Elina melangkahkan kaki melewati koridor sekolah. Masih sepi. Atau mungkin, Elina malah berangkat terlalu pagi. Dihirupnya udara segar itu kuat-kuat sebelum akhirnya dihembuskannya keluar. Elina melangkah lagi. Kini ia mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas.
"El, besok minggu ada bakti sosial. Ikut ya?" celetuk Surya tiba-tiba.
Elina menolehkan kepalanya ke belakang. Ia menatap Surya dengan tatapan bingung.
"Kerasukan setan apa sih, Ya, kok kamu tiba-tiba ngajakin bakti sosial," cibir Elina.
"Gue mah mau tobat aja deh, belajar buat jadi anak baik kan gak masalah," cetus Surya.
"Bilang aja mau modusin cewek di sana," tuduh Raya. Elina terkikik.
"Gue mah gak butuh modusin cewek banyak-banyak, kan hati gue udah lo milikin, Ray, hahaha," elak Surya.
"Aduh, amit-amit jabang bayi deh, jangan sampai anak aku besok kek kamu, Ya!" pekik Raya sembari mengusap-usap perutnya.
"Anak lo pasti terwarisi sifat gue lah, kan gue bapaknya," ucap Surya ngaco.
"Mimpi aja gak sudi apalagi beneran!" pekik Raya sewot.
"Udah-udah, by the way, kalian cocok lho hihihi," cetus Elina.
"Amit-amit!" pekik Raya dan Surya bersamaan. Seketika Elina mengusap telinganya yang hampir budeg.
***
Libur telah tiba. Libur telah tiba. Horee! Horee! Horee! Eh malah nyanyi. Alarm berdering. Elina langsung terbangun dengan terengah-engah. Elina segera menekan kepala alarm itu dan langsung berlari ke kamar mandi. Bersiap-siap, lantas berlari keluar rumah seperti dikejar setan.
"Loh, El, kamu mau ke mana?"
Sebuah suara mencegatnya sewaktu akan menutup pintu.
"Pergi ke bakti sosial, Ma," jawab Elina.
"Kok kayaknya di depan tadi ada cowok? Kamu pacaran?" selidik Mama. Elina terkekeh.
"Yakali aku pacaran sama Surya, Ma! Najong tralala hahaha," elak Elina.
"Yakin?" tanya Mama.
"Beneran, mau bakti sosial kok, Ma," ucap Elina.
"Ya udah, sana, tapi inget pesan Mama. Jangan pacaran. Jangan berulah di tempat orang. Mengerti?" nasihat Mama Elina.
"Mengerti, Ma! Aku pergi duluan ya, Ma!" pamit Elina sembari mencium tangan mamanya.
"Hati-hati di jalan!" seru Mama Elina seraya melambaikan tangannya. Elina dan Surya membalasnya dengan senyuman.
Mamaku paling gak suka kalau kami (aku dan Okta) pacaran. Aku juga tak mengerti mengapa. Bukankah pacaran untuk anak SMA itu wajar ya? Namun, mengapa Mama selalu melarang? Aku juga tak mengerti apa yang ditakutkan Mama. Yang jelas, aku harus menurut, karena kalau tidak, Mama akan memberikan sanksi tegas.
-Elina-
***
Dua buah mobil berjejeran di halaman SMA Negeri 1 Baskara. Beberapa orang mulai memindahkan kresek-kresek hitam dengan ukuran paling besar itu ke dalam bagasi mobil. Elina mengedarkan pandangannya. Setelah turun dari motor, Surya ditarik paksa untuk ikut angkat-angkat sembako untuk dibagikan nanti ke dalam mobil. Membuat Elina terpisah dan mulai mencari keberadaan Surya.
"Aduh, maaf!"
Sial! Tubuh Elina terjatuh ketika tak sengaja terdorong dari belakang. Elina mengaduh. Saat ia mendongakkan kepalanya, sebuah uluran tangan menyambutnya.
"De-Devan?" ucap Elina spontan.
"Eh kita kok jadi ketemu terus kayak gini sih hehe," ucap Devan.
