...☕🍜Sendiri bukan berarti kesepian, kesepian bukan berarti sendiri. Sendiri bukan berarti tidak bisa bahagia, dan untuk berbahagia tidaklah harus berdua🍜☕...
Bagai air yang mengalir, waktu begitu cepat berlalu. Pagi menuju siang, siang menempuh malam. Senin menyusul selasa, selasa menjumpai rabu, rabu dijemput oleh kamis, kamis berangkat menuju jum'at, dan jum'at mengantar ke sabtu.
Weekend kembali tiba.
"Selamat datang di Book store XXX ." Pria berusia 24 tahun mengenakan seragam berwarna hitam itu menyambut hangat customer yang mendorong masuk sebuah pintu terbuat dari kaca dengan gagang terbuat dari alumunium.
Beralih ke hiruk-pikuk jalan raya yang semakin padat dengan kendaraan roda dua. Seorang wanita berseragam coklat dengan rambut sebahu meniup peluitnya. Menghentikan anak baru kemarin sore bonceng tiga dan melawan arah. Kendaraan diberhentikan, tiga anak kemarin sore takut-takut menjawab sapaan wanita berseragam coklat.
"Ma-ma ... maaf, Bu." Salah satu dari tiga anak kemarin sore meminta maaf dengan suara bergetar.
"Saya belum Ibu-ibu!" Salwa melotot. Anak kemarin sore itu semakin ketakutan.
Bisingnya suara kendaraan, para pengemudi kendaraan yang ada saja melanggar aturan, keributan di jalanan, dan segala hal menyangkut keamanan, kenyamanan, dan ketertiban masyarakat sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Salwa. Sebab, itu adalah tugasnya sebagai seorang polisi.
***
Matahari dengan anggun menuruni cakrawala. Kota Jakarta dibungkus oleh cahaya kemerahan sang mentari yang dengan ikhlas berganti posisi dengan sang rembulan dan bintang gemintang.
Lain dari Salwa dan Rizky yang masih sibuk dengan pekerjaannya. Di kedai langganannya, seorang gadis berusia seperempat abad lebih sedikit tengah meneguk cairan hitam dari sebuah cangkir yang terbuat dari kaca bening.
"Sore ini espresso kah, Nona?"
Suara seorang pria mengejutkan Maira yang tengah menyeruput kopinya.
Maira sedikit terbatuk-batuk. Tanpa meminta izin pria itu langsung duduk di kursi satu meja dengan Maira. Ia memperhatikan Maira yang tampak salah tingkah.
"Maaf," kata pria itu.
Setelah menyelesaikan batuknya, Maira tersenyum, sehingga tampaklah lesung pipit di pipi kanannya.
Kini bergantian pria itu yang mendadak salah tingkah melihat senyum Maira yang sangat pamungkas menaklukkan lawan. Namun, tidak ada pamungkas-pamungkasnya menaklukkan calon mertua gagal.
"Pria ini lagi," kata Maira dalam hati.
"Iya kita bertemu lagi yaa," celetuk pria itu seolah-olah mendengar apa yang baru saja diucapkan dalam hati Maira.
"Ah ... Ha-ha-ha ... i-iya, yaa." Maira gagap, lalu menunduk tak berani melihat wajah lawan bicaranya.
Hening sesaat. Hingga terdengar suara cairan hitam dalam cangkir diseruput.
"Kenalin, aku Juan."
Pria berambut gondrong itu menyodorkan tangannya di atas meja. Maira melirik uluran tangan pria di depannya. Sungguh bukan sedang sok sholehah, Maira memang bukan tipe yang mudah berjabat tangan dengan pria, meski tak jarang ia bersentuhan tangan dengan Rizky entah itu yang disengaja ataupun yang tidak disengaja, tapi Maira sangat selektif berjabat tangan dengan seorang pria terlebih dengan orang yang baru dikenal.
Tampaknya Juan mengerti jika Maira tidak ingin menerima uluran tangannya. Dengan berat hati dan entah mengapa si gondrong itu merasa malu menarik tangannya kembali. Ia merasa ketampanannya berkurang satu senti.
Juan menarik napas panjang lalu dihembuskan perlahan. Ia menyeruput kembali kopinya.
"Sebenarnya tanpa diberitahu pun aku sudah tahu siapa namamu, tapi aku ingin mendengarnya langsung dari Nona Manis tapi tukang galau ini." Juan menyeringai santai.
Maira menunduk semakin dalam.
