Istri Cantik Milik Pak Guru
“Alma, apa yang aku katakan ini mungkin akan semakin menambah luka hatimu. Tapi tolong dengarkan!”
Gadis yang dipanggil Alma itu mengangkat wajahnya, dia melihat seorang lelaki yang berdiri di hadapannya dan mata mereka bertemu di bawah terangnya cahaya lampu.
“Apa yang ingin Om Yohan katakan?”
Dengan tangan yang terasa kebas, Alma memberanikan diri untuk bertanya.
Yohan, nama lelaki itu. Entah apa yang akan dia katakan, tetapi rasanya itu bukanlah sebuah bercandaan.
“Ayahmu, William Kenan, sudah pergi meninggalkan Los Angeles dan sekarang ada di Jakarta. Dari kabar yang aku dengar, dia akan mencalonkan diri menjadi anggota dewan.”
Ada ketakutan tersendiri saat Alma mendengar nama William disebutkan. Ada luka yang tidak akan pernah dia lupakan, sama sekali.
Kedua mata Alma memanas dan berair, menunggu kalimat Yohan terasa mengkhawatirkan baginya.
“Kamu tahu alasan dia menelantarkanmu di tempat pelelangan perawan adalah karena dia membencimu yang mirip dengan ibumu, yang dia anggap sebagai perempuan tidak benar. Iya, ‘kan?”
Tenggorokan Alma rasanya kering, air mata tertahan di kedua sudut netranya.
“Iya, Om benar. Alma sangat takut sama Papa. Apa yang harus Alma lakukan kalau seandainya nanti Alma ketemu sama Papa?”
“Kamu ingin apa dariku?”
Alma memberikan gelengan lirihnya, jujur dia tidak tahu. Hanya satu hal yang jelas dan itu adalah,
“Tolong bantu Alma! Om tahu kalau ... Alma tidak punya siapapun sekarang selain Om Yohan, ‘kan?”
“Aku punya jalan keluar, tapi aku tidak yakin kamu akan menerimanya.”
“Apa itu?”
“Menikahlah denganku!”
Bibir Alma gemetar, sejenak, dia tidak tahu bagaimana caranya bernapas. Napasnya habis di tenggorokan.
Menikah dia bilang? Yohan tahu benar dia masih di bawah umur dan dia mengajak Alma untuk menikah?
“Jangan salah paham! Ini hanya sebatas pernikahan karena aku tidak ingin kamu diambil olehnya dan hidupmu dikembalikan ke titik nol. Dengan keadaan kamu yang sangat dibenci William, tidak ada yang menjamin dia tidak akan menghalalkan segala cara termasuk untuk membunuhmu.”
“Hah?”
“Dia pasti tidak ingin skandalnya menjual anak gadisnya tersebar dan kalau dia tahu kamu ada di sini, apa lagi yang akan dia lakukan? Membuatmu hilang untuk selamanya, ‘kan?”
Kalimatnya terasa dingin, menggelitik sanubari dengan sedikit rasa sedih yang memang benar.
Jika William tahu Alma baik-baik saja di sini, tidak seperti harapannya yang berpikir Alma hancur di balai lelang, maka William pasti membunuh Alma agar tidak buka mulut karena pernah dijual.
Ketegangan menyelimuti mereka. Alma memandang Yohan yang tersenyum sebelum beranjak pergi. Dari gelagatnya, dia jelas sedang memberi Alma waktu untuk berpikir.
Alma mengepalkan kedua tangannya semakin erat.
Bagaimana keadaan bisa berubah secepat ini?
Jika dia menikah dengan Yohan, artinya dia akan menikah dengan gurunya sendiri? Tapi jika tidak menikah dengan Yohan, tidak ada yang bisa melindungi Alma.
William pasti akan membunuhnya karena kebenciannya kepada Alma. Tidak! Alma tidak ingin mati sia-sia. Baginya, sudah cukup selama ini dia ada di bawah ketakutannya terhadap William.
“Apa alasan Om mau menikah dengan Alma?”
Yohan berhenti. Memutar tubuhnya menghadap Alma yang dengan cepat menunduk, menghindari tatapannya.
“Karena aku merasa punya tanggung jawab terhadapmu.”
