...☕🍜Kemarin hatimu boleh terluka, kemarin matamu boleh bercucuran air mata. Tapi, pastikan esok, hatimu sudah baik-baik saja, dan matamu tidak menangisi lagi hal yang sama🍜☕...
Berbicara soal cinta, bagi gadis manis pemilik lesung pipit di pipi kanan ini bukanlah hal yang mudah untuk memberikan hatinya pada seseorang. Terlebih lagi setelah luka hatinya beberapa waktu lalu, kisah cintanya dengan Ferry yang kandas begitu saja.
Keduanya memiliki niat yang baik, yaitu meminta restu dari kedua orangtua atas hubungan yang mereka jalani ke jenjang pernikahan. Namun, hasilnya tidaklah sesuai dengan harapan.
Hati mana yang tidak terluka, ketika harapan telah mereka tambatkan, yaitu mendapat akhir yang indah, itulah harapan besar mereka. Namun naas, perkara bibit bebet bobot tak dapat mereka hindari, hingga hatilah yang menjadi korbannya.
Hati Maira telah hancur berkeping-keping, entah ke mana saja kepingan itu berjatuhan, hingga ia pun sulit memungutinya dan membuat hatinya utuh kembali.
Yang paling menyakitkan bukan karena Maira akhirnya tak dapat bersanding dengan pria yg dicintainya, melainkan perihal bibit bebet bobotnya yang tampak begitu hina di mata keluarga Ferry.
Ia pun masih tak menyangka bahwa dalang di balik semua ini adalah ayah dari sahabatnya sendiri. Sahabat yang memperkenalkan dirinya dengan Ferry.
Maira tak ingin menjadikan hal tersebut suatu alasan untuk membenci seseorang. Ia berusaha yakin bahwa, semua yang terjadi adalah sudah takdir dari Yang Mahakuasa.
Pena telah diangkat, dan tinta telah mengering. Lembaran-lembaran kertas telah dilipat. Sederas apa pun air mata mengalir, tetap tidak akan mampu menghapus segala apa yang telah tertulis di Lauh Mahfudz.
***
Azan shubuh menyentuh lembut telinga Maira, namun, kelembutan itu belum mampu menembus hatinya yang lengang sejak duka yang bertamu lebih dulu ke hatinya.
Walau demikian, ibadah tetap menjadi prioritas dalam hidup Maira. Itu adalah pesan dari Abdullah, ayahnya yang kini berada di kampung halaman.
Dengan malas-malasan Maira bangkit dari tempat tidurnya, mengambil air wudhu dan melaksanakan sholat. Usai sholat ia tak lupa memanjatkan do'a kepada yang Mahakuasa agar hatinya diberi ketenangan dan keikhlasan yang lapang atas semua yang telah menimpanya.
Demikianlah obat hati, tidak ada yang paling manjur selain mengikhlaskan semua yang telah terjadi. Maira memastikan sekali lagi, tidak ada secuil pun rasa benci di dalam hatinya, dan membiarkan sisa sakit di hatinya menyembuh dengan sendirinya.
Maira memutuskan untuk ikhlas.
***
Cahaya mentari menembus jendela, dan menyinari wajah gadis manis yang sedari tadi duduk menikmati ritual paginya. Cairan hitam dalam cangkir keramik berwarna putih yang di atas meja, kini tandas menyisakan ampas.
Maira bangkit dari tempat duduk setelah menyelesaikan ritual pagi yang tak pernah sekali pun ia lewatkan, hukumnya fardhu 'ain bagi Maira menikmati secangkir kopi hitam di pagi hari untuk mengawali harinya yang selalu sibuk berkutat dengan mesin, jarum, benang dan kawanannya.
Pagi ini, Senin, saatnya ia memulai lagi aktivitasnya seperti biasa. Melupakan segala hal tentang luka, dan fokus kembali menjalani hari baru demi menata masa depan yang lebih baik.
Hari ini segala urusan yang lalu telah selesai, salah satunya tentang sapu tangan berwarna orange, yang pada akhirnya diikhlaskan begitu saja oleh sang pemilik. Apa daya, tak enak ia menolak sehingga sapu tangan itu kini resmi berpindah tangan menjadi miliknya.
Mengingat itu, membuat seulas senyum tampak di sudut bibir Maira. Terlebih lagi mengingat ucapan si driver, apa katanya? Bonus untuk orang yang hatinya sedang terluka? Mengapa sok taunya bisa kebetulan pas sekali.
Awal pagi yang baru tanpa cinta ini, Maira sudah berencana pergi ke toko textile langganannya. Yaitu, untuk membeli bahan kekurangan baju pesanan Ibu Arini yang baru fitting beberapa hari lalu—sebelum peristiwa naas menimpa hatinya. Ah! kok, jadi dibahas lagi. Oke, lupakan.
