Mereka ditimpa keheningan lebih dari sekian lamanya.
Yohan terdiam begitu juga dengan Alma yang berdiri beberapa jarak di depannya.
Apa yang dia katakan menimbulkan bisikan orang-orang yang merapat ke arah halte. Bukan tanpa alasan. Itu karena mereka berteduh pada hujan yang sebentar lagi akan datang.
“Alma?”
Suaranya lirih, Yohan sedang meraba apa yang coba disampaikan oleh Alma di hadapan banyak orang yang kalimat pertamanya dapat dimengerti oleh mereka.
Di mana itu telah membuat Yohan tercekat napasnya di tenggorokan. Mereka diselubungi hening yang barangkali tidak akan usai jika Alma tidak mengulangi apa yang dia katakan, sekali lagi.
“Aku bisa mencintaimu lebih baik daripada yang dia lakukan.”
Air matanya tergenang, jatuh bermuara di pipinya yang cantik
Membungkam Yohan dalam rasa bersalah karena sekarang dia tahu perasaan gadis kecil ini telah berubah kepadanya.
“Tolong jangan pergi! Kalau Om pergi gimana Alma? Alma tidak punya siapapun di sini selain Om Yohan.”
“Tidak bisa, Alma. Pergi atau tinggal yang akan aku lakukan ini bukan untuk hal yang bisa dipermainkan. Ini pernikahan.”
“Tapi ... kalau Om pergi. Alma takut papa akan ....”
“Kamu bertahan sejauh ini karena kamu kuat. Kamu gadis cantik yang tidak mudah dikalahkan oleh keadaan. Akan ada hadiah yang baik untukmu nanti di depan sana. Temukan bahagiamu sendiri, Alma! Kita tidak bisa bersama.”
Yohan melambaikan tangannya pada Alma yang tidak membalasnya.
Dia hanya terdiam menyaksikan punggung Yohan yang berlari menyeberang jalan.
Meninggalkan Alma yang jatuh mengelung lututnya di bawah derai hujan yang menggila yang diturunkan oleh semesta begitu saja.
Seolah melengkapi nestapa yang sedang dia terima karena keadaan sangat berbeda dengan yang terlihat tadi sore. Tidak seimbang dengan hangatnya warna jingga yang semula memeluk mereka dalam hangat tanpa duka.
Sekarang, Alma tidak memiliki siapapun. Pilar penopangnya telah menghilang diambil langit kelam.
Punggung Yohan perlahan tidak bisa dia lihat lagi. Ini ... akan menjadi pertemuan terakhir mereka.
Dengan berat hati, Alma menguatkan dirinya.
Dia tidak akan pernah bisa mengharapkan Yohan kembali atau bahkan sekadar menyapanya dengan, ‘Apa kabar, Alma?’
Malam ini dia pulang dengan keadaan yang berantakan. Hatinya, perasaannya.
Dia memasuki rumah dengan tubuh dan pakaian yang basah karena meringkuk di bawah derai hujan.
Rasa gigil yang timbul ini bukan semata-mata karena dingin akibat pakaiannya yang basah, tapi karena dia tahu dia akan dipukuli oleh William.
“DARI MANA KAMU, ALMA!”
Suaranya menggema dari sudut rumah yang satu ke sudut rumah yang lainnya. Tangannya yang besar menarik Alma dan dia tenggelam dalam amarah yang tak juga surut.
“Kenapa kamu keluar malam-malam?”
“Maaf, Papa!”
“Kamu mau jadi perempuan murahan seperti ibumu? Iya?!”
Selalu saja!
Dengan beberapa tenggak alkohol, William akan menghabiskan malamnya dengan mabuk dan kehilangan kontrol diri. Menyasar Alma yang tidak bisa melawan dan inilah hasilnya.
Lebam di kedua tangannya yang membiru keesokan paginya.
Yang membuatnya terpaksa harus mengenakan blouse lengan panjang.
Pagi ini, di sekolahnya, dia mendapati banyak kabar yang berlalu-lalang tanpa henti.
Kabar yang membenarkan bahwa Yohan akan segera menikah dan pindah dari Los Angeles.
