Jam pelajaran mata pelajaran matematika telah usai. Bu Sari, guru matematika itu berdehem. Menghentikan semarak kegaduhan para penghuni kelas.
"Elina, kamu mau gak ikut olimpiade matematika? Nanti kalau mau saya ikutkan kamu seleksi ya," ucap Bu Sari memecah keheningan kelas.
Elina terperangah, "Kok saya, Bu?"
"Ya masa Raya, mana bisa dia. Saya percaya sama kamu, El!" ungkap Bu Sari antusias.
"Bu Sari nyebelin ih! Raya bisa kok matematika!" pekik Raya tidak terima.
"Hilih, kamu enam tambah lima aja mikir jawabannya lama banget," cibir Bu Sari. Raya seketika mengerucutkan bibirnya.
"Saya akan kabari kamu selanjutnya," pinta Bu Sari.
"I…iya baik, Bu!" ucap Elina gugup.
Elina menghela napasnya. Ia mengecek jam di tangannya. Sebentar lagi memasuki jam istirahat. Cacing di perutnya sudah mulai memberontak. Elina melirikkan pandangannya ke Raya. Raya sedang asyik menyetubuhkan kepalanya ke meja.
"Kantin yuk, Ray!" ajak Elina.
"Males ah," jawab Raya tak bertenaga.
"Kenapa sih? Lesu amat?" tanya Elina. Raya menghela napasnya.
"Itu, Kak Dev cuek amat sama aku. Kayaknya dia emang gak tertarik deh sama aku."
"Kak Dev? Siapa sih?" tanya Elina.
"Gebetan aku. Dia kakak kelasku waktu SMP, El. Dulu aku sama dia sama-sama osis. Dia ketua dan aku sekretarisnya. Tetapi sekarang…aku ngerasa dia jadi agak cuek sekarang. Kira-kira kenapa ya?" tanya Raya.
"Punya pacar kali hahaha!" tebak Elina jail.
"Ih Elina nyebelin!" pekik Raya mendramatisir. Sementara Elina hanya menanggapinya dengan tertawa.
"Ayuklah kantin," ucap Elina seraya menarik tangan Raya. Raya pun akhirnya pasrah ditarik paksa sampai ke kantin.
Sesampainya di kantin, Elina memesan makanan yang sama dengan Raya: mie ayam bakso. Makanan di kantin memang enak-enak dan yang paling penting sehat, higienis juga. Saat tengah duduk, sekilas ia melihat cowok yang waktu itu memboncengnya.
"El, kira-kira aku harus gimana?" tanya Raya. Elina balik menatap Raya.
"Ya kalau emang beneran sayang ya diperjuangin. Kalau berhenti di tengah jalan, memangnya kamu mau perjuanganmu sia-sia?" cetus Elina. Raya berpikir sejenak.
"Tapi kalau aku ditolak gimana?" tanya Raya.
"Eh ya kamu berjuang terus saja sampai diterima hihihi," cetus Elina asal.
Raya pun mengangguk mengerti. Elina mungkin tak pernah tahu, apakah sarannya itu akan berdampak baik atau malah buruk untuk kedepannya.
***
Di sisi lain, Bu Sari meminta seseorang untuk menemuinya di kantor guru. Hingga datanglah seorang cowok untuk menghadap Bu Sari. Bu Sari dan cowok itu saling bertatapan.
"Saya izin minta waktumu sebentar boleh?" tanya Bu Sari.
"Untuk apa, Bu?" tanya cowok itu.
"Tolong ajari dia, dia akan mewakili sekolah untuk olimpiade matematika. Berhubung kamu mengundurkan diri, terpaksa saya mencari pengganti kamu. Saya yakin bahwa anak itu akan sama cerdasnya seperti kamu."
Bu Sari menatap harap kepada cowok itu. Cowok itu tampak berpikir sejenak lantas menganggukkan kepalanya beberapa menit kemudian.
"Baik, Bu, kapan?" tanya cowok itu.
"Nanti sepulang sekolah. Silakan temui dia di perpustakaan," cetus Bu Sari. Cowok itu mengangguk.
"Baik, Bu, nanti saya akan ke sana," ucap cowok itu, "kalau begitu, apakah saya boleh permisi?"
"Ya, silakan. Terima kasih ya, Nak!" ujar Bu Sari.
"Sama-sama, Bu," jawab cowok itu.
"Ini nomor whatssapp-nya Elina, silakan kamu diskusikan dengan dia ya untuk belajarnya," ujar Bu Sari sembari mencatat sebuah nomor dari ponselnya ke kertas dan memberikannya kepada cowok itu.
"Baik, Bu, saya permisi." Cowok itu membungkuk lantas berlalu pergi. Bu Sari mengulas senyumnya.
"Pasti berhasil!" gumam Bu Sari kemudian.
