguasai pertempuran.
Namun, di saat ia tengah mencoba mengatur nafasnya kembali. Tiba - tiba sebuah serangan yang tak tau darimana asalnya berhasil mengenai tepat di dada Guntur.
Buammm..., Brugghh
Guntur jatuh terpental membentur tanah.
"Auwhh...," Guntur meringis kesakitan, "demit diancok! Nyerang gak omong - omong!" rutuknya.
Ia mencoba berdiri dengan sisa tenaganya, namun kesadarannya perlahan menghilang. Gelap! Guntur terkulai tak sadarkan diri sesaat sebelum adzan subuh samar - samar terdengar dari kejauhan.
Bersambung....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!