Cerahnya mentari mulai menyusup di balik tirai. Burung-burung yang berkicauan itu belum sanggup mengusik tidurnya. Lucy masih ingin berlama-lama di dalam mimpinya.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Ia mulai terusik setelah merasakan pergerakan asing. Seseorang seperti mengguncang kasurnya dengan perlahan.
Plak!
"Mama!"
Tangan mungil itu menepuk-nepuk muka Lucy. Hal itu membuatnya terkejut dan membuka mata. Sinar yang silau membuatnya mengerjap beberapa kali.
Lucy terbangun dengan perasaan bingung. Matanya membulat melihat seorang bayi imut berada di depannya. Ia bahkan kembali menepuk pipi Lucy yang baru saja bangun itu.
"Kau... siapa?" gumamnya.
Sepertinya ia lupa sejenak akan kejadian semalam. Dengan cepat ia terbangun dari tidurnya setelah mengingat sesuatu tentang bayi berusia 1 tahun itu. Ia duduk dengan pikiran yang campur aduk.
"Mama!"
Teriakan bayi itu membuatnya buyar. Ia menangkup pipinya sendiri dan mencerna apa yang sedang terjadi. Ingatan sebelum tidur kembali muncul seperti kepingan yang tersusun dalam kepalanya.
Tiba-tiba mata lucu bayi itu berkaca-kaca. Ia menangis keras membuat Lucy hampir dilanda panik. Dengan sigap ia menggendong bayi laki-laki itu dan membawanya ke dapur.
"Sial! Aku kan tidak punya asi. Susu formula juga tidak punya!" rutuknya dalam hati.
Bayi itu masih terus merengek bahkan lebih keras dari sebelumnya. Lucy mulai mengendus sesuatu yang asing. Bau busuk itu menusuk hidungnya.
"Ah, kau buang air rupanya," ujar Lucy ketika melihat popok yang dikenakan si bayi sudah menggembung.
Ia meletakkan bayi itu di ranjangnya. Ia merutuk lagi, "Aku tidak punya popok!" katanya.
"Oweeekk!"
"Ah, iya sebentar!" Lucy tak berpikir pusing lagi. Gadis itu segera membersihkan dan mengganti popoknya dengan balutan kain bersih.
Ia memesan popok secara online melalui ponselnya. Tak lupa beberapa kardus susu formula untuk persediaan. Uang yang ia temukan di dalam keranjang bayi itu, ia gunakan untuk ini.
"Hah, masalah satu sudah selesai," ucapnya lega ketika pesanan telah dikonfirmasi.
Lucy mengernyit menatap uang yang ia pegang. Jumlahnya sangat banyak meski hanya beberapa lembar. Karena, uang yang pegang itu adapah nominal tertinggi di negara ini.
"Aku rasa ini bisa menghidupinya selama dua bulan kalau tidak ada masalah," gumamnya sembari melirik bayi yang tengah bermain sendiri itu.
Baru saja ditinggal sebentar, kain pengganti celana itu sudah terlepas. Membuat si bayi merangkak ke sana ke mari setengah telanjang. Lucy menghela napasnya, ia tak mengira dirinya yang single ini harus mengurus seorang bayi yang entah dari mana asalnya.
Bicara tentang bayi itu, Lucy mengamati keranjang yang semalam ia temukan. Tak ada apapun selain secarik kertas dan uang dengan jumlah lebih dari cukup. Semalam pun tak ia temukan jejak orang yang membawa bayi itu ke rumahnya.
"Aku bahkan tidak tahu namanya," gumam Lucy pasrah.
"Mama!"
Bayi itu terus memanggilnya mama. Lucy hanya mengangguk, pasrah dirinya yang kekasih pun tidak ada sudah dipanggil mama. Ia juga tak menolak dipanggil begitu oleh bayi yang menggemaskan ini.
Ia duduk di kursi yang menghadap ke ranjang. Dengan begitu, ia bisa mengawasi anak kecil itu bermain. Helaan napas perlahan mengudara.
Ia bingung, haruskah mengatakan ini keberuntungan atau sebaliknya. Di hari cuti, bukannya memanjakan diri sendiri malah mengurus bayi. Namun, tak ia bayangkan kalau hari ini ia harus masuk dan menelantarkan bayi malang itu.
Ia meraup wajahnya lelah, "Kenapa aku harus mengambil dan merawatnya?" keluhnya.
"Apa karena aku sendiri yang keluar dan membuang sampah? Tidak ada orang selain aku di sana, jadi karena itu?"
