Rainbow In July

Rainbow In July

Awal

Suasana di rumah sangat sepi hanya ada Calista sendirian. Cahaya matahari yang selalu bersinar terang tak sama seperti raut wajah Calista akhir-akhir ini. Ia berdiri menatap dirinya dalam cermin.

Air mata yang menggenang di pelupuk mata tak lama mengalir begitu saja membasahi pipinya. Jantungnya berdegup kencang saat pandangannya menatap ke arah foto keluarga kecilnya dan foto bersama sahabatnya yang ditempel di dinding.

"Mulai sekarang kita resmi bercerai! Tapi aku gak mau bawa Calista. Anda saja yang urus dia!" seru Gania dengan amarah yang memuncak.

"Ma, aku ikut Mama, ya?" Calista menatap wajah Gania dengan buliran-buliran air mata yang menggenang di pelupuk matanya.

"Kamu itu ibunya! Ya, bawa saja Calista sama kamu!" bentak Tedy sembari melotot menatap Gania.

Mendengar ucapan kedua orang tuanya jelas membuat hati Calista sangat sakit. Ditambah ia bingung harus tinggal bersama siapa. "Pa, aku ikut Papa aja, ya?" ucap Calista dengan wajah yang sangat memelas agar salah satu mereka mau membawanya.

"SUDAH CUKUP!"

"Calista, kamu ikut Oma saja. Jadi orang tua gak ada tanggung jawabnya kalian berdua!" bentak Feni selaku oma Calista sembari memeluk gadis tersebut.

Calista kembali teringat soal penceraian kedua orang tuanya dulu. Di mana dirinya baru menduduki bangku SMA kelas satu. Tidak ada kata harmonis di dalam keluarganya. Bahkan, di setiap hari pun Calista harus menutup telinga dan menahan air mata ketika mendengar bentakkan demi bentakkan papa dan teriakan demi teriakan mama.

Terkadang Calista iri melihat temannya yang memiliki keluarga harmonis. Yang selalu tenang saat berada di rumah dan pesta ulang tahun yang selalu dirayakan bersama keluarga. Berbeda dengan Calista, rumah adalah tempat dimana tumbuhnya goresan-goresan luka dan meniup lilin sendirian adalah caranya merayakan pesta ulang tahun.

Sesudah penceraian orang tuanya, keluarga Calista terpecah belah. Entah kemana perginya papa dan entah kemana mama pergi. Selama itu ia tinggal berdua bersama oma. Kini Calista merasakan ketenangan dimana dirinya tidak harus menutup telinga lagi.

Gadis itu berpikir tangisannya telah berakhir, tetapi ternyata dugaan Calista salah–tangisannya belum berakhir. Bulan berikutnya, oma pergi meninggalkan Calista sendirian untuk selamanya.

"OMA!"

"OMA BANGUN OMA! JANGAN TINGGALIN CALISTA SENDIRIAN OMA ...."

"AARGHH!" teriak Calista.

Prakk!

Calista berhasil memecahkan cermin yang ada di hadapannya oleh tangannya sendiri alhasil darah pun bercucuran ke lantai. Sering kali setiap Calista mengingat kejadian 2 bulan ke belakang itu, ia akan berteriak histeris.

Terkadang ia akan memecahkan benda apa pun yang ada di hadapannya, tetapi tidak lama emosinya stabil kembali raut wajahnya pun kembali ceria. Calista berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan lukanya dengan cepat. Sebelum kekasihnya tiba di depan rumah untuk pergi ke sekolah bersama.

Deru motor berhenti di depan rumah Calista. Pandangan laki-laki yang memakai jaket hitam itu mengarah ke arah jendela rumah, berharap seseorang yang ditunggunya segera menghampirinya.

Gavin terduduk di atas motor dengan tangan yang mengetik layar ponsel. Baru saja Gavin akan memberi tau Calista bahwa dirinya sudah di depan rumah, tetapi ternyata kekasihnya itu sudah ada di sampingnya sembari mengintip Gavin yang sedang mengetik pesan.