Baju pesanan Ibu Arini akan dipakai seminggu lagi, jadi Maira harus benar-benar fokus dan profesional untuk menyelesaikannya tepat waktu dengan hasil yang tidak mengecewakan.
Dari usaha menjahitlah Maira bisa membiayai hidup dirinya dan membantu orangtuanya di kampung halaman. Wabil khusus membantu membiayai sekolah adiknya yang kini duduk di bangku sekolah menengah atas.
Abdullah—ayah dan Aminah—ibu berusia sudah lebih dari setengah abad. Mereka sudah bercerai ketika Maira masih duduk di kelas 5 sekolah dasar. Kini, mereka menjalani kehidupan sehari-hari di kampung halaman sebagai petani. Penghasilannya tak seberapa, hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari, dan dibantu sedikit oleh Maira.
Keduanya tinggal di beda desa. Setelah perceraian, mereka tentu memilih hidup masing-masing. Tidak ada lagi pertikaian yang dulu kerap bising di dalam rumahnya. Mungkin sejak saat itu, rasa cinta sudah tidak lagi bersemayam di hati keduanya, sehingga mereka sulit untuk saling mengerti dan akhirnya memutuskan untuk berpisah.
Entahlah persoalan pelik macam mana yang membuat rumah tangga Abdullah dan Aminah akhirnya kandas begitu saja. Maira sendiri tidak mengerti, atau mungkin lebih tepatnya tidak mau mengerti.
Baginya, kini sudah cukup mereka hidup masing-masing dalam keadaan damai tidak mengurusi kehidupan satu sama lain.
Demikianlah rumah tangga, tak melulu berjalan indah penuh romansa. Banyak sekali pada kenyataannya tidak seindah apa yang dipikirkan oleh muda-mudi yang dimabuk asmara.
Andai mereka tahu, masihkah mereka mengumbar gombalan omong kosong tentang cinta? Atau setidaknya berhenti berhalusinasi tentang kehidupan setelah menikah yang selalu indah. Hm ... dasar anak muda.
Memang benar apa kata orang bijak, bahwasanya orang yang paling sulit dinasihati ialah orang yang sedang jatuh cinta. Lazim sudah tampaknya apabila sepasang muda-mudi yang tengah dimabuk cinta selalu mengira kehidupan pernikahan selalu indah, meski sudah berkali-kali diberitahu menikah itu isinya bukan hanya perkara indah saja.
Ada banyak hal yang terjadi di dalam bahtera rumah tangga. Ketika sebelum menikah segala sesuatu diputuskan sendiri dan semaunya sendiri. Maka setelah menikah apa pun perkaranya harus didudukan berdua—suami dan istri. Tujuannya agar tercapai kehidupan yang sakinah mawaddah warahmah.
Namun, banyak sekali suami istri yang tidak bisa mendudukkan masalah secara bersama, saling egois, marah, lalu bertengkar. Hingga hal tersebut kerap menjadi salah satu penyebab perpisahan.
Begitulah kiranya kehidupan rumah tangga. Tak selalu berjalan lurus dan mulus. Hanya orang-orang yang hebat yang bisa melaluinya.
***
Hiruk pikuk kota Jakarta sudah tak asing lagi bagi Maira. Identik dengan segala kemacetannya, yang membuat beberapa orang tidak menyukai wilayah calon mantan Ibu Kota ini, hm ... mantan saja pakai calon.
Namun, tidak bagi Maira. Kota Jakarta dengan segala apa pun di dalamnya telah menjadi sahabat karib.
Maira sama sekali tidak punya alasan untuk membenci kota Metropolitan ini. Kota di mana ia berjuang dan menempuh segala mimpi-mimpi. Kota yang penuh sejarah.
Walau dikenal sebagai kota dengan kehidupan yang keras, tetap saja banyak sekali orang-orang dari berbagai penjuru datang ke kota ini untuk mengadu nasib, bukan? Lantas mengapa harus membenci?
***
Sesampainya di toko textile langganannya, Maira menyapa manis si pemilik toko. Bapak Togar namanya.
"Selamat pagi, Pak."
Pak Togar yang sedang melayani calon pembeli spontan melempar senyum ketika mendengar sapaan dari Maira.
"Wah! Selamat pagi juga, manis!" Togar menyambut Maira dengan antusias.
"Ini dia orangnya, Bu," kata Pak Togar lagi, seraya menunjuk Maira, memberitahu kepada seorang wanita paruh baya yang ada di hadapannya.
Wanita itu menyapa Maira dengan senyuman yang mengembang. Maira mematung sejenak, masih belum mengerti. Mungkinkah ada pembicaraan mengenai dirinya sebelum ia datang? Itu yang ada di benak Maira.
