"Apa aku boleh menganggap sedang berada di rumahku sendiri?" tanya Mas Bintang, ia tersenyum seraya melepaskan sepatunya.
Aku mengangguk. "Terserah kamu saja," kataku, meski dalam hati aku ingin meledeknya: Kamu pria yang banyak maunya. Tapi tidak kukatakan, aku sedang dalam keadaan... merasa kurang nyaman untuk bercanda sekarang, atau terus bercanda dengannya. Entahlah. "Oh ya, kamu tunggu di sini dulu, ya. Aku ke kamar sebentar," kataku setelah menaruh sepiring kue ke hadapannya.
Seraya mengambil satu kaleng kopi dingin, Mas Bintang mengangguk, lalu aku berlalu menaiki tangga menuju kamarku, menaruh tas tanganku dan mengeluarkan ponselku yang lowbat. Aku perlu mengisi daya baterainya. Kemudian pergi ke kamar mandi untuk bersih-bersih.
Setelah keluar dari kamar mandi dan berganti pakaian, kusadari ponselku bergetar. Ada panggilan masuk di ponselku. Telepon dari Mentari.
Seketika aku jadi bingung, merasa ragu untuk menjawab telepon itu karena keberadaan Mas Bintang di rumahku semalam ini, tepatnya dini hari begini. Aku tahu, pasti sedari tadi dia berusaha menghubungiku. Dan sekarang ponselku baru saja aktif. Dia pun pasti menyadari hal itu.
Demi tidak terkesan menghindar, aku pun segera melepas ponselku dari charger untuk menjawab telepon Mentari. Toh, percuma. Dia akan terus menagih jawabanku kalau aku tidak menjawab secepatnya.
Klik! Sambungan telepon terhubung.
"Halo, Bulan, ya ampun, akhirnya kamu bisa di telepon."
"Ya. Maaf, Tari, aku baru charge HP-ku," sahutku, gelisah.
"Oh, begitu. Syukurlah. Dari tadi aku coba menghubungimu, kupikir ada apa tadi. Oh, ya, omong-omong, bagaimana? Kamu sudah bicara, kan, dengan Mas Bintang?" berondongnya.
Aku menelan ludah. "Ya," kataku. "Sudah."
"Lalu? Kamu berhasil, kan, membujuknya?"
"Emm... soal itu...."
"Ada apa?"
"Maaf, Tar. Tapi Mas Bintang... dia menolak."
"Gimana, sih, Lan? Kamu kan bisa bujuk dia. Setahuku dia segan sama kamu. Dia kan kerja di perusahaan papamu atas bantuanmu. Harusnya dia tidak menolak kalau kamu menasihatinya."
"Ya ampun, Tar, apa hubungannya? Masalah personal tidak bisa dihubungkan dengan pekerjaan. Apalagi ini urusan rumah tanggamu. Mana bisa Mas Bintang kembali padamu hanya karena merasa tidak enak padaku."
"Ah, sudahlah. Aku menyesal mengharapkan pertolongan darimu. Bagaimana mungkin bisa. Kamu saja memilih bercerai dengan suamimu. Tidak mungkin kamu mau memikirkan pernikahan orang lain. Sekalipun pernikahan sahabatmu sendiri."
Ya ampun... dia mulai tidak waras. "Jangan bicara seperti itu, Tar," kataku, berusaha menahan emosi. "Tolong jaga bicaramu."
"Kenapa? Aku benar, kan? Harusnya aku tahu, kamu akan lebih suka kalau aku menjanda sepertimu. Nelangsa dan kesepian."
Sakit hati, bingung, dan semakin marah, aku berteriak kepadanya, "Kurang ajar! Beraninya kamu bicara begitu padaku."
"Sudahlah, Bulan! Kamu memang tidak bisa diharapkan!"
Tut!
Sambungan telepon diputus sepihak.
"Berengsek!" hardikku. "Dia yang salah, kenapa dia yang marah-marah? Dasar tidak waras!"
Amarah menggelegak di dalam diriku. Aku sangat marah! Aku kesal! Aku benci sifat Mentari yang sekarang. Dia bukan lagi Mentari yang kukenal dengan baik semasa SMA dan semasa awal kuliah dulu. Sekarang dia begitu egois dan bertindak semaunya.
"Sabar, Bulan. Sabar," kataku pada diri sendiri seraya memejamkan mata. "Kamu sudah mencoba, tapi hasilnya bukan di tanganmu. Tidak usah peduli dengan ocehan Mentari. Abaikan saja. Oke? Yang penting mulai sekarang jangan lagi ikut campur urusannya. Dia orang yang tidak tahu terima kasih dan tidak pantas dikasihani."
Kuhela napas dalam-dalam. Berusaha mengabaikan kekecewaan Mentari terhadapku dan mengabaikan kejengkelan hatiku terhadapnya. Tetapi...