"Ke kantin yuk, makan dulu biar gak lemes," ajak Devan. Elina menganggukkan kepalanya.
Elina dan Devan melangkahkan kaki menuju kantin. Mereka berdua lantas memesan pesanan yang sama: nasi goreng. Setelah pesanan datang, Elina dan Devan segera melahapnya. Keheningan terjadi. Keduanya tak memutuskan bicara saat sedang makan, hingga selesai makan.
Untuk mengakhiri kegiatan makan pagi, Devan menuangkan beberapa pil dari sebuah botol ke telapak tangannya. Mulutnya lantas dibuka lebar-lebar, sementara tangan kanannya bergerak melempar butiran pil itu ke dalam mulut. Devan meneguk air mineralnya sekali lagi.
"Kamu sakit?" tanya Elina. Devan menarik senyum simpul.
"Biar gak mabuk perjalanan," jelas Devan seraya mengulas senyum.
"Bukannya kita naik motor ya?" bingung Elina.
"Ya justru itu. Kita naik motor, otomatis banyak kena angin dong. Terus masuk angin. Muntah-muntah. Namanya mabuk perjalanan bukan?"
Elina mengangguk-anggukkan kepalanya. Masuk akal juga.
Elina berdiri setelah meneguk air digelasnya.
"Ya udah, ayo cepat, keburu ditinggal nanti."
Refleks, tangan Elina menggenggam tangan Devan. Sedetik kemudian, Elina menyadari sesuatu. Elina melepaskan genggamannya seketika.
"E-eh maaf!" ucap Elina gugup.
Devan tersenyum, "Gak papa, lagi juga boleh kok."
"Dih, apaan sih! Ya udah yuk!" ajak Elina.
"Ya ayo," sahut Devan.
"Ya kamu duluan dong, masa aku sih!" pekik Elina. Devan lantas berdiri dan melangkah mendahului Elina.
Pada akhirnya, Elina membuntuti Devan dari belakang. Ditatapinya tubuh pohon kelapa di depannya itu. Dilihat dari depan, samping, maupun belakang, ketampanannya tak juga surut. Sungguh tampan kakak kelasnya itu. Di samping tampan, ia juga peduli dengan lingkungan sekitarnya. Terbukti dari kegiatan bakti sosial semacam ini. Sudah baik, tampan, bijak. Jika saja ada mesin fotokopi yang bisa menyalin orang di hadapannya, sudah pasti Elina akan meminta salinan dari makhluk semacam Devan. Sampai akhirnya, mereka berdua sampai di parkiran.
"Kamu gak bawa helm, El?"
Elina menepuk dahinya kuat-kuat. Ah iya! Helm-nya kan nyangkut di jok motornya Surya. Kalau harus mencari Surya agar membukakan jok motor dengan kuncinya, pasti ribet. Elina meringis. Menampilkan deretan giginya yang putih bersih.
"Pakai meringis lagi! Aku nanya, bukan nyuruh kamu jadi model iklan pepsodent, El!" keluh Devan.
"Anu…itu…."
"Anu itu apaan?" tanya Devan bingung.
"Nyangkut di jok motor Surya. Kalau mau ngambil pun, harus pakai kunci motornya Surya," ujar Elina. Devan geleng-geleng kepala.
"Ya udah deh," ucap Devan.
Tiba-tiba, Devan melihat sosok Delana berada di dekat mobil berwarna putih. Sedetik kemudian, muncul sebuah ide di benak Devan.
"Woy, Del, pinjem helm dong!" teriak Devan.
Delana yang nyaris saja masuk ke dalam mobil itu menoleh. Ia menutup kembali pintu mobil yang berhasil dibukanya dengan geram. Cowok itu lantas berlari dan menghilang entah kemana. Beberapa menit kemudian, Delana kembali dengan mendatangi Devan.
"Del…Del…Del…Del! Lo kira gue udel hah? Nama gue Delana!" sungut sesosok cowok itu seraya memberikan helm.
"Sensi amat sih lo! Kayak ayam abis beranak aja! Daripada lo gue panggil Dek Lana kek adik lo itu!" keluh Devan.
