Skandal Termanis
...♡♡♡...
...MOHON BIJAK DALAM MEMBACA....
...¤ CERITA INI BERGENRE ROMANSA HOT 21...
...¤ TERDAPAT UNSUR *EKSUAL DAN KEKERASAN...
...¤ BUKAN UNTUK ANAK DI BAWAH UMUR...
...PLEASE, BERI LIKE JIKA KAU MENYUKAI TULISANKU....
...HAPPY READING!...
...♡♡♡...
"Bulan, tolong aku. Tolong kamu bicara dengan Mas Bintang untuk mempertahankan pernikahan kami. Tolong bujuk dia. Aku yakin dia mau mendengarkanmu. Dia segan padamu. Aku mohon bantu aku, please...."
Itu -- pesan suara dari Mentari, sahabat karibku. Pesan yang ingin kuabaikan namun tak sampai hati aku melakukannya. Hingga akhirnya kuputuskan untuk membantunya.
Sore itu, di sudut sebuah cafe bernuansa Italy, aku menunggu Mas Bintang. Menyeruput segelas cappuccino dingin, sambil sesekali mataku menyapu ke luar jendela. Empat potong shrimp bruschetta yang tadi kupesan pun sudah ludes kusantap. Namun tak juga kulihat sosok yang kutunggu. Mulai kesal rasanya, rasa jengkel menyeruak di dalam dada, dan aku mulai menggerutu. Sudah lebih dari satu jam aku menunggu kedatangan pria itu. Tapi untunglah beberapa menit kemudian pesan suara dari Mas Bintang pun masuk.
“Sudah dekat, maaf tadi keluar kantor agak terlambat,” katanya.
Selang seperempat jam setelah itu, kami pun telah duduk berhadapan. Mas Bintang memesan minuman yang sama dengan yang kupilih. “Kamu nggak pesan makanan?” tanyaku.
Mas Bintang menggeleng. “Masih agak kenyang. Tadi makan siang agak terlambat,” jawabnya sambil meletakkan ranselnya di atas meja. Setelah itu matanya justru sibuk mengamatiku dari atas ke bawah, sambil tersenyum simpul, dia berkata, "Kamu sekarang nampak berbeda dari terakhir kali aku melihatmu."
Terkekeh aku mendengarnya. “Kenapa? Aku terlihat lebih kurus dan lebih cantik? Hmm?” jawabku yang diikuti derai tawa nan renyah.
Mas Bintang pun ikut terbahak. "Kalau boleh jujur, ya, kamu memang selalu cantik. Tapi sekarang jauh lebih cantik. Perubahan yang sangat luar biasa."
"O ya? Kalau begitu terima kasih atas pujiannya." Aku tersenyum. Awal yang baik untuk memulai pembicaraan, pikirku. Suasana yang tadinya kukira akan kaku karena sudah sekian lama aku tak bertemu dengan suami sahabat karibku ini, ternyata tidak terjadi.
Sudah hampir dua setengah tahun kalau tidak salah, aku tidak bertemu dengan Mas Bintang, sejak Mentari membawa pria itu ke rumahku, mengantarkan undangan pernikahan mereka kala itu. Jadi wajar saja jika aku sempat khawatir apa yang diamanatkan Mentari padaku akhirnya akan gagal total sebelum aku mencoba-melakukan usaha yang berarti.
Semoga usahaku membuahkan hasil, harapku.
Namun ternyata nihil. Usahaku tidak membuahkan hasil seperti yang aku dan Mentari harapkan. Boro-boro, bahkan aku belum sempat memulai pembicaraan, Mas Bintang sudah menyekakku lebih dulu.
"Aku tahu maksudmu mengajakku bertemu. Atas permintaan Mentari, kan?"
Aku mengangguk. "Ya," kataku. Namun belum sempat aku mengatakan apa pun lagi, Mas Bintang lebih dulu mencegahku bicara.
"Kamu tidak perlu mengatakan apa pun untuk membujukku. Aku tidak mau mendengarkan apa pun darimu sebagai pembelaan untuk sahabatmu itu. Tapi, yah, aku memenuhi ajakanmu untuk bertemu karena aku yang ingin bicara denganmu. Jadi begini, Bulan, tanpa mengurangi rasa hormatku padamu sebagai anak dari bosku, aku ingin kamu tahu kalau aku tidak akan mengubah keputusanku. Aku tidak akan mempertahankan pernikahan ini, karena aku tidak akan sanggup hidup dengan melihat wajah seorang pengkhianat. Aku akan sesak dalam pernikahan ini kalau kamu tahu itu. Mentari tidak akan pernah bisa berubah. Seandainya pun iya, kalaupun dia sungguh-sungguh menyesal dan berubah sekalipun, itu tidak akan mengubah pandanganku terhadap dirinya. Bagiku dia sudah terlanjur menjadi seorang pengkhianat. Akan seperti itu sosok Mentari di mataku. Selamanya. Jadi bagaimana aku bisa hidup bersamanya? Mustahil."