Sesampainya di kelas, cowok itu lantas mengambil ponselnya dari dalam tas. Dimasukkannya nomor telepon yang diberikan Bu Sari ke dalam kontaknya.
Ruang chat whatsapp:
Devan: [Kamu Elina kan?]
Elina: [Iya, siapa ya?]
Devan: [Bu Sari bilang kita harus belajar bareng]
Elina: [Serius? Kapan?]
Devan: [Sepulang sekolah]
Elina: [Dimana?]
Devan: [Perpus]
Elina: [Oke]
Devan: [Save ya]
Elina: [Oke]
Elina: [Siapa namanya?]
Elina: [Biar kusave]
Devan: [Devan]
Elina: [Kelas?]
Devan: [XI-2]
Elina: [Oke]
Cowok itu menarik senyumnya ketika melihat foto profil Elina. Sampai tiba-tiba sesosok cowok menghampiri cowok itu dan mengagetkannya.
"Woy, senyam-senyum aja lo, Dev!"
Cowok itu merengut. Ia memandang cowok yang mengagetkannya tadi dengan tatapan membunuh.
"Lo kalau gak ngagetin bisa gak? Kalau gue mati mendadak karena jantungan gimana?" keluh cowok yang dipanggil "Dev" itu.
"Alah gak dikagetin juga nanti mati sendiri."
Keduanya saling menatap tajam seakan bilang, "diem lo,ngoceh lagi bakal gue bunuh!" dan "gue gak takut!"
TENG! TENG! TENG!
Suara bel tanda pulang sekolah mengakhiri semua materi pembelajaran untuk hari ini. Kedua cowok itu pun menghela napas lega. Kegabutan akibat jam kosong tadi akhirnya usai juga. Kini di benak seluruh murid hanyalah pulang dan pulang.
"Gue cabut duluan ke perpus! Lo pergi aja gak usah ngintilin gue!"
"Yeee gue juga pengen balik, geer banget lo, Dev. Males banget jadi buntut b4bi!"
"Yee bangs*t lo malah ngatain gue b4bi! Udah ah gue mau ke perpus biar pinter gak kayak lo, Del, lo pergi aja sana jangan ngintilin gue mulu hush hush!" usir cowok itu kepada temannya yang ternyata bernama Delana.
"Ya udahlah, yang manusia ngalah aja!" ujar Delana lantas berlari meninggalkan kelas sebelum semua bangku dilayangkan ke arahnya.
Delana, anak kelas XI-2 yang pecicilannya tingkat dewa. Memiliki hobby bikin rusuh dan memancing keributan. Tipe bad boy yang memiliki wajah yang untungnya ganteng. Bikin cewek klepek-klepek, kecuali cewek yang memiliki tingkat keimanan tinggi. Gagah dan seksi abis pastinya.
****
Elina mendudukkan diri di perpus. Masih sepi dan kosong. Hanya ada dua penjaga perpus berbeda gender yang setia menemani Elina. Ceileh setia.
KRIET! TAP! TAP! TAP!
Suara pintu berdecit. Kemudian, terdengarlah suara langkah kaki. Elina yang duduk membelakangi pintu pun menoleh. Seorang cowok tampan datang menghampirinya. Cowok itu menampilkan senyum manisnya khusus untuk Elina.
"Elina ya?" tanya cowok itu.
"Ah i-iya! Ka-kamu?" tanya Elina gugup. Cowok itu tersenyum kembali.
"Aku Devan, kita jadi sering kebetulan ketemu gini ya." Cowok itu terkekeh.
"I-iya. By the way, ini uang yang aku pinjam pas di bengkel, aku balikin," ucap Elina sembari merogoh selembar uang seratus ribuan di tasnya.
"No…No…gak usah. Santai aja kali!" Cowok itu menepis pelan lengan Elina.
"Ih gak enak sama kamunya," seru Elina.
"Gak papa, sesama teman kan harus saling membantu," ujar cowok bernama Devan itu.
"Te-teman?" tanya Elina ragu. Cowok itu tersenyum tipis sembari menganggukkan kepalanya.
"Mulai belajar yuk," ajak Devan. Elina mengangguk lantas mengeluarkan beberapa soal matematika yang tadi diberikan Bu Sari.
"Ini, Kak!" Elina memberikan kertas itu kepada Devan.
"Panggil Devan aja biar kelihatan lebih akrab," ucap Devan.
"Tapi gak enaklah," protes Elina.
"Apanya yang gak enak coba? Kan gak dimakan, kok bisa gak enak?" Devan tertawa garing.
"I-iya, Dev! Mulai yuk!" ajak Elina canggung.
Devan dan Elina pun memulai membahas materi untuk olimpiade. Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang mengintai mereka berdua dari balik rak buku. Diam-diam sepasang mata itu meneteskan air matanya. Tercetak jelas raut kecewa di wajahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 234 Episodes
Comments