"Lagi chatting siapa, Vin?"

Sontak Gavin menoleh ke sumber suara. "Eh Cal, kaget gue kira masih di dalam," ucap Gavin yang langsung mendapatkan senyuman dari Calista.

"Selamat pagi my pacar ..." ujar Calista semangat.

"Pagi cantik ... loh, tumben rambutnya diurai?" Gavin menyelipkan rambut panjang Calista ke belakang telinganya.

"Hem ... lagi pengen aja. Kenapa, jelek ya?" tanya Calista sembari menatap Gavin.

Gavin pun tersenyum seraya menggelengkan kepalanya, lalu ia berkata, "Cantik! Mau bagaimana pun kamu tetap cantik di mata aku, Cal."

Calista pikir Gavin ke rumahnya hanya sendirian, tetapi ternyata setelah keluar dari komplek rumah Calista. Deru motor semakin terdengar ramai yang tak lain teman-teman Gavin mengikutinya dari belakang.

Sontak Calista terkejut setelah menoleh ke arah belakang, ia pikir deru motor di belakang adalah pasukan pawai orang-orang yang akan demo. Ternyata mereka adalah pasukan The Feared, gangster yang didirikan oleh Gavin Nathaniel.

Tangan Calista yang tadinya melingkar pada tubuh Gavin sekarang ia lepaskan. Refleks tangan Calista menepuk pundak Gavin, Gavin meminggirkan motornya terlebih dahulu. Karena ia pikir pacarnya menyuruh untuk berhenti.

"Itu anak buah kamu ngapain ngikut di belakang, Vin? Aku udah bilang gak usah bawa pasukan segala," tanya Calista sembari mendekatkan wajahnya ke samping telinga Gavin.

Kalo di jalan pacarnya itu akan tiba-tiba budeg.

"Mereka? Ngapain ikut di belakang? Ya mau sekolah baby ... kan, satu sekolah sama kita. Dan itu anak orang, kamu bisa stop gak panggil mereka anak buah aku?" jelas Gavin.

"Mereka temen-temen aku, Cal. Kamu pikir mereka lahir dari rahim mangga apa dibilang anak buah," lanjut Gavin.

"Gak gitu juga ... dahlah capek ngomong sama kamu," ucap Calista diakhiri helaan napas yang panjang.

...***...

Deru motor berhenti setelah motor Gavin sejajar dengan motor yang lainnya. Suasana di sekolah sudah cukup ramai tinggal tersisa 5 menit lagi bel masuk berbunyi. Calista melepaskan helmnya, lalu menyerahkan pada Gavin. Sudah menjadi kebiasaan Gavin dan teman-temannya sebelum masuk ke kelas mereka akan mengobrol terlebih dahulu di parkiran, sedangkan Calista ia memilih untuk pergi ke kelas saja.

"Masuk kelas Vin, awas kalo bolos! Jangan mentang-mentang udah pintar masuk kelas seenaknya," ucap Calista tegas.

"Iya ... ratu matematika ..." ujar Gavin meledek pacarnya itu yang selalu mendapatkan nilai matematika tertinggi.

"Hanya orang psikopat yang suka matematika," sahut Zaky sembari tertawa.

"HAHAHAHA!"

Alhasil semua teman-teman Gavin pun tertawa serentak. Calista hanya memutar bola matanya malas sudah jengah ia mendengar ledekan seperti itu di setiap hari. Gadis itu pun berjalan meninggalkan mereka.

Tinggal beberapa langkah lagi Calista sampai di kelas, tetapi setiap langkahnya Calista melihat pandangan orang-orang menatap dengan tatapan berbeda padanya. Tatapan itu terlihat seperti penuh kebencian padanya.