Hmm... susah sekali meyakinkan pria itu untuk menerima istrinya kembali. Dia menganggap semua tingkah dan penyesalan yang diperlihatkan oleh istrinya itu hanyalah kepalsuan sesaat yang akan kembali lagi kala perempuan yang sudah ia nikahi itu kelelahan memakai topengnya.
"Aku tidak bisa lagi bersamanya. Sudah sangat muak aku melihat perempuan itu. Kalau dipaksakan, aku yang akan sesak. Makan, minum, kerja, sebelum tidur dan setelah bangun tidur, aku akan selalu melihat wajah itu. Aku tidak akan tahan. Apalagi untuk... kamu tahu, kan, maksudku? Misalnya seperti ini, maaf sebelumnya, tapi kita sudah sama-sama dewasa, jadi akan kukatakan secara gamblang. Misalnya aku mempertahankan pernikahan kami, dan aku mesti memberikan nafkah batin, melakukan hubungan suami istri dengan... wanita seperti dia, maka yang akan timbul hanyalah kebencian. Hanya rasa benci. Dan yang akan kuingat hanyalah pengkhianatannya. Dia berselingkuh dan dipakai oleh pria lain. Tidak." Dia menggelengkan kepala, menyeringai frustrasi. "Aku tidak bisa. Harusnya kamu orang yang paling bisa memahami posisiku. Kamu pernah berada di posisiku saat ini. Bagaimana ketika pasangan kita berselingkuh, di luar rumah kita, di atas ranjang lain, dia bergumul dengan orang lain, lalu setelah pulang, dia ada di ranjang kita, bersama kita, bercinta dengan kita. Astaga, itu menjijikkan sekali. Sialan! Bagaimana aku bisa terjebak dengan wanita jalan* seperti itu? Maaf, Bulan, tapi aku jijik. Setiap kali aku teringat, bahwa aku... masuk... ke... lubang yang sama yang sudah dikubangi juga oleh orang lain di belakangku, aku marah. Aku merasa jijik pada diriku sendiri. Sori, aku bukannya sok suci. Aku jelas bukan pria religius, tapi setidaknya aku ingin pasanganku menghormati pernikahan kami dengan kesetiaan. Tapi sahabatmu itu? Kalau saja tidak ketahuan, mungkin selamanya dia akan berbagi kehangatan ranjang dengan pria lain." Mas Bintang mengusap-usap wajahnya dengan kesal. "Tidak bisa. Secara agama dia bukan istriku lagi. Dan... sebenarnya aku sudah menjatuhkan talak tiga. Aku hanya butuh hakim memutus pernikahan kami supaya sah secara hukum negara. Keputusanku sudah final. Dan lihat, kamu saja tidak ingin bertahan, dan kamu bahagia dengan jalan yang kamu pilih. Aku juga menginginkan hal yang sama. Aku ingin bahagia. Bisa kamu pahami perasaanku, Bulan?"
Yeah, aku sangat paham akan perasaan itu. Tak jauh lebih baik dari yang kualami dulu. Hidup dalam kepalsuan yang kurang lebih sama, pengkhianatan-pengkhianatan dan rekayasa mimpi-mimpi dalam keterkurungan sebuah sangkar besi yang dinamakan perkawinan, berakhir dengan terbongkarnya maksud dan tujuan Mas Ardi menikahiku dulu yang tak pernah terbayangkan olehku, lalu tersadar telah membuang tiga tahun hidup dengan penuh pengorbanan dan tanpa pernah ada hitungan. Pengkhianatan paling menyakitkan yang pernah kurasakan, manakala pada akhirnya aku tahu bahwa keberadaan diriku ternyata dinilai sebatas materi saja. Mungkin akan lebih baik bagiku melihat Mas Ardi berselingkuh dengan seribu wanita, daripada setelah sekian lama mataku baru terbuka bahwa Mas Ardi menyandingku sebagai istri hanya karena harta kekayaan orang tuaku. Hanya demi materi dan kesenangan duniawi.
