NovelToon NovelToon

Istri Cantik Milik Pak Guru

Cinta Sebelah Sisi

“Alma, apa yang aku katakan ini mungkin akan semakin menambah luka hatimu. Tapi tolong dengarkan!”

Gadis yang dipanggil Alma itu mengangkat wajahnya, dia melihat seorang lelaki yang berdiri di hadapannya dan mata mereka bertemu di bawah terangnya cahaya lampu.

“Apa yang ingin Om Yohan katakan?”

Dengan tangan yang terasa kebas, Alma memberanikan diri untuk bertanya.

Yohan, nama lelaki itu. Entah apa yang akan dia katakan, tetapi rasanya itu bukanlah sebuah bercandaan.

“Ayahmu, William Kenan, sudah pergi meninggalkan Los Angeles dan sekarang ada di Jakarta. Dari kabar yang aku dengar, dia akan mencalonkan diri menjadi anggota dewan.”

Ada ketakutan tersendiri saat Alma mendengar nama William disebutkan. Ada luka yang tidak akan pernah dia lupakan, sama sekali.

Kedua mata Alma memanas dan berair, menunggu kalimat Yohan terasa mengkhawatirkan baginya.

“Kamu tahu alasan dia  menelantarkanmu di tempat pelelangan perawan adalah karena dia membencimu yang mirip dengan ibumu, yang dia anggap sebagai perempuan tidak benar. Iya, ‘kan?”

Tenggorokan Alma rasanya kering, air mata tertahan di kedua sudut netranya.

“Iya, Om benar. Alma sangat takut sama Papa. Apa yang harus Alma lakukan kalau seandainya nanti Alma ketemu sama Papa?”

“Kamu ingin apa dariku?”

Alma memberikan gelengan lirihnya, jujur dia tidak tahu. Hanya satu hal yang jelas dan itu adalah,

“Tolong bantu Alma! Om tahu kalau ... Alma tidak punya siapapun sekarang selain Om Yohan, ‘kan?”

“Aku punya jalan keluar, tapi aku tidak yakin kamu akan menerimanya.”

“Apa itu?”

“Menikahlah denganku!”

Bibir Alma gemetar, sejenak, dia tidak tahu bagaimana caranya bernapas. Napasnya habis di tenggorokan.

Menikah dia bilang? Yohan tahu benar dia masih di bawah umur dan dia mengajak Alma untuk menikah?

“Jangan salah paham! Ini hanya sebatas pernikahan karena aku tidak ingin kamu diambil olehnya dan hidupmu dikembalikan ke titik nol. Dengan keadaan kamu yang sangat dibenci William, tidak ada yang menjamin dia tidak akan menghalalkan segala cara termasuk untuk membunuhmu.”

“Hah?”

“Dia pasti tidak ingin skandalnya menjual anak gadisnya tersebar dan kalau dia tahu kamu ada di sini, apa lagi yang akan dia lakukan? Membuatmu hilang untuk selamanya, ‘kan?”

Kalimatnya terasa dingin, menggelitik sanubari dengan sedikit rasa sedih yang memang benar.

Jika William tahu Alma baik-baik saja di sini, tidak seperti harapannya yang berpikir Alma hancur di balai lelang, maka William pasti membunuh Alma agar tidak buka mulut karena pernah dijual.

Ketegangan menyelimuti mereka. Alma memandang Yohan yang tersenyum sebelum beranjak pergi. Dari gelagatnya, dia jelas sedang memberi Alma waktu untuk berpikir.

Alma mengepalkan kedua tangannya semakin erat.

Bagaimana keadaan bisa berubah secepat ini?

Jika dia menikah dengan Yohan, artinya dia akan menikah dengan gurunya sendiri? Tapi jika tidak menikah dengan Yohan, tidak ada yang bisa melindungi Alma.

William pasti akan membunuhnya karena kebenciannya kepada Alma. Tidak! Alma tidak ingin mati sia-sia. Baginya, sudah cukup selama ini dia ada di bawah ketakutannya terhadap William.

“Apa alasan Om mau menikah dengan Alma?”

Yohan berhenti. Memutar tubuhnya menghadap Alma yang dengan cepat menunduk, menghindari tatapannya.

“Karena aku merasa punya tanggung jawab terhadapmu.”

“Tanggung jawab?”

“Bukannya aku yang membuatmu merasa punya teman saat kamu pindah ke Los Angeles? Jadi anggap saja aku melakukan semua ini karena kita berteman.”

“Itu saja?”

“Mantan istriku bilang agar aku menemukanmu lagi. Kamu tahu kalau dia mengenalmu selama ini karena aku banyak menceritakan tentangmu padanya. Anggap saja selain karena aku ingin melindungimu, kita menikah karena permintaan istriku.”

Alma mengusap wajahnya dengan kasar. Mempertimbangkan sekali lagi tawaran Yohan dan sebelum lelaki itu berubah pikiran, Alma mengiyakannya.

“Iya, Alma mau nikah sama Om. Tapi, Alma masih mau sekolah.”

“Tentu, kamu boleh sekolah. Aku yang akan bertanggung jawab.”

“Tapi 'kan kalau menikah nanti—”

“Kita jalani pernikahan secara rahasia.”

Keheningan terjadi sangat lama. Mendinginkan dinding pembatas, membekukan persian rug yang ada di sudut lain ruangan sampai Alma meyakinkan jawabannya, sekali lagi.

“Iya, Alma mau.”

Yohan mengangguk.

“Sudah mengambil keputusannya?”

“Iya, sudah.”

