Alma malu.
Jujur saja!
Karena itu terjadi tepat saat dia akan mengatakan ‘aku tidak lapar’ tetapi kenyataannya tidak demikian.
Kenyataannya sekarang dia malah menunjukkan tanda bahwa dia lapar. Cacing di dalam perutnya berteriak,
‘BERI AKU MAKANAN, ALMA!’
“Kamu masih akan bilang kamu tidak lapar?”
Alma meremas jari-jari kecilnya yang juga sedang meremas dress yang dia kenakan.
“Makanan itu tidak beracun kok. Aku juga makan makanan yang sama denganmu. Kalau kamu ragu tadi harusnya kamu makan bersamaku.”
Alma tidak menjawabnya.
Tapi sepertinya Yohan sudah tidak tahan dengan alur maju mundur yang Alma berikan sehingga dia memilih meraih pergelangan tangannya dan menariknya untuk mengambil duduk.
Di sini. Di depan sebuah meja di mana Yohan meletakkan makanannya sebelumnya.
Dan anehnya, Alma menurut padanya. Dia mencuri pandang untuk mengerling ke arah cermin. Yang menunjukkan pantulan wajah Yohan yang kini berdiri di sebelah kanannya.
“Makanlah, Alma! Melewati waktu dan malam yang menakutkan pasti menguras energimu.”
Alma menoleh padanya yang sedang menyerahkan sebuah sendok.
Alma menerimanya dengan gugup dan Yohan membiarkannya menyuap sesendok makanan. Sarapan yang nyaman di lidah dan ini seperti sarapan American style.
Ada pancake, sereal dan juga segelas susu hangat.
Sudah lama sekali Alma tidak menikmati sarapan.
Terakhir kali kapan saja dia lupa karena selama ini dia berangkat ke sekolah juga tidak dengan sarapan lebih dulu melainkan dengan perut yang kosong. Sudah terbiasa.
Apalagi satu semester terakhir ini.
Dia berantakan, sangat!
Dan bagaimana lahap makannya diperhatikan oleh Yohan yang duduk di tepi ranjang. Yang membuat Alma tersedak saat mata mereka bertemu di cermin.
“Uhuk!”
Alma meraih gelas susu dengan tangan yang gemetar.
“Kenapa?”
“K-k-kenapa Om duduk di sana?”
Sebenarnya Alma tahu jika ini adalah pertanyaan yang bodoh karena apapun yang dilakukan oleh Yohan itu adalah haknya karena apartemen ini adalah miliknya.
“Kenapa? Apa aku tidak boleh duduk di sini? Aku akan keluar kalau kamu tidak nyaman.”
Yohan sudah hampir beranjak tetapi Alma lebih dulu mengatakan,
“Om bisa duduk di sana kok. Lagi pula ini rumahmu.”
Yohan tersenyum.
Dan semakin Alma melihatnya, gejolak rasa yang ada di dalam hatinya semakin tak bisa dijelaskan. Apa sekarang Alma harus mengakui jika dia sangat lega karena yang menemukannya adalah Yohan?
Alma memang belum tahu pasti bagaimana caranya Yohan menemukannya.
Tapi akan dia tanyakan sebentar lagi.
“Bagaimana makanannya? Kamu suka, Alma?”
“Iya, Alma suka.”
Terjadi nihil suara. Tidak ada yang bicara selain mata mereka yang bertemu dalam jarak.
“Kamu akan ikut denganku setelah ini.”
Yohan membuka kembali percakapan setelah sekian menit berlalu tanpa ada yang mengusik.
“Ke mana?”
“Ke manapun aku pergi.”
Alma tidak tahu harus menjawab bagaimana karena dia harus ingat ini bahwa ... karena Yohan menebusnya sejak dia dibawa keluar dari tempat pelelangan, Alma adalah miliknya.
Apa masih terdengar seperti barang?
Tapi sedikit banyak Yohan tidak menganggapnya demikian.
“Bukan karena aku menganggapmu seperti barang. Tapi karena aku hanya ingin melindungimu.”
“Apa Alma bisa percaya sama Om?”
“Sebutkan alasan kenapa kamu tidak percaya padaku?”
“Karena orang-orang yang Alma percaya sudah tidak ada agi. Papa Alma saja jual Alma ke tempat lelang. Jauh sebelum itu ... Om Yohan dulu yang ninggalin Alma.”
Dia menahan air matanya.
Yohan memandangnya, dan dirundung kebimbangan harus melakukan apa.
Haruskah dia bangun dan menghapus air matanya atau—
Tubuhnya berkhianat lebih dulu karena Yohan tidak tahu sejak kapan dia sudah berlutut di depan Alma tanpa sepengetahuannya.
Sebelah tangannya ada di sana, di pipi sebelah kiri Alma, menghapus air matanya dengan menggunakan ibu jarinya.
Yang kini membuat mereka justru membeku.
Baik itu Alma atau Yohan. Tidak ada yang bergerak menyadari mereka bersentuhan fisik.
