"Yohan?"
Alma mengulanginya sekali lagi dengan tidak percaya atas apa yang dia lihat jika lelaki yang berada satu kamar dengannya ini adalah ... Yohan.
Iya, Yohan.
Lelaki yang menjadi cinta pertama Alma.
Lelaki yang tahu bagaimana perasaan Alma namun akhirnya memilih pergi karena dia akan menikah dengan gadis pilihannya.
Lelaki yang dia anggap sudah pergi dan meninggalkanya namun nyatanya lelaki itu jugalah yang menyelamatkanya saat Alma diperlakukan layaknya barang.
"Apa yang ... Om lakukan di sini?"
"Menyelamatkanmu, tentu saja."
Dijawab dengan tersenyum tapi Alma tidak ingin terlena.
Dia tahu Yohan sudah menikah, jadi dia akan menjaga jarak di antara mereka. Sejauh mungkin.
Karena Alma tidak ingin menjadi duri di dalam hubungan pernikahannya.
"Apa kabar, Alma?"
Alma menunduk, merapatkan coat sepanjang lutut milik Yohan yang sedang dia kenakan. Yang justru membuatnya malu saat mengingat bahwa lelaki yang menutupi pakaian tak senonohnya adalah Yohan.
"Sudah lewat satu semester, kamu baik-baik saja?"
Karena Alma tak kunjung memberinya jawaban, Yohan kembali bertanya.
Dan kata 'kamu baik-baik saja' telah berhasil membuat Alma mengangkat wajahnya. Seolah mengisyaratkan jika pertanyaan yang baru saja ditanyakan oleh Yohan dia telah mengetahui sendiri jawabannya.
"Maaf, maksudku ... kita lama tidak bertemu."
Alma masih hening seribu bahasa. Bibirnya terkunci rapat.
Dia bahkan tidak tahu harus melakukan apa karena situasinya menjadi sangat aneh sekarang.
Jika Yohan ada di sini, bukankah istrinya juga harusnya demikian? Bukankah harusnya istrinya juga ada di sini?
Tapi kenapa Yohan malah membiarkan mereka berdua di dalam kamar begini?
Banyak pertanyaan Alma yang tidak mendapatkan jawaban.
"Kalau kamu tidak ingin menjawabku, baik ... aku tidak akan memaksamu."
Yohan sekali lagi mengarahkan tangannya kepada pakaian yang ada di atas ranjang saat mengatakan,
"Pakailah itu lalu istirahatlah."
Kalimatnya hangat, tapi wajahnya dingin.
Alma hanya mengikuti ke mana dia dengan matanya, hingga akhirnya membuat Yohan terpaksa harus berhenti.
"Janji apa yang Om tagih dariku?"
Yohan nyaris di ambang pintu. Punggungnya terlihat lebar dari sudut pandang Alma yang berdiri di belakangnya.
Sebelum akhirnya kembali berhadapan, dengan sebelah tangan Yohan yang mengayun-ayun lirih gelas yang dia bawa ke kanan dan juga ke kiri.
"Yang pernah kamu katakan, Alma."
"Apa?"
"Bahwa kamu bisa mencintaiku lebih baik dari yang dia lakukan."
"Apa maksud—"
"Dia tidak bisa melakukannya."
"Hah?"
"Harusnya aku percaya kalau kamu bisa mencintaiku lebih baik darinya."
Kebimbangan menyelimuti Alma, mereka saling pandang dalam keheningan tanpa sudah. Saling menemukan mata satu sama lain. Alma ingin memungkiri bahwa lelaki itu adalah Yohan.
Tapi segala sisi dirinya memanglah benar Yohan yang dia kenal.
Mata beningnya, atau bau Tom Ford yang menguar maskulin ini telah meyakinkan dirinya bahwa dia adalah Yohan.
"Dia tidak bisa melakukannya, Alma. Dia tidak mencintaiku dengan baik. Kalau kamu ingin bertanya apa dia ada di sini atau tidak, jawabannya adalah ... tidak. Di sini hanya ada kita berdua, Yohan dan Alma. Dan karena sudah sampai di sini, aku ingin tahu sebaik apa kamu bisa mencintaiku. Apa itu benar, atau itu hanya keinginan sesaatmu saja."
Dia mengakhiri kalimatnya dengan tanpa beban sementara Alma yang ditinggal di dalam kamar termangu tidak bisa menggerakkan kakinya.
