NovelToon NovelToon

Rainbow In July

Awal

Suasana di rumah sangat sepi hanya ada Calista sendirian. Cahaya matahari yang selalu bersinar terang tak sama seperti raut wajah Calista akhir-akhir ini. Ia berdiri menatap dirinya dalam cermin.

Air mata yang menggenang di pelupuk mata tak lama mengalir begitu saja membasahi pipinya. Jantungnya berdegup kencang saat pandangannya menatap ke arah foto keluarga kecilnya dan foto bersama sahabatnya yang ditempel di dinding.

"Mulai sekarang kita resmi bercerai! Tapi aku gak mau bawa Calista. Anda saja yang urus dia!" seru Gania dengan amarah yang memuncak.

"Ma, aku ikut Mama, ya?" Calista menatap wajah Gania dengan buliran-buliran air mata yang menggenang di pelupuk matanya.

"Kamu itu ibunya! Ya, bawa saja Calista sama kamu!" bentak Tedy sembari melotot menatap Gania.

Mendengar ucapan kedua orang tuanya jelas membuat hati Calista sangat sakit. Ditambah ia bingung harus tinggal bersama siapa. "Pa, aku ikut Papa aja, ya?" ucap Calista dengan wajah yang sangat memelas agar salah satu mereka mau membawanya.

"SUDAH CUKUP!"

"Calista, kamu ikut Oma saja. Jadi orang tua gak ada tanggung jawabnya kalian berdua!" bentak Feni selaku oma Calista sembari memeluk gadis tersebut.

Calista kembali teringat soal penceraian kedua orang tuanya dulu. Di mana dirinya baru menduduki bangku SMA kelas satu. Tidak ada kata harmonis di dalam keluarganya. Bahkan, di setiap hari pun Calista harus menutup telinga dan menahan air mata ketika mendengar bentakkan demi bentakkan papa dan teriakan demi teriakan mama.

Terkadang Calista iri melihat temannya yang memiliki keluarga harmonis. Yang selalu tenang saat berada di rumah dan pesta ulang tahun yang selalu dirayakan bersama keluarga. Berbeda dengan Calista, rumah adalah tempat dimana tumbuhnya goresan-goresan luka dan meniup lilin sendirian adalah caranya merayakan pesta ulang tahun.

Sesudah penceraian orang tuanya, keluarga Calista terpecah belah. Entah kemana perginya papa dan entah kemana mama pergi. Selama itu ia tinggal berdua bersama oma. Kini Calista merasakan ketenangan dimana dirinya tidak harus menutup telinga lagi.

Gadis itu berpikir tangisannya telah berakhir, tetapi ternyata dugaan Calista salah–tangisannya belum berakhir. Bulan berikutnya, oma pergi meninggalkan Calista sendirian untuk selamanya.

"OMA!"

"OMA BANGUN OMA! JANGAN TINGGALIN CALISTA SENDIRIAN OMA ...."

"AARGHH!" teriak Calista.

Prakk!

Calista berhasil memecahkan cermin yang ada di hadapannya oleh tangannya sendiri alhasil darah pun bercucuran ke lantai. Sering kali setiap Calista mengingat kejadian 2 bulan ke belakang itu, ia akan berteriak histeris.

Terkadang ia akan memecahkan benda apa pun yang ada di hadapannya, tetapi tidak lama emosinya stabil kembali raut wajahnya pun kembali ceria. Calista berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan lukanya dengan cepat. Sebelum kekasihnya tiba di depan rumah untuk pergi ke sekolah bersama.

Deru motor berhenti di depan rumah Calista. Pandangan laki-laki yang memakai jaket hitam itu mengarah ke arah jendela rumah, berharap seseorang yang ditunggunya segera menghampirinya.

Gavin terduduk di atas motor dengan tangan yang mengetik layar ponsel. Baru saja Gavin akan memberi tau Calista bahwa dirinya sudah di depan rumah, tetapi ternyata kekasihnya itu sudah ada di sampingnya sembari mengintip Gavin yang sedang mengetik pesan.

"Lagi chatting siapa, Vin?"

Sontak Gavin menoleh ke sumber suara. "Eh Cal, kaget gue kira masih di dalam," ucap Gavin yang langsung mendapatkan senyuman dari Calista.

"Selamat pagi my pacar ..." ujar Calista semangat.

"Pagi cantik ... loh, tumben rambutnya diurai?" Gavin menyelipkan rambut panjang Calista ke belakang telinganya.

"Hem ... lagi pengen aja. Kenapa, jelek ya?" tanya Calista sembari menatap Gavin.

Gavin pun tersenyum seraya menggelengkan kepalanya, lalu ia berkata, "Cantik! Mau bagaimana pun kamu tetap cantik di mata aku, Cal."

Calista pikir Gavin ke rumahnya hanya sendirian, tetapi ternyata setelah keluar dari komplek rumah Calista. Deru motor semakin terdengar ramai yang tak lain teman-teman Gavin mengikutinya dari belakang.

Sontak Calista terkejut setelah menoleh ke arah belakang, ia pikir deru motor di belakang adalah pasukan pawai orang-orang yang akan demo. Ternyata mereka adalah pasukan The Feared, gangster yang didirikan oleh Gavin Nathaniel.

Tangan Calista yang tadinya melingkar pada tubuh Gavin sekarang ia lepaskan. Refleks tangan Calista menepuk pundak Gavin, Gavin meminggirkan motornya terlebih dahulu. Karena ia pikir pacarnya menyuruh untuk berhenti.

"Itu anak buah kamu ngapain ngikut di belakang, Vin? Aku udah bilang gak usah bawa pasukan segala," tanya Calista sembari mendekatkan wajahnya ke samping telinga Gavin.

Kalo di jalan pacarnya itu akan tiba-tiba budeg.

"Mereka? Ngapain ikut di belakang? Ya mau sekolah baby ... kan, satu sekolah sama kita. Dan itu anak orang, kamu bisa stop gak panggil mereka anak buah aku?" jelas Gavin.

