"Kan aku sudah meluangkan waktuku untukmu. Harusnya kamu tidak keberatan, dong, kalau aku mengajakmu jalan?" tanya Mas Bintang, bermaksud mengajakku mencari sebuah tempat untuk menghabiskan sisa malam itu. "Mau nonton?"
Sebenarnya aku ingin menolak. Namun senyum tulus di wajahnya dan kata-katanya yang menyekakku dengan telak, membuatku tidak enak hati pada Mas Bintang dan akhirnya aku menerima ajakannya. Kami pun pergi ke bioskop untuk menonton film horor: melewati malam dalam ketegangan, jeritan rasa takut, dan sedikit bumbu-bumbu romantisme yang membuat dadaku terasa sesak.
Sebenarnya, pada awalnya aku menolak, aku tidak cukup berani untuk menonton film horor. Tapi Mas Bintang berhasil meyakinkan aku, atau tepatnya membujuk dan merayu.
"Tidak perlu takut," ujarnya. "Film horror itu bagus, tahu, untuk mengalihkan pikiran. Lagipula kan ada aku, akan kuberikan bahuku sebagai tempat pelampiasan. Kamu boleh cubit, kamu boleh pukul, mau bersandar juga boleh. Tapi jangan ngiler. Nanti basah," candanya, membuatku mendelikkan mata kepadanya, lalu dia terkekeh dengan keras.
Well, aku menyetujui ajakannya. Malam itu kami menonton film horor dan aku nyaris mati ketakutan.
"Kenapa Bulan mesti takut?" tanya Mas Bintang dalam bisikan sewaktu aku menutup mata dengan kedua telapak tangan. "Bukankah Bulan selalu sendirian di atas sana?"
Hmm... bisa saja dia. Kujauhkan kedua tanganku dan membuka mata untuk menatapnya. "Kata siapa bulan sendirian di atas sana? Ada jutaan bintang yang menemaninya setiap malam. Tidak peduli dalam keadaan segaris sabit, atau purnama yang sempurna, akan selalu ada jutaan bintang bersamanya."
"Ya, selalu ada jutaan bintang bersamanya. Tapi di sini hanya ada satu Bintang untukmu. Bintang Purnama yang akan selalu menemanimu. Selamanya."
Ups! Haha!
Aku tergelak keras, sampai-sampai membuat beberapa pasang mata menoleh ke arah kami. "Dasar pria gombal!" ledekku seraya menjulurkan lidah untuk mengejeknya.
Mas Bintang hanya terkekeh. Matanya nyaris tinggal segaris karena wajah tampannya dihiasi senyuman yang indah.
"Sahabatku itu bodoh sekali karena menyia-nyiakan pria semanis bintang purnama seperti dirimu."
Dia mengedikkan bahu, lalu cemberut. "Bulan Purnama yang cantik jelita, bisa tidak jangan membahas hal itu lagi?" Dia mencubit gemas kedua pipiku. "Aku sedang berusaha move on, tahu...."
Uh! Aku meringis. Dia mencubit kedua pipiku sungguhan. "Sakit, tahu!"
"Biar saja. Biar kamu tahu rasa," dia balas meledek dengan menjulurkan lidah dan menjulingkan mata.
Dan membuatku tertawa. Dia pria yang baik. Kenapa Mentari begitu bodoh berselingkuh dari pria sebaik ini? Apa yang kurang dari Mas Bintang dibandingkan dengan pria-pria selingkuhannya? Bahkan aku tahu Mas Bintang salah satu karyawan terbaik di kantor Papa. Sebagai seorang pria yang mandiri dan tanpa modal dari orang tua, dan hanya berstatus sebagai seorang karyawan -- bukan seorang usahawan, wajar jika dia belum bisa memanjakan pasangannya dengan kekayaan yang berlimpah. Dia mesti menyisihkan gajinya untuk cicilan rumah dan mobil, sebagai tempat berteduh untuk keluarga kecilnya, dan transportasi yang nyaman untuk mereka. Dan asalkan kebutuhan dapur selalu terpenuhi, bukankah itu sudah cukup untuk membina rumah tangga yang bahagia? Takdir memang aneh, pria sebaik ini kenapa tidak ditakdirkan untukku saja? Dan kenapa malah pria seburuk Mas Ardi yang pernah menjadi bagian dalam hidupku?
"Hei?" tegur Mas Bintang saat tanpa sadar tatapanku terfokus kepadanya. "Kenapa menatapku seperti itu? Hati-hati, nanti kamu bisa jatuh cinta."
Iyuuuuuuh... dia kembali membuatku terkekeh-kekeh. "Percaya diri sekali kamu! Dasar pria!" ledekku.