"Apalah pria satu ini! Kenapa mengesalkan sekali. Dari pertama bertemu dia pun sudah sok tahu, dan sekarang malah berani mengejek pula. Meski sok tahunya benar, dan tuduhan tukang galaunya pun boleh dibenarkan, tapi, tetap saja untuk ukuran orang yang baru kenal harusnya dia sedikit menjaga sikapnya. Huh!" Maira hanya bisa menggerutu dalam hati.
Juan memperhatikan gadis di hadapannya yang semakin lama wajahnya semakin ditenggelamkan. Menggemaskan sekali baginya, sikap Maira membuat Juan semakin ingin menggodanya. Aneh sekali, Si Gondrong yang biasanya cenderung cuek dan sok cool pada wanita, kali ini malah ia bersikap sebaliknya.
"Lehermu bisa terkilir kalau terus menunduk seperti itu. Lagi pula apa tidak mubadzir ada pria tampan di hadapanmu tapi malah dianggurin?"
Juan mulai jahil menggodanya. Maira mendengus. Memutar bola matanya tak peduli. Juan tidak tahu saja Maira menunduk bukan karena malu, melainkan sedang menyumpah serapahi dirinya. Ckckck. Alangkah percaya dirinya Bujang Lapuk ini.
Maira mendongak, meraih cangkir kopinya lalu menyeruput hingga tandas.
Juan menyeringai, memperhatikan sikap Maira. Di matanya, sikap Maira terlihat semakin menggemaskan.
"Lihatlah gadis yang dua pekan lalu menangis di tengah keramaian. Yang dia pikir tidak ada seorang pun yang memperhatikannya, pekan lalu dia sudah dapat tersenyum bahkan bercanda ria dengan temannya. Ah! Mungkin sahabatnya, karena ku lihat akrab sekali. Dan tadi, aku sempat melihatnya murung kembali, wajahnya mendung entah apa yang sedang dipikirkannya. Lalu, sekarang dia bisa bersikap seolah beban di pikirannya telah tenggelam entah kemana. Oh, Gadis ini, oh Nona Manis ini, mengapa engkau tak jujur pada perasaanmu sendiri? Dan lagi, sikapmu yang menggemaskan ini sungguh semakin membuat misterius sekali. Apa yang sebenarnya terjadi pada hatimu? Kau bahkan membuat sikapku yang biasanya tak peduli pada wanita manapun kecuali mama dan adikku, membuatku jadi sangat tertarik padamu dan ingin tahu sekali apa yang sebenarnya sedang dirasakan oleh hatimu?"
Juan melamun, matanya yang teduh namun tajam itu menatap Maira dalam-dalam. Mencoba mencari tahu sesuatu yang tersembunyi di balik wajahnya yang jika ditatap, semakin dalam semakin sendu.
Maira tak mengerti mengapa Juan menatapnya seperti tatapan seorang kekasih yang memohon untuk tidak meninggalkannya. Cukup lama Juan menatapnya seperti itu. Hingga suara adzan maghrib dari Masjid gang seberang jalan terdengar sayup-sayup menyentuh telinga.
Maira berdeham sengaja membuyarkan lamunan Juan.
"Sudah adzan Maghrib, Kak. Aku permisi dulu."
Maira bangkit dari kursi tanpa menunggu jawaban dari Juan. Lalu, melenggang pergi.
Sontak Juan meletakkan cangkirnya di meja. Ia mengikuti ke mana Maira berjalan.
Kali ini, dengan gamis berwarna merah jambu. Jilbabnya melambai tertiup angin. Meski pakaian yang dikenakan sama sekali tidak menampakkan lekuk tubuhnya, Maira terlihat sangat cantik dengan busana muslimnya.
Maira menyeberang jalan masih diikuti Juan di belakangnya. Ia menuju gang seberang kedai kopi, lalu masuk ke dalam menuju Masjid itu berada. Ia ingin sholat maghrib berjama'ah, selain itu baginya rumah Allah membuat hatinya menjadi lebih tenang.
Sesampainya di teras masjid, Maira baru menyadari ternyata dia diikuti oleh pria gondrong itu. Maira mengernyit. Menunjukkan ekspresi sebal.
"Emang kamu doang yang mau sholat? Aku juga!"
Juan membantah tatapan Maira yang menuduh dirinya seolah sedang membuntuti. Walau memang tujuannya membuntuti tapi mana mungkin mengakuinya begitu saja. Juan melepas alas kakinya, bersikap sok tidak acuh pada Maira. Lalu, melenggang pergi menuju tempat wudhu.
"Hey, Gondrong!" Maira lantas berteriak dan tak sadar memanggil Juan dengan sebutan Gondrong.
Juan menoleh. Merasa terpanggil sebagai pemilik rambut gondrong. Tapi, kok, menjengkelkan sekali, ya?