"Mereka temen-temen aku, Cal. Kamu pikir mereka lahir dari rahim mangga apa dibilang anak buah," lanjut Gavin.

"Gak gitu juga ... dahlah capek ngomong sama kamu," ucap Calista diakhiri helaan napas yang panjang.

...***...

Deru motor berhenti setelah motor Gavin sejajar dengan motor yang lainnya. Suasana di sekolah sudah cukup ramai tinggal tersisa 5 menit lagi bel masuk berbunyi. Calista melepaskan helmnya, lalu menyerahkan pada Gavin. Sudah menjadi kebiasaan Gavin dan teman-temannya sebelum masuk ke kelas mereka akan mengobrol terlebih dahulu di parkiran, sedangkan Calista ia memilih untuk pergi ke kelas saja.

"Masuk kelas Vin, awas kalo bolos! Jangan mentang-mentang udah pintar masuk kelas seenaknya," ucap Calista tegas.

"Iya ... ratu matematika ..." ujar Gavin meledek pacarnya itu yang selalu mendapatkan nilai matematika tertinggi.

"Hanya orang psikopat yang suka matematika," sahut Zaky sembari tertawa.

"HAHAHAHA!"

Alhasil semua teman-teman Gavin pun tertawa serentak. Calista hanya memutar bola matanya malas sudah jengah ia mendengar ledekan seperti itu di setiap hari. Gadis itu pun berjalan meninggalkan mereka.

Tinggal beberapa langkah lagi Calista sampai di kelas, tetapi setiap langkahnya Calista melihat pandangan orang-orang menatap dengan tatapan berbeda padanya. Tatapan itu terlihat seperti penuh kebencian padanya.

Tak ada bedanya di dalam kelas maupun di luar kelas, mereka semua memandang Calista dengan tatapan penuh kebencian. Hal itu membuat Calista bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Perasaan gadis itu sudah tidak enak mungkin ketakutannya selama ini akan terbongkar sekarang?

Calista berdiri sejenak di dekat papan tulis sembari melihat masing-masing raut wajah teman-temannya di kelas.

Kirey salah satu sahabat Calista, ia beranjak dari kursinya disusul oleh sahabatnya satu lagi yang bernama Ratu. Mereka berdua berjalan cepat ke arah Calista dengan raut wajah penuh kekesalan dan kebencian.

Plakk!

Tamparan cukup kencang mendarat di pipi Calista. Membuat Calista terdiam memegang pipinya yang memerah. Entah apa yang ada di pikiran mereka semua terhadap Calista, Calista benar-benar tidak paham. Mendengar obrolan orang-orang di dekat parkiran soal Calista membuat Gavin terdiam.

Tanpa bertanya yang lebih jelas hanya mendengar informasi soal Calista sekilas, Gavin segera bergegas pergi dari parkiran. Sepanjang koridor Gavin berlari tergesa-gesa hingga menabrak orang-orang di sekitarnya. Sesampainya di depan kelas, ia pun berhenti di ambang pintu menatap ke arah Calista.

"DASAR GILA!" bentak Kirey sembari mendorong tubuh Calista hingga tersungkur ke lantai.

Suasana di dalam kelas semakin memanas setelah teriakan Kirey yang sangat keras. Mendengar teriakan Kirey membuat murid yang berada di luar kelas pun segera menghampiri untuk sekedar melihat apa yang terjadi.

Gavin yang belum paham apa masalah Calista, ia hanya bisa terdiam memandangi kekasihnya untuk mencari kejelasan yang benar. Detik berikutnya Calista berusaha untuk berdiri kembali dengan jantung yang berdegup kencang, tubuhnya yang melemas dan tangannya bergetar.

"Bagaimana pun cara lo untuk bersembunyi dan bagaimana pun cara lo untuk menutupi semuanya. Percuma! Semua itu akan terbongkar!" bentak Kirey.

"Lo cewek gila yang gak punya otak! Lo gak pantas disebut manusia, bahkan lo gak pantas untuk disebut hewan juga!" ujar Ratu sembari menatap tajam.

"Tega-teganya lo bunuh sahabat sendiri! Di mana otak lo Calista?!" lanjut Ratu.

"Lo malah bilang kalo Hana dibunuh oleh maling! Tapi nyatanya lo pembunuhnya!" jelas Kirey penuh penekanan.

"Aaaaaa!" Calista berteriak sekencang-kencangnya sembari memegang kepalanya.

Kini semua telah terbongkar, semua telah diketahui. Calista tak bisa berkata apa-apa lagi untuk melindungi dirinya. Berita soal tentangnya sudah menyebar ke seluruh kelas, bahkan hingga guru pun tau.

Tak ada waktu lagi untuk berdiam diri kini Calista sungguh takut, benar-benar ketakutan. Dengan cepat ia berlari keluar kelas untuk meninggalkan sekolahnya.

"CALISTA!" teriak Gavin memanggilnya, laki-laki itu sontak akan berlari, tetapi Ratu menahan langkah Gavin.

"Lo udah gila! Masih mau lo kejar dia?! Lo udah dengar semuanya, kan? Pacar lo itu pembunuh, Gavin! Lo mau dibunuh juga sama Calista, hah?!" jelas Ratu seraya meninggikan suara.

...***...

Sudah beberapa jam Calista mengurung diri di rumah. Ia mematikan semua pencahayaan berharap tidak ada orang yang tau keberadaannya di dalam rumah. Hujan turun begitu deras membuyarkan keheningan suasana di rumah.

Kini Calista terduduk di pojok kamar sembari memeluk lututnya. Tak henti-hentinya air mata Calista mengalir dengan tatapan matanya yang kosong. Gadis itu tidak tau harus bagaimana lagi melanjutkan kehidupannya yang penuh air mata ini.

Bunuh diri.

Lagi dan lagi bisikan itu terdengar di telinganya. Bisikan yang selalu menghasut Calista untuk mengakhiri hidupnya. Hampir setiap hari Calista mendengar bisikan tersebut dan mati-matian ia melawan bisikkannya.