"Ngngngng ... ada apa, ya?" tanya Maira sopan dan sedikit gugup.
Pak Togar tersenyum sembari menggerakan tubuhnya yang gemuk melangkah mendekati Maira, si wanita paruh baya mengekor di belakang.
"Sebelumnya perkenalan dulu, ya. Kenalkan ini Ibu Tampubolon." Pak Togar memperkenalkan wanita yang bersamanya.
Maira lantas menjabat tangan Ibu Tampubolon, lalu balik memperkenalkan diri diiringi dengan seringai yang manis.
"Saya Khumaira, Bu. Panggil saja Maira."
"Saya Maria, biasa dipanggil Ibu Ria. Atau Ibu Tampubolon juga tak masalah, Itu marga dari mantan suami saya."
Ibu Ria memberikan senyuman yang bersahaja. Sehingga membuat Maira merasa sedikit lebih percaya diri karena mendapat sambutan yang hangat. Begitu pula Ibu Ria, merasa senang karena Maira anak yang manis, ramah dan memiliki attitude yang baik.
Pak Togar kembali menjelaskan tujuan awal memperkenalkan mereka berdua. Yaitu, Ibu Ria yang sedang mencari penjahit meminta rekomendasi dari Pak Togar. Karena sudah kenal dan menjadi langganan cukup lama, Pak Togar percaya pada Maira sebagai rekomendasi untuk menjahitkan baju Ibu Ria.
Tanpa ba-bi-bu lagi, mereka pun sepakat sudah. Maira tak luput dimintai bantuan oleh Ibu Ria untuk memilihkan bahan yang bagus dan mencocokkannya.
Cukup lama mereka memilah-memilih, memadupadankan warna dan bahan yang bagus, akhirnya terpilih sudah bahan dan warna yang sesuai.
Ibu Ria memutuskan untuk pulang setelah mendapat apa yang ia inginkan. Tak lupa mereka saling bertukar nomor telepon.
"Terima kasih banyak, ya, Maira. Senang sekali bertemu denganmu," ucap Ibu Ria sembari memasukan ponsel ke dalam tas berwarna hitam yang menggantung di tangannya.
"Sama-sama, Bu. Ikut senang juga karena saya jadi mendapatkan job baru ... he-he-he," jawab Maira diiringi kekehan kecil.
Ibu Ria ikut terkekeh mendengar jawaban jujur dari gadis manis berlesung pipit itu.
"O iya, nanti saya kirimkan alamat saya. Ibu bisa kabari saya kalau sudah punya waktu untuk fitting," kata Maira.
"Ok, siap!" timpal Ibu Ria mantap seraya mengacungkan ibu jarinya.
Maira kembali ke dalam melanjutkan tujuannya yang tertunda, yaitu mencari bahan kurangan baju pesanan Ibu Arini. Sementara Ibu Ria, duduk di depan toko untuk menanti jemputan datang.
"Dijemput siapa, Bu?" tanya Pak Togar berbasa-basi sebelum meninggalkannya ke dalam.
"Anak saya yang jemput, Pak."
"Oh, kalau begitu saya tinggal ke dalam dulu, ya, Bu." kata Pak Togar sembari mengulas senyuman. Ibu Ria mengangguk dan membalas senyumannya.
Tak lama kemudian sebuah mobil berwarna abu-abu menepi di depan toko textille Pak Togar. Jemputan Ibu Ria sudah datang. Kaca mobil dibuka, tampak seorang pemuda memiliki wajah menawan melambai ke Ibu Ria.
Ibu Ria bangkit dan berjalan ke arah mobil seraya berteriak—berpamitan pada Pak Togar. Dari dalam terdengar jawaban dari yang dipamiti.
"Yaa ... hati-hati di jalan!"
Ibu Ria pun segera masuk ke dalam mobil.
***
🗣️: "Novel ini bagus. Tapi percakapannya dikit."
☕: "Silakan Anda baca karya-karya Penulis Tersohor, seperti karya: Tere Liye, Habiburrahman El Shirazy, A. Fuadi, Andrea Hirata, dsb. Barangkali dari sana Anda mengerti perbedaan NOVEL dan NASKAH DRAMA YANG BANYAK PERCAKAPANNYA SEPERTI YANG ANDA INGINKAN."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
hoomano1D
gw anggota klub tinggal baca aja nggak usah protes
2023-03-10
0
Hamano Michiyo
wahh thor,,gimana caranya nyusun kata2 sebagus itu??bisa baginya ilmunya gak thor?
jadi inget sama novel lawas..yg percakapannya emang dikit dan lebih bnyk narasinya...tapi setiap kalimatnya bermakna banget....
2022-04-23
0
ApriL
sukaa 🥰🥰 auto pencet favorit..
2022-04-04
0