...☕🍜Kemarin, kulihat matamu masih hujan, pipimu masih basah, senyummu masih ragu. Namun, kini, aku kembali menjumpaimu dengan senyuman yang tidak mudah kulupa dari ingatan. Apakah hatimu sudah benar-benar sembuh, Nona?🍜☕...
Minggu pagi hari, seorang wanita paruh baya tengah sibuk menyiapkan sarapan untuk kedua putra-putrinya.
"Juan ... Chilla ... cepat turun, Nak. Sarapan sudah siap." Maria memanggil anak-anaknya yang masih berada di dalam kamar masing-masing di lantai dua.
Gadis remaja yang kini tengah menempuh pendidikan menengah pertama di salah satu sekolah kristen daerah Jakarta Timur, tampak sudah siap turun memenuhi panggilan mamanya.
Kakinya dengan anggun menuruni anak tangga, dress berwarna biru muda yang membalut tubuh mungilnya membuat ia terlihat memesona.
Maria menyambut putri bungsunya dengan senyuman bersahaja khas seorang ibu yang penuh kasih terhadap anaknya.
Chilla memposisikan diri pada kursi meja makan, sembari bersenandung ria.
"Kak Juan mana, Sayang? Kok, nggak ikut turun?" tanya Maria, tangannya sibuk menuang air susu ke dalam gelas.
"Tau, tuh, kamarnya masih sepi," jawab Chilla seraya mengedikkan bahu.
Setelah menuangkan cairan putih ke dalam 3 gelas hingga penuh, Maria menghela napas. Ia tahu pasti anak sulungnya masih terlelap di balik selimut.
"Chilla sarapan dulu, ya, Sayang. Mama ke kamar kakak dulu."
Chilla mengangguk takzim. Gadis remaja itu memang amatlah patuh kepada orangtuanya. Cantik, baik dan penurut. Ia pun termasuk siswa yang pintar di sekolahnya. Chilla hampir selalu mendapat rangking 3 besar sejak sekolah dasar hingga kini duduk di bangku kelas 2 menengah pertama.
Chilla cenderung pendiam, dan memiliki kesulitan dalam bersosialisasi. Ia bahkan tidak punya teman dekat sama sekali. Karena teman-temannya pun merasa kesulitan untuk mendekati gadis berdarah Batak dan Manado ini.
Nama lengkapnya Prischilla Paula br Tampubolon, nama belakangnya diambil dari marga papanya. Begitu pula Maria, karena ia menikah dengan pria bernama Luhut yang bermarga Tampubolon, sehingga ia sering dipanggil dengan sebutan Ibu Tampubolon.
Tapi, itu bukan marganya. Itu hanyalah panggilan saja di Jakarta, karena aslinya dia orang Manado. Meski sudah berpisah dengan Luhut, tapi panggilan itu masih melekat pada Maria. Pun sudah menjadi tanda pengenal yang memudahkan. So, Maria sama sekali tidak mempermasalahkan hal itu.
Lagi-lagi kasus Broken Home, belum lama mereka berpisah. Setelah sidang selesai Maria memutuskan untuk pindah ke Jakarta, dan memulai hidup yang baru.
Mengenai hak asuh anak, Maria dan Luhut sepakat untuk tidak saling mempermasalahkan. Membiarkan kedua anaknya untuk bebas memilih, dan juga tidak melarang satu sama lain untuk tetap bisa bertemu dan menjaga hubungan antara orangtua dan anak.
Tok-tok-tok ....
Maria mengetuk pintu kamar putra sulungnya. Namun, tak ada jawaban. Sehingga ia pun memilih menerobos saja ke dalam karena waktu sudah hampir mepet. Pagi ini seperti biasa, mereka pergi ke Gereja untuk menjalankan ibadah rutin setiap minggunya.
Wanita paruh baya itu lantas menarik gordyn yang masih tertutup. Sengaja ia lakukan supaya sinar matahari masuk ke dalam kamar dan membuat ruangan menjadi terang.