Mengingat itu, seketika seperti ada yang terlepas sumbatannya. Cerita kelam dari lubuk hatiku pun bagai banjir bandang, tumpah ruah membludak diiringi isak tangis yang sudah tak terbendung lagi, tanpa bisa diredam. Terlalu lama semua kepahitan itu kusimpan sendiri, tanpa pernah kubagi barang sedikit pada siapa pun, walau hanya untuk sekadar meringankan beban pikiran. Orang-orang hanya tahu bahwa Mas Ardi suka main perempuan karena kebiasaan barunya. Dia suka bergonta-ganti perempuan setelah punya banyak uang. Dengan alasan ada pekerjaan di luar kota, dia malah pergi dengan mengajak seorang gadis bersamanya, menghabiskan hari-hari penuh kesenangan dan menginap di hotel untuk bercumbu dengan gadis-gadis muda yang menyukai uangnya.
Huh! Mungkin dia mengira dirinya itu pintar karena bermain serong seperti itu di luar Jakarta. Tetapi bukan berarti karena dunia ini begitu luas sehingga dia mengira aku tidak akan pernah mengetahui betapa berengseknya dia.
Tidak. Berita itu sampai juga di telingaku hingga aku nekat membuntutinya. Pada akhirnya aku memergoki Mas Ardi tengah bercumbu di sebuah hotel di luar kota bersama salah seorang gadis. Aku tidak menilai hal itu sebagai sebuah perselingkuhan, sebab aku yakin gadis-gadis itu hanyalah sekadar mainan bagi Mas Ardi. Bukan gadis yang sama yang pernah dikirim fotonya oleh beberapa temanku ketika mereka melihat Mas Ardi sewaktu mereka tak sengaja bertemu di luar kota. Gadis-gadis di dalam foto yang dikirimkan oleh teman-temanku itu selalu gadis yang berbeda. Beda kota, beda gadis yang bersamanya. Sebab itu aku yakin mereka sekadar hiburan semata bagi Mas Ardi. Kesenangan di atas ranjang yang dibeli dengan uang. Gadis-gadis muda itu menggelayuti Mas Ardi demi uangnya, demi kesenangan, jalan-jalan ke luar kota, belanja barang-barang mahal, dan menginap di hotel-hotel mewah. Segalanya bukanlah dilandasi dengan perasaan. Sama halnya dengan pernikahan kami, hanya dilatari jabatan tinggi di perusahaan ayahku dan mengharapkan warisan yang kelak akan jatuh ke tanganku. Beruntung, semua niat busuknya itu terbongkar sebelum benar-benar terlambat.
Yeah, sudah tak kuingat lagi tugas yang kuemban sebagai seorang istri, terkubur oleh himpitan beban yang menggerus ketahanan mentalku. Aku memilih bercerai dengan Mas Ardi setelah melihat dengan mata dan kepalaku sendiri perbuatan busuknya di sebuah hotel kala itu. Pada akhirnya, saat itu, yang tertinggal hanyalah diriku dan air mata.
Melihat pemandangan nelangsa di depan matanya, tangan kasar Mas Bintang pun spontan menggenggam tanganku yang sedikit gemetar, menahan emosi.
"Sudahlah, sabar saja,” katanya, mencoba menghibur.
Dulu, pada saat dia dan Mentari datang ke rumahku untuk mengantarkan undangan pernikahan mereka, Mas Bintang tahu dari Mentari bagaimana keadaanku saat itu: aku sedang dalam situasi yang pelik, sedang berusaha lepas dari lelaki parasit yang saat itu masih berstatus sebagai suamiku. Dalam persidangan perceraian yang berkepanjangan dan masa-masa yang membuatku depresi karena pria itu tidak ingin bercerai denganku. Saat itu aku dalam keadaan terburuk sebagai efek dari rasa frustrasi: melewati sidang demi sidang yang amat menjengkelkan hati.
Sabar saja. Hmm... memang apa lagi yang bisa kulakukan selain itu? Menangis hanyalah pelampiasan sesaat untuk membuang beban. Menjadikan butiran-butiran air mata itu sebagai tiang-tiang pembangun kekuatan diriku untuk bangkit dari keterpurukan. Bukan untuk memperlihatkan kelemahan.
