Arzen menoleh saat telinganya menangkap suara gumam seseorang. Perempuan berambut panjang terurai itu menatap tak suka pada Lucy. Ia mengernyit, mempertanyakan apa yang sedang gadis itu lakukan.
Karen Heldiva, salah satu karyawati bagian marketing. Ia melenggang sembari mengibaskan rambut panjangnya ke belakang. Terlihat kilau anting-anting dan kalung yang ia kenakan.
"Apakah Anda sekalian sedang membahas rapat klien? Boleh saya melihat point yang Lucy buat?" tanyanya begitu ia menimbrung.
"Silakan," ujar Lucy. Ia menyerahkan laptop itu pada Karen. Perempuan itu nampak tidak senang, ia menutupinya dengan raut wajah.
"Apa Anda yakin ini sudah lengkap? Jangan sampai klien tidak puas dengan penawaran yang kita berikan." Ia berkacak pinggang.
Dua orang yang tadi berdiskusi dengan Lucy saling tatap. "Tentu saja sudah lengkap. Kami sudah memeriksanya. Sekretaris CEO dapat diandalkan," ujar salah satu dari mereka.
Karen gigit jari mendengarnya. "Be–begitu, ya? Yah, saya pikir Anda terlalu sering mengendalkan sekretaris CEO saat rapat. Saya hanya memeriksanya ulang," ujarnya.
"Apa tidak masalah terlalu sering mengandalkan sekretaris pribadi CEO untuk setiap rapat?"
Dua orang itu kembali bertatap. "Benar juga... kita terlalu sering mengandalkannya," ujar seorang.
Seorang lagi menyahut, "Tetapi, buatannya selalu dapat persetujuan dari CEO langsung, bukan? Itu tandanya punya Lucy memang bagus," katanya.
Mendengar hal itu Karen kembali gigit jari. Ia tak terima dan dendam dalam hati. Apalagi saat Lucy mengatakan bahwa ia tak keberatan selama ia mampu mengerjakannya.
"Dasar penjilat," gumamnya.
"Apa Anda mengatakan sesuatu, Karen? Kalau tidak ada, kita lanjut bekerja," ujar seorang lelaki berkemeja biru muda.
Karen reflek menggeleng, "Tidak ada... maksudku, mungkin lain kali Anda bisa meringankan beban Lucy dan mengandalkan yang lain," ujarnya.
"Yah, saya tidak keberatan jika Anda membutuhkan bantuan kalian," imbuhnya dengan nada bangga.
"Benar juga, baiklah, lain kali kami akan meminta bantuanmu juga, Karen. Ayo kita kembali bekerja."
Karen tersenyum sampai dua orang tadi pergi. Ia menatap tajam Lucy setelah tidak ada orang lain di sana. Ia berdecak kesal mencibir Lucy sebelum akhirnya pergi dari sana.
Arzen yang sedari tadi menonton merasa geram. Ia segera kembali ke ruangan mengetahui Lucy akan menuju ke sana. Kebetulan Loofyn sudah menunjukkan tanda-tanda akan bangun dari tidur nyenyaknya.
Cklak!
"Ah, Loofyn sudah bangun?" tanya Lucy ketika baru saja masuk.
Arzen tak menyahuti, ia sibuk mengeluarkan Loofyn dari kotak sihir. Kemudian menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. Loofyn terbangun tanpa menangis seperti saat di rumah.
"Hah, kupikir dia akan tantrum. Aku sudah siap mengusirmu kalau itu terjadi," canda Lucy.
Arzen menghela napas, "Kau sendiri bagaimana?"
"Eh?" Lucy tidak mengerti.
"Apa kau tidak ingin menangis seperti Loofyn?" tanya Arzen.
Dahi perempuan itu mengernyit. Alisnya hampir bertaut, "Apa maksudmu?" Ia bingung.
"Aku melihatmu dengan orang yang membencimu tadi," katanya.
"Kau tidak marah saat dia menatapmu sengit tadi?" tanya Arzen.
Lucy menghela napas. "Memangnya kenapa? Itu sudah biasa di sini," balasnya.
"Apa kau tak ingin melawannya? Apa kau tak ingin melakukan sesuatu dengan sihirku?" Arzen mengeluarkan sihir petir dari tangannya.
Lucy mengangkat tangannya untuk menghentikan Arzen. "Berhenti, kau gila? Sudah kubilang tidak perlu menggunakan sihir," ujarnya.
"Lagipula, keuntungan apa yang aku dapat dari membenci orang lain?"
Arzen tak mengerti ucapan Lucy barusan. Ia hanya menurunkan tangannya dan sihir petir itu tidak jadi ia gunakan. Lucy mengalihkan pandangannya setelah berucap demikian.
