Selama dua menit penuh, kalau bukan lebih, kami berdua hanya menatap langit-langit, tidak mengatakan apa pun, meredakan pernapasan.
Akhirnya, ia mengerjapkan mata. "Temani aku mandi, ya?" pintanya. Tanpa menunggu jawabanku ia langsung beringsut turun dari ranjang dan menggendongku. Membawaku ke kamar mandi.
Rasa-rasanya sekarang aku jadi kebingungan sendiri bagaimana mesti bersikap. Jelas tidak bisa lagi seperti teman sebagaimana hubungan kami sebelumnya. Tetapi tidak bisa juga sebagai kekasih. Tidak bisa.
Karena secara hukum negara, dia belum bercerai dengan Mentari.
Aku menggeleng-gelengkan kepala ketika Mas Bintang menyalakan pancuran yang seketika membasahi tubuh kami. Tidak bisa, pikirku. Aku menyingkir dari pancuran lalu berkata, "Maaf, Mas, aku tunggu di luar saja."
"Tidak." Dia menarikku dan menghentakku ke dalam pelukan. Jantungku serasa melorot ke perut.
Tanpa berkata-kata, Mas Bintang memutari tubuhku, memelukku dari belakang dan menumpangkan kepalanya di lekuk antara leher dan pundakku.
"Di sini saja. Tolong, jangan tingggalkan aku."
Permintaan apa itu, Mas? Kenapa kita malah jadi begini?
Tapi aku tak bisa mengatakan apa-apa. Aku hanya bisa diam, membiarkan tubuh ini tetap di dalam pelukannya. Hingga gairah itu kembali bangkit. Dia kembali mencumbuku, menelusurkan bibirnya di tengkuk leherku. Dan, tidak tahu bagaimana persisnya, ketika kusadari air di atas kepala kami berhenti mengalir, gerak langkah kaki pria itu mengarahkan kami ke hadapan cermin.
Tatapan mata kami bertemu di sana.
"Aku... kedinginan," kataku dalam upaya menghindarinya tanpa membuatnya merasa tersinggung. Namun pria itu mungkin mengartikan lain. Tangannya malah bergerak menangkup dadaku.
Aku mengeran*. Dia melakukan lebih. Tak sekadar menyentuh. Tak sekadar menangkup. Dia membuatku bingung apa yang harus kulakukan? Hatiku menolak. Pikiranku mencegah. Tapi jiwaku justru menikmati.
Dan rasa nikmat itulah yang membuatku membiarkan semuanya kembali terjadi.
Kembali terjadi....
"Bulan," Mas Bintang berbisik, kemudian memutar tubuhku menghadap kepadanya.
Dan aku tahu apa yang hendak ia lakukan. Ia menatap tubuhku, ke dadaku, dan meletakkan tangannya di sana. Kemudian ia berhenti, dengan lembut mengangkat wajahnya untuk menatapku.
Tapi aku tak kuasa untuk membalas tatapannya. Pipiku terasa panas, sangat malu.
"Mungkin kamu tidak percaya," katanya, membiarkan tangannya tetap di dadaku, dan menyapu ringan puncak itu dengan jemarinya.
Sial! Tubuhku bereaksi. Merespons sentuhan itu.
"Sungguh, aku tidak pernah melakukan ini dengan perempuan lain meski sudah berbulan-bulan tidak bersama... dia." Ia menggeleng. "Sejak aku mengetahui semuanya. Tapi sekarang... malam ini aku kembali menemukan hasratku. Tidak tahu apa yang terjadi, tapi kehadiranmu membuatku merasa... aku merasa jiwaku kembali bebas. Apa kamu merasakan hal yang sama?"
Aku mengangguk, tapi kemudian menggeleng. "Aku tidak tahu," kataku.
"It's ok. Aku tahu jawabanmu yang sebenarnya."
"Emm? Maksud... Mas?"
"Matamu mengatakan segalanya, Bulan."
"Tidak. Aku...."