“Tanggung jawab?”
“Bukannya aku yang membuatmu merasa punya teman saat kamu pindah ke Los Angeles? Jadi anggap saja aku melakukan semua ini karena kita berteman.”
“Itu saja?”
“Mantan istriku bilang agar aku menemukanmu lagi. Kamu tahu kalau dia mengenalmu selama ini karena aku banyak menceritakan tentangmu padanya. Anggap saja selain karena aku ingin melindungimu, kita menikah karena permintaan istriku.”
Alma mengusap wajahnya dengan kasar. Mempertimbangkan sekali lagi tawaran Yohan dan sebelum lelaki itu berubah pikiran, Alma mengiyakannya.
“Iya, Alma mau nikah sama Om. Tapi, Alma masih mau sekolah.”
“Tentu, kamu boleh sekolah. Aku yang akan bertanggung jawab.”
“Tapi 'kan kalau menikah nanti—”
“Kita jalani pernikahan secara rahasia.”
Keheningan terjadi sangat lama. Mendinginkan dinding pembatas, membekukan persian rug yang ada di sudut lain ruangan sampai Alma meyakinkan jawabannya, sekali lagi.
“Iya, Alma mau.”
Yohan mengangguk.
“Sudah mengambil keputusannya?”
“Iya, sudah.”
“Kalau begitu masuklah ke dalam kamar!”
“Hah?”
“Karena aku akan mengurus biar kita bisa menikah.”
“Iya.”
Yohan pergi meninggalkannya, membuat Alma menerka dalam hati bahwa ini jelas sebatas pernikahan siri karena usia Alma belum legal.
Alma menghabiskan jam demi jam di dalam kamar yang ditunjuk oleh Yohan, dia berdebar menyadari jika dia sebentar lagi akan berubah menjadi istri orang, istrinya Riyohan Zanzera Xander.
Tok tok tok!
Suara ketukan pintu membuat Alma tersadar dengan cepat.
“Nona Alma dipanggil keluar.”
Lim, kepala pelayan di rumah Yohan yang datang dari luar membuat Alma berdiri dengan gugup dan mengikuti langkahnya.
Di sana, di ruang tengah rumah ini, dia bisa melihat Yohan, lalu seorang pemuka agama dan beberapa pengurus dari wilayah tempat Yohan tinggal. Kepala lingkungan, ketua RT, dan beberapa orang lainnya yang tidak Alma kenal.
“Kita akan dinikahkan dan menanda tangani surat yang dilihat sama para saksi, Alma. Bagaimana?”
Yohan bertanya dengan suaranya yang dalam dan Alma memberinya anggukan dengan yakin.
“Iya, Alma mau.”
Dia harus lakukan ini agar jika suatu saat nanti dia bertemu dengan William entah di belahan bumi mana, William tidak punya hak apapun lagi terhadapnya.
Dan yang paling penting, ada yang akan melindungi Alma dari ancaman kekejian yang dia lakukan.
“Saya terima nikah dan kawinnya Kafalma Alexandra Kenan ....”
Saat Yohan dengan cakap mengatakan ijab, kini Status Alma berubah menjadi istri Yohan.
Ada sebuah kelegaan yang tidak bisa Alma jelaskan yang singgah di dalam hatinya.
Bersama debaran yang aneh yang bisa dia rasa saat mereka duduk berhadapan di atas ranjang pada malam harinya.
‘Ini akan jadi malam pertama? Tidak, ‘kan?’
Alma membatin dengan gugup.
Oh, apa yang Alma harapkan?
Tidak ada cinta di dalam hubungan mereka. Meski Alma menaruh rasa pada Yohan, lelaki itu tidak.
Sebenarnya ... bagaimana ini semua terjadi? Dan bagaimana bisa Alma terjebak di dalam situasi mencekam yang mencekiknya?
Itu dimulai dari sebuah kota yang jauh dari sini. Kota yang jauh dari Jakarta, kota yang akan dianggap Alma sebagai neraka.
Kembali pada setengah tahun sebelum hari ini ....
....
“Peluang kamu dicintai di luar sana sama besar jika kamu memulainya dengan mencintai dirimu sendiri. Terima kasih untuk perhatiannya hari ini, selamat siang.”