“Kalau begitu masuklah ke dalam kamar!”

“Hah?”

“Karena aku akan mengurus biar kita bisa menikah.”

“Iya.”

Yohan pergi meninggalkannya, membuat Alma menerka dalam hati bahwa ini jelas sebatas pernikahan siri karena usia Alma belum legal.

Alma menghabiskan jam demi jam di dalam kamar yang ditunjuk oleh Yohan, dia berdebar menyadari jika dia sebentar lagi akan berubah menjadi istri orang, istrinya Riyohan Zanzera Xander.

Tok tok tok!

Suara ketukan pintu membuat Alma tersadar dengan cepat.

“Nona Alma dipanggil keluar.”

Lim, kepala pelayan di rumah Yohan yang datang dari luar membuat Alma berdiri dengan gugup dan mengikuti langkahnya.

Di sana, di ruang tengah rumah ini, dia bisa melihat Yohan, lalu seorang pemuka agama dan beberapa pengurus dari wilayah tempat Yohan tinggal. Kepala lingkungan, ketua RT, dan beberapa orang lainnya yang tidak Alma kenal.

“Kita akan dinikahkan dan menanda tangani surat yang dilihat sama para saksi, Alma. Bagaimana?”

Yohan bertanya dengan suaranya yang dalam dan Alma memberinya anggukan dengan yakin.

“Iya, Alma mau.”

Dia harus lakukan ini agar jika suatu saat nanti dia bertemu dengan William entah di belahan bumi mana, William tidak punya hak apapun lagi terhadapnya.

Dan yang paling penting, ada yang akan melindungi Alma dari ancaman kekejian yang dia lakukan.

“Saya terima nikah dan kawinnya Kafalma Alexandra Kenan ....”

Saat Yohan dengan cakap mengatakan ijab, kini Status Alma berubah menjadi istri Yohan.

Ada sebuah kelegaan yang tidak bisa Alma jelaskan yang singgah di dalam hatinya.

Bersama debaran yang aneh yang bisa dia rasa saat mereka duduk berhadapan di atas ranjang pada malam harinya.

‘Ini akan jadi malam pertama? Tidak, ‘kan?’

Alma membatin dengan gugup.

Oh, apa yang Alma harapkan?

Tidak ada cinta di dalam hubungan mereka. Meski Alma menaruh rasa pada Yohan, lelaki itu tidak.

Sebenarnya ... bagaimana ini semua terjadi? Dan bagaimana bisa Alma terjebak di dalam situasi mencekam yang mencekiknya?

Itu dimulai dari sebuah kota yang jauh dari sini. Kota yang jauh dari Jakarta, kota yang akan dianggap Alma sebagai neraka.

Kembali pada setengah tahun sebelum hari ini ....

....

“Peluang kamu dicintai di luar sana sama besar jika kamu memulainya dengan mencintai  dirimu sendiri. Terima kasih untuk perhatiannya hari ini, selamat siang.”

“Selamat siang, Pak.”

Alma dapat mendengar dua kalimat  penutup kelas yang menghangatkan hatinya.

Dia menatap lurus pada seorang laki-laki yang berdiri di balik meja guru yang ada di kelasnya sekarang.

Namanya Yohan. Yang berarti adalah ‘Kisah.’

Ya. Bagi Alma, Yohan memang sebuah kisah. Bagian dari dalam hidupnya, alasan dia pergi ke sekolah setiap pagi hanya karena satu hal, Yohan.

Riyohan Zanzera Xander.

Bisa dibilang, mereka dekat. Bahkan sekarang pun demikian. Saat tiba di penghujung jam pulang sekolah, Alma berjalan tepat di sisi kirinya.

Menikmati suasana sore yang ada di Los Angeles, senja yang berwarna jingga. Hangat, mendekapnya dalam rasa yang membuatnya terpesona.

“Kenapa?”

Yohan bertanya dengan sedikit tertawa saat memandang Alma.

“Tidak kok. Hanya ... Om kelihatan semakin dewasa belakangan ini.”

‘Om’ yang dikatakan oleh Alma bukan tanpa alasan. Di sekolah mereka boleh murid dan juga guru. Tetapi di luar, Yohan adalah teman ayahnya. Dan mereka memang terbiasa seperti ini.

Alma berusia tujuh belas tahun, Yohan terpaut sepuluh tahun lebih tua darinya, dua puluh tujuh.

Mereka sama-sama berasal dari Jakarta dan Yohan mengajar sebagai guru konseling di sekolah menengah atas di mana Alma berada sekarang, sejak dia dibawa pindah ayahnya ke sini setahun yang lalu dan menempatkannya di bangku kelas dua.

“Itu ada alasannya, Alma.”

“Apa alasannya?”

“Ada deh! Nanti kamu juga tahu alasan kenapa laki-laki dewasa semakin matang.”

Alma tidak bisa menahan senyumnya. Melihat Yohan adalah obat pelipur lara yang diturunkan oleh Tuhan secara gratis, cuma-cuma.

“Kalau Alma tidak tahu? Bagaimana?”

“Nanti Om akan kasih tahu.”

“Sekarang saja.”

“Tidak ah! Nanti kamu jadi tidak penasaran. Atau coba kamu tanyakan ke papamu! Papamu tahu kok.”

Alma menggelengkan kepalanya dengan cepat.

“Tidak! Papa tidak akan tahu karena papa tidak pernah menjadi orang dewasa.”

Yohan tertawa kecil sebelum menepuk puncak kepalanya.

“Apa papamu masih sering memukulimu?”