"Ssst...."
Oh! Dia membuatku terkejut. Mas Bintang tiba-tiba menundukkan kepala dan mengambil puncak itu dengan mulutnya. Mengisap lembut.
Nikmat, batinku berkata. Dan aku mendapati -- jauh di dalam hatiku, aku menyadari hasratku menyala liar. Menggelora. Aku ingin momen ini terus berlanjut. Aku ingin merasakan kenikmatan ini lagi dan lagi.
Di pinggangku, lengan kokoh pria itu menopang tubuhku yang secara alami melengkung sementara ia terus menarikku ke dalam kehangatan mulutnya, dan satu tangannya yang lain mencengkeramku, *eremasku begitu kuat. Aku tak mampu berhenti mengeran* dan tanpa menyadari bahwa aku menelusuri punggung telanjang pria itu, yang begitu kencang dengan tanganku. Nyaris balas mencengkeramnya.
"Kamu milikku malam ini," ia berbisik di telinga begitu menelusuri tengkuk leherku, lalu menancapkan lagi taringnya, terbenam dan mengisapku kuat-kuat.
Aku tak mampu lagi menahan diri. Aku kembali mengeran* kuat. Dan sesaat setelah itu, masih menguasai leherku, satu tangannya turun ke belakang pahaku, lalu ia menggendongku di dadanya, kembali ke ranjang.
Dan kemudian, aku tak pernah mengingat bagaimana persisnya, aku kembali terbaring di ranjangku dan pria itu seketika mencumbuku di bagian itu dengan kehangatan mulutnya. Seolah menyedotku dalam-dalam.
Ouch! Aku terkesiap. Pinggulku tersentak. Kedua tanganku mengejang mencengkeram seprai. Namun pria itu terus memanjakanku dengan caranya hingga aku kembali ingin meledak karenanya.
"Berhenti, Mas," pintaku, kututup diriku dan aku menggeleng seraya memejamkan mata. Ada kehangatan yang mengalir dari diriku.
Sebagai balasannya, Mas Bintang bergerak naik di tubuhku. Kurasakan kembali sensasi tubuhnya yang berat dan panas membakar dan merentangkan tungkaiku, lalu menyelinap masuk ke dalam kehangatan itu sekali lagi.
"Apa aku mengecewakan?" tanyanya, membuatku kembali terkejut. Dan suaranya gemetar. "Apa aku... tidak memuaskan sebagaimana pria lain?"
Deg!
Aku mengerti maksud pertanyaan itu.
"Jangan bertanya seperti ini," ujarku. "Aku pun bisa menanyakan hal yang sama."
Dia menggeleng. "Kamu tidak seburuk itu. Kamu nikmat. Kamu begitu hangat. Percaya kepadaku."
"Kalau begitu percayalah juga kepadaku, kamu hebat. Kamu sama sekali tidak payah."
Dia mengangguk. "Kuharap kamu mengatakan yang sebenarnya. Bukan sekadar untuk menyenangkanku."
"I am serious. You are the best. Sungguh."
Dengan mengulum senyum, kembali, dia menghunjamkan dirinya ke dalam kelembapan yang hangat itu. Merentangkanku lebar dengan satu tangan, memaksakan sentuhannya pada inti gairah dan kenikmatan itu.
Ya, itu. Begitu sempurna. Begitu dalam. Membuatku kembali mengeran* dan mengangkat tubuh, menggelinjan* di bawah hunjamannya. Lagi dan lagi, dia mendesakkan diri ke dalamku. Napasnya tersengal, kepalanya mendongak, pinggulnya mengayun penuh hasrat. Otot lengan dan lehernya mengencang saat dia terus menghunjamkan dirinya ke dalamku bagaikan pria yang kerasukan.
Lalu ia terjatuh sepenuhnya di atasku, memaksa bahuku terbenam ke dalam ranjang, dengan kasar mendesakkan dirinya berkali-kali sampai aku tak mampu berbuat apa-apa kecuali membisikkan namanya. Kami sama terengahnya dan bagaikan kehabisan napas.