Dia meremas dadanya yang diselubungi perasaan aneh.
Dia tidak suka bertemu Yohan meski lelaki itu menyelamatkannya dari balai lelang.
Satu saja alasannya, karena Yohan datang dan pergi semaunya sendiri. Saat dia berpikir baru saja menjadi pahlawan, dia juga tidak tahu apa saja yang dilewati Alma di waktu yang dia sebutkan sebelumnya.
Lewat satu semester bukan waktu yang sebentar.
Dia pergi selama itu lalu kembali secara tiba-tiba?
Apa rasa bergejolak di dalam hati Alma ini?
Marah?
Senang?
Atau terlalu senang?
Kepalanya pusing, tubuhnya terasa menggigil saat dia menyadari dia baru saja melewati hari yang tidak pernah dia bayangkan selama delapan belas tahun dia hidup.
"Karena dia yang membawaku masuk ke sini, aku akan melakukan apa yang dia mau sebagai ucapan terima kasih."
Dan itu dimulai dengan menurut untuk mengganti pakaiannya.
Sangat menyedihkan.
Sangat menyedihkan saat tahu dia ada di dalam sini dengan keadaan yang sangat buruk.
Dulu pertemuan pertamanya dengan Yohan saat Alma wajahnya babak belur dan dia terlihat seperti sadako.
Sekarang mereka kembali dipertemukan kembali dengan keadaan yang jauh lebih menyedihkan karena Alma nyaris tanpa berpakaian.
Tapi gaun tidur darinya ini nyaman.
Lembut, bahannya Alma suka. Dan harganya pasti mahal.
Alma memandang pintu di mana Yohan pergi sebelumnya dan Yohan tidak tidak kembali setelah itu. Membuat Alma meringkuk di atas ranjang dengan memandang coat yang ada di sandaran sofa tidak jauh dari ranjang tempat dia berbaring.
“Aku akan tidur. Kalau besok pagi aku ada di dalam kamarku sendiri, artinya semua ini hanya mimpi.”
Dengan rasa takut, Alma memejamkan matanya. Dia meremas jemari tangannya yang terasa kebas. Bayangan banyaknya mata orang yang mengawasinya kembali menyeruak ke permukaan, membuatnya tak nyaman.
Dan kemudian digantikan dengan wajah Yohan yang tersenyum dan suaranya yang dalam namun manis menghangatkan hatinya.
Tapi ketakutan lain yang muncul jauh lebih besar.
Baru saja hatinya dipenuhi oleh betapa hangat kehadiran Yohan, Alma takut dia akan pergi lagi.
Alma takut dia menunjukkan punggungnya setelah melambaikan tangan dan membiarkannya mengelung lutut di bawah derai hujan.
Alma takut semua waktu itu terulang lagi. Dia tidak suka Yohan pergi. Dia tidak suka sama sekali
‘Yohan ....’
Tubuhnya menggigil. Dia perlahan membuka matanya dan menjumpai langit-langit kamar yang asing.
Yang artinya ... apapun yang dia lalui bukanlah sebuah mimpi melainkan waktu yang sebenarnya.
Saat dia perlahan bangkit, Alma sadar dia telah melewati semalaman di dalam kamar ini.
Kamar yang sama di mana dia bertemu dengan Yohan.
Tok tok tok!
Alma merapikan rambutnya saat mendengar ketukan pintu.
Memandang ke arah datangnya suara, Alma mengira Yohan yang akan datang. Tapi bukan. Itu adalah seorang perempuan paruh baya yang menyapanya dengan sopan.
“Selamat pagi, Nona.”
Dia masuk saat Alma memalingkan wajahnya yang pasti berantakan.
“Selamat pagi.”
“Nona mengalami kesulitan? Membutuhkan bantuan saya?”
“Tidak”
“Kalau begitu mari keluar! Pak Yohan menunggu di ruang makan.”
“Dia menungguku?”
“Iya. Pak Yohan mengajak Nona sarapan.”
Alma memberikan gelengan kepalanya.
“Bilang padanya aku tidak mau.”
Sejenak perempuan paruh baya yang tak dia katahui siapa namanya itu tercenung. Sebelum memutuskan untuk pergi meninggalkan Alma.
“Baikah.”
