"Cal?" Zeline sembari menunjuk dirinya sendiri, lalu ia mengernyitkan dahinya sembari menatap Gavin. Tak lama, Zeline pun mengeluarkan pertanyaan, "Cal apaan? Calsium?"
"Hei, gue Zeline. Call-me-Ze, paham?" ujar Zeline pada Gavin.
Gavin menarik kursi yang ada di samping, padangannya terus menatap wajah Zeline. Gadis itu sudah salah tingkah ditatap dalam-dalam oleh Gavin, ia berusaha menahan rasa bapernya dengan kembali menunduk menatap buku novel. Senyuman Gavin lontarkan, tangannya terulur ke atas kepala Zeline agar gadis itu mendongak.
"Gue gak bisa dibohongin Calista ... dari suara lo, wajah lo, gue tau kalo lo itu Calista," ujar Gavin.
Dengan segera Zeline menepis lengan Gavin yang berada di puncak kepalanya, lalu ia berkata, "Heh! Lo tau gak sih? Di dunia ini tuh kita punya tujuh kembaran. Ya wajar kalo–wajah gue mirip sama siapa tuh–Cal yang lo maksud."
"Begitu pun dengan suara. Kemarin tentangga gue waktu nyanyi suaranya sama kayak Judika tuh," lanjut Zeline.
Seketika Gavin pun menundukkan kepalanya setelah menyadari perkataan Zeline ada benarnya juga. Matanya seketika berkaca-kaca menahan buliran air mata yang hendak terjatuh. Entahlah Gavin pun tidak mengerti mengapa tanpa Calista, ia menjadi selemah ini.
Zeline yang melihat Gavin murung seperti itu membuat dirinya tak tega dan ingin mengatakan bahwa dirinya betul Calista, tetapi itu tidak mungkin. Sangat, sangat tidak mungkin untuk Zeline katakan sekarang. Yang bisa Zeline lakukan kini hanyalah mengusap pundak Gavin untuk memberikan ketenangan.
"Padahal gue berharap lo bilang iya, kalo lo itu Calista," ucap Gavin dengan lemas.
"T-tapi–gue emang bukan ... Calista. Emang berat mengikhlaskan seseorang itu, tapi lo kan udah punya Ratu. Terus ngapain lo masih berharap dia kembali?" tanya Zeline.
"Bagi gue lo salah, Gavin–"
"Lo gak pernah berpikir apa? Kalo sebenarnya orang itu di sana selalu rindu sama lo dan dia selalu berusaha agar bisa kembali temui lo lagi. Coba lo bayangin, pas dia kembali kesini terus dia lihat lo udah sama yang lain. Itu sakit rasanya," ujar Zeline.
Gavin mendongak menatap kembali Zeline, lalu ia bertanya, "Kok, lo kayak yang tau tentang gue sih?"
"Kemarin Kirey sama Ratu jelasin ke gue tentang lo," jawab Zeline sembari beranjak dari kursi.
Zeline tak mau terus diinterogasi oleh Gavin. Maka dari itu Zeline beranjak dari kursi untuk keluar kelas meninggalkan Gavin yang terlihat banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan.
Saat Zeline beranjak pergi, Gavin hanya bisa terdiam dengan pandangan mengikuti langkah Zeline. Di ambang pintu Zeline berhenti melangkah, ia melirik kembali ke arah Gavin yang sedang menatapnya.
"Saran dari gue, mending lo lupain orang itu–mungkin dia gak akan kembali lagi. Lo harus pikirkan orang yang sekarang bersama lo," ucap Zeline.
"Dan satu lagi, jangan pernah bermain dengan perasaan," lanjut Zeline sebelum melangkah keluar kelas.
Gavin menunduk sejenak dan tetesan air mata jatuh mengenai celana abu yang ia kenakan. Hingga detik berikutnya ia melirik ke arah jam tangannya, ia bangkit dari kursi sembari meraih jaket yang ia sampirkan pada punggung kursi.
Baru saja Gavin akan keluar kelas dan kedua temannya tiba di kelas dengan tatapan heran. Dengan sigap Gavin mengusap kedua matanya yang mungkin terlihat memerah.
"Tumben lo Vin, pagi gini udah datang biasanya jam sembilan," ucap Zaky.
"Biasa dia kan mau lihat–noh," sahut Elvaro sembari melirik ke arah kursi Zeline.
Untung saja kedua temannya itu tak menyadari bahwa Gavin baru saja menangis. "Gue mau jadi murid rajin sekarang. Udah gak usah banyak omong lo berdua," ucap Gavin sembari melanjutkan langkahnya.