Bunuh diri.

Calista menggelengkan kepalanya cepat sembari memejamkan matanya. Ia berusaha melawan bisikan tersebut, tapi bisikan itu malah semakin kencang terdengarnya.

"ENGGAK!" teriak Calista sembari menutup rapat telinganya menggunakan kedua tangannya.

Bunuh diri.

"STOP, PLEASE!" teriak Calista.

Bunuh diri.

"PERGI!"

"PERGI!!!" Calista semakin berteriak histeris.

Sebisa dirinya Calista berusaha melawan bisikan itu yang memungkinkan jika ia tidak bisa melawan bisikkannya, Calista akan mengikuti bisikkan tersebut. Belakangan ini Calista merasakan hal aneh soal dirinya, dimana ia selalu merasa perubahan mood yang sangat drastis.

Rasa sedih yang berlebihan sampai-sampai rasa bahagia yang berlebihan ia rasakan juga belakangan ini. Calista merasa dirinya telah mengidap Bipolar.

Teriakan dan tangisan itu memenuhi ruangan kamar. Hingga beberapa menit kemudian akhirnya Calista tak mendengar bisikan itu lagi. Ia mulai membuka matanya dan menurunkan kedua tangannya dari telinga. Suara ketukan pintu dari luar terdengar hingga ke kamar. Akhirnya Calista bangkit dari duduknya dengan perlahan.

"Permisi."

'Ada orang gak sih di dalam? Gelap banget.'

Calista membuka sedikit tirai jendela sebelum membuka pintu. Calista bisa melihat di luar sana seorang wanita dengan blazer abu nya berdiri di depan pintu. Dengan rasa takut Calista membuka pintu secara perlahan, lalu ia terdiam menatap Belva yang sama tengah menatapnya juga. Calista sama sekali tidak mengenal siapa perempuan itu.

"Selamat sore. Saya Belva seorang psikiater. Kedatangan saya kemari saya ingin membantu kamu," ucap Belva di akhiri oleh senyuman.

Calista mengerutkan dahinya heran, ia bertanya-tanya siapa yang telah memanggil psikiater ini untuk datang ke rumahnya? Lalu siapa yang telah mengetahui bahwa dirinya mengidap bipolar?

"Siapa yang nyuruh kamu kesini?" tanya Calista.

"Mm ... seseorang," jawab Belva sembari tersenyum.

"Apa aku boleh masuk ke dalam rumah? Di luar sangat dingin. Nanti kita ngobrol di dalam saja," ajak Belva sembari menggandeng lengan Calista. Gadis itu pun mengangguk menyetujui ucapan Belva.

...***...

Hingga saat ini, Calista tidak tau siapa orang yang sudah menyuruh Belva untuk membantu dirinya sembuh dari Bipolar. Singkat cerita semua pengobatan yang diberikan Belva untuk Calista berjalan lancar. Saat ini pun keadaan mental Calista cukup membaik. Meskipun bisikan itu terkadang masih terdengar.

Bunuh diri.

"Aaaa! Enggak! Enggak!" teriak Calista sembari menutup telinganya rapat.

"Calista!" Belva menghampiri Calista yang tengah berteriak kencang. Ia memeluk tubuh Calista agar tenang.

"Gue gak mau bunuh diri! Stop!" teriak Calista.

"Tenang Calista tenang. Jangan dengar apapun itu. Tenangin diri kamu, ayo kamu pasti bisa," ucap Belva.

"Aaa!" teriak Calista.

"Kamu harus yakin kalo kamu bisa sembuh, Calista!" lanjut Belva.

...***...

Satu tahun telah Calista lalui dengan kesabaran yang luar biasa dan dengan dibantu oleh tekad yang kuat. Akhirnya Calista bisa membaik dari Bipolar. Ia sangat-sangat berterima kasih kepada Tuhan dan juga kepada Belva yang sudah membantu untuk dirinya sembuh. Dan kini Calista tidak merasa sendirian lagi, lantaran Belva tinggal bersamanya.

Di pagi hari, ia berdiri menatap cermin dengan senyuman yang terukir manis di bibirnya. "Oke," ucap Calista setelah memoles wajahnya.

Saat meraih tas di atas ranjang tiba-tiba ia teringat sesuatu yang membuatnya menghentikan langkah dan kembali menuju meja. Sebuah kacamata diraih olehnya, lalu ia pakai agar semua orang tak mengenali siapa dirinya. Rambut yang sejak dulu selalu tergerai panjang, kini Calista harus memotongnya menjadi pendek demi penyamarannya menjadi orang lain berhasil.

Di pagi hari ini ia kembali ke sekolah bukan sekolah baru, tetapi sekolah lamanya yang telah menyimpan berjuta kenangan bagi Calista. Setelah mengubah seluruh penampilannya dengan sempurna bahkan sampai identitasnya juga. Ia yakin teman-teman di sekolahnya tidak ada yang mengenalinya.

Kehidupan barunya sebagai Zeline Raveena dimulai.

"Selamat pagi anak-anak di kelas 11 IPA 2 hari ini kedatangan murid baru," ujar bu Riri.

"Silakan masuk," perintah bu Riri

Zeline menghela napasnya sejenak sebelum masuk ke dalam kelas. Ia berjalan perlahan-lahan dengan jantung yang berdegup kencang. Tibalah dirinya di depan, Zeline pun mengedarkan pandangannya ke setiap orang yang ada di kelas tersebut.

Rupanya tak ada yang berubah semua temannya masih itu saja. Zeline memberikan senyuman pada mereka. Penampilannya yang terlihat manis dengan rambut pendeknya, mampu menarik perhatian semua penghuni kelas tersebut.

"Perkenalkan nama aku–Zeline Raveena. Kalian bisa panggil aku dengan panggilan Ze. Semoga kita bisa berteman dengan baik," ujar Zeline yang diakhiri oleh senyuman.

