...☕🍜Hatimu tak perlu resah. Yakinlah! Segala sesuatu yang pergi, tidak akan diganti kecuali dengan yang lebih baik🍜☕...
Di ruangan utama tepatnya dekat pintu yang kini terbuka, terdengar mesin jahit menderu. Malam sudah membungkus kota Jakarta. Namun, Maira masih belum menyudahi pekerjaannya.
Kaki, mata, pikiran, dan tangannya tak henti fokus pada bahan berwarna biru muda pesanan Ibu Arini. Maira semangat menggeluti jahitannya.
Di ambang pintu tampak seseorang menyembulkan kepala.
"Tok-tok-tok ... pantuuunnn," kata wanita berambut pendek sebatas bahu, ia menirukan bunyi pintu diketuk.
Maira menghentikan kakinya yang menginjak speed control mesin. Ia hafal betul dengan pemilik suara renyah itu.
Siapa lagi jika bukan Salwa Aziza, seorang polwan anak dari pemilik kontrakan. Yang meminta paksa ke orangtuanya untuk tinggal sendiri di kontrakan bersebelahan dengan Maira.
Katanya itu adalah syarat yang ia ajukan agar mau menuruti permintaan orangtuanya untuk menjadi polwan. Karena Salwa sendiri tidak punya cita-cita sama sekali untuk menjadi seorang polisi. Menurut pengakuannya ia lebih suka menjadi wanita pengangguran.
Berhubung Salwa adalah anak semata wayang, tak ingin membuat orangtuanya bersedih dan sebenarnya lebih takut dikutuk jadi batu jika tidak menurut, jadilah ia mengikuti apa yang diinginkan oleh orangtuanya.
Tanpa mendongakkan kepala, Maira melirik ke ambang pintu.
"Punten, kali," sahut Maira mengoreksi sapaan Salwa yang memang sengaja dipelesetkan.
Salwa terkekeh seraya mengeluarkan seluruh tubuhnya ke ambang pintu.
"Lembur nih?" tanya Salwa basa-basi.
"Lembur apanya, baru jam 8," jawab Maira, matanya kembali fokus pada jarum mesin, dan kakinya siap menginjak speed control kembali.
Salwa terdiam, ia tak berselera bertanya lagi. Karena memang sudah biasa setiap kali ia pulang kerja—eh pulang nongkrong setelah kerja, Maira belum menyudahi pekerjaannya.
Ia menyandarkan tubuhnya pada pintu. Tangannya dilipat di depan dada. Sesaat ia memperhatikan pergerakan jarum pada mesin yang terus bergerak lincah yang dikendalikan oleh Maira.
Maira tahu, Salwa sedang menunggu ia mengatakan sesuatu. Seperti pada malam-malam biasanya, sebelum tidur mereka berdua—ah bertiga ding, ada satu lagi seorang pria yang usianya lebih muda dari mereka, yang juga masih satu deret kontrakan. Namun, pria yang kerap disapa Iky alias Rizky itu, belum pulang dari pekerjaannya. Biasanya jam 9 ia baru sampai kontrakan.
Mereka bertiga selalu menyempatkan berbincang-bincang di teras. Saling bertukar pikiran. Menceritakan apa saja yang mereka alami, dari hal yang penting hingga ke hal yang tidak penting-penting amat.
Hubungan mereka yang dahulu hanya teman, kini menjelma sahabat. Awal pertemuan mereka adalah pada saat acara buka bersama seluruh penghuni kontrakan yang diadakan oleh orangtua Salwa.
Dari sanalah mereka saling mengenal, dan dari perkenalan itu yang akhirnya semakin lama semakin akrab akhirnya membuat Salwa mengajukan persyaratan mau mengikuti keinginan orangtuanya menjadi polwan asal ia di perbolehkan tinggal sendiri di kontrakan dekat dengan Maira. Tentu saja dengan kecerdikan Salwa ia membumbui persyaratannya dengan dalih 'Ingin Mandiri' untuk lebih meyakinkan orangtuanya.
Setelah Maira selesai memasang retsleting, ia menoleh ke arah Salwa yang rupanya masih sabar menungguinya di depan pintu.