Sepertinya hati Alma terlanjur kebas. Kabar itu tidak berarti lagi untuknya, tidak ada apa-apanya dengan perih yang dia dapatkan dari pukulan William.
Benarkah?
Karena nyatanya ... memungkiri seperti apapun, Alma malah berderai air mata. Dia memandang ke dalam tasnya di mana ada satu alat make up yang pernah diberikan oleh Yohan.
Yang selama ini menolongnya seandainya wajahnya membiru.
Sebuah foundation yang bisa menyamarkan luka kebiruannya. Masih segar diingatan Alma jika hari itu Yohan memberikannya dengan mengatakan,
“Pakailah! Itu akan menutupi lukamu.”
“Apa ini?”
“Bukannya itu alat make up?”
“Dari mana Om Yohan tahu ada alat make up seperti ini?”
Dia terlihat mengangkat sekilas kedua bahunya, tampak tidak yakin.
“Teman.”
Alma menghela napasnya. Sekarang ... dia tahu arti ‘teman’ yang hari itu dikatakan oleh Yohan. Itu pasti perempuan yang akan menjadi istrinya dalam waktu hitungan hari.
Itu dia orangnya!
Alma bisa melihat Yohan yang berjalan keluar dari ruang guru saat jam isirahat tiba. Tanpa sengaja, mereka berpapasan dan kedua dari mereka menghentikan langkah.
Tidak ada yang mengatakan apapun. Koridor yang tadinya ramai dengan lalu lalang anak-anak kini terasa senyap.
Keadaan di antara mereka menjadi canggung dan aneh. Alma tidak perlu menanyakan apa alasannya karena Yohan sekarang tahu perasannya. Dan lebih memilukannya lagi, dia ditolak.
Yohan menatapnya dengan teduh, matanya yang bening selalu saja bisa mengunci manik mata Alma yang pada akhirnya memilih mengakhiri kebisuan di antara mereka dengan mengarahkan tangan kanannya ke depan.
Membuat Yohan bingung dengan apa yang dia lakukan.
“Alma?”
Tapi bagaimanapun itu, Yohan menyambut jabat tangannya.
“Selamat untuk pernikahan Pak Yohan. Semoga bahagia dengan hidup barumu.”
Lalu saat Alma melepas tangannya, Yohan tahu dia telah mengubah hidup seorang gadis yang sebelumnya sangat ceria hanya padanya menjadi hancur dalam semalam.
Alma menundukkan kepalanya di depan Yohan dengan sopan layaknya murid dan guru. Sebelum pergi dari sana. Meninggalkan Yohan yang menyadari satu hal.
Saat Alma mengenakan pakaian panjang seperti itu dia pasti menyembunyikan bekas luka atas apa yang diperbuat William.
Di mana biasanya dia akan bercerita dan mengatakan dengan jenaka bahwa dia mulai terbiasa menertawakan rasa sakit. Namun, kini ... di depan matanya, seorang gadis yang coba dia perbaiki rasa percaya dirinya justru dia kembalikan pada titik terendahnya.
Yohan memandang punggung kecilnya yang menghilang di tikungan. Merasa bersalah karena justru bahu dan rasa nyaman yang dia berikan mengena di hati Alma sebagai cinta.
Kafalma Alexandra Kenan, Yohan tidak akan pernah melupakan nama itu, sama sekali.
***
Minggu berlalu, pernikahan pasti digelar.
Minggu berlalu, Alma mendengar kabar kepergian Yohan dari Los Angeles.
Satu bulan, dua bulan, bulan demi bulan terlewati dengan Alma yang bertahan seorang diri.
Yohan? Jangan tanya! Alma tahu dia pasti bahagia.
Selagi di sini, hampir setiap malam, Alma akan mendapati William meratapi perpisahannya dengan sang istri. Sebuah rasa sakit yang masih tidak bisa dia terima dan dia lari pada Alma yang selalu menerima apapun yang dia lakukan.
Alma sebenarnya bisa saja pergi. Tapi dia sangat takut. Ketakutannya di luar rumah lebih besar karena dia tidak memiliki siapapun di sini.