"Kampret!"
Delana pun lantas berlari meninggalkan Devan dan Elina dengan sumpah serapah. Kekesalannya bertambah saat mobil yang tadi akan dinaikinya malah sudah berjalan duluan. Membuat Delana harus berlari untuk mengejarnya.
"WOY NYET, GUE KETINGGALAN, KAMPRET!" teriak Delana kencang hingga mobil itu terhenti.
Delana yang melihat mobil itu telah berhenti dengan sigap membuka pintu mobil. Di dalamnya telah terdapat para cecunguk-cecunguk berjumlah empat orang yang asyik menertawakannya. Delana pun dengan napas terengah-engah segera mendudukkan diri di jok mobil.
Di sisi lain, Devan dan Elina yang tengah asyik memandangi kejar-kejaran antara Delana dan mobil kampretnya itu langsung tertawa cekikikan.
"Jadi atlet lari cocok tuh si udel," celetuk Devan. Memperlama tawa mereka.
Devan dan Elina melihat mobil itu telah berhenti dan siap mengangkut Delana. Devan dan Elina pun menyudahi tawa mereka.
"Ya udah yuk, kita susul mereka, cepetan naik dan jangan lupa pakai helm," cetus Devan. Elina menurut.
***
Elina mengelus dadanya. Di sinilah ia berada. Di daerah terpencil dengan kumuh mendominasi. Sampah-sampah berserakan. Tanah-tanah becek, karena tak mampu meresap air dengan baik. Terlebih lagi, banyak sekali anak kecil yang diajak untuk melanjutkan hidup di tempat ini. Sungguh miris. Baru pertama menjejakkan kaki di tempat ini, rasa-rasanya Elina tidak sanggup berlama-lama. Aroma busuk dari sang sampah, seakan menjadi hal lumrah bagi mereka.
"Yakin mau lanjut nih?" tanya Elina.
Dilihatnya Devan yang sedang sibuk menenteng kresek-kresek hitam besar dari bagasi mobil.
"Kenapa? Jijik ya?" tanya Devan. Elina menggeleng cepat.
"Bukan gitu…cuma ya, bau sampahnya itu lho, nyengat banget," keluh Elina. Devan terkekeh.
"Justru di sinilah letak amazing-nya, El! Coba deh bayangin, kita belum genap sehari di sini aja udah ngeluh. Mereka udah bertahun-tahun, El, tapi biasa aja tuh. Malahan aku lagi mikir, terbuat dari apa sih tubuh sama hidung mereka. Meskipun gak pernah ikut latihan fisik tentara, tapi tubuhnya tahan banting."
Lagi-lagi, Elina diajak untuk membuka mata lebih luas. Devan selalu mengajaknya untuk melihat sisi positif. Mungkin selama ini, Elina menyangka bahwa hidupnyalah yang paling merana. Namun, kini ia sadar, lebih banyak orang yang hidup lebih menderita darinya.
Seorang bocah laki-laki menghampiri Devan. Ia menatap laki-laki itu dengan tatapan linglung.
"Kak, jangan gusur tempat tinggal kami," ucap bocah itu.
Sebegitu takutnyakah mereka? Elina tersenyum miris.
"Kami relawan bakti sosial. Boleh panggilkan mereka semuanya? Kebetulan kami ada bahan makanan untuk dibagikan," ucap Devan ramah.
"IBU…ADA ORANG BAIK DI SINI!" teriak bocah itu girang.
Kini, orang-orang ramai mengerumuni mereka. Bahkan karena saking banyaknya orang, Elina sampai kuwalahan dalam membagikannya. Melihat mereka saling berdesakan. Melihat senyum mereka yang terpancar ketika mendapat hadiah, rasa-rasanya membuat Elina begitu terharu.