"Apa? Mau bareng?" Juan melempar tanya dengan ekspresi wajah tanpa dosa.
"Hih! Kamu salah alamat! Itu tempat wudhu wanita. Tempat wudhu laki-laki sebelah sana!" Maira menunjuk tempat wudhu di samping kiri Masjid.
Walau kesal Maira tetap mau memberitahu Juan yang nyaris masuk ke tempat wudhu wanita. Tak terbayangkan seandainya Juan tak sadar dan telanjur masuk, sementara di dalam ada para wanita yang bukan mahramnya sedang mengambil wudhu. Itulah alasan Maira yang sebenarnya.
Juan mengerucutkan bibirnya. Berekspresi sok imut dengan tujuan menggoda Maira.
"Dasar Si Gondrong ini!"
***
Juan POV
Aku nyaris lupa kalau tempat wudhu pria dan wanita itu dibedakan. Untung saja ekspresiku seolah memang natural kesasar.
Gara-gara gadis itu aku jadi berada di tempat ini. Tempat bersuci para umat muslim yang hendak menjalankan ibadahnya. Aku sedikit tahu beberapa hal tentang agama islam. Sebelum mama papa bercerai, sekitar tiga tahun silam. Selama 25 tahun, aku menyaksikan papa dengan aktivitasnya sebagai seorang muslim. Yang aku tahu mereka mengingat Tuhannya wajib 5 kali dalam sehari dan tidak boleh ditinggalkan.
Mereka juga menjalankan puasa alias menahan makan minum dan hawa nafsu lainnya pada bulan yang telah ditentukan setiap satu tahun sekali.
Aku cukup tahu dan paham aktivitas ibadah mereka yang demikian. Hanya saja, aku sedikit lupa atau mungkin lebih tepatnya tidak terlalu memperhatikan karena aku dididik oleh mama menjadi seorang kristiani.
Cukup banyak juga orang yang hendak beribadah, jadi aku bisa memperhatikan mereka bagaimana cara bersuci sebelum melaksanakan ibadah yang disebut sholat.
Aku mengantre di belakang bapak-bapak berbaju putih lengan panjang. Kalau tak salah itu namanya baju koko. Bapak itu menoleh padaku, lalu tersenyum tulus sekali. Aku balik menyapa beliau dengan senyuman yang tak kalah tulus juga.
Aku tak ingin keberadaanku dicurigai. Sungguh aku tak bermaksud jahat masuk ke dalam lingkaran yang seharusnya aku tidak berada di sana. Karena itulah aku harus mengikuti apa yang mereka lakukan. Tujuanku yang sebenarnya adalah mengikuti gadis itu.
Entah setan apa yang merasukiku, gara-gara gadis itu aku sampai senekad ini. Tak bisa kubayangkan, seandainya mereka tahu bahwa aku ini bukan seorang muslim. Bisa-bisa aku tertuduh memata-matai, *******, oknum radikalisme, atau apalah-apalah itu yang sempat beberapa kali heboh di media sosial.
"Warga barukah, Nak? Soalnya baru kali ini lihat sholat di sini."
Bapak berbaju koko itu, tiba-tiba bertanya. Cukup sukses membuat jantungku berdegup tak beraturan. Aku sedikit gugup. Kemudian, berusaha bersikap sesantai mungkin.
"Saya hanya mampir, Pak. Tadi sedang di jalan. Jadi sholat dulu." Sambil tahan napas aku menjawab pertanyaan beliau.
"Wah! Anak muda yang sholeh. Semoga dapat jodoh yang sholehah, ya." Bapak itu menepuk bahuku. Lalu menghadap kran air di depannya yang sudah tidak ada yang memakai lagi.
Aku hanya mengangguk. Kulihat Bapak itu melipat baju bagian lengannya. Tujuannya adalah agar airnya membasuh hingga ke siku. Aku mengikuti gerakan beliau. Tapi, tidak mengikuti melipat lengan bajuku, karena saat ini aku sedang memakai baju lengan pendek.
Usai wudhu, aku mengikuti Bapak itu masuk ke dalam Masjid. Udara Ac mengembus tubuhku. Terasa sejuk. Aku melirik ke arah pintu bagian wanita. Mencari-cari gadis yang sedang ku ikuti.
Aku merasa lega ketika melihat gadis yang kucari sedang berjalan masuk ke dalam ruangan Masjid. Buliran sisa air wudhu membuat wajahnya terlihat sejuk, indah, dan menawan.
