Sekolah lagi…sekolah lagi! Elina menghela napasnya. Malas sekali rasanya. Ditambah lagi cara mengajar guru matematika yang membosankan. Membuat Elina jengah. Elina melirik ke samping kiri. Terlihat Raya yang sedang asyik mengoleskan bedak di wajahnya. Lagi-lagi Elina memutar bola matanya. Sungguh, Elina benar-benar jenuh sekarang.
"Bu, izin ke kamar mandi?" ucap Elina tiba-tiba.
"Mau ngapain?" tanya Bu guru.
"Kebelet, Bu," ucap Elina.
"Ya sudah, sana, jangan lama-lama!"
Elina menegakkan badannya. Ia berdiri dan mulai menggerakkan kaki ke luar dari kelas. Sepi. Ya iyalah, kalau mau ramai ya di pasar!
***
Devan terlihat asyik mencorat-coretkan angka di buku tulisnya. Pelajaran fisika. Berhubung sebentar lagi ujian semester, Devan harus belajar lebih giat. Dengan raut wajah serius, Ia mengacungkan jarinya.
"Jadi frekuensinya dua hertz, Pak!" seru Devan.
"Kok bisa? Coba tuliskan di papan," pinta Pak Guru.
Devan berdiri. Melangkahkan kaki menghampiri papan tulis. Di tengah kesunyian kelas, bunyi gesekan spidol itu terdengar nyaring.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Jika periode suatu getaran adalah 1/2 detik. Maka, tentukan frekuensi getarannya.
Diket :
T \= 1/2 sekon
t \= 5 menit \= 5 x 60 \= 300 sekon
Jawab:
a) frekuensi getaran:
f \= 1/T
f \= 1/(0,5)
f \= 2 Hz
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Guru itu pun berdiri dan mengoreksi jawaban Devan. Ketika guru itu tengah menjelaskan, tiba-tiba kepala Devan menjadi sakit. Devan memegangi pelipisnya. Terasa pusing sekali.
"Devan, kamu kenapa?" tanya Pak Guru.
"Errghh, tiba-tiba pusing banget, Pak, kepala saya," ucap Devan.
"Ke uks saja sana!" ucap Pak Guru.
"Saya saja yang temenin, Pak," usul Delana.
"Enak saja! Bilang saja mau kabur! Gak usah pakai antar-antaran!" tegas Pak Guru.
"Iya, Pak, lagian saya juga bisa sendiri. Terima kasih, Pak."
Devan melangkahkan kakinya ke luar kelas. Dengan pemandangan ganda, Devan tetap melajukan dirinya. Uks masih sedikit jauh. Kepalanya ia tundukkan. Sakit di kepalanya membuatnya tidak fokus untuk sekadar berjalan.
Di kala Devan tengah menikmati sakit kepalanya, tiba-tiba saja seseorang menabrak bahunya. Membuat keseimbangan tubuh Devan goyah. Devan terjatuh, dengan lutut dan telapak tangan menyentuh dinginnya lantai. Tiba-tiba saja, kepalanya menjadi berpuluh-puluh kali lipat lebih pusing dari sebelumnya.
"Duh, duh, maaf-maaf!" ucap seseorang itu. Ah ternyata itu Elina!
"Astaga, Devan! Hidungmu kenapa?" panik Elina. Devan lantas menggunakan jari telunjuknya untuk mengecek bawah lubang hidungnya itu.
Devan menatap darah di jarinya. Sedetik kemudian, pandangannya membuyar. Semuanya menjadi gelap seketika.
Elina langsung panik saat Devan tiba-tiba pingsan. Elina segera meletakkan kepala Devan di pangkuannya dan menepuk-nepuk pelan pipi Devan agar tersadar. Namun hasilnya nihil. Tiba-tiba saja, terlihat Surya yang baru saja keluar dari kamar mandi. Setelah memastikan resletingnya tertutup, Surya melanjutkan perjalanannya. Dari kejauhan, Surya melihat Elina. Surya lantas berjalan menghampiri Elina.
"Elina?" panggil Surya.
"Surya! Untung ada kamu! Bantuin aku, please!" pekik Elina panik.
"Eh ini kenapa?" tanya Surya.
"Gak tau, tiba-tiba pingsan," jawab Elina.
"Ya udah, kita bawa ke uks yuk, kamu rangkul lengan kanannya, terus aku yang kiri," komando Surya.
Surya dan Elina pun lantas bergegas menuju uks. Beberapa menit kemudian, mereka sampai di uks. Tubuh Devan dibaringkan di ranjang empuk uks, sementara Elina dan Surya pamit kembali ke kelas. Tanpa mereka sadari, sepasang mata mengintai mereka dari kejauhan. Sepasang mata itu kembali meneteskan air mata, namun dihapus kasar oleh telapak tangannya sendiri.
***
"El, ikut aku!"