Ada banyak hal yang membuat Elina sadar. Seharusnya ia bersyukur. Ditakdirkan hidup dalam ruang lingkup yang memadai. Seusai sembako yang terbungkus kresek-kresek besar itu habis, Elina memandangi anak-anak kecil yang tengah berlarian ke sana ke mari. Menyaksikan setiap kikikan tawa mereka. Meski hidup dalam keterbatasan ekonomi, mereka tetap hidup sejahtera. Jujur saja Elina iri. Dari kecil, ia tak pernah bisa tertawa selepas anak-anak itu. Sampai sekarang pun, sampai-sampai Elina hampir lupa bagaimana cara tersenyum.
Acara bakti sosial telah selesai. Semua panitia bakti sosial telah berada pada kendaraannya masing-masing.
"Mau langsung pulang apa ikut outbond dulu?" tanya Devan. Elina terkelinjat.
"Ada outbond juga?" tanya Elina balik.
"Ditanya malah balik tanya!" keluh Devan.
"Iya, mau," jawab Elina.
"Tapi aku gak ikut," ujar Devan. Elina mengernyitkan dahi.
"Kenapa, kok gak ikut?" tanya Elina.
"Mau ada urusan. Kamu sendiri aja ya, satu mobil sama si udel," ucap Devan. Elina terkikik.
"Kak Delana maksudnya?" tegas Elina. Devan menganggukkan kepalanya.
"Iya deh, gak papa," ucap Elina.
Tanpa sengaja, Devan melihat Delana dari kaca mobil yang terbuka. Rupanya kali ini Delana yang menjadi sopir. Devan lantas mengumpulkan tenaga untuk berteriak sekencang-kencangnya.
"WOYY DEL! ELINA KETINGGALAN NIH!!!"
Sontak, mobil yang baru melaju beberapa meter itu langsung berhenti. Membuat para penghuni mobil terkelinjat begitu saja. Devan memberi kode agar Elina cepat ke sana. Menghampiri para senior-seniornya yang tentunya lebih tua darinya. Elina menutup pintu mobil itu. Kebetulan mobil yang dikendarai Delana itu masih menyisakan sedikit tempat. Sedikit. Muatlah untuk badan kerempeng Elina. Tak lama mobil melesat. Elina mengamati Devan yang mulai terlihat jauh. Elina terdiam.
***
Elina hanya menjadi pendengar setia di mobil. Rasanya begitu canggung. Apakah Elina mulai ketergantungan dengan keberadaan Devan? Elina segera menyanggah cepat. Bukankah selama ini Elina hidup tanpa Devan? Nyatanya ia bisa. Namun setelah bertemu Devan, rasanya semua terasa berubah drastis. Tak menunggu berapa lama, mereka sampai di tujuan. Alas urip namanya. Terbukti saat Elina masuk ke kawasan ini, sebuah papan bertuliskan "SUGENG RAWUH ING ALAS URIP" menyambut penglihatannya.
"Selow aja kali. Kenapa gugup? Karena gak ada Devan ya?" celetuk Delana. Elina tergagap.
"E-eh, bukan gitu. Aku ngerasa kayak bukan anggota ini aja," ucap Elina. Delana tertawa terbahak-bahak.
"Kalau bukan anggota, terus lo ngapain nangkring di sini? Pulang aja sonoh!" usir Delana.
"Ih, Kak Del jahat banget deh!" protes Elina.
"Panggilnya 'Kak Lan' aja deh, biar mirip-mirip kayak Dilan," usul Delana.
"Wah wah…ide bagus tuh, Kak! Tapi aku lebih suka panggil 'Kak Del'. Biar samaan kayak Devan hehehe," seru Elina. Delana mendengus.
"Lo sama Devan sama kampretnya emang!" cibir Delana. Elina terkikik.
"By the way, Kak Delana lucu banget sih," puji Elina.
"Duh, eh eh jangan baper ya tapi," ucap Delana mendramatisir.
"Kalau baper kenapa?" tanya Elina.
"Kalau lo baper, guenya enggak, sama aja gue nyakitin lo. Yang ada dosa gue nambah."
Elina terkikik geli. Andai kalian tahu, Delana itu memiliki style ala-ala bad boy. Ganteng sih. Positif thinking aja, mungkin dia spesies preman yang lagi taubat. Lagi taubat ya, bukan sudah taubat hahaha.