"Apa nggak sebaiknya ganti pakaianmu dulu, baru kita bincang-bincang?" Maira melihat Salwa dari ujung kaki hingga ujung kepala, mengomentarinya yang masih memakai seragam berwarna coklat khas seorang polisi.
Salwa menyeringai, lalu melenggang pergi tanpa berkata-kata. Maira menggelengkan kepala, lalu segera merapikan alat-alat jahit untuk menyudahi kesibukan hari ini.
***
Dua gadis berusia sebaya yakni 26 tahun itu, tengah asik duduk di teras menikmati cemilan di sela-sela obrolannya.
Di bibir gang tampak cahaya lampu motor yang perlahan masuk ke halaman kontrakan. Akhirnya yang dinanti-nanti pun datang. Pria dengan seragam khas karyawan Books Store itu, memarkirkan motornya.
Dengan wajah lelah Rizky menyunggingkan senyuman pada dua wanita yang senantiasa selalu menanti kepulangannya. Ini bukan kepedean tingkat dewa merasa ditunggu oleh wanita cantik dua sekaligus. Tapi, memang begitulah kenyataannya. Mereka adalah sahabat.
"Kak Maira, ku dengar tadi datang ke toko, ya?" tanya Rizky seraya melepas sepatunya.
"Iya. Biasa kertas untuk membuat pola sudah habis," jawab Maira santai, tangannya memegang keripik kentang yang siap dimasukkan ke mulut usai menjawab pertanyaan Rizky.
Salwa menoleh ke Maira.
"Tumben Kakak nggak whatsapp aku, 'kan bisa seperti biasa nanti kubawakan sambil pulang."
Salwa menoleh ke Rizky.
"Aku perlu secepatnya, Ky. Jadi, ya, aku jalan saja sendiri ke toko."
Salwa menoleh ke Maira.
Sedari tadi Salwa toleh sana toleh sini. Memang seperti itu tabiat Salwa, harus banget melihat wajah si pembicara.
Rizky hanya meng-oh jawaban Maira. Setelahnya ia mengatakan hendak berganti pakaian terlebih dahulu. Maira dan Salwa mengangguk bersamaan.
Tak lama kemudian Rizky sudah bergabung. Merebahkan tubuhnya ke ubin, kemudian menghela napas lelah. Maira dan Salwa menawari minuman dan cemilan yang sedang mereka nikmati.
"Eh, soal tadi aku pergi ke toko, pulangnya aku bertemu ibu-ibu yang sedang ngumpul di depan gang."
Setengah berbisik, Maira membuka pembicaraan. Sudah macam tukang gosip, matanya berbinar siap menceritakan kisahnya yang bertemu dengan Ibu-ibu yang ngontrak bersebrangan dengan mereka.
Mereka bertiga memang aneh, hendak menggosipi orang yang tinggalnya masih satu lingkaran. Ah! Ini bukan gosip, tapi sekadar bercerita. Mwehehehe.
Maira meraih softdrink di sebelahnya. Sebelum bercerita ada baiknya minum terlebih dahulu, supaya tidak tersedak-sedak nantinya.
Maira memulai ceritanya.
***
Maira POV
Sehabis pulang dari toko untuk membeli kertas pola, dari jarak jauh aku sudah melihat ibu-ibu sedang berduduk-duduk di kursi plastik di mulut gang halaman kontrakan.
Rupanya mereka sudah standbye di Basecamp, pemandangan yang tak asing lagi. Hampir setiap sore memang ibu-ibu penghuni kontrakan suka duduk-duduk santai di mulut gang dengan kursi plastik yang mereka bawa dari rumah masing-masing. (Rumah kontrakan maksudnya, yeee).
Yah, tak beda jauh dengan yang selalu kulakukan setiap malam dengan Salwa dan Rizky. Tak boleh suudzon. Mereka hanya berkumpul. Berkumpul bukan berarti sedang bergosip. Oke, positif thinking.
Paling-paling yang mereka perbincangkan tak jauh-jauh dari cabe, bawang, beras dan thethek bengek urusan rumah tangga lainnya. Ya, mereka juga butuh berbagi cerita dan bertukar pikiran.