“Selamat siang, Pak.”
Alma dapat mendengar dua kalimat penutup kelas yang menghangatkan hatinya.
Dia menatap lurus pada seorang laki-laki yang berdiri di balik meja guru yang ada di kelasnya sekarang.
Namanya Yohan. Yang berarti adalah ‘Kisah.’
Ya. Bagi Alma, Yohan memang sebuah kisah. Bagian dari dalam hidupnya, alasan dia pergi ke sekolah setiap pagi hanya karena satu hal, Yohan.
Riyohan Zanzera Xander.
Bisa dibilang, mereka dekat. Bahkan sekarang pun demikian. Saat tiba di penghujung jam pulang sekolah, Alma berjalan tepat di sisi kirinya.
Menikmati suasana sore yang ada di Los Angeles, senja yang berwarna jingga. Hangat, mendekapnya dalam rasa yang membuatnya terpesona.
“Kenapa?”
Yohan bertanya dengan sedikit tertawa saat memandang Alma.
“Tidak kok. Hanya ... Om kelihatan semakin dewasa belakangan ini.”
‘Om’ yang dikatakan oleh Alma bukan tanpa alasan. Di sekolah mereka boleh murid dan juga guru. Tetapi di luar, Yohan adalah teman ayahnya. Dan mereka memang terbiasa seperti ini.
Alma berusia tujuh belas tahun, Yohan terpaut sepuluh tahun lebih tua darinya, dua puluh tujuh.
Mereka sama-sama berasal dari Jakarta dan Yohan mengajar sebagai guru konseling di sekolah menengah atas di mana Alma berada sekarang, sejak dia dibawa pindah ayahnya ke sini setahun yang lalu dan menempatkannya di bangku kelas dua.
“Itu ada alasannya, Alma.”
“Apa alasannya?”
“Ada deh! Nanti kamu juga tahu alasan kenapa laki-laki dewasa semakin matang.”
Alma tidak bisa menahan senyumnya. Melihat Yohan adalah obat pelipur lara yang diturunkan oleh Tuhan secara gratis, cuma-cuma.
“Kalau Alma tidak tahu? Bagaimana?”
“Nanti Om akan kasih tahu.”
“Sekarang saja.”
“Tidak ah! Nanti kamu jadi tidak penasaran. Atau coba kamu tanyakan ke papamu! Papamu tahu kok.”
Alma menggelengkan kepalanya dengan cepat.
“Tidak! Papa tidak akan tahu karena papa tidak pernah menjadi orang dewasa.”
Yohan tertawa kecil sebelum menepuk puncak kepalanya.
“Apa papamu masih sering memukulimu?”
“Iya. Bukannya papaku akan selalu begitu setiap kali mabuk?”
“Perceraian orang tua kalian sudah beres?”
“Sudah. Mama juga sudah punya yang lain di Jakarta sana.”
“Akan lebih melegakan kalau perceraian mereka cepat selesai. Papamu akan berubah setelah ini. Percayalah! Dia melakukan hal yang abusif begitu karena pikirannya sedang kacau dengan perceraian dan prosesnya yang panjang.”
Selalu saja menenangkan. Apa yang dikatakan oleh Yohan seperti dia adalah seorang filsuf yang baik hatinya.
Mereka berjalan dan melambaikan tangan saat berpisah di tikungan komplek perumahan yang berbeda.
Alma berjalan ke arah selatan dan Yohan ke arah utara.
Sore yang bahagia jika dia berkesempatan untuk pulang bersama dengan Yohan, menceritakan apa yang dia alami sepanjang pagi sampai dia pergi ke sekolah esok hari.
Karena, saat Alma bisa melihat gerbang rendah rumahnya, dia berpikir telah melihat gerbang neraka.
Di dalam sana, hidup seorang lelaki yang sangat dia benci, ayahnya sendiri, William Kenan.
Sejak keluarganya berantakan beberapa tahun terakhir, William jauh lebih sering mengamuk. Seperti lelaki yang tidak stabil yang membuat Alma menjadi bahan sasarannya.