"Terus mau kemana lagi? Jangan bilang lo ke kelas cuma lihat Zeline doang!" teriak Elvaro pada Gavin yang terus melangkah.
"Mau jemput Ratu dulu!" Sahut Gavin dari luar.
Ucapan Gavin barusan tidaklah tepat. Ia keluar dari lingkungan sekolah bukan untuk menjemput Ratu, tetapi cowok itu melajukan motornya ke arah komplek rumah Calista. Lagi dan lagi Gavin berhenti di depan rumah Calista hanya untuk memandangi rumah yang penuh kenangan itu.
Walaupun ia sudah tau jawabannya dari warga sekitar bahwa rumah itu sudah dihuni oleh orang baru, tetapi tetap saja Gavin selalu memantaunya hanya untuk memastikan.
'Harus kemana lagi gue cari lo, Cal ... informasi yang gue dapat gak ada satu pun yang menunjukkan kalo lo masih ada di sini, tapi hati gue yakin lo masih di sini. Selemah ini gue tanpa lo ....'
Dari dalam Belva memperhatikan Gavin yang berada di depan rumah melalui jendela. Hati Belva sangat tersentuh melihatnya, lantaran bukan sekali dua kali ia melihat Gavin yang menundukkan kepalanya di depan rumah. Ingin rasanya Belva menghampiri, tetapi Belva belum tau harus menjawab apa jika Gavin bertanya.
'Satu keberuntungan yang Calista miliki–memiliki laki-laki setulus Gavin.'
...***...
Di tengah jam pelajaran. Nampaknya semua murid mulai mengabaikan guru yang sedang menjelaskan materi di depan. Mereka semua memilih untuk menidurkan kepalanya di atas meja, dibanding memperhatikan pelajaran matematika yang bisa membuat otaknya meledak bagi mereka.
Akan tetapi, berbeda dengan Zeline, ia nampak sungguh-sungguh memahami rumus-rumus tersebut.
"Silakan catat materinya," ujar Pak Tano.
"Loh, saya baru sadar kalo ada Gavin di kelas. Seharusnya kelas kalian tuh selalu lengkap kayak gini setiap harinya baru kompak. Catat materinya, Vin," lanjut Pak Tano.
Gavin pun mengeluarkan buku catatan dan pulpennya, lalu ia berjalan sembari membawa kursi. Tepat di samping Zeline, Gavin terduduk dengan buku yang berada di atas meja Zeline.
Hal itu membuat Zeline mengernyit heran bagi Zeline tidak masalah Gavin ikut menulis di mejanya, tetapi Zeline merasa tidak enak pada Ratu.
"Lo ngapain disini?" tanya Zeline.
"Ikut doang galak amat sih lo!" ketus Gavin. Memang keterlaluan sudah ikut nulis ngegas lagi kurang ajar bangetkan jantan satu ini.
"Gak mau, gak mau, lo sana mending ah! Sempit tau, gue mau nulis susah," ucap Zeline sembari cemberut menatap Gavin. Yang benar saja meja untuk satu orang malah dipakai oleh dua orang pastinya sempit.
Bukannya pergi menuruti perintah Zeline, Gavin malah terus diam sembari menatap Zeline. Alhasil mereka berdua pun saling menatap begitu dalam. Ratu hanya terdiam memperhatikan mereka berdua dengan hati yang terus mengoceh kesal.
"Siap-siap El, lo harus turuti keinginan gue kalo sampai Gavin jadian sama Zeline," teriak Zaky dengan suara yang kencang membuat semua orang langsung menatap ke arah Gavin dan Zeline.
"Ck! Lo yang pergi atau gue yang pergi?!" bentak Zeline setelah melihat raut wajah Ratu yang tambah kesal.
"Ya udah iya." Gavin pun berjalan pergi dari meja Zeline sembari menggusur kursinya kembali ke semula dimana dirinya duduk.
Zeline menghela napas, lalu ia melanjutkan mencatat materinya. Perasaan Zeline tidak enak terhadap Ratu ia berpikir pasti Ratu kesal atas sikap Gavin seperti tadi. Ditambah penghuni kelas malah menyebut cocok jika Zeline bersama Gavin.
Jujur hati Zeline sebenarnya bahagia bisa melihat kembali Gavin, tetapi ia harus tetap menghindar untuk menjaga perasaan Ratu. Ia tak mau mendapatkan masalah lagi apalagi jika berurusan dengan Ratu dan posisi Zeline kini masih awal belajar di sekolah ini.