"Juan, ayo, bangun!" teriak Maria seraya menarik-narik selimut yang membungkus tubuh Juan. Biasalah anak muda memang bebal sekali disuruh bangun pagi.
Juan menggeliat, pria dengan nama lengkap Johanes Raymond Tampubolon itu menunjukkan kepalanya dari selimut. Ia menutup mata kembali menahan silau sinar matahari yang mengenai wajahnya.
"Jam berapa, Ma?" tanya Juan dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.
"Jam 7, kebaktiannya dimulai jam 8, belum sarapan, belum mandi, belum pula perjalanannya. Cepatlah kau pergi mandi dulu!" terang Maria dengan tegas. Ia berdiri di sisi ranjang, menunggu anaknya bangkit dari tempat tidurnya.
"Tak usah mandi kalau gitu, biar cepat." Juan menyeringai setelah berhasil mengumpulkan nyawanya.
"Hey, percuma ketampananmu itu kalau tidak mandi!" Maria mendengus. Lalu imbuhnya, "Nanti cewek-cewek di luar sana menyebutmu GGB!"
"Apaan, tuh, GGB?" Juan mengernyit.
"Ganteng-ganteng bau!"
Maria melengos. Juan tertawa melihat tingkah Mamanya. Ganteng-ganteng serigala kali, ah!
Setelah memperingatkan anaknya, Maria segera turun untuk sarapan membersamai putrinya. Tinggallah Juan yang masih malas-malasan bangun di dalam kamar bernuansa serba gelap.
Pria berambut gondrong hingga bahu dan memiliki wajah menawan turunan dari papanya itu memiliki karakter tak beda jauh dengan adiknya. Di usianya yang menginjak 28 tahun, apakah ia masih layak disebut anak muda?
Lihatlah rambut halus sengaja dibiarkan lebat di area dagunya. Meski demikian sama sekali tidak menghilangkan wajahnya yang memang sudah tampan turunan. Namun, hilang ketampanannya ketika di tanjakan.
Kini, ia menggeluti profesi sebagai seorang akuntan di salah satu perusahaan swasta daerah Jakarta.
Tak ingin membuat Mamanya mengeluarkan urat, ia segera bangkit dari tempat tidurnya untuk menunaikan mandi agar ketampanannya tidak sia-sia.
Rupanya Juan telah mencontek baik-baik kalimat yang beberapa menit lalu dilontarkan oleh Maria. Emang dasar anak laki-laki.
***
"Chilla, kamu mau ikut Mama ke tempat jahit atau mau diantar pulang dulu?" tanya Maria sembari memasang seatbelt, Juan tengah siap menstarter mobil.
Mereka telah selesai beribadah. Tujuan Maria yang selanjutnya adalah ketempat Maira untuk fitting baju. Namun, sebelumnya ia bertanya dulu kepada putrinya yang ia tahu tidak senang ikut bepergian.
Di luar aktivitas sekolah, Chilla memang lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam rumah.
"Mama lama nggak?" tanya Chilla yang duduk di jok belakang.
"He-he-he ... sepertinya nggak sebentar, Sayang." Maria menoleh ke belakang, melayangkan senyuman kepada putrinya.
Chilla mengerutkan dagu, tampak menimbang-nimbang.
"Pulang aja, deh."
Seperti biasa. Rumah selalu jadi pilihan yang terbaik bagi Chilla.
"Pir, Supir! Dengar, tuh, kita antar Nyonya Muda dulu ke rumah." Maria meledek Juan dengan julukan sebagai supirnya.
Memang apalagi julukan yang cocok untuk Juan? Di luar jam kerjanya, dia memang selalu bersedia mengantar mama dan adiknya ke mana saja. Ya, tak lain itu adalah bentuk dari kasih sayang seorang anak laki-laki pada mama dan adik perempuannya.
Juan memutar bola matanya, jengah. Di belakang, Chilla cekikikan mengimbangi candaan Maria.
***
Setelah mengantar Chilla ke rumah, mereka langsung menuju ke lokasi selanjutnya.