Tidak ada yang bicara. Mereka saling pandang dengan mata yang saling bertaut nihil, sampai Yohan menarik tangannya dengan cepat saat mereka mendengar ketukan pintu dari luar.
“Lanjutkan makanmu!”
Suaranya terdengar seperti ada seriak sesal yang bisa ditangkap Alma sebagai, ‘Dia pasti jijik sudah menyentuhku. Tapi itu ‘kan inisiatifnya sendiri?’
Dia bangkit dan berjalan dengan kaki panjangnya meninggalkan Alma yang termangu di tempatnya duduk. Dengan sebelah pipi yang terasa kebas dan juga panas karena baru saja disentuh oleh Yohan.
Saat Alma melihat punggungnya menghilang di balik pintu, sebuah pikiran aneh membuatnya berdiri dengan cepat.
“Apa dia nanti akan kembali lagi ke sini atau tidak?”
Timbul sebuah keinginan dalam hatinya. Mengintip.
Dia berjalan ke arah pintu dan membukanya sedikit. Hanya selebar celah yang barangkali bisa dia gunakan untuk mengintip keadaan di luar.
Siapa yang Yohan temui?
Alma tidak bisa melihat apapun. Tapi dia mendengar suara dua orang pria yang bercakap-cakap.
Mungkin ....
“Apa dia sedang bicara dengan laki-laki yang semalam menyetir mobil dan membawaku ke sini?”
Entahlah! Alma benar-benar tidak tahu di mana Yohan berada. Alma hanya mendengar seperti,
“Kalau begitu sebaiknya bawa dia ke Jakarta. Aku akan mengurusnya.”
“Iya, Kak.”
Suara yang mengatakan, ‘Iya, Kak ‘ itu adalah Yohan. Jadi Alma menyimpulkan jika sekarang ini Yohan sedang bicara dengan kakak lelakinya.
Alma menempelkan telinganya semakin lekat ke pintu.
Dia ingin mendengar lebih banyak—atau lebih tepatnya mencuri dengar—apa yang sedang mereka bicarakan di luar sana.
Itu suara Yohan lagi,
“Rasanya dia membenciku sekarang ini.”
“Jelaslah! Dia pasti kesal. Tapi bagaimana perasaanmu padanya?”
“Aku—“
“KYAAA!!”
Alma kehilangan keseimbangan dan dia malah membuka pintu selebar-lebarnya, membuatnya hampir terjerembab jatuh ke lantai tepat saat Yohan menahan tubuhnya sebelum dia berciuman dengan lantai yang jelas tidak empuk sama sekali.
“Kamu baik-baik saja?”
Yohan memindai Alma dan menegakkan punggungnya.
Alma mengangguk. Dan sekarang ....
Benar dia gagal jatuh ke lantai tetapi ada hal yang lebih memalukan karena Yohan dan kakak lelakinya itu tahu jika Alma baru saja menguping.
Sialnya! Ternyata Yohan ada di dekat pintu kamar.
Dan pintunya aneh! Kenapa pintu di apartemen ini terbukanya ke luar dan bukan ke dalam sih!
Alma menghindari tatapan mereka yang saat dia mengerling sedang menahan tawanya.
Alma meremas dress yang ada di depan lututnya dengan malu. Dia sangat malu. Tapi sepertinya Yohan tidak membiarkan kakak lelakinya itu menahan tawa, sehingga dia berdiri di depan Alma dan membuat Alma berlindung di belakang punggungnya.
“Aku akan menghubungi Kak Fidan lagi kalau ada perlu.”
Sopan, tapi Alma bisa tahu jika itu lebih pada sebuah kalimat pengusiran yang mengatakan, ‘Hussh! Pergilah dari sini! Ini ada anak orang ketahuan nguping dan dia pasti malu.’
“Baiklah. Aku pergi dulu, Yohan. See ya!”
“Bye!”
Dan lelaki itu nyaris pergi tetapi berhenti dari langkahnya dan kembali memandang Yohan.
“Ajak dia makan malam kalau mau nanti.”
‘Dia’ yang terucap itu sembari mengintip Alma melalui punggung Yohan.
“Kakak tahu dia pemalu. Tapi biar aku coba tanyakan padanya dulu nanti.”
“Cool.”
Dia benar-benar pergi sekarang karena Alma melihat dia hilang di balik pintu.
Selagi Alma berpikir dalam hati,
‘Apa-apaan ini? Mereka sedang membicarakanku?’
Alma sedikit mengangkat wajahnya untuk melihat Yohan yang sudah menghadapnya dan dari sudut manapun, dia tampan rupawan dan manis. Entah berapa kali Alma harus mengakui itu
Tapi ada satu hal yang mereka lewatkan. Bahwa sekarang ini tangan mereka masih saling berpegangan, belum terlepas sejak Yohan menolongnya yang nyaris jatuh barusan.
“Ehem.”
Mereka buru-buru melepaskan. Yohan meraba tenggorokannya yang tidak gatal sebelum mengatakan,
“Itu kakakku, namanya Fidan.”
“Iya.”
“Kamu dengar tadi? Dia mengundangmu untuk makan malam. Bagaimana?”