"Oh, Sayang!" Mas Bintang berteriak. "Akh! Akh! Tuhaaaaan...!" suaranya serak dan berat. Lalu ia membenamkan wajahnya di leherku, menggigitku hingga aku menjerit karenanya.
Eummmmmmm...! Dia mengeran* dalam untuk sebuah pelepasan.
"Di dalam," bisikku, memohon.
Dan ia memenuhi. Pinggulnya menyentak di tubuhku dua kali lagi, membuat kepala ranjang berderak menghantam dinding. Ia mencengkeramku lebih kencang, menarikku lebih erat kepadanya, bergidik gemetar, mendorong, menekan kuat ke dalamku hingga terhenyak, dan kali ini ia membiarkan diri di dalamku, menumpahkan diri hingga terkuras habis. Hingga denyutan terakhir.
Malam itu bagaikan suatu penebusan. Malam untuk memuaskan segala amarah, kegetiran, luka dan ketercampakan. Dua orang dewasa dalam satu nasib. Mengamuk rasa dalam gelora sesaat tanpa cinta. Meraih kenikmatan yang telah lama dirindukan.
Bersamanya, jiwaku melebur dalam kehangatan, menyatu dalam butiran peluh, bermandikan keringat, dan aku merasa seolah hidupku tergenapi, seolah dia milikku. Seolah... dia belahan jiwaku. Hingga malam itu, aku menerimanya dengan bahagia ketika ia menumpahkan diri di dalamku.
Dan aku tahu, rasa nyaman dan kesepian, itu yang membawaku hingga berada di sini, di dalam pelukan lelaki yang secara hukum masih berstatus sebagai suami dari sahabatku. Membiarkannya berdenyar dan berdenyut di dalam diriku. Tanpa peduli ada keinginan yang masih menggantung, belum terselesaikan. Untuk sesaat semuanya terlupa: Pendaman kecewa. Kesepihakan. Dan ketakacuhan atas apa yang kurasakan. Sisakan peluh penuh kenikmatan dalam dekapan... dosa yang termanis.
Maafkan aku, Teman, batinku lirih, dalam ketelanjangan yang masih menyisakan rengkuhan hangat Mas Bintang di tubuhku.
Dan pria hangat itu mencium kedua pipiku, mengecup bibirku, lalu mencium puncak hidungku. "Selamat malam, Bulan Purnama. Bermimpilah yang indah." Dan ia melengkapi momen itu dengan satu ciuman di keningku. Begitu hangat dan lembut. Seperti ciuman seorang kekasih.
Dan untuk pertama kalinya aku merasa seolah diriku begitu diinginkan oleh seorang pria.
Yeah, malam itu, di ranjangku, kami terlelap dalam hangatnya pelukan, tertidur pulas usai hasrat yang terurai. Sementara di langit kelam di atas sana, lewat jendela kaca yang terbingkai di dinding kamarku, bulan purnama mengintip, menjadi saksi bisu atas rahasia kelam nan manis antara aku... dan dia, Sang Bintang Purnama, hasratku yang terlarang....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Deliana
terlanjur basah ya sudah mandi lh skalian... 😁😁🤭
2023-05-26
1
Reni
Terlepas ini adalah dosa mrk, kak Juli gk pernah gagal utk sesuatu yg panas, hot, berasa bgt, ampe basah yg disini 😜. bahasanya jg bgs dikemas apik oleh author, gk ada kata vulgar sedikitpun tp feel nya dpt bgt. 🥰
2023-05-23
2
Reni
Terlepas ini adalah dosa mrk, kak Juli gk pernah gagal utk sesuatu yg panas, hot, berasa bgt, ampe basah yg disini 😜. bahasanya jg bgs dikemas apik oleh author, gk ada kata vulgar sedikitpun tp feel nya dpt bgt. 🥰
2023-05-23
1