"Nggak begitu jauh, sih kayaknya, masih sama-sama Jakarta Timur." Maria menunjukkan maps yang sudah ia bubuhkan dengan alamat yang diberikan oleh Maira melalui pesan WhatsApp tadi malam.
Karena sedang melewati tikungan, Juan hanya melirik sebentar dan lebih fokus ke jalan.
"Ya sudah, Mama arahkan saja, Supir, mah, nurut." ucapnya sengaja mengembalikan ledekkan Maria.
Maria menyeringai tanpa berkata-kata. Ia mencubit lengan putranya.
Sesuai pernyataan sebelumnya, sepanjang perjalanan, Juan mengikuti arahan Maria. Disuruh ke kiri nurut, ke kanan oke, putar balik tidak masalah. Benar-benar sudah hampir tidak ada bedanya dengan supir pribadi.
Kendaraan roda empat berwarna abu-abu itu terus melaju membelah jalanan calon mantan Ibukota. Cukup padat, maklum weekend. Orang-orang selalu berlomba-lomba memadati jalanan setiap akhir pekan.
Apa mau dikata? Memang selalu seperti ini keadaannya. Seluruh warga +62 juga tahu kalau kota Jakarta adalah salah satu kota tersibuk di negara ini.
Ok. Si supir tampaknya santai-santai saja, malah terlihat seperti menikmati kemacetan.
Dalam hati Maria berkata, "Putraku sudah dewasa, kapan dia akan memperkenalkan calon menantu padaku? Sampai kapan dia akan terus membujang seperti ini, weekend pun malah sibuk menjadi supir."
"Perempatan itu belok kiri, Pir!" teriaknya spontan, ketika melihat maps mengarahkannya untuk belok.
"Udah kayak ngomong sama aki-aki aja sampai teriak-teriak." Tentu saja Juan terkejut karena teriakan Maria yang spontan dan cukup memengakkan telinga.
Maria hanya terkekeh, lalu kembali mengarahkan, sebab lokasi sudah tak jauh lagi. Tinggal beberapa ratus meter saja.
"Nah, ini masuk kiri, lalu masuk ke gang."
Juan menurut.
"Santai, Pir. Ada tikungan satu lagi, nih, di depan."
"Hm."
Mobil melaju pelan memasuki halaman luas yang di sana terdapat beberapa kontrakan.
'Loh? Tempat ini bukannya?' Tiba-tiba Juan teringat sesuatu.
Ia menepikan mobilnya di depan kontrakan paling sudut. Maria tampak menelphone seseorang, memberitahu kalau dirinya sudah sampai.
Juan memperhatikan sekitar, sembari menanti Maria selesai berbicara dengan seseorang di seberang telephone.
Tampak seorang gadis muncul di ambang pintu. Ia memakai kemeja panjang berwarna biru dipadukan dengan rok plisket serta jilbab yang membalut kepalanya.
"Ah, Gadis itu?"Juan membesarkan matanya.
"Ma, itu orangnya?"
"Iya," jawab Maria singkat seraya melepas seatbelt. Lalu, ia segera turun dari mobil meninggalkan Juan yang masih melongo.
Juan memperhatikan mereka dari dalam mobil. Sebelum dua punggung itu menghilang di balik pintu, ia melihat gadis itu tampak antusias menyambut mamanya.
Dilihatnya mereka saling berjabat tangan, saling melayangkan senyuman lalu bercakap-cakap seperti teman dekat yang lama tak berjumpa.
Diam-diam Juan menikmati pemandangan itu dari dalam mobil. Bibirnya melengkung, tampak suatu kebahagiaan di raut wajahnya yang sulit dijelaskan.
"Apakah luka hatinya sudah sembuh?" gumamnya.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
Linna F Maulana
jangan cinta beda agama thor....berat
2021-08-30
0
Dimpi
wah baru ngeh... apakah kisah cinta beda agama 🤔🤔
2021-08-06
1
Robbi Akbar
menarik ini kayaknya... kisah cinta beda agama ya Thor... padahal bagus Lo novel ini,kok aku baru tau sekarang ya...hmmm
2021-07-24
0