“Iya. Bukannya papaku akan selalu begitu setiap kali mabuk?”

“Perceraian orang tua kalian sudah beres?”

“Sudah. Mama juga sudah punya yang lain di Jakarta sana.”

“Akan lebih melegakan kalau perceraian mereka cepat selesai. Papamu akan berubah setelah ini. Percayalah! Dia melakukan hal yang abusif begitu karena pikirannya sedang kacau dengan perceraian dan prosesnya yang panjang.”

Selalu saja menenangkan. Apa yang dikatakan oleh Yohan seperti dia adalah seorang filsuf yang baik hatinya.

Mereka berjalan dan melambaikan tangan saat berpisah di tikungan komplek perumahan yang berbeda.

Alma berjalan ke arah selatan dan Yohan ke arah utara.

Sore yang bahagia jika dia berkesempatan untuk pulang bersama dengan Yohan, menceritakan apa yang dia alami sepanjang pagi sampai dia pergi ke sekolah esok hari.

Karena, saat Alma bisa melihat gerbang rendah rumahnya, dia berpikir telah melihat gerbang neraka.

Di dalam sana, hidup seorang lelaki yang sangat dia benci, ayahnya sendiri, William Kenan.

Sejak keluarganya berantakan beberapa tahun terakhir, William jauh lebih sering mengamuk. Seperti lelaki yang tidak stabil yang membuat Alma menjadi bahan sasarannya.

Alma dibawa pergi William dari Jakarta agar tidak diambil alih oleh istrinya. Namun bukan kehidupan yang baik yang dia tawarkan, justru sebaliknya

Suatu hari, dia pernah pulang dalam keadaan mabuk berat. Bau alkohol menguar dari mulutnya saat dia bicara dan berteriak di depan Alma.

“Kasih tahu ibumu aku tidak mau cerai, Alma!”

Perbedaan prinsip, cara pandang, William yang ingin memiliki istri yang tinggal di rumah sepanjang waktu tidak pernah mendapatkan itu karena ibunya Alma adalah seorang artis dengan jam terbang yang terbilang tinggi.

Awal mula keretakan bermula, dan menempatkan Alma di antara dua sisi jurang yang saling berlawanan.

Satu kalimat yang dilontarkan William, melayangkan tangan besinya pada Alma hingga pipinya membiru.

Di hari dia pergi ke sekolah barunya, dia dijuluki dengan panggilan ‘Sadako’ karena dia terus saja menutupi sebelah sisi wajahnya yang lebam.

Atau Orc, karena dianggap jelek.

Alma hidup seperti itu selama beberapa saat sampai seorang lelaki yang secerah matahari datang menghampirinya dan menyapanya lebih dulu yang duduk di bawah pohon. Di taman belakang yang jauh dari gedung sekolah, saat Alma membaca buku tentang seorang anak yang diasingkan, Omelas.

“Kamu baik-baik saja?”

Bukannya menjawab, Alma malah menunduk semakin dalam.

“Aku guru baru di sini. Kamu ada masalah?”

Tidak ada jawaban. Alma takut salah menjawab dan hanya menyuguhkan keheningan hingga jemari lelaki itu menyelipkan rambut panjangnya ke belakang telinga.

“Oh? Kamu Alma? Anaknya Pak William?”

Mendengar nama ayahnya disebut, Alma mengerling pada sosok yang ikut duduk di sebelah kirinya ini.

Rambutnya rapi, dengan sedikit forehead yang tampak, garis wajahnya dewasa, dia manis dan punya lesung pipi.

“Dari mana Bapak tahu aku anaknya William?”

“Kamu benar Alma?”

“Iya, aku Alma.”

“Pak William itu teman ayahku. Kebetulan kami juga saling kenal. Kami kemarin tidak sengaja bertemu di tempat makan dan dia bilang kalau kamu bersekolah di sini.”

“Tapi aku tidak pernah melihat Bapak?”

“Karena aku dan pak William juga jarang bertemu. Aku melihatmu mirip dengan ibumu makanya aku bisa mengenali kamu sebagai Alma.”

Alma tersenyum sekilas, tidak tahu bagaimana harus bersikap karena pertemuan pertamanya dengan Yohan dengan keadaan dia yang sangat menyedihkan.

“Kamu kenapa, Alma? Kenapa wajahmu seperti ini?”

Mata Yohan menatap pada Alma yang kembali menghindarinya.

Alma menggeleng saat menjawabnya dengan lirih,

“Tidak apa-apa, Bapak tidak perlu khawatir.”

Alma segera menutupi wajahnya kembali dengan rambutnya yang panjang.

“Ceritalah kalau berat karena aku pasti bisa membantumu. Aku guru konseling di sini.”

“Iya, terima kasih.”

“Kamu cantik. Bekas luka tidak akan bisa menutupi bagaimana cantiknya kamu, Alma.”

Beberapa kalimat saja yang tidak akan pernah dilupakan oleh Alma.

Maka sejak itu, Alma memiliki alasan kenapa dia harus baik-baik saja, kenapa dia harus pergi bersekolah meski keadaan batinnya remuk dari dalam. Karena di sana nanti, setidaknya dia akan bisa bertemu dengan Yohan.

Lelaki baik hati yang tidak seperti lelaki yang menyambutnya pulang ini.

“Dari mana saja? Jam berapa ini baru pulang?”

William, suaranya yang ringan menyambut kedatangannya sekaligus mengakhiri kenangan tentang awal mula pertemuan Alma dengan Yohan.

“Maaf, Papa. Baru ngobrol sebentar sama om Yohan.”