Walaupun begitu, ada rasa sesak di dalam dada. Mengingat dua belas tahun pertemanan kami, bisa dibilang kami bersahabat. Tapi sekarang...?
"Well, abaikan saja, Bulan. Abaikan saja!"
Kusambungkan kembali kabel charger ke ponselku dan menaruhnya kembali ke atas meja kecil di samping tempat tidur. Lalu aku membuka pintu hendak keluar dari kamar...
"Oh! Mas...? Kok kamu ada di sini?"
Aku terkejut. Mas Bintang berdiri tepat di depan pintu kamarku dan mendengar semua pembicaraanku. Dia pun pasti mendengar aku marah-marah, melampiaskan emosiku setelah Mentari memutus telepon secara sepihak.
"Aku mengkhawatirkanmu," katanya. Ia berdiri di hadapanku dengan kedua tangan di dalam saku-saku celana, tertunduk dengan rasa bersalah. "Tadi... aku mendengarmu marah-marah, jadi aku menyusulmu ke sini. Dan benar saja," ujarnya seraya mengangkat kepala, tapi kedua matanya masih menyorotkan penyesalan. "Maaf, ya, dia jadi marah-marah padamu gara-gara aku."
Aku menggeleng. "Tidak apa-apa, Mas. Bukan gara-gara kamu," kataku. "Bukan kamu yang salah. Lagipula, aku yang bodoh. Harusnya dari awal aku tidak ikut campur urusan kalian." Aku mengedikkan bahu. "Aku yang salah. Aku yang--"
"Ssst...." Ia meletakkan satu jari di bibirku. "Kamu tidak salah. Kamu perempuan yang baik. Kamu peduli pada orang lain dan aku bangga padamu."
Deg!
Tak kuduga, setelah bicara begitu, Mas Bintang menyentuh wajahku, matanya menatap intens kedua mataku, lalu berujar lembut, "Kamu tidak pantas mendapat perlakuan buruk. Hatimu baik. Dan di mataku, kamu seperti seorang dewi penolong. Bahkan... aku merasa nyaman bersamamu."
Aku terdiam. Sentuhan Mas Bintang seakan mempunyai berjuta makna. Ada yang mendesir di dalam dada. Seperti air mengalir, tetapi lebih menyejukkan. Seperti sengatan listrik, tapi lebih mendebarkan.
Tanpa kuinginkan, aku menikmati momen ini -- sebelum akhirnya aku berusaha mendongak untuk memandang wajah yang...
Sanubariku mengatakan betapa gagahnya dia. Garis tampan itu memang jelas nyata sekarang.
Dalam hening kami berdua terpaku, pelan kurasakan tubuh kami kian dekat, benar-benar mendekat. Mas Bintang mendongakkan wajahku, dan bibirnya...
Aku tidak bereaksi apa-apa. Aku juga tidak menolak.
Tanpa banyak suara, kecupan Mas Bintang pun mulus mendarat di bibirku.
Gemetar...
Berdebar...
Dan aku... aku sangat menikmatinya. Hingga beberapa menit berikutnya, kurasa aku tidak ingin melepaskan kecupan mesra itu dari bibirku. Kurasakan kehangatan yang... entahlah... aku tak dapat menyebutnya. Aku sungguh-sungguh menikmati.
Mas Bintang yang lebih dulu menarik wajahnya tersenyum, membuatku tersipu.
Setelah itu, kami berdua terdiam dalam keheningan. Terpaku dengan pikiran sendiri-sendiri. Lalu mata kami pun kembali saling beradu. Satu sama lain mengerti apa yang dimau, walau tanpa suara. Hanya bahasa tubuh kami yang saling bicara.
"Aku menginginkanmu," katanya seraya menarikku lebih dekat ke dalam dekapannya. Suaranya serak dan berat. Dan tatapan matanya membakar diriku. "Aku menginginkanmu, Bulan."
Kembali, ia menyambar bibirku. Aku mengeran*. Kembang-kempis dadaku. Dan kurasakan jantungku berdetak lebih kencang. Ada rasa berdebar yang kurasakan, seakan aku seorang gadis belia yang sedang jatuh cinta. Dan... momen ini membuatku bahagia, aku dapat merasakan seluruh dirinya, kekuatan lengannya yang memelukku begitu erat.
Oh, Tuhan... sesuatu telah terjadi kepadaku. Tak bisa kupungkiri, aku pun menginginkan pria ini....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Afternoon Honey
suka banget deh sama cerita ini... 💖
2023-08-29
0
momnaz
Aku suka sama cerita yang "menantang" kek gini...
2023-06-12
1
Deliana
cepat bnget tu bibir main nyosor aja,,,. 🫣
klu uda kayak gni hrus kuat kn iman nih..
2023-05-25
1