"Hah, aku hanya tidak ingin mencari masalah. Daripada menghabiskan waktuku untuk membenci orang lain, lebih baik aku bekerja sampai aku punya banyak uang dan membahagiakan diriku sendiri," ujarnya.
Lucy kembali duduk di meja kerjanya. Ia mempersiapkan kebutuhan rapat klien nanti siang. Ia membiarkan seorang pria menatapnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan.
Arzen kemudian menenangkan Loofyn yang mulai merengek. Ia memasukkannya kembali ke dalam kotak sihir. Membuatnya tertidur setelah kenyang satu botol susu.
"Kalian para manusia suka hal yang rumit," celetuknya.
Lucy tersenyum singkat mendengar hal itu. Padahal ia juga berpikir dunia magis dan penghuninya begitu rumit. Ia tak pernah melihat sihir dan itu membuatnya berpikir rumit.
"Kau sendiri bagaimana? Bukankah duniamu sedang terjadi masalah rumit?" tanya gadis itu tanpa mengalihkan perhatiannya dari laptop.
Arzen menghembuskan napasnya kasar, "Tidak serumit yang kau bayangkan. Aku ini orang nomor satu di kekaisaran, jadi itu bukan hal yang rumit," kelakarnya.
Lucy terkikik, "Lihat, kau sama menyebalkannya dengan gadis tadi. Kau mengkritik orang tetapi sendirinya juga begitu," katanya.
"Hei, lagi-lagi kau menyamakan diriku dengan manusia! Tidak sopan!" sergah Arzen.
"Terserah kau saja. Ah, apa kau mau minum?" Lucy beranjak dari kursi menuju pantry kecilnya.
Di sana ia meracik kopi pada mesin penggiling. "Ah, apa serigala bisa minum kopi?" tanya Lucy memastikan Arzen tidak ada semacam alergi terhadap minuman selain air, teh, dan susu.
"Hm? Memangnya itu apa? Aku belum pernah mencobanya mana aku tahu," sahut Arzen dengan malas.
"Benar, juga. Aku pikir kopi tidak bagus untuk kucing dan anjing—"
"Manusia! Kau menyamakanku dengan mereka?!" omel Arzen tidak terima. Ia mengepalkan tangannya kesal.
Lucy hanya tertawa sembari menyeduh kopi hitam. Ia memberinya susu dan jadilah caffe latte seadanya. Arzen sudah merasakan hidungnya mulai sensitif bau kopi.
"Kau mau meracuniku?!" tuduhnya begitu kopi sampai di meja.
"Sudah kuduga, kau sensitif dengan bau mungkin kopi berbahaya untuk anjing—"
Arzen menggeram sampai telinga dan ekornya muncul. "Berani sekali kau manusia!" Sedangkan yang dimarahi hanya diam saja menikmati caffe latte-nya.
Arzen sebenarnya ragu setelah mencium bau kopi. Harum tetapi juga sepat pahit. Ia melihat bagaimana Lucy meminum kopi tanpa beban indra penciuman.
"Sial!" Ia mengambil gelas itu lalu meminumnya sedikit.
"Hm? Rasanya manis dan pahit secara bersamaan," katanya.
Lucy mendapati tingkah lucu Arzen. Pria serigala itu entah mengapa menggemaskan ketika sedang penasaran tentang hal baru. Ia sangat berbeda dengan Arzen yang angkuh seperti biasanya.
Lucy terkikik pelan sebelum menyesap kopinya lagi. Diam-diam ia mengamati bagaiman pria di depannya ini mengendus dan merenungkan bau kopi. Meminumnya sedikit demi sedikit kemudian mengenali rasa kopi yang manis dan pahit.
"Kenapa ada susunya? Apa tidak apa mencampur dua bahan berbeda untuk diminum seperti ini?" tanya Arzen.
"Ini namanya kopi susu." Ia tak menyebutnya caffe latte karena tentu saja pria itu akan bingung.
"Aku menggiling biji kopi, menyeduhnya, lalu menyaring airnya saja. Aku tak suka kalau ada banyak ampas kopinya," ucap Lucy.
"Setelah itu, aku memberinya gula agar tidak terlalu pahit. Aku sendiri tidak suka kalau terlalu pahit dan sepat."
"Baru setelah itu, aku tambahkan susu. Ini minuman kesukaanku," pungkasnya.
Arzen sedari tadi terus memperhatikannya. Ia suka bagaimana Lucy menjelaskannya perlahan. Gadis itu berhati-hati dan telaten agar apa yang ia bicarakan sampai pada orang yang mendengarkan.
"Baiklah, aku sudah paham."
"Apa di sana tidak ada tanaman kopi?" tanya Lucy.
Arzen menggedikkan bahunya, "Aku bukan petani yang setiap hari menghadapi tanaman. Jadi, aku tidak tahu ada atau tidaknya," katanya.
"Apa kau berniat menjadi juru masak di istanaku?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments