Inilah yang dipikirkan Alma sebelumnya bahwa sebaiknya dia melarikan diri sedari awal jika pada kenyataannya dia akan berakhir di tempat ini.
Sekarang Alma tahu kenapa William memberinya pakaian yang baik dan makanan yang enak. Itu karena dia akan dijual.
William, menjual anaknya sendiri.
“PAPAAAA!”
Jeritan Alma seperti tidak didengarkan oleh William padahal jarak mereka belum terlalu jauh.
Air matanya berderai saat dia melihat William yang pada akhirnya menghilang di tikungan.
‘Hidup mandiri’ yang dikatakan oleh William adalah memisahkan diri dengan Alma melalui cara yang sangat tidak menyenangkan karena Alma akan menghadapi hari kelam di depan sana di bawah rasa takut yang tidak akan ada ujungnya.
Alma ketakutan.
Dia bersumpah demi apapun dia sangat takut saat lelaki berbadan besar dan penuh tato ini membawanya memasuki tempat yang tampak remang-remang.
Memberontak pun tidak bisa karena Alma kalah kekuatan.
Saat itu di dalam pikirannya hana satu hal saja, 'Apa yang diinginkan oleh William? Kenapa dia melakukan ini? Apa sudah mati hatinya sehingga dia tega menjual anaknya sendiri?'
Nanti, Alma akan mengetahuinya. Tapi tidak sekarang karena yang perlu dia khawatirkan sekarang ini adalah hidupnya sendiri.
Dia dibawa masuk ke dalam sebuah ruangan.
“NO!”
Alma berteriak dengan putus asa, menolak saat seorang perempuan menyentuh tubuhnya dan memaksanya membuka pakaian.
“Menurutlah!”
Alma dihempas di atas kursi berbentuk aneh saat tubuhnya dilihat segala sisi.
“Sepertinya dia masih perawan.”
Perempuan itu berujar kemudian meminta perempuan yang lainnya untuk mengganti pakaian Alma.
Sebuah pakaian yang minim, di mana itu menunjukkan sebagai besar lekuk tubuhnya.
Alma menangis tapi itu sia-sia.
Tangisannya tidak akan pernah di dengarkan karena yang ada dia kembali diserahkan kepada beberapa lelaki yang semula membawanya masuk ke dalam sini.
Berbagai bentuk catcalling hingga candaan tak senonoh memenuhi telinganya. Berlalu-lalang tanpa henti mengiringinya masuk ke dalam sebuah tempat yang membuatnya berdiri di bawah lampu sorot.
Semua orang seolah terpukau dengannya. Tapi Alma tidak menikmati cara pandang mereka, sama sekali.
Karena mata mereka bukanlah mata manusia yang biasa Alma lihat.
Mata mereka adalah mata serigala yang buas dan kelaparan.
Alma berusaha menutupi tubuhnya dengan tangannya tetapi itu sia-sia.
“Open Bid.”
Suara Afslager—pemimpin lelang—membuat Alma merinding sekujur tubuhnya apalagi setelah dia mendengar,
“Dia sudah diserahkan kepada kami dengan nilai seratus ribu dollar. Jadi open bid kita mulai dengan harga seratus ribu dollar.”
Alma tidak menyangka. William benar-benar menjualnya dengan harga seratus ribu dollar atau kurang lebih sekitar satu milyar. Di sini, di sebuah auction yang mungkin saja terkenal di Los Angeles.
Air matanya tidak terbendung saat dia diperlakukan seperti barang.
“Nomor tiga puluh?”
“Dua ratus ribu dollar.”
“Tiga ratus ribu dollar.”
Mereka menggunakan kelipatan yang tinggi yaitu seratus ribu dollar.
“Empat ratus ribu dollar.”
“Empat ratus sembilan puluh ribu dollar.”
Nilainya semakin naik. Alma tidak tahu akan jatuh pada siapa dirinya nanti.
Pada maniak gila ataukah pada gangster kejam.
Tapi satu hal yang pasti, hidupnya akan berantakan setelah ini. Hidupnya akan mengalami perubahan yang besar dengan duka yang merundungnya tanpa koma.
Hidupnya akan—
“SATU JUTA DOLAR UNTUK KAFALMA ALEXANDRA KENAN!”
Bariton dalam seorang lelaki membuat balai lelang hening seketika. Semua mata tertuju kepadanya begitu juga dengan Alma.
Seorang lelaki yang mengangkat nomor lima puluh lima itu tidak menunjukkan siapa dia karena dia mengenakan masker hitam yang menutupi hampir semua wajahnya.
“WOAH ....”
Gumaman semua orang terdengar tidak percaya. Di seperti memangkas habis rasa percaya diri mereka yang sengaja mengulur waktu dalam melipat harga demi harga, yang menyiksa Alma dalam kecemasan dan ketakutan.
“Satu juta dollar. Ada yang lain?”
Afslager kembali membuka suaranya seelah keheningan yang lama menyelimuti setiap sisi sudut tempat.
“Kafalma Alexandra Kenan telah diputuskan, satu juta dollar.”
Suara ketuk palu terdengar dengan tepuk tangan riuh saat melihat lelaki asing yang kini resmi memiliki Alma itu turun dari kursi peserta lelang.
Dia naik ke atas panggung dan melepas coat panjang hitam miliknya. Memakaikannya di pungung Alma agar tubuhnya tidak lagi terekspos atau menjadi objek cuci mata pria.
Alma memandangnya dan mata mereka bertemu.
Perasaan apa ini? Kenapa Alma seolah mengenalnya?
Mata beningnya, seberkas sinar yang tampak hidup di dalam sana, siapa lelaki itu sebenarnya?
Dan satu hal yang mengusik Alma adalah ... bau parfumnya.
Alma bisa menghidu bau parfumnya yang tidak asing yang seolah terbiasa ada di sekitarnya.
Tom ford. Aromanya maskulin tapi juga memiliki sisi lembut di mana menyentuh amygdala milik Alma yang justru membuatnya semakin ingin menerka.
Tapi Alma tidak menemukan jawabannya.
Dia dibawa pergi dari sana.
Tubuhnya teras kebas. Lelaki ini terasa dingin seperi bongkahan es. Tidak terjamah dan tidak tersentuh.
Tapi tangannya terasa hangat saat menggenggam pergelangan tangan Alma untuk pergi dari sana.
“Tunggu di sini!”
Dia lalu pergi. Entah apa yang dia lakukan dengan meninggalkan Alma duduk menunggu di sofa yang ada di dekat pintu.
Hidup Alma tidak tahu akan bagaimana ke depannya sekarang.
Segala pertanyaan menghampirinya. Apakah lelaki itu baik ataukah lelaki itu jahat?
Tapi bukankah dengan dia di sini dia mungkin juga terbiasa datang ke tempat ini?
Satu juta dollar bukan nominal yang sedikit, dia pasti lelaki yang berpengaruh.
Alma dirundung kebimbangan. Terbesit di dalam pikirannya, ‘Apa sebaiknya aku kabur saja?’
Namun, hal itu tidak bisa dia lakukan sejak laki-laki lain menghampirinya dan mengatakan,
“Ayo ikut! Saya yang akan mengantarmu pulang. Tuan masih menyelesaikan pembayaran. Nanti kalian akan bertemu di rumah.”
Siapa lagi itu yang dia panggil sebagai ‘Tuan.’
Apa itu lelaki yang melakukan bid tertinggi dan resmi memiliki Alma?
Alma dibawa memasuki mobil. Dia sangat takut, takut sekali. Dia hanya seorang anak perempuan yang usianya baru saja genap delapan belas tahun minggu lalu dan harus melewati malam mengerikan ini?
Sepanjang perjalanan, Alma hanya terus merapatkan coat yang dia kenakan. Jemari tangannya terasa kaku. Dia tidak bisa berpikir apapun sekarang ini.
Malam di Los Angeles terlihat gemerlap dari dalam mobil yang membawanya memasuki sebuah komplek apartemen mewah.
Siapa sebenarnya yang kini resmi memilikinya?
Matanya menggelepar ketakutan saat dia digiring masuk oleh lelaki yang mengemudikan mobil itu memasuki lift.
Lantai sepuluh, lantai dua puluh, lantai tiga puluh, semua terlewati dan lift berhenti di lantai empat puluh lima.
“Mari, Nona!”
Alma sejenak termangu. Dia terdiam berdiri kaku di dalam lift memandang laki-laki yang lebih dulu keluar dari sana.
“Ayo!” ucapnya sekali lagi
Alma mengikuti langkahnya, kakinya kebas, kesemutan. Menahan diri untuk tidak berteriak atau membuat kegaduhan sampai dia dibawa masuk ke dalam salah satu unit apartemen.
Di dalam sini, Alma bisa melihat desain interior yang sangat bagus, mewah dan juga ruangan yang bersih.
Apa yang dia harapkan?
Ini adalah neraka baru untuknya. Tidak akan ada kebahagiaan di dalam sini, tidak akan pernah ada.
Dan siapa lelaki yang disebut sebagai ‘Tuan’ yang akan dia temui sebentar lagi? Seperti apa wajah lelaki yang tadi bersembunyi di balik masker itu?
Apa dia cacat? Atau wajahnya penuh dengan tato?
“Masuklah!”
Alma memandang salah satu pintu kamar di dalam apartemen yang terbuka.
“Masuklah! Tuan sudah ada di dalam. Dia sampai lebih dulu.”
Alma membawa langkahnya untuk memasuki kamar.
Jantungnya berdegup dalam rasa takut. Merapatkan coat yang semula hangat, tapi kini terasa dingin. Di sana, Alma menemukan seorang lelaki yang berdiri membelakanginya.
Dia sedang menghadap pada jendela raksasa yang memperlihatkan gemerlapnya jalanan Los Angeles di bawah yang tampak sangat kecil dari sini.
“Kamu sudah datang?”
Alma terkejut karena dia berbicara dengan menggunakan bahasa Indonesia karena sedari tadi orang-orang yang dia temui menggunakan bahasa Inggris semua.
Alma tidak menjawabnya, dia masih sibuk memindai lelaki itu, yang berdiri sangat tinggi dan dari belakang rambutnya terlihat rapi.
Dia mengenakan kemeja yang tadi dijumpai Alma di tempat lelang setelah dia membuka coat panjang miliknya.
“Ini aku yang ada di tempat lelang.”
Seolah mengingatkan jika Alma lupa.
“Pakailah itu!”
Dengan tanpa menoleh, dia menunjuk pada pakaian yang ada di atas ranjang.
Sebuah dress panjang yang terlihat nyaman.
“Lalu tidurlah!”
Alma masih tidak menjawabnya.
“Ada banyak hal yang akan kita lakukan mulai besok.”
Dia sedikit memutar tubuhnya, Alma baru tahu jika di tangannya ada gelas berkaki berisi minuman berwarna merah yang sedang dia bawa.
“Kamu tidak ingin mengganti pakaianmu? Bukannya yang kamu kenakan saat ini tidak—“
“Darimana kamu tahu namaku?”
“Ada di daftar. Aku membacanya.”
“Kamu orang Indonesia?”
“Iya. Ada lagi yang ingin kamu tanyakan?”
“Apa yang ingin kamu lakukan padaku setelah ini?”
“Menagih janji.”
Alis Alma nyaris tertaut saat mengucap, ‘Janji apa?’ dalam hatinya. Tapi hal itu dia urungkan saat Alma lebih dulu melihat lelaki itu benar-benar memutar tubuhnya menghadap pada Alma sehingga sekarang Alma bisa melihat keseluruhan wujud wajahnya.
Siapa lelaki yang tadi ada di balik masker, siapa yang membawanya pergi dari tempat lelang. Siapa lelaki yang dipanggil sebagai ‘tuan’ oleh anak buahnya.
Yang justru membuat Alma satu langkah mundur ke belakang.
Bibirnya gemetar dan matanya berair melihat siapa yang ada di depannya ini.
“Yohan?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 122 Episodes
Comments
Herdarini Sri W
ngebut banget nih,
2023-05-30
2
Eva
Wahh marathon beneran ya kak almii
2023-05-26
1
Prasasti Anggoro
menunggu kelanjutannya
2023-05-26
1