Sebenarnya bukan perkumpulan mereka yang jadi masalah. Melainkan pertanyaan yang sama yang selalu mereka lontarkan setiap kali bertemu denganku.
'Kapan nikah?'
Kali ini aku benar-benar merasa celaka dua belas jika mereka masih belum punya list pertanyaan selain itu. Pasalnya aku sedang berusaha move on karena gagal menikah dengan si dia. Ah! Jangan sampai hanya gara-gara ditanya kapan nikah jadi gagal move on. Pokoknya jangan sampai. Aku kudu kuat!
Langkah kakiku semakin dekat dengan kumpulan ibu-ibu. Sepanjang melangkah, aku sudah memasang tameng sekuat baja agar pertanyaan mereka sama sekali tidak menyentuh hatiku yang tengah melow, ihiks.
Sepertinya aku harus mulai membiasakan diri agar terbiasa merasa biasa saja setiap kali mendapat pertanyaan yang entah sejak kapan menjadi pertanyaan yang terkutuk bagiku.
Di usiaku yang ehem 26 tahun ini, memang takkan lolos dari pertanyaan 'kapan nikah?' Duh! Warga +62 ini memang pola pikirnya tak bisa diubah secara serentak.
Mereka kira menikah itu suatu ajang perlombaan apa? Jika aku menikah cepat lantas aku mendapat istana yang seluruhnya berisi berlian, emas dan permata begitu? Tidak, 'kan? Aih! Aku jadi misuh-misuh sendiri dalam hati.
Jarak semakin dekat dengan ibu-ibu. Mereka melihatku dengan memasang perangai yang seolah penuh akan pertanyaan. Pertanyaan pertama 'kapan nikah?' masuk ke pertanyaan kedua 'kok, belum nikah?' lanjut pertanyaan ketiga 'belum pengen punya anak?' pertanyaan ketiga ini entah mengapa mirip-mirip dengan pertanyaan 'belum pengen bikin anak?'
Alamak! Otakku jadi liar ke mana-mana.
Pokoknya aku harus memberikan jawaban yang membuat mereka gagal melanjutkan pertanyaan kedua dan ketiga. Lihat saja nanti!
Aku melangkah lebih mantap. Dengan kerennya aku menyapa mereka duluan.
"Sore, Bu."
Aku memasang senyum paling manis sepanjang abad. Sungguh! Senyumanku tadi benar-benar tulus. Bukan pencitraan. Perkara senyum aku tak pernah tidak tulus, asli selalu tulus. Karena, konon katanya, senyumanku ini adalah senjata pamungkas untuk menaklukkan lawan. Tapi, sama sekali tidak ada pamungkas-pamungkasnya untuk menaklukkan mantan calon mertua gagalku. Yah, kadung bibit bebet bobotku yang katanya tidak sepadan. Hm.
Ibu-ibu menyambut senyumanku dengan wajah yang benar-benar riang. Sama sekali tidak ada kemunafikan di sana.
Pertanyaan basa-basi pun sudah dilontarkan. Sekarang tinggal menunggu detik-detik kesuudzonanku.
Benar saja dugaanku. Seorang ibu-ibu yang biasa dipanggil Bude (Diambil dari bahasa jawa yang berarti bibi alias tante) bertanya padaku, "Kapan, nih. Mbak Maira memperkenalkan calonnya sama kami?"
Ku lihat ia melirik ke yang sebelahnya.
Sengaja belum ku jawab pertanyaannya. Karena aku yakin, masih akan ada pertanyaan susulan.
Ibu-ibu yang rambutnya sedikit berantakan itu menimpali, "Iya, nih. Penasaran, deh, sama calonnya Mbak Maira seperti apa."
Ibu itu memiliki anak yang masih SMA bernama Rahmat. Sehingga ia biasa dipanggil Mamanya Rahmat.
Senyuman masih belum luntur dari bibirku. Tinggal menunggu Ibu-ibu satu lagi yang belum mengajukan pertanyaan. Ibu itu biasa dipanggil Bu Tatang. Soalnya nama suaminya adalah Tatang, Pak Tatang.