Kutarik tanganku dari genggamannya dan menghapus air mata. "Maaf, Mas," kataku akhirnya. "Tapi kamu dan Mentari punya Kayla. Apa tidak kamu pertimbangkan kembali keputusanmu demi Kayla?"
"Kayla bukan darah dagingku."
"Apa?" Aku sampai melotot, tak percaya.
"Ya. Sudah enam bulan aku keluar dari rumah sebelum memutuskan untuk bercerai. Untuk menenangkan pikiran dan mempertimbangkan semuanya. Sampai akhirnya, aku lupa bagaimana awalnya, ada temanku yang menyarankan untuk tes DNA. Dan aku melakukannya." Mas Bintang menggelengkan kepalanya. Matanya memerah. "Hasilnya tidak sesuai dengan apa yang kuharapkan. Tapi mau bagaimana lagi? Sebab itulah aku sama sekali tidak ragu lagi melayangkan gugatan cerai. Sudah dua kali sidang, tapi Mentari bersikeras menolak perceraian ini. Mungkin nanti... kalau sudah habis kesabaranku, aku akan menggunakan bukti tes DNA itu untuk membuat hakim berpihak kepadaku. Kalau terpaksa, mau bagaimana lagi, kan? Aku juga tidak ingin membuat Kayla terseret dalam persidangan ini. Andai saja bisa. Itu tergantung Mentari. Tapi yang pasti aku akan selalu menyayangi Kayla sebagai putriku."
Aku mengangguk. Merasa salut pada sikap Mas Bintang sebagai seorang ayah, meski Kayla bukanlah darah dagingnya, tapi dia tidak ingin langsung melibatkan anak itu dalam pertarungannya dengan Mentari di meja hijau.
"Jadi," sambungnya setelah menenggak setengah gelas cappucino dingin miliknya, "masih ada yang ingin kamu sampaikan? Masih ingin membujukku demi sahabatmu itu?"
Hmm... serasa kena sindir dengan telak. Aku menggelengkan kepala. "Tidak," kataku. "Aku menghargai keputusanmu. Dan aku salut pada sikapmu yang... keayahan. Kamu seorang ayah yang bijak."
"Ya. Bagaimanapun juga selama ini yang kutahu Kayla adalah darah dagingku. Anak yang kusayangi. Tapi kenyataannya... seperti ini. Tapi seperti yang kukatakan barusan, sepahit apa pun itu, itu tidak lantas mengubah cinta seorang ayah terhadap putrinya. Aku tidak akan membenci Kayla. Kurasa kamu pun akan bersikap sama kalau kamu berada di posisiku. Kamu pasti keibuan."
Untuk sesaat aku kembali merasa sedih, teringat pada janin yang tak sempat terselamatkan. Janin yang baru kuketahui keberadaannya saat aku mengalami keguguran. Kejadian itu persis pada saat aku memergoki Mas Ardi di hotel dan kami bertengkar habis-habisan. Mas Ardi yang kalaf melayangkan tamparan hingga aku terjerembab ke lantai. Janinku yang masih begitu muda langsung tumbang di tangan ayahnya sendiri. Saat itu aku baru tahu kalau aku hamil, saat yang sama di mana aku telah kehilangan.
Bulir-bulir bening kembali menetes dari pelupuk mata. Harusnya aku sudah memiliki buah hati kalau saja pertengkaran heboh itu tidak terjadi. Dan nasibku tidak akan senelangsa ini, hidup kesepian sebagai seorang janda.
"Bulan? Are you ok?"
Aku mengangguk, kembali sibuk menyeka air mata.
“Yuk?” ajak Mas Bintang. "Kamu sudah terlalu lama di cafe ini. Tidak enak."
Ya, dia benar. Aku sudah terlalu lama menunggunya tadi. Apalagi sekarang aku menangis begini. Orang-orang yang melihat kami bisa berpikir yang tidak-tidak tentang kami.
Akhirnya, tak perlu banyak kata lagi, kami pun keluar dari cafe itu.
"Well, berhubung aku sudah memenuhi ajakanmu untuk bertemu, kurasa sekarang giliran aku yang meminta waktumu."
Eh?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
Deliana
bru aj awal kisahku🤭,, eh maksudny kisah ny bulan,, uda mnyentuh tu...
2023-05-24
1
Uesman Uesiel
hadir kak..
iih ceritanya langsung bikin baper.. lanjut kak.. semoga sehat selalu..🥰🥰🥰
2023-05-23
1
enur .⚘🍀
hai ..aq mampir lagi nih 🤗🤗
2023-05-22
1