“Oh. Okay.”

Lalu dia berlalu pergi meninggalkan Alma, entah ke mana tetapi saat dia hampir di dekat gerbang, dia berhenti. Menoleh pada Alma yang masih berdiri di tempatnya dan bertanya,

“Kamu sudah dapat, Alma?”

“Apa, Papa?”

“Undangan nikahannya Yohan.”

Yohan akan menikah?

Alma tidak mencari kelanjutannya lebih jauh pada William karena dia bergegas pergi setelahnya. Selagi di sini Alma merasakan jari tangannya kebas.

Sebuah rasa sakit yang tidak bisa dia identifikasi mengambil alih porsi yang sangat besar di dalam hatinya.

Yohan akan menikah?

Itu yang kembali dia tanyakan dalam diam.

Apa ini jawaban dari ‘kenapa dia semakin terlihat matang belakangan ini?’

Dan ‘nanti kamu juga akan tahu’ serta ‘tanyalah pada papamu’ yang dia sampaikan, telah Alma ketahui sepenuhnya. Itu karena dia akan menikah dan memiliki hidupnya yang baru.

Lalu Alma? Bagaimana?

Apa Yohan tidak tahu? Perasaan kagum yang dia rahasiakan ini adalah cinta?

Cinta pertamanya, cinta beda usia.

Lalu jika Yohan pergi, bagaimana dengannya? Siapa yang akan membuatnya tenang saat dia terasingkan tanpa teman?

Daripada berdiri di atas rasa gamang, Alma memilih untuk bertanya sendiri pada Yohan.

Saat petang beranjak, mereka bertemu di dekat halte tidak jauh dari sebuah gerai retail tempat Yohan tinggal.

“Kenapa kamu ingin kita bertemu, Alma?”

Dia selalu tersenyum, senyumnya yang tulus, dengan matanya yang bening dan teduh.

“Papa bilang, Om akan nikah?”

Yohan memberikan anggukannya saat dia mengambil duduk di halte.

“Datanglah nanti, aku akan berikan undangannya padamu juga.”

Itu adalah jawaban aktual yang tidak akan bisa dia pungkiri. Sebuah pengakuan.

“Sejak kapan Om punya pacar?”

“Dia teman lamaku. Kami memutuskan menikah karena kami merasa akan lebih baik menjalin hubungan lebih dari sebatas teman.”

“Apa Om masih akan tetap di LA setelah menikah?”

“Mungkin ... aku akan pindah untuk menjadi dekat dengannya karena sampai hari ini kami menjalani hubungan jarak jauh.”

“Apa ... dia cantik?”

Yohan terlihat ragu, memiringkan kepalanya sekilas ke kanan kemudian menggeleng.

“Tidak, Alma. Kamu jauh lebih cantik.”

Mata mereka beremu dalam hening suara. Tidak ada kendaraan yang melintas di jalan raya sehingga menimbulkan dengung asing yang singgah menggugah air mata.

Alma menunduk, dia meremas jari-jarinya yang sedang dia genggam. Menahan air mata saat sekelompok orang datang ke arah halte. Melewatkan saat-saat Yohan bangkit dari duduknya dan berdiri di depannya.

“Pulanglah! Ini sudah malam. Dah ....”

Alma melihat punggungnya yang menjauh, Yohan hampir menyeberang jalan tetapi mengurungkan diri dan menoleh ke belakang.

“OM YOHAN, I CAN LOVE YOU BETTER THAN HER!”

Mereka saling pandang, mata cantik Alma terlihat sayu dari sudut pandang Yohan yang berdiri di tepi jalan. Dunia berhenti bekerja sementara bising orang-orang mulai mengusik mereka.

“Aku bisa mencintaimu lebih baik daripada yang dia lakukan. Tolong jangan pergi!”

Jungkir Balik Dunia Alma

Mereka ditimpa keheningan lebih dari sekian lamanya.

Yohan terdiam begitu juga dengan Alma yang berdiri beberapa jarak di depannya.

Apa yang dia katakan menimbulkan bisikan orang-orang yang merapat ke arah halte. Bukan tanpa alasan. Itu karena mereka berteduh pada hujan yang sebentar lagi akan datang.

“Alma?”

Suaranya lirih, Yohan sedang meraba apa yang coba disampaikan oleh Alma di hadapan banyak orang yang kalimat pertamanya dapat dimengerti oleh mereka.

Di mana itu telah membuat Yohan tercekat napasnya di tenggorokan. Mereka diselubungi hening yang barangkali tidak akan usai jika Alma tidak mengulangi apa yang dia katakan, sekali lagi.

“Aku bisa mencintaimu lebih baik daripada yang dia lakukan.”

Air matanya tergenang, jatuh bermuara di pipinya yang cantik

Membungkam Yohan dalam rasa bersalah karena sekarang dia tahu perasaan gadis kecil ini telah berubah kepadanya.

“Tolong jangan pergi! Kalau Om pergi gimana Alma? Alma tidak punya siapapun di sini selain Om Yohan.”

“Tidak bisa, Alma. Pergi atau tinggal yang akan aku lakukan ini bukan untuk hal yang bisa dipermainkan. Ini pernikahan.”

“Tapi ... kalau Om pergi. Alma takut papa akan ....”

“Kamu bertahan sejauh ini karena kamu kuat. Kamu gadis cantik yang tidak mudah dikalahkan oleh keadaan. Akan ada hadiah yang baik untukmu nanti di depan sana. Temukan bahagiamu sendiri, Alma! Kita tidak bisa bersama.”