“Kenapa dia harus mengundangku juga?”
“Mungkin dia ingin mengenalmu lebih jauh?”
Alma menggelengkan kepalanya.
“Aku masih takut untuk bertemu banyak orang.”
“Kalau begitu aku akan bilang padanya kalau kamu tidak bisa datang nanti. Nikmati waktumu! Ini akan menjadi malam-malam terakhir kamu di Los Angeles.”
Alma ingin bertanya lebih banyak pada Yohan. Banyak sekali, banyak hal.
Namun hal itu dia urungkan karena Yohan berlalu pergi lebih dulu. Alma hanya membuang napasnya dengan pasrah.
Sisa hari dia lewati dengan mengeksplor tempat ini. Saat dia bertanya pada Sari, dia bilang ini adalah apartemen milik Fidan, yang dipinjam oleh Yohan karena dia datang ke sini.
Itu saja. Sepertinya Sari juga tidak ingin buka mulut lebih banyak
Dia hanya menitipkan pesan, ‘Nanti, kalau waktunya sudah tepat, pak Yohan pasti akan mengatakan semuanya, Non.’
Alma tidak tahu kapan waktu yang tepat itu karena dia tidak menjumpai Yohan seharian.
‘Baguslah!’ pikir Alma dalam hati karena mereka tidak akan terlibat kecanggungan lebih jauh oleh situasi aneh yang tercipta di antara mereka.
Dan sekarang, saat jam beranjak pergi meninggalkan pukul sembilan malam, Alma berdiri di dekat jendela. Memandang keadaan di luar dan dia takjub saat melihat ledakan kembang api.
Karena Alma berada di lantai yang sangat tinggi, membuat kembang api itu tidak lebih tinggi darinya.
“Woah ... cantiknya.”
“Itu kembang api dari acara kak Fidan.”
Alma menoleh pada Yohan yang sudah berdiri di sisi kanannya. Entah kapan masuknya karena langkah kakinya tidak terdengar.
“Om di sini?”
“Iya.”
“Tapi ... pak Fidan punya acara apa?”
“Anniversary dengan istrinya. Yang ke tiga.”
“Ah, begitu”
Bukankah ini kesempatan untuk bertanya pada Yohan?
“Kamu ingin bertanya bagaimana pernikahanku?”
Tapi Yohan lebih dulu tahu apa yang dia pikirkan. Membuat bibir Alma terbuka saat Yohan melanjutkan,
“Kalau kamu ingin tahu, jawabannya ... kami bercerai.”
“Kenapa?”
“Karena dia meninggalkanku”
“Kenapa dia meninggalkanmu?”
“Karena dia tahu kalau ... aku jatuh cinta pada orang lain.”
Alis Alma berkerut mendengarnya. Menunggu kelanjutan Yohan
“Tapi perceraian ini karena dia pergi dulu, Alma.”
“Pergi bagaimana?”
“Alasan aku menikah dengannya sebenarnya bukan karena aku mencintainya. Dan dia tahu itu. Dia tahu kalau aku menikahinya karena rasa kasihan.”
“Maksud Om?”
“Dia sakit sejak lama. Kami berteman sejak kecil dan ternyata rasa kasihan itu yang mendorongku ingin melindunginya. Dan dia ingin aku mencari seseorang yang sering aku ceritakan padanya. Seorang anak perempuan yang saat aku menyebut namanya dia tahu aku tenggelam dalam duniaku sendiri. Setelah kami menikah, dia bilang ... aku bukan miliknya. Dia menganggap hatiku sudah dibawa pergi orang lain. Dia pikir aku punya perempuan idaman lain. Melakukan hubungan seperti itu tidak ada gunanya.”
Alma berpikir, ‘Jadi ada orang lain yang Yohan pikirkan di dunia ini ketimbang istrinya sendiri? Siapa dia? Dan bagaimana cara perempuan itu membawa pergi hatinya Yohan?’
T-t-tapi tunggu!
Kalau ... istrinya itu menolak disentuh oleh Yohan, bukankah status ‘duda’ yang dia terima hanya sebatas status?
“Lalu dia di mana sekarang, Om Yohan?”
“Di sana!”
Jemari Yohan menunjuk pada bintang yang tampak bercahaya di atas sebuah gedung pencakar langit.
Alma menutup mulutnya dengan sebelah tangannya. ‘Itu artinya dia sudah meninggal? Karena sakitnya yang sudah lama?’
“D-dia sudah meninggal?”
“Iya, dia sudah meninggal di pernikahan kita di bulan ke tiga.”
“Lalu di mana perempuan lain yang selalu Om ceritakan ke istrimu itu?”
“Ada, di sini.”
Yohan menjawabnya sembari menghadap pada Alma.
“Di LA juga?”
“Iya. Di sini, depanku. Kamu.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
farizyara rsfy
hayuk lah ka almi d teror pembaca😜
2023-05-28
2
Eva
Sweet bnget om yohan
2023-05-27
4
Prasasti Anggoro
luvvv bgt pokonya
2023-05-26
6