Alma dibawa pergi William dari Jakarta agar tidak diambil alih oleh istrinya. Namun bukan kehidupan yang baik yang dia tawarkan, justru sebaliknya
Suatu hari, dia pernah pulang dalam keadaan mabuk berat. Bau alkohol menguar dari mulutnya saat dia bicara dan berteriak di depan Alma.
“Kasih tahu ibumu aku tidak mau cerai, Alma!”
Perbedaan prinsip, cara pandang, William yang ingin memiliki istri yang tinggal di rumah sepanjang waktu tidak pernah mendapatkan itu karena ibunya Alma adalah seorang artis dengan jam terbang yang terbilang tinggi.
Awal mula keretakan bermula, dan menempatkan Alma di antara dua sisi jurang yang saling berlawanan.
Satu kalimat yang dilontarkan William, melayangkan tangan besinya pada Alma hingga pipinya membiru.
Di hari dia pergi ke sekolah barunya, dia dijuluki dengan panggilan ‘Sadako’ karena dia terus saja menutupi sebelah sisi wajahnya yang lebam.
Atau Orc, karena dianggap jelek.
Alma hidup seperti itu selama beberapa saat sampai seorang lelaki yang secerah matahari datang menghampirinya dan menyapanya lebih dulu yang duduk di bawah pohon. Di taman belakang yang jauh dari gedung sekolah, saat Alma membaca buku tentang seorang anak yang diasingkan, Omelas.
“Kamu baik-baik saja?”
Bukannya menjawab, Alma malah menunduk semakin dalam.
“Aku guru baru di sini. Kamu ada masalah?”
Tidak ada jawaban. Alma takut salah menjawab dan hanya menyuguhkan keheningan hingga jemari lelaki itu menyelipkan rambut panjangnya ke belakang telinga.
“Oh? Kamu Alma? Anaknya Pak William?”
Mendengar nama ayahnya disebut, Alma mengerling pada sosok yang ikut duduk di sebelah kirinya ini.
Rambutnya rapi, dengan sedikit forehead yang tampak, garis wajahnya dewasa, dia manis dan punya lesung pipi.
“Dari mana Bapak tahu aku anaknya William?”
“Kamu benar Alma?”
“Iya, aku Alma.”
“Pak William itu teman ayahku. Kebetulan kami juga saling kenal. Kami kemarin tidak sengaja bertemu di tempat makan dan dia bilang kalau kamu bersekolah di sini.”
“Tapi aku tidak pernah melihat Bapak?”
“Karena aku dan pak William juga jarang bertemu. Aku melihatmu mirip dengan ibumu makanya aku bisa mengenali kamu sebagai Alma.”
Alma tersenyum sekilas, tidak tahu bagaimana harus bersikap karena pertemuan pertamanya dengan Yohan dengan keadaan dia yang sangat menyedihkan.
“Kamu kenapa, Alma? Kenapa wajahmu seperti ini?”
Mata Yohan menatap pada Alma yang kembali menghindarinya.
Alma menggeleng saat menjawabnya dengan lirih,
“Tidak apa-apa, Bapak tidak perlu khawatir.”
Alma segera menutupi wajahnya kembali dengan rambutnya yang panjang.
“Ceritalah kalau berat karena aku pasti bisa membantumu. Aku guru konseling di sini.”
“Iya, terima kasih.”
“Kamu cantik. Bekas luka tidak akan bisa menutupi bagaimana cantiknya kamu, Alma.”
Beberapa kalimat saja yang tidak akan pernah dilupakan oleh Alma.
Maka sejak itu, Alma memiliki alasan kenapa dia harus baik-baik saja, kenapa dia harus pergi bersekolah meski keadaan batinnya remuk dari dalam. Karena di sana nanti, setidaknya dia akan bisa bertemu dengan Yohan.
Lelaki baik hati yang tidak seperti lelaki yang menyambutnya pulang ini.
“Dari mana saja? Jam berapa ini baru pulang?”
William, suaranya yang ringan menyambut kedatangannya sekaligus mengakhiri kenangan tentang awal mula pertemuan Alma dengan Yohan.
“Maaf, Papa. Baru ngobrol sebentar sama om Yohan.”
“Oh. Okay.”