Yohan melambaikan tangannya pada Alma yang tidak membalasnya.

Dia hanya terdiam menyaksikan punggung Yohan yang berlari menyeberang jalan.

Meninggalkan Alma yang jatuh mengelung lututnya di bawah derai hujan yang menggila yang diturunkan oleh semesta begitu saja.

Seolah melengkapi nestapa yang sedang dia terima karena keadaan sangat berbeda dengan yang terlihat tadi sore. Tidak seimbang dengan hangatnya warna jingga yang semula memeluk mereka dalam hangat tanpa duka.

Sekarang, Alma tidak memiliki siapapun. Pilar penopangnya telah menghilang diambil langit kelam.

Punggung Yohan perlahan tidak bisa dia lihat lagi. Ini ... akan menjadi pertemuan terakhir mereka.

Dengan berat hati, Alma menguatkan dirinya.

Dia tidak akan pernah bisa mengharapkan Yohan kembali atau bahkan sekadar menyapanya dengan, ‘Apa kabar, Alma?’

Malam ini dia pulang dengan keadaan yang berantakan. Hatinya, perasaannya.

Dia memasuki rumah dengan tubuh dan pakaian yang basah karena meringkuk di bawah derai hujan.

Rasa gigil yang timbul ini bukan semata-mata karena dingin akibat pakaiannya yang basah, tapi karena dia tahu dia akan dipukuli oleh William.

“DARI MANA KAMU, ALMA!”

Suaranya menggema dari sudut rumah yang satu ke sudut rumah yang lainnya. Tangannya yang besar menarik Alma dan dia tenggelam dalam amarah yang tak juga surut.

“Kenapa kamu keluar malam-malam?”

“Maaf, Papa!”

“Kamu mau jadi perempuan murahan seperti ibumu? Iya?!”

Selalu saja!

Dengan beberapa tenggak alkohol, William akan menghabiskan malamnya dengan mabuk dan kehilangan kontrol diri. Menyasar Alma yang tidak bisa melawan dan inilah hasilnya.

Lebam di kedua tangannya yang membiru keesokan paginya.

Yang membuatnya terpaksa harus mengenakan blouse lengan panjang.

Pagi ini, di sekolahnya, dia mendapati banyak kabar yang berlalu-lalang tanpa henti.

Kabar yang membenarkan bahwa Yohan akan segera menikah dan pindah dari Los Angeles.

Sepertinya hati Alma terlanjur kebas. Kabar itu tidak berarti lagi untuknya, tidak ada apa-apanya dengan perih yang dia dapatkan dari pukulan William.

Benarkah?

Karena nyatanya ... memungkiri seperti apapun, Alma malah berderai air mata. Dia memandang ke dalam tasnya di mana ada satu alat make up yang pernah diberikan oleh Yohan.

Yang selama ini menolongnya seandainya wajahnya membiru.

Sebuah foundation yang bisa menyamarkan luka kebiruannya. Masih segar diingatan Alma jika hari itu Yohan memberikannya dengan mengatakan,

“Pakailah! Itu akan menutupi lukamu.”

“Apa ini?”

“Bukannya itu alat make up?”

“Dari mana Om Yohan tahu ada alat make up seperti ini?”

Dia terlihat mengangkat sekilas kedua bahunya, tampak tidak yakin.

“Teman.”

Alma menghela napasnya. Sekarang ... dia tahu arti ‘teman’ yang hari itu dikatakan oleh Yohan. Itu pasti perempuan yang akan menjadi istrinya dalam waktu hitungan hari.

Itu dia orangnya!

Alma bisa melihat Yohan yang berjalan keluar dari ruang guru saat jam isirahat tiba. Tanpa sengaja, mereka berpapasan dan kedua dari mereka menghentikan langkah.

Tidak ada yang mengatakan apapun. Koridor yang tadinya ramai dengan lalu lalang anak-anak kini terasa senyap.

Keadaan di antara mereka menjadi canggung dan aneh. Alma tidak perlu menanyakan apa alasannya karena Yohan sekarang tahu perasannya. Dan lebih memilukannya lagi, dia ditolak.

Yohan menatapnya dengan teduh, matanya yang bening selalu saja bisa mengunci manik mata Alma yang pada akhirnya memilih mengakhiri kebisuan di antara mereka dengan mengarahkan tangan kanannya ke depan.

Membuat Yohan bingung dengan apa yang dia lakukan.

“Alma?”

Tapi bagaimanapun itu, Yohan menyambut jabat tangannya.

“Selamat untuk pernikahan Pak Yohan. Semoga bahagia dengan hidup barumu.”

Lalu saat Alma melepas tangannya, Yohan tahu dia telah mengubah hidup seorang gadis yang sebelumnya sangat ceria hanya padanya menjadi hancur dalam semalam.

Alma menundukkan kepalanya di depan Yohan dengan sopan layaknya murid dan guru. Sebelum pergi dari sana. Meninggalkan Yohan yang menyadari satu hal.

Saat Alma mengenakan pakaian panjang seperti itu dia pasti menyembunyikan bekas luka atas apa yang diperbuat William.

Di mana biasanya dia akan bercerita dan mengatakan dengan jenaka bahwa dia mulai terbiasa menertawakan rasa sakit. Namun, kini ... di depan matanya, seorang gadis yang coba dia perbaiki rasa percaya dirinya justru dia kembalikan pada titik terendahnya.

Yohan memandang punggung kecilnya yang menghilang di tikungan. Merasa bersalah karena justru bahu dan rasa nyaman yang dia berikan mengena di hati Alma sebagai cinta.