"Kalau gak mau dapat dosa, ya jangan jadi playboy, Kak!" ucap Elina. Delana mendengus.
"Playboy? Sorry ya, gue ini cuma setia sama satu cewek aja," sanggah Delana.
"Dih, iya ceweknya satu, tapi di mana-mana ada. Ya kan?" ucap Elina.
"Sok tahu banget lo," cibir Delana.
"Orang Devan sendiri yang bilang sama aku tadi di baksos," ucap Elina.
"Lama-lama lo kampret juga ya," cibir Delana, "siapa nama lo?"
"Elina."
"Panggilnya 'El'?" tanya Delana.
"Panggilnya 'Pril' aja, kan aku mirip Kak Prilly Latuconsina," ucap Elina.
"Pede amat lo, Tong!" cibir Delana. Elina terkikik.
"Uhuk!" Tiba-tiba seorang perempuan di samping Elina terbatuk. Delana menatap ke arah perempuan itu sekilas.
"Disa cantikku, jangan cemburu ya? Aku kan setianya cuma sama kamu," rayu Delana.
Perempuan itu memasang wajah jijik, "Najis!"
***
Hamparan bintang memenuhi gelapnya langit. Elina melangkahkan kakinya menuruni tangga. Di sana, terdapat mamanya tengah berduduk santai di meja makan. Tangan mamanya melambai. Mengajak Elina untuk makan malam bersamanya. Elina pun segera menghampiri mamanya itu. Lantas menyeret sebuah kursi untuk di duduki.
"Okta mana, Ma?" tanya Elina seraya melihat sekitar.
"Nginep di rumah temennya," jawab Mama Elina.
"Em...Mama masak sendiri?" tanya Elina.
"Gak, tadi ada delivery," ujar Mama.
"Oh…kirain," ucap Elina dingin.
"Seminggu lagi, kamu ulang tahun kan? Mau pesta yang kayak gimana?" tanya Mama. Elina tersenyum kecut.
"Aku gak butuh pesta, aku butuhnya Papa sama Mama," cibir Elina.
"Bukannya gitu, Mama pengen kamu temennya tambah," jawab Mama.
"Percuma, Ma! Mau pestanya segedhe apapun, mau hadiahnya semewah apapun, percuma. Yang Elina butuhin itu Mama sama Papa ada di samping Elina. Elina pengen kita bersama-sama kayak dulu lagi, Ma."
"Tapi sayangnya, kita gak bisa sama-sama lagi, El!" sentak Mama, "Mama udah capek-capek buatin undangannya. Kalau mau ya kamu sebar, kalau gak mau ya udah."
"Asalkan ada Mama sama Papa, aku mau," sungut Elina.
"Kamu itu udah gedhe! Harusnya kamu bisa mandiri, gak bergantung sama Mama Papa terus-terusan!" cibir Mama.
"Bukan masalah mandiri atau nggaknya, Ma, ini masalah aku beneran anak kalian atau bukan!" cetus Elina, "kalau aku emang beneran anak kalian, aku pengen, Mama sama Papa ada di ulang tahun aku."
"El, Mama kan juga harus kerja di kantor. Kamu tahu kan? Mama gak bisa seenak jidatnya ngambil cuti. Kamu juga harus ngerti dong. Apalagi Papa, Papa juga belum tentu masih peduli sama kita!"
"Harusnya kalau Papa sama Mama masih pengen bebas, gak usah punya anak, Ma! Elina capek! Elina menderita! Elina yakin, Okta pasti merasakan hal yang sama seperti Elina!"
Elina berdiri seraya menggebrak meja makan. Ia lantas berlalu dari meja makan, dan memilih untuk mendekam di kamar. Wajahnya terasa panas. Pelupuk matanya pun basah. Mati-matian Elina menahan tangisnya. Bagaimanapun, Elina tidak ingin dianggap cengeng. Cukup! Elina ingin pindah ke keluarga lain. Keluarga yang utuh. Keluarga yang lebih bisa menghargai perasaannya. Keluarga yang lebih sejahtera.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 234 Episodes
Comments