Tak ada bedanya di dalam kelas maupun di luar kelas, mereka semua memandang Calista dengan tatapan penuh kebencian. Hal itu membuat Calista bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Perasaan gadis itu sudah tidak enak mungkin ketakutannya selama ini akan terbongkar sekarang?

Calista berdiri sejenak di dekat papan tulis sembari melihat masing-masing raut wajah teman-temannya di kelas.

Kirey salah satu sahabat Calista, ia beranjak dari kursinya disusul oleh sahabatnya satu lagi yang bernama Ratu. Mereka berdua berjalan cepat ke arah Calista dengan raut wajah penuh kekesalan dan kebencian.

Plakk!

Tamparan cukup kencang mendarat di pipi Calista. Membuat Calista terdiam memegang pipinya yang memerah. Entah apa yang ada di pikiran mereka semua terhadap Calista, Calista benar-benar tidak paham. Mendengar obrolan orang-orang di dekat parkiran soal Calista membuat Gavin terdiam.

Tanpa bertanya yang lebih jelas hanya mendengar informasi soal Calista sekilas, Gavin segera bergegas pergi dari parkiran. Sepanjang koridor Gavin berlari tergesa-gesa hingga menabrak orang-orang di sekitarnya. Sesampainya di depan kelas, ia pun berhenti di ambang pintu menatap ke arah Calista.

"DASAR GILA!" bentak Kirey sembari mendorong tubuh Calista hingga tersungkur ke lantai.

Suasana di dalam kelas semakin memanas setelah teriakan Kirey yang sangat keras. Mendengar teriakan Kirey membuat murid yang berada di luar kelas pun segera menghampiri untuk sekedar melihat apa yang terjadi.

Gavin yang belum paham apa masalah Calista, ia hanya bisa terdiam memandangi kekasihnya untuk mencari kejelasan yang benar. Detik berikutnya Calista berusaha untuk berdiri kembali dengan jantung yang berdegup kencang, tubuhnya yang melemas dan tangannya bergetar.

"Bagaimana pun cara lo untuk bersembunyi dan bagaimana pun cara lo untuk menutupi semuanya. Percuma! Semua itu akan terbongkar!" bentak Kirey.

"Lo cewek gila yang gak punya otak! Lo gak pantas disebut manusia, bahkan lo gak pantas untuk disebut hewan juga!" ujar Ratu sembari menatap tajam.

"Tega-teganya lo bunuh sahabat sendiri! Di mana otak lo Calista?!" lanjut Ratu.

"Lo malah bilang kalo Hana dibunuh oleh maling! Tapi nyatanya lo pembunuhnya!" jelas Kirey penuh penekanan.

"Aaaaaa!" Calista berteriak sekencang-kencangnya sembari memegang kepalanya.

Kini semua telah terbongkar, semua telah diketahui. Calista tak bisa berkata apa-apa lagi untuk melindungi dirinya. Berita soal tentangnya sudah menyebar ke seluruh kelas, bahkan hingga guru pun tau.

Tak ada waktu lagi untuk berdiam diri kini Calista sungguh takut, benar-benar ketakutan. Dengan cepat ia berlari keluar kelas untuk meninggalkan sekolahnya.

"CALISTA!" teriak Gavin memanggilnya, laki-laki itu sontak akan berlari, tetapi Ratu menahan langkah Gavin.

"Lo udah gila! Masih mau lo kejar dia?! Lo udah dengar semuanya, kan? Pacar lo itu pembunuh, Gavin! Lo mau dibunuh juga sama Calista, hah?!" jelas Ratu seraya meninggikan suara.

...***...

Sudah beberapa jam Calista mengurung diri di rumah. Ia mematikan semua pencahayaan berharap tidak ada orang yang tau keberadaannya di dalam rumah. Hujan turun begitu deras membuyarkan keheningan suasana di rumah.

Kini Calista terduduk di pojok kamar sembari memeluk lututnya. Tak henti-hentinya air mata Calista mengalir dengan tatapan matanya yang kosong. Gadis itu tidak tau harus bagaimana lagi melanjutkan kehidupannya yang penuh air mata ini.

Bunuh diri.

Lagi dan lagi bisikan itu terdengar di telinganya. Bisikan yang selalu menghasut Calista untuk mengakhiri hidupnya. Hampir setiap hari Calista mendengar bisikan tersebut dan mati-matian ia melawan bisikkannya.

Bunuh diri.

Calista menggelengkan kepalanya cepat sembari memejamkan matanya. Ia berusaha melawan bisikan tersebut, tapi bisikan itu malah semakin kencang terdengarnya.

"ENGGAK!" teriak Calista sembari menutup rapat telinganya menggunakan kedua tangannya.

Bunuh diri.

"STOP, PLEASE!" teriak Calista.

Bunuh diri.

"PERGI!"

"PERGI!!!" Calista semakin berteriak histeris.

Sebisa dirinya Calista berusaha melawan bisikan itu yang memungkinkan jika ia tidak bisa melawan bisikkannya, Calista akan mengikuti bisikkan tersebut. Belakangan ini Calista merasakan hal aneh soal dirinya, dimana ia selalu merasa perubahan mood yang sangat drastis.

Rasa sedih yang berlebihan sampai-sampai rasa bahagia yang berlebihan ia rasakan juga belakangan ini. Calista merasa dirinya telah mengidap Bipolar.

Teriakan dan tangisan itu memenuhi ruangan kamar. Hingga beberapa menit kemudian akhirnya Calista tak mendengar bisikan itu lagi. Ia mulai membuka matanya dan menurunkan kedua tangannya dari telinga. Suara ketukan pintu dari luar terdengar hingga ke kamar. Akhirnya Calista bangkit dari duduknya dengan perlahan.

"Permisi."

'Ada orang gak sih di dalam? Gelap banget.'

Calista membuka sedikit tirai jendela sebelum membuka pintu. Calista bisa melihat di luar sana seorang wanita dengan blazer abu nya berdiri di depan pintu. Dengan rasa takut Calista membuka pintu secara perlahan, lalu ia terdiam menatap Belva yang sama tengah menatapnya juga. Calista sama sekali tidak mengenal siapa perempuan itu.

"Selamat sore. Saya Belva seorang psikiater. Kedatangan saya kemari saya ingin membantu kamu," ucap Belva di akhiri oleh senyuman.

Calista mengerutkan dahinya heran, ia bertanya-tanya siapa yang telah memanggil psikiater ini untuk datang ke rumahnya? Lalu siapa yang telah mengetahui bahwa dirinya mengidap bipolar?

"Siapa yang nyuruh kamu kesini?" tanya Calista.

"Mm ... seseorang," jawab Belva sembari tersenyum.

"Apa aku boleh masuk ke dalam rumah? Di luar sangat dingin. Nanti kita ngobrol di dalam saja," ajak Belva sembari menggandeng lengan Calista. Gadis itu pun mengangguk menyetujui ucapan Belva.

...***...

Hingga saat ini, Calista tidak tau siapa orang yang sudah menyuruh Belva untuk membantu dirinya sembuh dari Bipolar. Singkat cerita semua pengobatan yang diberikan Belva untuk Calista berjalan lancar. Saat ini pun keadaan mental Calista cukup membaik. Meskipun bisikan itu terkadang masih terdengar.

Bunuh diri.

"Aaaa! Enggak! Enggak!" teriak Calista sembari menutup telinganya rapat.

"Calista!" Belva menghampiri Calista yang tengah berteriak kencang. Ia memeluk tubuh Calista agar tenang.

"Gue gak mau bunuh diri! Stop!" teriak Calista.

"Tenang Calista tenang. Jangan dengar apapun itu. Tenangin diri kamu, ayo kamu pasti bisa," ucap Belva.

"Aaa!" teriak Calista.

"Kamu harus yakin kalo kamu bisa sembuh, Calista!" lanjut Belva.

...***...

Satu tahun telah Calista lalui dengan kesabaran yang luar biasa dan dengan dibantu oleh tekad yang kuat. Akhirnya Calista bisa membaik dari Bipolar. Ia sangat-sangat berterima kasih kepada Tuhan dan juga kepada Belva yang sudah membantu untuk dirinya sembuh. Dan kini Calista tidak merasa sendirian lagi, lantaran Belva tinggal bersamanya.

Di pagi hari, ia berdiri menatap cermin dengan senyuman yang terukir manis di bibirnya. "Oke," ucap Calista setelah memoles wajahnya.

Saat meraih tas di atas ranjang tiba-tiba ia teringat sesuatu yang membuatnya menghentikan langkah dan kembali menuju meja. Sebuah kacamata diraih olehnya, lalu ia pakai agar semua orang tak mengenali siapa dirinya. Rambut yang sejak dulu selalu tergerai panjang, kini Calista harus memotongnya menjadi pendek demi penyamarannya menjadi orang lain berhasil.

Di pagi hari ini ia kembali ke sekolah bukan sekolah baru, tetapi sekolah lamanya yang telah menyimpan berjuta kenangan bagi Calista. Setelah mengubah seluruh penampilannya dengan sempurna bahkan sampai identitasnya juga. Ia yakin teman-teman di sekolahnya tidak ada yang mengenalinya.

Kehidupan barunya sebagai Zeline Raveena dimulai.

"Selamat pagi anak-anak di kelas 11 IPA 2 hari ini kedatangan murid baru," ujar bu Riri.

"Silakan masuk," perintah bu Riri

Zeline menghela napasnya sejenak sebelum masuk ke dalam kelas. Ia berjalan perlahan-lahan dengan jantung yang berdegup kencang. Tibalah dirinya di depan, Zeline pun mengedarkan pandangannya ke setiap orang yang ada di kelas tersebut.

Rupanya tak ada yang berubah semua temannya masih itu saja. Zeline memberikan senyuman pada mereka. Penampilannya yang terlihat manis dengan rambut pendeknya, mampu menarik perhatian semua penghuni kelas tersebut.

"Perkenalkan nama aku–Zeline Raveena. Kalian bisa panggil aku dengan panggilan Ze. Semoga kita bisa berteman dengan baik," ujar Zeline yang diakhiri oleh senyuman.

"Hai Zeline!"

"Hai Ze ... selamat datang."

Seperti itulah respon mereka semua terhadap Zeline dan Zeline hanya memberikan senyuman. Bu Riri mempersilakan Zeline untuk duduk di kursi yang kosong. Di sana terdapat dua kursi yang kosong.

Tadinya Zeline akan duduk di paling pojok, tetapi mereka bilang kursi itu sudah terisi oleh murid yang tidak masuk hari ini. Zeline terpaksa duduk di dekat jendela posisi ke dua dari depan. Ternyata di depannya ada Kirey dan di sampingnya ada Ratu.

"Zeline, kalo butuh bantuan jangan sungkan-sungkan panggil gue, ya? Mulai hari ini kita teman," ujar Kirey sembari tersenyum.

Sikap Kirey dari dulu hingga sekarang tak ada yang berubah, ia masih menjadi Kirey yang ramah terhadap orang baru.

"Iya Ze, kalo butuh berita seputar sekolahan ini. Kita bisa ghibah bareng," lanjut Ratu dengan semangat.

"Oke, terima kasih," ucap Zeline sembari tersenyum.

Zeline mengedarkan pandangannya mencari seseorang yang sangat ia rindukan. Seseorang yang menjadi alasan untuk dirinya kembali bangkit dan kembali ke sekolah ini.

'Mereka semua masih bersama di sini, tapi orang yang gue rindukan–dimana dia?'

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!