Kafalma Alexandra Kenan, Yohan tidak akan pernah melupakan nama itu, sama sekali.

***

Minggu berlalu, pernikahan pasti digelar.

Minggu berlalu, Alma mendengar kabar kepergian Yohan dari Los Angeles.

Satu bulan, dua bulan, bulan demi bulan terlewati dengan Alma yang bertahan seorang diri.

Yohan? Jangan tanya! Alma tahu dia pasti bahagia.

Selagi di sini, hampir setiap malam, Alma akan mendapati William meratapi perpisahannya dengan sang istri. Sebuah rasa sakit yang masih tidak bisa dia terima dan dia lari pada Alma yang selalu menerima apapun yang dia lakukan.

Alma sebenarnya bisa saja pergi. Tapi dia sangat takut. Ketakutannya di luar rumah lebih besar karena dia tidak memiliki siapapun di sini.

Dengan keadaan melarikan diri, jika dia ditemukan oleh kepolisian setempat, dia pasti akan dikembalikan ke rumah ini lagi.

Dan daripada melakukan itu, sekarang ... saat malam hari, Alma lebih memilih unuk mengunci pintu kamarnya. Biar William berteriak sesuka hatinya asalkan Alma tidak babak belur.

Dan bertahan di sini adalah sebuah keputusan yang akan dia sesali, seumur hidupnya.

Tidak seperti biasanya, malam ini William sangat baik.

Alma melihatnya datang dengan buah tangan yang dia berikan padanya.

“Pakai ini, Alma!”

“Apa ini, Papa?”

“Gaun. Ayo kita makan malam.”

Alma bisa melihat senyumnya yang tulus, yang sudah sangat lama ini Alma tidak pernah jumpai.

Saat Alma mengintip ke dalam paper bag itu, memang isinya sebuah dress di bawah lutut yang tampak girly.

“Sudah siap?”

William bertanya dengan senyum yang sama baiknya saat melihat Alma di ruang tamu.

“Iya, sudah.”

William mengangguk, membawa Alma keluar dari rumah dan mengajaknya berkendara. Di dalam mobil, Alma menerka akan ke mana mereka menghabiskan malam ini.

Alma tahu jawabannya.

Sebuah restoran yang mewah dan Alma benar duduk di sana, di seberang William. Dengan hidangan yang enak, dengan minuman yang segar.

Alma berpikir dalam hati, ‘Apa ini hadiah yang pernah dikatakan oleh Yohan? Bahwa ayahnya pasti akan berubah suatu saat nanti?’

“Makanlah yang banyak, Alma! Bagaimana? Kamu suka?”

Alma mengangguk dengan antusias.

“Iya, terima kasih, Papa.”

William memberinya anggukan dan meneruskan makannya.

“Alma.”

“Iya?”

“Kamu sudah semakin dewasa. Orang-orang yang hidup di LA biasa menjalani kehidupan mandiri. Kamu juga sudah bisa memulainya dari sekarang.”

“Apa maksud Papa? Apa ... Papa akan biarin Alma tinggal di tempat lain selain di rumah?”

“Iya.”

Jika benar demikian, maka Alma akan sangat berterima kasih karena dia akan memulai hidupnya tanpa bayang-bayang William yang bisa membuatnya babak belur setiap dia mengamuk setelah minum minuman keras.

Alma berpikir, dia akan dibawa menuju ke apartemen baru miliknya yang dibelikan William untuknya.

Namun, dugaannya salah. Memang ....

Memang ini seperti gedung yang bisa ditinggali manusia. Tapi isinya tidak demikian.

Karena saat Alma dibawa masuk William, dia disambut beberapa orang laki-laki berbadan besar yang bertanya dengan,

“Apa ini yang akan kamu serahkan pada kami, William?”

Salah seorang dari mereka meraih tangan Alma, yang tentu saja segera memberontak dan meminta perlindungan William.

Tapi kenyataan sangat menyakitkan saat Alma jusru mendapat jawaban,

“Mandirilah, Alma. Kamu sudah bukan milik Papa sekarang. Kamu milik mereka.”

Apa maksudnya ini?

William meninggalkan Alma begitu saja tanpa penjelasan lainnya.

“PAPA?! JANGAN PERGI, PAPA!”

William abai.

“PAPA JANGAN TINGGALIN ALMA!”

William tidak menoleh sama sekali, Alma mendengar salah seorang dari mereka mengatakan,

“Ayo ikut! Kita lihat kamu akan terjual berapa di pelelangan malam ini.”

Lelaki Yang Membawa Segelas Wine

Inilah yang dipikirkan Alma sebelumnya bahwa sebaiknya dia melarikan diri sedari awal jika pada kenyataannya dia akan berakhir di tempat ini.

Sekarang Alma tahu kenapa William memberinya pakaian yang baik dan makanan yang enak. Itu karena dia akan dijual.

William, menjual anaknya sendiri.

“PAPAAAA!”

Jeritan Alma seperti tidak didengarkan oleh William padahal jarak mereka belum terlalu jauh.

Air matanya berderai saat dia melihat William yang pada akhirnya menghilang di tikungan.

‘Hidup mandiri’ yang dikatakan oleh William adalah memisahkan diri dengan Alma melalui cara yang sangat tidak menyenangkan karena Alma akan menghadapi hari kelam di depan sana di bawah rasa takut yang tidak akan ada ujungnya.

Alma ketakutan.

Dia bersumpah demi apapun dia sangat takut saat lelaki berbadan besar dan penuh tato ini membawanya memasuki tempat yang tampak remang-remang.