"Hai Zeline!"

"Hai Ze ... selamat datang."

Seperti itulah respon mereka semua terhadap Zeline dan Zeline hanya memberikan senyuman. Bu Riri mempersilakan Zeline untuk duduk di kursi yang kosong. Di sana terdapat dua kursi yang kosong.

Tadinya Zeline akan duduk di paling pojok, tetapi mereka bilang kursi itu sudah terisi oleh murid yang tidak masuk hari ini. Zeline terpaksa duduk di dekat jendela posisi ke dua dari depan. Ternyata di depannya ada Kirey dan di sampingnya ada Ratu.

"Zeline, kalo butuh bantuan jangan sungkan-sungkan panggil gue, ya? Mulai hari ini kita teman," ujar Kirey sembari tersenyum.

Sikap Kirey dari dulu hingga sekarang tak ada yang berubah, ia masih menjadi Kirey yang ramah terhadap orang baru.

"Iya Ze, kalo butuh berita seputar sekolahan ini. Kita bisa ghibah bareng," lanjut Ratu dengan semangat.

"Oke, terima kasih," ucap Zeline sembari tersenyum.

Zeline mengedarkan pandangannya mencari seseorang yang sangat ia rindukan. Seseorang yang menjadi alasan untuk dirinya kembali bangkit dan kembali ke sekolah ini.

'Mereka semua masih bersama di sini, tapi orang yang gue rindukan–dimana dia?'

2. Ternyata salah

Jam pelajaran pertama telah selesai dan semua murid berhamburan keluar kelas untuk mengisi perutnya. Zeline baru saja selesai mencatat materi yang ada di papan tulis.

Kini ia menutup lembaran bukunya dan menyimpan buku tersebut ke dalam laci meja. Di dalam kelas hanya ada beberapa orang saja yang tidak keluar kelas. Rata-rata dari mereka sudah membawa bekal makanan dari rumahnya.

"Ze, ikut kita ke kantin, yuk!" ajak Kirey sembari menoleh ke belakang.

"Yuk!" jawab Zeline sembari beranjak dari kursinya.

Kirey dan Ratu pun ikut bangkit dari tempat duduk. Mereka bertiga segera keluar kelas bersama menuju kantin sembari melewati koridor-koridor sekolah dan diselingi oleh obrolan.

Pandangan semua orang melihat ke arah Zeline, kini Zeline menjadi pusat perhatian. Walaupun hal seperti ini sudah pernah Zeline alami sebelumnya, tetapi tetap saja ia merasa sedikit risih.

"Oh iya, gue mau nanya dong. Kalo boleh tau yang duduk paling pojok siapa? Katanya hari ini dia gak masuk ya?" tanya Zeline penasaran.

"Oh ... dia namanya Gavin. Hari ini dia gak masuk. Karena, ya emang gitu sih dia punya julukan sebagai raja bolos. Ya, kan, Ra?" jawab Kirey sembari bertanya kembali pada Ratu. Ratu hanya memanggut-manggut karena jawaban Kirey benar.

"Awalnya dia anak pintar di kelas. Walaupun dia emang ketua gangster dari dulu, tapi dulu dia gak seberandal sekarang," lanjut Kirey.

Ratu pun melanjutkan penjelasan Kirey agar Zeline mengerti, "Dia berandal semenjak pacarnya pergi entah kemana."

"Gue harap sih, mantannya Gavin itu ditelan bumi aja gak usah balik lagi. Semenjak itu nilai Gavin berubah drastis begitu pun dengan sikapnya," ucap Ratu.

"Mantan Gavin? Calista? Lo masih ingat dia, Ra?" tanya Kirey.

"Ck! Ingat dong yakali gue lupa. Pokoknya gak akan pernah gue maafin cewek sinting gak punya otak itu! Awas aja kalo dia datang lagi, apalagi sampai rebut Gavin yang udah jadi milik gue sekarang," ujar Ratu.

Deg!

Jantung Zeline seketika berhenti sebentar setelah Ratu berkata seperti itu. Bukan soal Ratu yang membicarakan dirinya, tetapi soal Ratu yang berkata Gavin miliknya sekarang.

Sontak tangan Zeline mengepal kuat sebisa dirinya ia menahan emosi yang hampir meluap. Kalo saja ia tidak sedang menyamar mungkin mereka sudah habis ditampar Zeline.

'Jadi, Gavin sekarang milik Ratu? Gue kira Gavin masih berharap gue kembali dan selalu menunggu gue kembali. Ternyata dugaan gue salah.'

'Dan tanpa kalian ketahui, gue punya alasan membunuh Hana.'

"Ra ... Ra, gue gak habis pikir deh, bisa-bisanya lo mau pacaran sama cowok berandalan kayak Gavin. Cari pacar tuh yang baik kek," ucap Kirey sembari menatap Ratu dari samping.

Ratu menghela napasnya, lalu ia menjawab, "Gue gak masalahin nakalnya Gavin, Key. Gue cuma pengen buktiin ke dia kalo perginya Calista bukan berarti dunia beserta kebahagiaan dia berhenti."

"Emangnya cewek sinting itu doang yang bisa bikin Gavin bahagia? Gue juga bisalah," cibir Ratu dengan penuh percaya diri.

"Tapi ya, ada gak enaknya juga sih setelah gue pacaran sama Gavin. Gue jadi lebih sering overthinking. Takut kalo misal Calista kembali, terus Gavin balik lagi ke dia," lanjut Ratu.

"Iya itu pasti bakalan terjadi, Ra. Orang lama yang bakal jadi pemenangnya," sahut Kirey.

Ratu menghentikan langkahnya, lalu ia menoleh ke arah Kirey dengan raut wajah cemberut–kesal. Kirey dan Zeline pun ikut menghentikan langkahnya serentak dengan tatapan menatap ke arah Ratu.

"Bisa gak Key, kasih doa yang baik-baik aja buat hubungan gue sama Gavin. Malah kayak gitu!" ketus Ratu sembari memutar bola matanya.