Gadis itu memang sudah menawan meski tidak sedang dalam keadaan wajah basah sisa air wudhu. Di luar itu, ada hal yang membuat hatiku merasa jauh lebih lega, tenang, dan entah mengapa ada suatu kebahagiaan tersendiri saat melihat buliran air di wajahnya adalah buliran sisa air wudhu, bukan buliran air mata seperti yang pernah kulihat dua pekan lalu.
Aku tersenyum, senang, tentram dan entah mengapa begitu damai. Aku tak pernah merasakan kedamaian seperti ini sebelumnya. Rasanya, lebih damai saat aku bisa melihat senyuman mama dan adikku. Ya, lebih dari itu. Maafkan anakmu yang tampan ini, mama, maafkan kakakmu yang ganteng ini, adikku. Bukan main, gadis itu sungguh menawan sekali.
Aku kembali fokus pada tempat ibadah ini. Tempat ibadah yang mungkin papa pun sering memasukinya. Selama 25 tahun hidup bersama papa, entah mengapa papa tak pernah mengajakku atau memperkenalkan islam kepadaku.
Selama 25 tahun, aku tak pernah melihat papa dan mama bertengkar. Yang aku tahu mereka selalu baik-baik saja. Tapi, entah mengapa hari itu terjadi. Di mana papa dan mama memutuskan untuk tidak bersama lagi. Aku tidak tahu apa penyebabnya. Sebegitu pandainya mereka menyembunyikan masalah dariku.
Aku pun tidak berani menanyakan hal ini pada mama. Aku takut kalau-kalau itu menyakitinya. Aku memilih hidup dengan mama, karena adikku memilih bersama mama. Mereka wanita, jadi ku rasa mereka harus aku jaga.
Sedangkan papa, dia seorang laki-laki yang pasti aku tidak ragu beliau bisa menjaga dirinya sendiri. Jadi ku tinggalkan papa di Medan dan aku ikut dengan mama ke Jakarta. Hm ... papa apa kabarnya, ya? Lama aku tak mendengar kabarnya.
***
Mataku melihat langit-langit ruangan ber-Ac ini. Menunggu yang lain melakukan sesuatu. Yang aku tahu ada gerakan-gerakan tertentu dalam melaksanakan sholat. Tapi, ini belum dimulai, aku belum pernah masuk ke dalam tempat ibadah orang muslim sehingga aku pun sama sekali tidak tahu apa pun tentang apa saja yang mereka lakukan di tempat ibadah ini.
Saat ini yang ku dengar, sayup-sayup bibir mereka menggumam menyebut nama Tuhannya.
Aku mencoba mendengar seksama si bapak yang duduk di sebelahku, tepatnya bapak-bapak yang tadi menyapa di tempat wudhu.
Perlahan aku mendengar ia mengucapkan 'Laailahailallah Muhammadu Rasulullah'
Begitu terus diulang-ulang entah berapa kali. Aku diam mendengarkannya dengan seksama. Aku larut dalam suara serak basah milik bapak tua itu. Hingga aku hafal dengan kalimat yang dia ucapkan berulang-ulang. Perlahan suara itu tidak terdengar lagi. Hingga seseorang berdiri di depan miqrofon, mengeluarkan suara seperti adzan namun diucapkan dengan tempo lebih cepat.
Orang-orang melangkah ke depan, kemudian berbaris rapi. Bahu bertemu bahu, kaki bertemu kaki. Jujur aku deg-degan sekali. Takut kalau aku telah berdosa besar karena masuk ke tempat ibadah orang lain padahal aku bukan bagian dari mereka. Tolong maafkan aku, aku tidak punya maksud lain selain karena gadis itu.
Setelah seorang pria yang tampak berwibawa memastikan barisan sudah rapi, dia membalikkan tubuhnya ke arah depan. Lalu, mengangkat kedua tangannya setinggi telinga, diikuti oleh orang-orang di sekitarku. Aku pun mengikutinya.
"Allaaahu akbar."
Itu yang diucapkan oleh seorang pria berwibawa tadi, dan sayup-sayup diikuti oleh orang-orang yang berada di seluruh ruangan ini.
Deg!
Darahku berdesir, suara itu seolah menggema begitu menakjubkan di gendang telingaku.
Aku mulai mendengar bacaan-bacaan yang tidak ku mengerti, namun, terdengar begitu indah dan mendamaikan. Aku benar-benar menikmatinya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
Dimpi
wah jarang2 ini ada author yg mengangkat cerita ini... tp sebenarnya ini banyak terjadi disekitar kita... salut sama authornya 👍👍👍
2021-08-06
1
anggrymom
the best thor, baru kali ini nemu novel yg pemainnya beda keyakinan thor
2021-07-06
0
Zaitun
👍👍👍
2021-03-04
1