"Mbak Maira 'kan cantik, manis, pasti calonnya juga menawan. He-he-he."
Akhirnya, masing-masing dari mereka telah melakukan perannya. Sial bukan kepalang, kali ini mereka memberi bumbu-bumbu gurih pada pertanyaannya. Pakai segala memuji perangaiku.
Apalah guna wajah cantik dan manis, Bu. Jika bibit bebet bobot kadung tak sepadan. Aku mengeluh dalam hati. Dengan asal-asalan aku menjawab pertanyaan mereka, "Jujur saja, Bu. Aku belum bisa diajak brayan."
Dua detik mereka saling pandang. Seolah memberi aba-aba. Lalu mereka tergelak bersama. Cukup lama. Aku baru menyadari jawabanku tadi sepertinya memang nyleneh sekali. Akhirnya aku ikut tertawa bersama mereka. Anehnya aku malah lebih terpingkal.
"Mbak Maira ini kenapa jawabannya polos sekali," kata Bu Tatang diiringi sisa tawanya.
Aku mati-matian berusaha untuk menyelesaikan tawaku. Lama sekali rasanya aku tidak tertawa selepas ini. Anehnya aku tertawa oleh perkataan yang keluar dari mulutku sendiri.
Gara-gara ikut tertawa aku jadi tertahan cukup lama bersama ibu-ibu. Diceramahi banyak hal mengenai pernikahan. Khususnya tentang urip brayan—hidup bersama. Mereka sama-sama berasal dari Jawa sepertiku, hanya saja beda-beda daerah.
Ada banyak sekali definisi urip brayan yang ku dapat dari mereka. Brayan adalah kosa kata yang biasa dipakai oleh orang jawa.
Orangtua dahulu sering memberi wejangan kepada anak-anaknya supaya mencari pasangan hidup itu yang bisa diajak urip brayan. Urip brayan itu berarti hidup bersama dengan pasangan, menerima apa adanya satu sama lain dan memusyawarahkan segala persoalan rumah tangga bersama-sama dengan mengesampingkan keegoisan.
Tiga puluh menit habis untuk membahas tentang brayan. Akhirnya, aku mendapat kesempatan untuk pamit pada ibu-ibu itu. Masih terbawa bergurau, Bu Tatang sempat meneriakiku, "Pokoknya pikirkan baik-baik tentang brayan tadi!"
Aku hanya menyeringai dan terus berjalan meninggalkan mereka.
Huh! Betul-betul sukses membuat kepalaku terus terngiang-ngiang tentang brayan, brayan, brayan dan brayan. Bahkan, sampai adzan maghrib menyentuh telingaku, kata-kata brayan masih saja bergentayangan.
Duhai brayan, enyahlah kau dari pikiranku!
***
Author POV
Usai bercerita Maira menenggak sisa softdrink yang tinggal sedikit. Tak puas untuk membasahi kerongkongannya ia mengambil air mineral milik Salwa yang masih penuh.
Wanita berambut pendek itu berhenti cekikikan ketika melihat air mineralnya diambil oleh Maira. Ia pun jail mendorong botol mineral yang sedang diminum oleh sahabatnya. Sehingga Maira pun tersedak-sedak.
Mereka bertiga cekikikan sampai lupa diri. Beberapa pasang mata muncul di kaca jendela. Meski sudah terbiasa dengan kebiasaan tiga anak muda itu, didorong oleh rasa keingintahuannya mereka selalu melongok memastikan apa gerangan yang terjadi. Setelah tahu rupanya lagi-lagi tiga anak muda itu, mereka pun mengabaikannya.
Malam semakin matang. Sematang usia Maira dan Salwa. Namun, tak kunjung menikah. Nasib baik mereka berada di kota. Coba saja kalau mereka tinggal di pedalaman desa, sudah pasti mereka sudah dinobatkan sebagai Perawan Tua.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
Cancer
😄 aku suka gaya maira
2023-04-11
0
hoomano1D
eh, bukannya punten yak?
2023-03-10
0
Linna F Maulana
bner banget thor....aq yg nikah umur 22 aja smpai d lingkungan mertua d cap udah tua...padahal menurut aq masih muda banget
2021-08-30
0