Kirey pun tersenyum sembari merangkul pundak Ratu dan Zeline secara bersamaan, lalu ia berkata maaf pada sahabat itu. Sedangkan Zeline, ia hanya bisa terdiam mendengar ucapan-ucapan menyakitkan tentangnya.

Yang bisa Zeline lakukan sekarang adalah menahan emosi demi bisa melanjutkan kehidupanya. Tak terasa mereka tiba di kantin Zeline dan Kirey mencari tempat duduk yang nyaman, sedangkang Ratu ia mengantri untuk memesan makanannya.

"Ssttt! Itu anak baru ya? Cantik bener," bisik Zaky pada temannya sembari melihat ke arah Zeline.

"Yoi bro, anak bau," jawab Elvaro.

"Baru tolol!" sahut Zaky sembari menoyor kepala Elvaro.

Laki-laki yang tengah menyantap keripik singkong itu tersenyum miring dengan pandangan yang tak lepas dari Zeline. "Siap-siap aja kalo Gavin ke sekolah jadi santapan Gavin tuh."

"Mana mungkin, Ky. Si Gavin udah jadi sadboy. Ya kali jadi buaya lagi. Udah tobat dia," sahut Elvaro.

"Kita taruhan aja deh, gimana?" tanya Zaky.

"Ayo! Kalo sampai Gavin gak oleng ke Zeline. Saham perusahaan papi lo jadi milik gue," pinta Elvaro.

"Ngotak dikit bagong permintaannya!" ketus Zaky kesal sembari melempar keripik singkong ke arah Elvaro.

"Ya elah ... yauda deh, lo harus beliin apapun yang gue pengen," pinta Elvaro.

"Oke! Kalo Gavin oleng ke Zeline, lo harus turunin berat badan lo sampai 8 kg dalam seminggu! Karena badan lo membahayakan dunia!" sahut Zaky.

"Deal?" tanya Zaky sembari mengulurkan tangannya .

Elvaro pun membalas uluran tangan tersebut sembari berkata, "DEAL!"

Hanya masalah Zeline dan Gavin mereka pun sampai taruhan seperti itu. Bagi Zaky membelikan apapun yang diinginkan oleh Elvaro adalah hal mudah bagi anak sultan satu ini, tapi bagi Elvaro menurunkan berat badan hal paling sulit karena, ia tidak bisa berhenti untuk makan.

Sadar diperhatikan Zeline langsung menunduk, ia takut mereka berdua mengetahui samarannya. Hal itu tidak diperhatikan oleh Kirey, tetapi Ratu yang memperhatikannya saat Ratu menyimpan beberapa makanan yang ada di tangannya ke atas meja.

"Kenapa, Ze?" tanya Ratu sembari menarik kursi untuk duduk.

"E-enggak, gue gak apa-apa. Makasih ya, udah dipesenin makanannya," ujar Zeline sembari menarik mangkuk berisi baso tahu miliknya.

...***...

Sepulang sekolah mereka–The Feared datang ke basecamp tempat di mana Gavin berada. Mereka semua membangunkan Gavin yang sedang tertidur lelap dengan ponsel yang berada di atas dadanya. Semalaman Gavin tidur di basecamp karena baginya basecamp adalah tempat ternyaman untuk menenangkan diri dibanding rumahnya sendiri.

"Gue pengen lo yang dulu Vin, sekarang lo kelihatan banget lemahnya. Gimana kita mau dibilang gangster yang ditakuti kalo ketuanya lesu gak ada tujuan hidup kek gini," ucap Elvaro sembari menatap ke arah Gavin.

Hanya Elvaro yang berani berbicara seperti itu pada Gavin, sebab ia sangat dekat dengannya ditambah Gavin adalah tetangga sebelahnya. Gavin yang sedang merebahkan tubuh di sofa langsung menegak, menatap Elvaro.

"Lo kenapa jadi gini, Vin?" tanya Andrian.

Terdengar helaan napas yang lesu dari diri Gavin, ia pun hanya berkata, "Gue gak apa-apa."

Calandra tertawa hambar, lalu ia berkata, "Gak apa-apa gimana, bro! Raut wajah lo gak bisa bohong. Gue tau nih lo kenapa, lo masih gak bisa lupain Calista, kan? Si cewek gila itu!"

"CALISTA GAK GILA BANGSAT!" bentak Gavin dengan tatapan tajam.

"Dia gila, Vin! Lo bego atau gimana sih, hah?!" tanya Calandra.

"KURANG AJAR LO!" Gavin beranjak dari kursi, dengan sigap Gavin menarik kerah seragam Calandra.

"Gavin, Gavin stop!" ucap Andrian mencoba menahan Gavin dibantu oleh yang lainnya juga.

"TAU APA LO SOAL CALISTA SIALAN?! SAMPAI-SAMPAI LO BILANG DIA GILA!" tanya Gavin.

"Gue punya otak, Vin! Kalo emang dia gak gila, Hana gak mungkin mati di tangan dia!" jelas Calandra dengan tegas.

"SEKALI LAGI LO NGOMONG CALISTA GILA, LO HABIS–"

"CEWEK KESAYANGAN LO ITU GILA GAVIN!"

Bugh!

"STOP WOI, STOP!" teriak Elvaro sembari menarik Gavin agar berhenti memukuli Calandra.

"MINTA MATI HARI INI LO BANGSAT!" bentak Gavin sembari terus berusaha menarik kerah seragam Calandra.

"Gavin, stop Vin, tahan emosi lo, udah!" ucap Andrian yang terus berusaha menjauhkan Calandra dari Gavin.

Entah seberapa besarnya rasa cinta Gavin pada Calista, hingga ia tidak ingin mendengar siapapun yang mengatakan hal buruk soal Calista. Dan Gavin pun tidak akan pernah membiarkan orang yang sudah mengatakan hal buruk soal Calista, tetap baik-baik saja kehidupannya.