Lalu dia berlalu pergi meninggalkan Alma, entah ke mana tetapi saat dia hampir di dekat gerbang, dia berhenti. Menoleh pada Alma yang masih berdiri di tempatnya dan bertanya,
“Kamu sudah dapat, Alma?”
“Apa, Papa?”
“Undangan nikahannya Yohan.”
Yohan akan menikah?
Alma tidak mencari kelanjutannya lebih jauh pada William karena dia bergegas pergi setelahnya. Selagi di sini Alma merasakan jari tangannya kebas.
Sebuah rasa sakit yang tidak bisa dia identifikasi mengambil alih porsi yang sangat besar di dalam hatinya.
Yohan akan menikah?
Itu yang kembali dia tanyakan dalam diam.
Apa ini jawaban dari ‘kenapa dia semakin terlihat matang belakangan ini?’
Dan ‘nanti kamu juga akan tahu’ serta ‘tanyalah pada papamu’ yang dia sampaikan, telah Alma ketahui sepenuhnya. Itu karena dia akan menikah dan memiliki hidupnya yang baru.
Lalu Alma? Bagaimana?
Apa Yohan tidak tahu? Perasaan kagum yang dia rahasiakan ini adalah cinta?
Cinta pertamanya, cinta beda usia.
Lalu jika Yohan pergi, bagaimana dengannya? Siapa yang akan membuatnya tenang saat dia terasingkan tanpa teman?
Daripada berdiri di atas rasa gamang, Alma memilih untuk bertanya sendiri pada Yohan.
Saat petang beranjak, mereka bertemu di dekat halte tidak jauh dari sebuah gerai retail tempat Yohan tinggal.
“Kenapa kamu ingin kita bertemu, Alma?”
Dia selalu tersenyum, senyumnya yang tulus, dengan matanya yang bening dan teduh.
“Papa bilang, Om akan nikah?”
Yohan memberikan anggukannya saat dia mengambil duduk di halte.
“Datanglah nanti, aku akan berikan undangannya padamu juga.”
Itu adalah jawaban aktual yang tidak akan bisa dia pungkiri. Sebuah pengakuan.
“Sejak kapan Om punya pacar?”
“Dia teman lamaku. Kami memutuskan menikah karena kami merasa akan lebih baik menjalin hubungan lebih dari sebatas teman.”
“Apa Om masih akan tetap di LA setelah menikah?”
“Mungkin ... aku akan pindah untuk menjadi dekat dengannya karena sampai hari ini kami menjalani hubungan jarak jauh.”
“Apa ... dia cantik?”
Yohan terlihat ragu, memiringkan kepalanya sekilas ke kanan kemudian menggeleng.
“Tidak, Alma. Kamu jauh lebih cantik.”
Mata mereka beremu dalam hening suara. Tidak ada kendaraan yang melintas di jalan raya sehingga menimbulkan dengung asing yang singgah menggugah air mata.
Alma menunduk, dia meremas jari-jarinya yang sedang dia genggam. Menahan air mata saat sekelompok orang datang ke arah halte. Melewatkan saat-saat Yohan bangkit dari duduknya dan berdiri di depannya.
“Pulanglah! Ini sudah malam. Dah ....”
Alma melihat punggungnya yang menjauh, Yohan hampir menyeberang jalan tetapi mengurungkan diri dan menoleh ke belakang.
“OM YOHAN, I CAN LOVE YOU BETTER THAN HER!”
Mereka saling pandang, mata cantik Alma terlihat sayu dari sudut pandang Yohan yang berdiri di tepi jalan. Dunia berhenti bekerja sementara bising orang-orang mulai mengusik mereka.
“Aku bisa mencintaimu lebih baik daripada yang dia lakukan. Tolong jangan pergi!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
Susan Zahra
aku belain sampek sini demi bs baca novelmu,kk almi
2024-01-19
0
𝓜𝓸𝓬𝓬𝓪
Thor aku mau baca eps 1 kenapa gak ada ya, kosong, cuma ada judul doang
Itu emg dihapus, apa emg punyaku doang yg gak ada si?
2023-09-01
0
Herdarini Sri W
Baru sempet mampir..
2023-05-30
2