Memberontak pun tidak bisa karena Alma kalah kekuatan.

Saat itu di dalam pikirannya hana satu hal saja, 'Apa yang diinginkan oleh William? Kenapa dia melakukan ini? Apa sudah mati hatinya sehingga dia tega menjual anaknya sendiri?'

Nanti, Alma akan mengetahuinya. Tapi tidak sekarang karena yang perlu dia khawatirkan sekarang ini adalah hidupnya sendiri.

Dia dibawa masuk ke dalam sebuah ruangan.

“NO!”

Alma berteriak dengan putus asa, menolak saat seorang perempuan menyentuh tubuhnya dan memaksanya membuka pakaian.

“Menurutlah!”

Alma dihempas di atas kursi berbentuk aneh saat tubuhnya dilihat segala sisi.

“Sepertinya dia masih perawan.”

Perempuan itu berujar kemudian meminta perempuan yang lainnya untuk mengganti pakaian Alma.

Sebuah pakaian yang minim, di mana itu menunjukkan sebagai besar lekuk tubuhnya.

Alma menangis tapi itu sia-sia.

Tangisannya tidak akan pernah di dengarkan karena yang ada dia kembali diserahkan kepada beberapa lelaki yang semula membawanya masuk ke dalam sini.

Berbagai bentuk catcalling hingga candaan tak senonoh memenuhi telinganya. Berlalu-lalang tanpa henti mengiringinya masuk ke dalam sebuah tempat yang membuatnya berdiri di bawah lampu sorot.

Semua orang seolah terpukau dengannya. Tapi Alma tidak menikmati cara pandang mereka, sama sekali.

Karena mata mereka bukanlah mata manusia yang biasa Alma lihat.

Mata mereka adalah mata serigala yang buas dan kelaparan.

Alma berusaha menutupi tubuhnya dengan tangannya tetapi itu sia-sia.

“Open Bid.”

Suara Afslager—pemimpin lelang—membuat Alma merinding sekujur tubuhnya apalagi setelah dia mendengar,

“Dia sudah diserahkan kepada kami dengan nilai seratus ribu dollar. Jadi open bid kita mulai dengan harga seratus ribu dollar.”

Alma tidak menyangka. William benar-benar menjualnya dengan harga seratus ribu dollar atau kurang lebih sekitar satu milyar. Di sini, di sebuah auction yang mungkin saja terkenal di Los Angeles.

Air matanya tidak terbendung saat dia diperlakukan seperti barang.

“Nomor tiga puluh?”

“Dua ratus ribu dollar.”

“Tiga ratus ribu dollar.”

Mereka menggunakan kelipatan yang tinggi yaitu seratus ribu dollar.

“Empat ratus ribu dollar.”

“Empat ratus sembilan puluh ribu dollar.”

Nilainya semakin naik. Alma tidak tahu akan jatuh pada siapa dirinya nanti.

Pada maniak gila ataukah pada gangster kejam.

Tapi satu hal yang pasti, hidupnya akan berantakan setelah ini. Hidupnya akan mengalami perubahan yang besar dengan duka yang merundungnya tanpa koma.

Hidupnya akan—

“SATU JUTA DOLAR UNTUK KAFALMA ALEXANDRA KENAN!”

Bariton dalam seorang lelaki membuat balai lelang hening seketika. Semua mata tertuju kepadanya begitu juga dengan Alma.

Seorang lelaki yang mengangkat nomor lima puluh lima itu tidak menunjukkan siapa dia karena dia mengenakan masker hitam yang menutupi hampir semua wajahnya.

“WOAH ....”

Gumaman semua orang terdengar tidak percaya. Di seperti memangkas habis rasa percaya diri mereka yang sengaja mengulur waktu dalam melipat harga demi harga, yang menyiksa Alma dalam kecemasan dan ketakutan.

“Satu juta dollar. Ada yang lain?”

Afslager kembali membuka suaranya seelah keheningan yang lama menyelimuti setiap sisi sudut tempat.

“Kafalma Alexandra Kenan telah diputuskan, satu juta dollar.”

Suara ketuk palu terdengar dengan tepuk tangan riuh saat melihat lelaki asing yang kini resmi memiliki Alma itu turun dari kursi peserta lelang.

Dia naik ke atas panggung dan melepas coat panjang hitam miliknya. Memakaikannya di pungung Alma agar tubuhnya tidak lagi terekspos atau menjadi objek cuci mata pria.

Alma memandangnya dan mata mereka bertemu.

Perasaan apa ini? Kenapa Alma seolah mengenalnya?

Mata beningnya, seberkas sinar yang tampak hidup di dalam sana, siapa lelaki itu sebenarnya?

Dan satu hal yang mengusik Alma adalah ... bau parfumnya.

Alma bisa menghidu bau parfumnya yang tidak asing yang seolah terbiasa ada di sekitarnya.

Tom ford. Aromanya maskulin tapi juga memiliki sisi lembut di mana menyentuh amygdala milik Alma yang justru membuatnya semakin ingin menerka.

Tapi Alma tidak menemukan jawabannya.

Dia dibawa pergi dari sana.

Tubuhnya teras kebas. Lelaki ini terasa dingin seperi bongkahan es. Tidak terjamah dan tidak tersentuh.

Tapi tangannya terasa hangat saat menggenggam pergelangan tangan Alma untuk pergi dari sana.

“Tunggu di sini!”

Dia lalu pergi. Entah apa yang dia lakukan dengan meninggalkan Alma duduk menunggu di sofa yang ada di dekat pintu.