Meskipun hatinya telah terisi oleh Ratu, rasa cintanya terhadap Calista mungkin tidak akan bisa berubah.

"Sorry, Vin," ucap Calandra setelah beberapa jam mereka bertengkar.

Gavin hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban dari ucapan Calandra barusan, "Gue gak suka kalo sikap lo kayak gini, Dra. Di saat dunia gue lagi berantakan, lo bukan support, tapi malah bikin gue emosi," jelas Gavin.

"Ya sorry, Vin. Gue kesal lihat lo jadi kayak gini," ucap Calandra.

"Pemilihan ketua OSIS kapan?" tanya Gavin pada Calandra.

"Tadi, dan gue kepilih sebagai ketua OSIS nya," jawab Calandra.

Gavin menganggukkan kepalanya, lalu berkata, "Congrats atas kepilihnya lo sebagai ketua OSIS. Sebelumnya gue minta maaf bukan karena emosi gue tadi, tapi gue gak mau sekolah kita terpandang buruk oleh orang-orang kalo mereka tau ketua OSIS nya bagian dari anggota gangster."

"Jadi gue minta, lo gak usah kumpul lagi bersama The Feared mulai hari ini. Lo harus fokus sama tugas lo sebagai ketua OSIS," lanjut Gavin.

Dengan berat hati Calandra mengangguk untuk mengiyakan jawaban Gavin. Ia membenarkan maksud dari pembicaraan Gavin barusan. Bahwa tidak mungkin ia menjalankan tugasnya sebagai ketua OSIS, tapi dirinya masih bergabung dengan gangster.

"Oke, sebelum gue pergi dan gak akan kembali ke basecamp ini lagi. Gue mau ucapin makasih buat semuanya, lo semua teman terbaik gue. Thanks, bro!" ucap Calandra sebelum beranjak pergi dari basecamp.

"Yoi! Congrats ketos!" sahut mereka semua serentak.

Setelah Calandra pergi dari basecamp. Zaky menoleh ke arah Gavin yang sedang meneguk segelas soda. "Vin, saran gue mending besok lo ke sekolah deh," ucap Zaky.

"Ada apa emangnya?" tanya Gavin.

"Ada murid baru, cewek, di kelas kita," jawab Zaky.

"Gak akan mempan, Ky. Udah gue bilang Gavin udah tobat," sahut Elvaro.

"Berisik lo ikan buntal!" ketus Zaky.

Gavin terdiam sejenak, lalu ia bertanya, "Murid baru? Cewek? Urusannya sama gue apaan anjir?"

"Gue yakin lo bakalan oleng ke dia dan sebentar lagi dia bakalan mengobati rasa rindu lo ke Calista. Terhempas tuh si Ratu di hati lo, gue yakin," lanjut Zaky sembari tersenyum penuh percaya diri.

"Oh ... murid baru yang namanya Zeline? Tadi di kelas gue pada heboh ngomongin dia. Katanya ya wajahnya mirip Calista. Gue sih belum lihat," jelas Andrian.

"Mirip Calista? Oke, besok gue ke sekolah," ucap Gavin.

...***...

Di pagi hari yang dingin, Zeline sudah berada di kelas dengan tubuhnya yang memakai jaket. Ia menunduk fokus membaca novel yang baru ia beli kemarin hingga terbawa masuk ke dalam cerita tersebut. Sampai-sampai Zeline tak sadar bahwa di kelasnya ia tidak sendirian lagi.

Dari belakang Gavin terus memperhatikan Zeline mulai dari penampilannya. Yang biasanya ia berangkat ke sekolah pukul sembilan kini belum pukul tujuh, ia sudah berada di kelas karena rasa penasarannya.

"Demi apa sih! Belagu banget jadi cowok! Kalo aja ada cowok dingin di kelas ini. Bakalan gue penggal palanya," ketus Zeline membuat Gavin terkejut mendengarnya.

"Ada, gue. Mau apa lo?" tanya Gavin.

Zeline terdiam mendengar suara tersebut yang sudah tak asing di telinganya. Ia berniat untuk menoleh, tetapi ia urungkan niatnya sebab, ia tau siapa yang ada di belakangnya sekarang.

Gavin memasukkan tangannya pada saku celana sembari berjalan menghampiri Zeline secara perlahan. Ia menatap Zeline dengan tatapannya yang mampu melelehkan siapa pun. Sepertinya batu yang keras pun kalo ditatap Gavin akan ikut meleleh.

"Cal, apa kabar?"

3. Jangan bermain perasaan

"Cal?" Zeline sembari menunjuk dirinya sendiri, lalu ia mengernyitkan dahinya sembari menatap Gavin. Tak lama, Zeline pun mengeluarkan pertanyaan, "Cal apaan? Calsium?"

"Hei, gue Zeline. Call-me-Ze, paham?" ujar Zeline pada Gavin.

Gavin menarik kursi yang ada di samping, padangannya terus menatap wajah Zeline. Gadis itu sudah salah tingkah ditatap dalam-dalam oleh Gavin, ia berusaha menahan rasa bapernya dengan kembali menunduk menatap buku novel. Senyuman Gavin lontarkan, tangannya terulur ke atas kepala Zeline agar gadis itu mendongak.

"Gue gak bisa dibohongin Calista ... dari suara lo, wajah lo, gue tau kalo lo itu Calista," ujar Gavin.

Dengan segera Zeline menepis lengan Gavin yang berada di puncak kepalanya, lalu ia berkata, "Heh! Lo tau gak sih? Di dunia ini tuh kita punya tujuh kembaran. Ya wajar kalo–wajah gue mirip sama siapa tuh–Cal yang lo maksud."

"Begitu pun dengan suara. Kemarin tentangga gue waktu nyanyi suaranya sama kayak Judika tuh," lanjut Zeline.

Seketika Gavin pun menundukkan kepalanya setelah menyadari perkataan Zeline ada benarnya juga. Matanya seketika berkaca-kaca menahan buliran air mata yang hendak terjatuh. Entahlah Gavin pun tidak mengerti mengapa tanpa Calista, ia menjadi selemah ini.