Dengan keadaan melarikan diri, jika dia ditemukan oleh kepolisian setempat, dia pasti akan dikembalikan ke rumah ini lagi.
Dan daripada melakukan itu, sekarang ... saat malam hari, Alma lebih memilih unuk mengunci pintu kamarnya. Biar William berteriak sesuka hatinya asalkan Alma tidak babak belur.
Dan bertahan di sini adalah sebuah keputusan yang akan dia sesali, seumur hidupnya.
Tidak seperti biasanya, malam ini William sangat baik.
Alma melihatnya datang dengan buah tangan yang dia berikan padanya.
“Pakai ini, Alma!”
“Apa ini, Papa?”
“Gaun. Ayo kita makan malam.”
Alma bisa melihat senyumnya yang tulus, yang sudah sangat lama ini Alma tidak pernah jumpai.
Saat Alma mengintip ke dalam paper bag itu, memang isinya sebuah dress di bawah lutut yang tampak girly.
“Sudah siap?”
William bertanya dengan senyum yang sama baiknya saat melihat Alma di ruang tamu.
“Iya, sudah.”
William mengangguk, membawa Alma keluar dari rumah dan mengajaknya berkendara. Di dalam mobil, Alma menerka akan ke mana mereka menghabiskan malam ini.
Alma tahu jawabannya.
Sebuah restoran yang mewah dan Alma benar duduk di sana, di seberang William. Dengan hidangan yang enak, dengan minuman yang segar.
Alma berpikir dalam hati, ‘Apa ini hadiah yang pernah dikatakan oleh Yohan? Bahwa ayahnya pasti akan berubah suatu saat nanti?’
“Makanlah yang banyak, Alma! Bagaimana? Kamu suka?”
Alma mengangguk dengan antusias.
“Iya, terima kasih, Papa.”
William memberinya anggukan dan meneruskan makannya.
“Alma.”
“Iya?”
“Kamu sudah semakin dewasa. Orang-orang yang hidup di LA biasa menjalani kehidupan mandiri. Kamu juga sudah bisa memulainya dari sekarang.”
“Apa maksud Papa? Apa ... Papa akan biarin Alma tinggal di tempat lain selain di rumah?”
“Iya.”
Jika benar demikian, maka Alma akan sangat berterima kasih karena dia akan memulai hidupnya tanpa bayang-bayang William yang bisa membuatnya babak belur setiap dia mengamuk setelah minum minuman keras.
Alma berpikir, dia akan dibawa menuju ke apartemen baru miliknya yang dibelikan William untuknya.
Namun, dugaannya salah. Memang ....
Memang ini seperti gedung yang bisa ditinggali manusia. Tapi isinya tidak demikian.
Karena saat Alma dibawa masuk William, dia disambut beberapa orang laki-laki berbadan besar yang bertanya dengan,
“Apa ini yang akan kamu serahkan pada kami, William?”
Salah seorang dari mereka meraih tangan Alma, yang tentu saja segera memberontak dan meminta perlindungan William.
Tapi kenyataan sangat menyakitkan saat Alma jusru mendapat jawaban,
“Mandirilah, Alma. Kamu sudah bukan milik Papa sekarang. Kamu milik mereka.”
Apa maksudnya ini?
William meninggalkan Alma begitu saja tanpa penjelasan lainnya.
“PAPA?! JANGAN PERGI, PAPA!”
William abai.
“PAPA JANGAN TINGGALIN ALMA!”
William tidak menoleh sama sekali, Alma mendengar salah seorang dari mereka mengatakan,
“Ayo ikut! Kita lihat kamu akan terjual berapa di pelelangan malam ini.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
Eka mita Vriyanty
baru mau gabung baca lagi kak, tapi loading..🙏🏻🤧
2023-06-08
2
Bunga Bakung Gunung 🌼🍀🍁🍂
rasanya ingin nampol bapaknya alma 😡
2023-06-02
3
my little savana
bapak yang gak punya ahlak emang William itu...😡
2023-05-26
3