Ting tong!
Bel rumah berbunyi, ia mengeceknya melalui kaca kecil di pintu rumahnya. Seorang kurir membawakan pesanannya. Dua bungkus besar berisi popok dan sisanya susu formula.
"Mama!"
"Iya, sebentar ya."
Ia memberikan boneka miliknya untuk bayi itu bermain. Sementara ia merapikan belanjaannya dan membersihkan rumah. Ia berkacak pinggang dari kejauhan sembari mengamati tingkah bayi itu.
Rasanya aneh ketika orang asing berada di rumahnya. Bukan hanya satu sampai dua jam, tetapi semalaman. Lalu, bayi itu juga akan tinggal di rumahnya sampai si orang tua muncul.
"Masalahnya, kapan mereka datang menjemput anak itu?" pikir Lucy.
Masa cutinya hanya satu minggu ke depan. Ia terpaksa membawanya ke penitipan anak karena tak mungkin meninggalkan pekerjaannya. Atau mungkin panti asuhan adalah pilihan terbaik bagi anak itu.
"Benar, kenapa tidak dimasukkan penitipan anak saja?" batinnya.
Ia tak mengerti, mengapa orang menyerahkan bayinya pada rumah orang asing di tengah malam? Lucy tak percaya hantu atau film horor. Baginya itu hanya fantasi manusia saja.
Namun, kalau diingat lagi, Lucy merasa merinding. Ia memeluk lengannya sendiri dan mengusap-usap agar bulu kuduknya turun. Nalar logisnya masih berkuasa daripada imajinasi.
"Imajinasi? Mungkin terakhir kali terjadi saat aku kelas 3 menengah pertama," gumamnya.
Lucy menganggap dirinya tak ada waktu untuk berfantasi. Anak-anak memang identik dengan dunia imajinasi. Namun, Lucy memilih untuk mengurungnya seolah tak pernah melakukan hal itu sebelumnya.
Kehidupan orang dewasa sudah menyerangnya sejak ia duduk di bangku SMA. Ia tak ada waktu mengurusi hal 'kekanak-kanakan' selagi dunia kerja menyerangnya. Ia harus mengumpulkan uang untuk hidup daripada tidur dan bermimpi indah.
Lucy menghampiri anak itu dan menyentuhnya. "Tidak tembus, berarti bukan hantu," katanya.
Bayi itu menoleh dan tersenyum pada Lucy. Ia mengangkat kedua tangannya. "Mama!" pekiknya riang.
Lucy ikut tersenyum hangat, "Mau gendong?" Ia menjulurkan tangannya, merengkuh makhluk kecil itu dan membawanya ke dalam pelukan.
"Astaga, lembut sekali," gumamnya senang.
Benda yang berkilau ketika terkena cahaya itu menarik perhatiannya. Sebuah benda yang mengalungi leher bayi itu tak pernah ia gubris. Rupanya ada nama si bayi tertulis di sana.
"Loofyn de Woove..."
"Oh, jadi namamu Loofyn? Unik juga," ujarnya.
Matanya bertatapan dengan si bayi yang ia gendong. "Loofyn," panggilnya.
Entah ia salah lihat atau tidak, sekilas mata bayi itu berubah warna ketika ia menyebut namanya. Lucy kembali mengerjapkan matanya dan memastikan bahwa Loofyn memiliki mata biru gelap, bukan emas. Loofyn hanya tergelak melihat Lucy yang kebingungan.
"Loofyn?" panggilnya lagi, tetapi tak ada kilatan seperti sebelumnya.
Lucy memutuskan bahwa ia hanya halusinasi. Ia menganggap, efek lembur semalam membuatnya lelah. Ia mengambil kursi dan duduk sembari memangku Loofyn yang tak lagi membuat tingkah.
"Huft... kenapa kau ditinggalkan oleh orang tuamu di rumahku?" tanyanya pada bayi yang belum bisa bicara itu.
Ia mengelus pipi tembam Loofyn. "Padahal kau lucu begini, kenapa mereka meninggalkanmu di malam yang dingin itu?"
"Astaga, sejak kapan aku emosional begini? Aku bahkan lupa kapan terakhir kali merasakan perasaan seperti ini," gumamnya menahan mata yang berkaca-kaca.
"Kenapa harus aku yang merawatmu?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
wongkepoan
mampir thor...cz aq suka genrenya...arrrgggh serigala 😃
2024-06-05
1
Park Kyung Na
makin penasaran 😊
2023-07-02
1
Anita noer
penasaran....
2023-06-18
1