Zeline yang melihat Gavin murung seperti itu membuat dirinya tak tega dan ingin mengatakan bahwa dirinya betul Calista, tetapi itu tidak mungkin. Sangat, sangat tidak mungkin untuk Zeline katakan sekarang. Yang bisa Zeline lakukan kini hanyalah mengusap pundak Gavin untuk memberikan ketenangan.

"Padahal gue berharap lo bilang iya, kalo lo itu Calista," ucap Gavin dengan lemas.

"T-tapi–gue emang bukan ... Calista. Emang berat mengikhlaskan seseorang itu, tapi lo kan udah punya Ratu. Terus ngapain lo masih berharap dia kembali?" tanya Zeline.

"Bagi gue lo salah, Gavin–"

"Lo gak pernah berpikir apa? Kalo sebenarnya orang itu di sana selalu rindu sama lo dan dia selalu berusaha agar bisa kembali temui lo lagi. Coba lo bayangin, pas dia kembali kesini terus dia lihat lo udah sama yang lain. Itu sakit rasanya," ujar Zeline.

Gavin mendongak menatap kembali Zeline, lalu ia bertanya, "Kok, lo kayak yang tau tentang gue sih?"

"Kemarin Kirey sama Ratu jelasin ke gue tentang lo," jawab Zeline sembari beranjak dari kursi.

Zeline tak mau terus diinterogasi oleh Gavin. Maka dari itu Zeline beranjak dari kursi untuk keluar kelas meninggalkan Gavin yang terlihat banyak pertanyaan yang ingin ia lontarkan.

Saat Zeline beranjak pergi, Gavin hanya bisa terdiam dengan pandangan mengikuti langkah Zeline. Di ambang pintu Zeline berhenti melangkah, ia melirik kembali ke arah Gavin yang sedang menatapnya.

"Saran dari gue, mending lo lupain orang itu–mungkin dia gak akan kembali lagi. Lo harus pikirkan orang yang sekarang bersama lo," ucap Zeline.

"Dan satu lagi, jangan pernah bermain dengan perasaan," lanjut Zeline sebelum melangkah keluar kelas.

Gavin menunduk sejenak dan tetesan air mata jatuh mengenai celana abu yang ia kenakan. Hingga detik berikutnya ia melirik ke arah jam tangannya, ia bangkit dari kursi sembari meraih jaket yang ia sampirkan pada punggung kursi.

Baru saja Gavin akan keluar kelas dan kedua temannya tiba di kelas dengan tatapan heran. Dengan sigap Gavin mengusap kedua matanya yang mungkin terlihat memerah.

"Tumben lo Vin, pagi gini udah datang biasanya jam sembilan," ucap Zaky.

"Biasa dia kan mau lihat–noh," sahut Elvaro sembari melirik ke arah kursi Zeline.

Untung saja kedua temannya itu tak menyadari bahwa Gavin baru saja menangis. "Gue mau jadi murid rajin sekarang. Udah gak usah banyak omong lo berdua," ucap Gavin sembari melanjutkan langkahnya.

"Terus mau kemana lagi? Jangan bilang lo ke kelas cuma lihat Zeline doang!" teriak Elvaro pada Gavin yang terus melangkah.

"Mau jemput Ratu dulu!" Sahut Gavin dari luar.

Ucapan Gavin barusan tidaklah tepat. Ia keluar dari lingkungan sekolah bukan untuk menjemput Ratu, tetapi cowok itu melajukan motornya ke arah komplek rumah Calista. Lagi dan lagi Gavin berhenti di depan rumah Calista hanya untuk memandangi rumah yang penuh kenangan itu.

Walaupun ia sudah tau jawabannya dari warga sekitar bahwa rumah itu sudah dihuni oleh orang baru, tetapi tetap saja Gavin selalu memantaunya hanya untuk memastikan.

'Harus kemana lagi gue cari lo, Cal ... informasi yang gue dapat gak ada satu pun yang menunjukkan kalo lo masih ada di sini, tapi hati gue yakin lo masih di sini. Selemah ini gue tanpa lo ....'

Dari dalam Belva memperhatikan Gavin yang berada di depan rumah melalui jendela. Hati Belva sangat tersentuh melihatnya, lantaran bukan sekali dua kali ia melihat Gavin yang menundukkan kepalanya di depan rumah. Ingin rasanya Belva menghampiri, tetapi Belva belum tau harus menjawab apa jika Gavin bertanya.

'Satu keberuntungan yang Calista miliki–memiliki laki-laki setulus Gavin.'

...***...

Di tengah jam pelajaran. Nampaknya semua murid mulai mengabaikan guru yang sedang menjelaskan materi di depan. Mereka semua memilih untuk menidurkan kepalanya di atas meja, dibanding memperhatikan pelajaran matematika yang bisa membuat otaknya meledak bagi mereka.

Akan tetapi, berbeda dengan Zeline, ia nampak sungguh-sungguh memahami rumus-rumus tersebut.

"Silakan catat materinya," ujar Pak Tano.

"Loh, saya baru sadar kalo ada Gavin di kelas. Seharusnya kelas kalian tuh selalu lengkap kayak gini setiap harinya baru kompak. Catat materinya, Vin," lanjut Pak Tano.

Gavin pun mengeluarkan buku catatan dan pulpennya, lalu ia berjalan sembari membawa kursi. Tepat di samping Zeline, Gavin terduduk dengan buku yang berada di atas meja Zeline.

Hal itu membuat Zeline mengernyit heran bagi Zeline tidak masalah Gavin ikut menulis di mejanya, tetapi Zeline merasa tidak enak pada Ratu.

"Lo ngapain disini?" tanya Zeline.

"Ikut doang galak amat sih lo!" ketus Gavin. Memang keterlaluan sudah ikut nulis ngegas lagi kurang ajar bangetkan jantan satu ini.