Suara pintu tertutup dari luar dengan Alma yang masih duduk di sini dengan diselubungi kebingungan. Hidupnya berubah dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam.
Dari penuh ketakuan, kini dipenuhi oleh rasa canggung.
Sarapan dengan Yohan? Tidak pernah jadi agenda di hidupnya.
Dia menghabiskan waktu pagi dengan memindai setiap sudut kamar. Mandi dan mengambil sembarang pakaian yang ada di lemari. Mungkinkah sengaja disiapkan untuknya?
Haha ... mana mungkin?
Ini pasti baju milik istrinya Yohan dulu yang sekarang tidak Alma ketahui ada di mana.
Setelah selesai, dia menempatkan dirinya di mana Yohan berdiri semalam. Di sini, di dekat jendela dan memandang ke bawah dari lantai empat puluh lima.
Matahari pagi terlihat semakin tinggi, tapi tidak sebegitu cerah karena sebagian tertutup mendung. Mungkin dalam waktu beberapa jam ke depan hujan akan turun.
Tok tok tok!
Pintu kembali diketuk dan saat Alma menoleh ke belakang, dia menjumpai Yohan yang muncul dengan tersenyum. Di sebelah tangannya ada nampan yang berisi makanan dan dia letakkan di atas meja sebelum dia perlahan mendekat pada Alma.
“Bagaimana pemandangannya? Kamu suka?”
Alma memberi anggukannya sekilas.
“Iya, suka.”
Dengan belum sepenuhnya memandang Yohan karena dia menunduk.
“Bu Sari bilang kamu tidak mau keluar?”
Dalam jadi Alma berpikir, ‘Oh? Jadi ibu yang tadi namanya bu Sari?’
“Terima kasih.”
Alma harus mengatakan itu karena sebelumnya dia tidak mengatakan apapun pada Yohan
“Untuk apa, Alma?”
“Karena Om bawa Alma pergi dari tempat pelelangan itu.”
Sejenak Yohan tidak menangapinya. Tapi Alma mencuri pandang padanya yang sedang tersenyum menunjukkan lesung pipinya.
“Apa terima kasihmu tulus?”
“Iya, tulus.”
“Tapi kenapa kamu jadi dingin begini?”
“Hah?”
“Dulu kamu kalau bertemu denganku pasti selalu senang dan bicara banyak. Bercerita apapun dengan ceria, dan aku suka mendengarmu seperti itu.”
‘Yohan suka?’ Alma masih bergumam dalam diam.
Dan bukankah harusnya Yohan tahu perbedaan dulu dan sekarang?
“Karena yang Alma sukai bukan Om Yohan yang sekarang. Yang Alma sukai adalah Om Yohan yang dulu.”
“Kenapa? Apa karena sekarang aku duda?”
“DUDA?!”
Alma spontan mengangkat wajahnya.
Membuat Yohan tertawa kecil dan Alma menggigit bibirnya sendiri menyadari ‘Duda’ yang baru saja dia katakan seperti penuh dengan rasa senang.
‘Astaga, Alma ....’
“Iya, aku duda. Makanya kamu tidak suka denganku yang sekarang? Wah ... aku bisa kecewa kalau begini.”
Alma tidak tahu apa yang harus dia ucap lagi karena semuanya serba membingungkan.
Dengar ‘kan apa yang barusan Yohan katakan?
Dia duda?
“Apa maksudnya Om Duda?”
“Ya ... artinya aku tidak punya istri”
“Kenapa tidak punya istri?”
“Ya makanya disebut duda.”
Pipi Alma terasa panas mendengar Yohan yang semakin ke sini semakin ke sana.
“Baiklah terserah.”
“Ada alasannya, nanti akan aku kasih tahu. Tapi sebaiknya kamu makan dulu! Aku sudah bawakan ke sini karena kamu tidak mau keluar tadi.”
Kaku, Alma bisa melihatnya memalingkan wajah saat mengatakan demikian.
‘Dia ingin jadi tsundere?’
“Tidak. Aku tidak mau makan. Aku tidak lap—“
KRUYUUUUKK ....
Suara perutnya meronta mencari pembelaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
Herdarini Sri W
duren Yuhan
2023-05-30
1
Eva
Duda bukan sembarang duda
2023-05-27
0
Prasasti Anggoro
Dudanya kayak Yohan aku mah juga maoook
2023-05-26
0