Hidup Alma tidak tahu akan bagaimana ke depannya sekarang.

Segala pertanyaan menghampirinya. Apakah lelaki itu baik ataukah lelaki itu jahat?

Tapi bukankah dengan dia di sini dia mungkin juga terbiasa datang ke tempat ini?

Satu juta dollar bukan nominal yang sedikit, dia pasti lelaki yang berpengaruh.

Alma dirundung kebimbangan. Terbesit di dalam pikirannya, ‘Apa sebaiknya aku kabur saja?’

Namun, hal itu tidak bisa dia lakukan sejak laki-laki lain menghampirinya dan mengatakan,

“Ayo ikut! Saya yang akan mengantarmu pulang. Tuan masih menyelesaikan pembayaran. Nanti kalian akan bertemu di rumah.”

Siapa lagi itu yang dia panggil sebagai ‘Tuan.’

Apa itu lelaki yang melakukan bid tertinggi dan resmi memiliki Alma?

Alma dibawa memasuki mobil. Dia sangat takut, takut sekali. Dia hanya seorang anak perempuan yang usianya baru saja genap delapan belas tahun minggu lalu dan harus melewati malam mengerikan ini?

Sepanjang perjalanan, Alma hanya terus merapatkan coat yang dia kenakan. Jemari tangannya terasa kaku. Dia tidak bisa berpikir apapun sekarang ini.

Malam di Los Angeles terlihat gemerlap dari dalam mobil yang membawanya memasuki sebuah komplek apartemen mewah.

Siapa sebenarnya yang kini resmi memilikinya?

Matanya menggelepar ketakutan saat dia digiring masuk oleh lelaki yang mengemudikan mobil itu memasuki lift.

Lantai sepuluh, lantai dua puluh, lantai tiga puluh, semua terlewati dan lift berhenti di lantai empat puluh lima.

“Mari, Nona!”

Alma sejenak termangu. Dia terdiam berdiri kaku di dalam lift memandang laki-laki yang lebih dulu keluar dari sana.

“Ayo!” ucapnya sekali lagi

Alma mengikuti langkahnya, kakinya kebas, kesemutan. Menahan diri untuk tidak berteriak atau membuat kegaduhan sampai dia dibawa masuk ke dalam salah satu unit apartemen.

Di dalam sini, Alma bisa melihat desain interior yang sangat bagus, mewah dan juga ruangan yang bersih.

Apa yang dia harapkan?

Ini adalah neraka baru untuknya. Tidak akan ada kebahagiaan di dalam sini, tidak akan pernah ada.

Dan siapa lelaki yang disebut sebagai ‘Tuan’ yang akan dia temui sebentar lagi? Seperti apa wajah lelaki yang tadi bersembunyi di balik masker itu?

Apa dia cacat? Atau wajahnya penuh dengan tato?

“Masuklah!”

Alma memandang salah satu pintu kamar di dalam apartemen yang terbuka.

“Masuklah! Tuan sudah ada di dalam. Dia sampai lebih dulu.”

Alma membawa langkahnya untuk memasuki kamar.

Jantungnya berdegup dalam rasa takut. Merapatkan coat yang semula hangat, tapi kini terasa dingin. Di sana, Alma menemukan seorang lelaki yang berdiri membelakanginya.

Dia sedang menghadap pada jendela raksasa yang memperlihatkan gemerlapnya jalanan Los Angeles di bawah yang tampak sangat kecil dari sini.

“Kamu sudah datang?”

Alma terkejut karena dia berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia karena sedari tadi orang-orang yang dia temui menggunakan bahasa Inggris semua.

Alma tidak menjawabnya, dia masih sibuk memindai lelaki itu, yang berdiri sangat tinggi dan dari belakang rambutnya terlihat rapi.

Dia mengenakan kemeja yang tadi dijumpai Alma di tempat lelang setelah dia membuka coat panjang miliknya.

“Ini aku yang ada di tempat lelang.”

Seolah mengingatkan jika Alma lupa.

“Pakailah itu!”

Dengan tanpa menoleh, dia menunjuk pada pakaian yang ada di atas ranjang.

Sebuah dress panjang yang terlihat nyaman.

“Lalu tidurlah!”

Alma masih tidak menjawabnya.

“Ada banyak hal yang akan kita lakukan mulai besok.”

Dia sedikit memutar tubuhnya, Alma baru tahu jika di tangannya ada gelas berkaki berisi minuman berwarna merah yang sedang dia bawa.

“Kamu tidak ingin mengganti pakaianmu? Bukannya yang kamu kenakan saat ini tidak—“

“Darimana kamu tahu namaku?”

“Ada di daftar. Aku membacanya.”

“Kamu orang Indonesia?”

“Iya. Ada lagi yang ingin kamu tanyakan?”

“Apa yang ingin kamu lakukan padaku setelah ini?”

“Menagih janji.”

Alis Alma nyaris tertaut saat mengucap, ‘Janji apa?’ dalam hatinya. Tapi hal itu dia urungkan saat Alma lebih dulu melihat lelaki itu benar-benar memutar tubuhnya menghadap pada Alma sehingga sekarang Alma bisa melihat keseluruhan wujud wajahnya.

Siapa lelaki yang tadi ada di balik masker, siapa yang membawanya pergi dari tempat lelang. Siapa lelaki yang dipanggil sebagai ‘tuan’ oleh anak buahnya.

Yang justru membuat Alma satu langkah mundur ke belakang.

Bibirnya gemetar dan matanya berair melihat siapa yang ada di depannya ini.

“Yohan?”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!