Setelah aku berkata seperti itu, aku kembali memperhatikan layar di hadapanku, persis pada saat adegan romantis baru saja dimulai. Sepasang kekasih tengah bercumbu mesra. Dengan hasrat dan gairah. Berciuman, lalu berakhir di ranjang.
Ya Tuhan, aku meneguk ludah dengan susah payah. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba melandaku. Membuatku tidak nyaman dan seakan hidupku nelangsa sendiri. Kesepian, dan, merasa bagaikan insan yang paling tidak beruntung di dunia.
"Kamu tidak sendiri. Ada yang senasib denganmu di sini," bisik Mas Bintang, lalu ia merangkulkan tangannya kepadaku.
Malam itu, dalam penerangan minim gedung bioskop, pria itu membagi bahunya untuk aku bersandar, dan menumpangkanku pada dada bidangnya untuk sebuah pelukan yang hangat.
Seusai menonton film horor, kami pergi ke tempat karaoke, itu atas usulan Mas Bintang juga yang menyeret dan memaksaku masuk ke tempat karaoke. Mengekpresikan diri dalam suara-suara sumbang, berbagi canda dan tawa, dan melupakan waktu. Tanpa kusadari, sudah lewat tengah malam ketika kami keluar dari tempat karaoke.
Malam itu, jam satu dini hari, kami melintasi jalanan Jakarta yang lengang menuju rumahku. Dan setibanya di halaman rumahku, Mas Bintang cepat-cepat keluar dari mobil dan membukakan pintu penumpang untukku. "Terima kasih," ucapku, dia hanya mengangguk dan tersenyum. Lalu, karena ia tidak beranjak kembali ke mobil atau mengatakan sesuatu, aku mengarahkan pandang ke pintu rumahku. "Sudah malam," kataku. "Aku... permisi."
"Tidak menawariku masuk?"
"Oh? Kamu...."
"Boleh?"
"Emm... tapi... hari sudah malam."
"Bahkan ini sudah pagi. Ayo, habiskan sisa waktumu bersamaku."
Tanpa perlawanan, atau sekadar penolakan, aku membiarkan Mas Bintang menggenggam tanganku dan menggandengku ke pintu.
Meski ragu, aku mengeluarkan kunci dari tas tanganku dan membukakan pintu. "Silakan," kataku, dengan hati bimbang, aku membiarkan pria itu mengikutiku masuk ke dalam rumahku dan menutup pintu di belakang punggungnya. "Kamu mau minum apa?"
Dia mengedikkan bahu. "Apa saja," katanya. "Minuman dingin juga boleh. Yang simpel saja."
"Oke. Tunggu, ya, biar aku ambilkan."
Aku segera menuju ke dapur dan kembali ke ruang tamu dengan sebuah nampan besar di tanganku, membawa sepiring kue brownie dengan topping cokelat di atasnya dan beberapa minuman kaleng ketika Mas Bintang berdiri di dekat jendela kaca. Memandang ke angkasa lepas, dan tersenyum.
"Ada apa?" tanyaku. "Apa yang kamu lihat?"
Dia menunjuk ke atas, ke langit hitam pekat nan jauh di sana. "Bulan purnama, dengan sejuta bintang."
Aku tersenyum mendengarnya. Dia seperti seorang pujangga yang sedang merayu seorang gadis. "Pilih saja mana yang kamu suka," kataku, lalu meletakkan nampan minuman di tanganku ke atas meja.
"Kurasa aku suka yang ada di depan mataku. Calon Nyonya Bintang."
Euw, kali ini bibirku mengerucut. Memberengut dalam versi yang positif. "Sudahlah, jangan bercanda terus. Yang kumaksud minuman ini. Kamu pilih saja mana yang kamu suka. Bukan tentang bulan dan bintang."
Mas Bintang terkekeh. Dan nampak sangat bahagia. Binar itu nampak jelas di matanya, dan wajahnya yang ceria. Seolah beban yang membelenggunya, yang terlihat jelas saat pertama kali aku melihatnya masuk ke cafe tadi, sudah sirna, terangkat dari pundaknya.
Benar. Jika perpisahan membawa bahagia dan kebersamaan justru membelenggu, menyiksa hati dan jiwa, maka tidaklah salah jika kita memilih bahagia. Meski harus berpisah....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Afternoon Honey
wah manis banget nih gombalannya 💖
2023-08-29
0
Deliana
memang sih bulan kn berdampingan dgn bintang,apalgi klu cuaca ny bgus,. bkanny dgn mntari sdah kejauhan antara siang dan malam,, kok bhas ny cuaca sih... 🫶🫶🫰
2023-05-24
1
Deliana
aaaahhhh,,, so sweet...
2023-05-24
1