Raya langsung menarik lengan Elina secara paksa. Surya yang melihat itu, hanya bisa geleng-geleng kepala. Lagian guru matematikanya tadi pamit akan mengikuti seminar kependidikan. Jadi sisa waktu tiga puluh menit hanya akan menjadi jam kosong. Surya tak ingin ambil pusing dengan membuntuti kedua gadis itu.
"Urusan cewek," pikir Surya.
Raya membawa Elina ke balkon sekolah. Karena Raya tahu, balkon sekolah itu selalu sepi. Apalagi saat ini sedang ada KBM pelajaran. Jadi, akan sangat pas apabila Raya membicarakan hal privasi dengan Elina di sini.
"Kamu kenal sama Kak Dev, El? Sejak kapan?" tanya Raya tanpa basa-basi.
"Kak Dev? Gebetan kamu itu? Eh enggak kok. Lagian kamu gak pernah kasih lihat fotonya pun," ungkap Elina.
"Bohong!" geram Raya.
"Beneran, Ray. Aku gak kenal sama Kak Dev," ucap Elina.
"Oh gak kenal ya? Ngakunya gak kenal, tapi nyatanya deket banget. Dikiranya aku gak tahu apa!" marah Raya.
"Aku beneran gak tahu. Aku gak tahu Kak Dev yang mana, Ray!" keluh Elina.
"Gak papa sih kalau gak mau ngaku, lihat aja nanti, siapa yang bakal menang," cetus Raya lantas berlalu meninggalkan Elina.
Elina hanya mematung memandangi punggung Raya. Tiba-tiba dadanya terasa sesak. Satu persatu air mata meluncur mulus dari pelupuk matanya.
Di sisi lain, Raya yang tak sengaja melihat Elina saat menutup pintu balkon tadi, juga merasakan hal yang sama dengan Elina. Raya segera menghapus air matanya lantas bergegas menuju kamar mandi. Air mata kekecewaan itu seakan tak mau berhenti mengaliri hari yang pedih ini.
***
Pelajaran fisika. Elina dan Raya telah kembali ke kelas. Meski tercetak jelas sembab di mata mereka. Keduanya saling membisu. Bahkan Raya yang biasanya hanya menyalin tugas Elina, kini ia berusaha mengerjakannya sendiri tanpa meminta bantuan dari Elina.
Elina melirik Raya sekilas. Raya tengah sibuk melanjutkan corat-coretnya di kertas buku bagian belakang. Dihitungnya perkalian angka-angka yang sukses membuat otaknya menguap. Menyembulkan asap dan membuat rambutnya seperti terbakar. Oke, terlalu berlebihan. Di samping itu, Elina malah cemas memikirkan keadaan Devan. Entah mengapa, cukup membuat otaknya tak bisa berkonsentrasi secara maksimal.
Setelah guru itu hengkang dari kelas, Elina menghela napasnya. Ada banyak hal yang membebani Elina. Ah iya, sampai-sampai ia terlupa untuk menyebarkan undangan ulang tahunnya. Persetanlah, Elina tidak ingin memikirkan hal itu. Percuma saja, tak akan ada hal menyenangkan saat hari itu tiba. Elina bahkan bisa menebaknya. Kedua orangtuanya pun tak akan peduli. Hanya sekadar menyiapkan pesta, namun tak bergairah untuk merayakan pestanya.
Percuma saja. Elina tidak butuh itu. Elina tidak butuh punya harta banyak-banyak. Elina tidak butuh pesta ulang tahun yang sebesar dan semewah pesta pernikahan. Yang Elina butuhkan hanya satu: kasih sayang melimpah yang diberikan orangtuanya setulus hati. Ya, hanya itu. Elina hanya butuh diperhatikan. Elina butuh ditemani. Elina butuh…dimanja.
Elina tidak seperti anak kebanyakan yang lebih suka curcol tentang masalahnya ke banyak orang. Elina bahkan seperti terlalu menutup diri. Elina ingin menyelesaikan masalahnya sendiri, tanpa seorang pun tahu. Elina tidak ingin mereka tahu betapa rapuhnya ia.
***
Raya memasukkan penanya ke kotak pensil cepat-cepat. Beberapa bukunya yang masih tersisa di meja pun, ia masukkan ke dalam tas secara asal. Elina mengernyitkan dahinya. Sahabatnya begitu aneh hari ini, apakah Raya benar-benar marah kepadanya? Elina bahkan tak pernah melihat Raya seperti ini sebelumnya.
Setelah pelajaran terakhir resmi ditutup, Raya lantas cepat-cepat menyambar tangan guru itu. Diciumnya tangan guru bahasa indonesianya itu. Sementara Elina masih menatapi kepergian Raya. Bocah itu terlihat sangat aneh.
Apakah dia beneran Raya? Apakah Raya benar-benar mengira Elina menikungnya? Memangnya siapa sih "Kak Dev" yang dimaksud Raya itu?
Elina segera menghela napasnya. Batinnya sungguh bergejolak. Sedetik kemudian, ia lantas bangkit dan segera melangkahkan kaki untuk mencium tangan guru itu. Menyudahi lamunan yang semakin lama semakin menyakiti.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 234 Episodes
Comments