"Gak mau, gak mau, lo sana mending ah! Sempit tau, gue mau nulis susah," ucap Zeline sembari cemberut menatap Gavin. Yang benar saja meja untuk satu orang malah dipakai oleh dua orang pastinya sempit.

Bukannya pergi menuruti perintah Zeline, Gavin malah terus diam sembari menatap Zeline. Alhasil mereka berdua pun saling menatap begitu dalam. Ratu hanya terdiam memperhatikan mereka berdua dengan hati yang terus mengoceh kesal.

"Siap-siap El, lo harus turuti keinginan gue kalo sampai Gavin jadian sama Zeline," teriak Zaky dengan suara yang kencang membuat semua orang langsung menatap ke arah Gavin dan Zeline.

"Ck! Lo yang pergi atau gue yang pergi?!" bentak Zeline setelah melihat raut wajah Ratu yang tambah kesal.

"Ya udah iya." Gavin pun berjalan pergi dari meja Zeline sembari menggusur kursinya kembali ke semula dimana dirinya duduk.

Zeline menghela napas, lalu ia melanjutkan mencatat materinya. Perasaan Zeline tidak enak terhadap Ratu ia berpikir pasti Ratu kesal atas sikap Gavin seperti tadi. Ditambah penghuni kelas malah menyebut cocok jika Zeline bersama Gavin.

Jujur hati Zeline sebenarnya bahagia bisa melihat kembali Gavin, tetapi ia harus tetap menghindar untuk menjaga perasaan Ratu. Ia tak mau mendapatkan masalah lagi apalagi jika berurusan dengan Ratu dan posisi Zeline kini masih awal belajar di sekolah ini.

...***...

Seperti biasa Zeline, Kirey dan Ratu yang kini mereka resmi bersahabat pergi ke kantin bersama. Sepertinya Ratu tidak marah pada Zeline soal Gavin, dari tadi Ratu terus mengajak Zeline mengobrol sampai tak terasa telah tiba di depan kantin. Kirey menghentikan langkahnya sembari memegang perut.

"Kenapa?" tanya Zeline dan Ratu serentak.

"Duh, perut gue mulas gini. Kalian duluan aja ke kantin nanti gue nyusul," Kirey segera berlari terbirit-birit menuju toilet.

Zeline dan Ratu pun memutuskan untuk masuk ke kantin sebelum kantin tersebut penuh. Bisa-bisa mereka tidak akan kebagian kursi untuk duduk. Di paling pojok terlihat kumpulan anak The Feared, tengah bernyanyi menghibur suasana di kantin dengan diiringi genjrengan gitar yang dimainkan oleh Gavin.

"Kayaknya novel yang lo beli seru banget deh, gue jadi pengen baca ..." ucap Ratu.

"Nanti gue kasih pinjam kalo udah selesai baca. Semalam gue baru baca sampai setengahnya sih," ujar Zeline.

Gavin menghentikan genjrengan gitarnya. Teman-temannya pun ikut menghentikan suara bernyanyinya. Ia bangkit dari kursi, lalu berlari menghampiri meja di mana Zeline dan Ratu duduk. "Gue tuh kesal banget sama cowoknya yang gak peka-peka. Kalo gue jadi ceweknya bakalan gue tam–"

"Nih." Gavin menyodorkan sebuah sandwich tepat di hadapan Zeline.

Zeline mendongak menatap ke arah Gavin, sembari mengangkat satu alisnya seolah bertanya sandwich ini untuk siapa. Gavin duduk di samping Zeline sembari membukakan bungkus sandwich tersebut.

"Dimakan ya," pinta Gavin sembari memberikan sandwich pada Zeline.

"Oh, buat Ratu? Nih Ra–"

Gavin menggeleng cepat dan menghentikan tangan Zeline yang hendak memberikan sandwich itu pada Ratu. "Buat lo, gue sengaja beli," jelas Gavin.

"Lo ngapain ngasih buat gue? Buat Ratu dong seharusnya," ucap Zeline sembari memberikan sandwichnya.

"Gak apa-apa buat lo aja lagian Gavin ngasih buat lo bukan buat gue. Jadi, dimakan aja gak baik loh nolak pemberian dari orang," ujar Ratu sembari tersenyum.

"Lagian pacar gue emang gitu. Terlalu baik orangnya. Jadi ya gitu ke setiap orang. Ya, kan, sayang?" tanya Ratu pada Gavin.

Gavin mengangguk sembari tersenyum, "Nah, ini baru cewek gue, udah cantik baik lagi."

Zeline hanya tersenyum tipis sembari memakan sandwich pemberian Gavin tersebut. Di dalam hatinya ia berkata, 'Iya, lo bilang Ratu baik, tapi lo gak tau isi hati Ratu gimana.'

...***...

Zeline berjalan menyusuri komplek dengan langkah yang lesu. Ia merasa sekarang dirinya sering merasa lemas tidak sekuat dulu, perubahan moodnya pun cepat berubah-ubah dan terkadang Zeline kesulitan mengatasinya. Saat ia berjalan tiba-tiba mendengar suara pukulan-pukulan yang ramai.

Hal itu membuat Zeline menghentikan langkahnya untuk mengedarkan pandangan mencari sumber suara tersebut. Ternyata tak jauh dari hadapannya cowok yang sedang berkelahi ramai-ramai. Zeline melihat beberapa orang yang memakai seragam yang sama dengannya.

'Gavin?'

Bukannya menghindar Zeline malah berlari menghampiri mereka. Sampai-sampai Zeline menarik jaket salah satu cowok yang sedang berusaha menyerang Gavin. Alhasil cowok itu menoleh menatap Zeline.

"Lo siapa?!"

"Zeline! Pergi Ze!" teriak Gavin.

Akan tetapi Zeline terdiam menatap cowok itu dengan senyuman yang seolah menantang, padahal Gavin dan teman-temannya khawatir jika cowok itu melukai Zeline.

"Lo gak tau ya, kekuatan cewek kalo lagi PMS?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!