...***...
Seperti biasa Zeline, Kirey dan Ratu yang kini mereka resmi bersahabat pergi ke kantin bersama. Sepertinya Ratu tidak marah pada Zeline soal Gavin, dari tadi Ratu terus mengajak Zeline mengobrol sampai tak terasa telah tiba di depan kantin. Kirey menghentikan langkahnya sembari memegang perut.
"Kenapa?" tanya Zeline dan Ratu serentak.
"Duh, perut gue mulas gini. Kalian duluan aja ke kantin nanti gue nyusul," Kirey segera berlari terbirit-birit menuju toilet.
Zeline dan Ratu pun memutuskan untuk masuk ke kantin sebelum kantin tersebut penuh. Bisa-bisa mereka tidak akan kebagian kursi untuk duduk. Di paling pojok terlihat kumpulan anak The Feared, tengah bernyanyi menghibur suasana di kantin dengan diiringi genjrengan gitar yang dimainkan oleh Gavin.
"Kayaknya novel yang lo beli seru banget deh, gue jadi pengen baca ..." ucap Ratu.
"Nanti gue kasih pinjam kalo udah selesai baca. Semalam gue baru baca sampai setengahnya sih," ujar Zeline.
Gavin menghentikan genjrengan gitarnya. Teman-temannya pun ikut menghentikan suara bernyanyinya. Ia bangkit dari kursi, lalu berlari menghampiri meja di mana Zeline dan Ratu duduk. "Gue tuh kesal banget sama cowoknya yang gak peka-peka. Kalo gue jadi ceweknya bakalan gue tam–"
"Nih." Gavin menyodorkan sebuah sandwich tepat di hadapan Zeline.
Zeline mendongak menatap ke arah Gavin, sembari mengangkat satu alisnya seolah bertanya sandwich ini untuk siapa. Gavin duduk di samping Zeline sembari membukakan bungkus sandwich tersebut.
"Dimakan ya," pinta Gavin sembari memberikan sandwich pada Zeline.
"Oh, buat Ratu? Nih Ra–"
Gavin menggeleng cepat dan menghentikan tangan Zeline yang hendak memberikan sandwich itu pada Ratu. "Buat lo, gue sengaja beli," jelas Gavin.
"Lo ngapain ngasih buat gue? Buat Ratu dong seharusnya," ucap Zeline sembari memberikan sandwichnya.
"Gak apa-apa buat lo aja lagian Gavin ngasih buat lo bukan buat gue. Jadi, dimakan aja gak baik loh nolak pemberian dari orang," ujar Ratu sembari tersenyum.
"Lagian pacar gue emang gitu. Terlalu baik orangnya. Jadi ya gitu ke setiap orang. Ya, kan, sayang?" tanya Ratu pada Gavin.
Gavin mengangguk sembari tersenyum, "Nah, ini baru cewek gue, udah cantik baik lagi."
Zeline hanya tersenyum tipis sembari memakan sandwich pemberian Gavin tersebut. Di dalam hatinya ia berkata, 'Iya, lo bilang Ratu baik, tapi lo gak tau isi hati Ratu gimana.'
...***...
Zeline berjalan menyusuri komplek dengan langkah yang lesu. Ia merasa sekarang dirinya sering merasa lemas tidak sekuat dulu, perubahan moodnya pun cepat berubah-ubah dan terkadang Zeline kesulitan mengatasinya. Saat ia berjalan tiba-tiba mendengar suara pukulan-pukulan yang ramai.
Hal itu membuat Zeline menghentikan langkahnya untuk mengedarkan pandangan mencari sumber suara tersebut. Ternyata tak jauh dari hadapannya cowok yang sedang berkelahi ramai-ramai. Zeline melihat beberapa orang yang memakai seragam yang sama dengannya.
'Gavin?'
Bukannya menghindar Zeline malah berlari menghampiri mereka. Sampai-sampai Zeline menarik jaket salah satu cowok yang sedang berusaha menyerang Gavin. Alhasil cowok itu menoleh menatap Zeline.
"Lo siapa?!"
"Zeline! Pergi Ze!" teriak Gavin.
Akan tetapi Zeline terdiam menatap cowok itu dengan senyuman yang seolah menantang, padahal Gavin dan teman-temannya khawatir jika cowok itu melukai Zeline.
"Lo gak tau ya, kekuatan cewek kalo lagi PMS?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments