NICHOLAS And His Plan
Pagi hari di bulan Desember, musim hujan sudah datang. Atau mungkin sudah sejak lama datang? Entahlah, karena tiga bulan terakhir aku hanya meringkuk di dalam kamar ku sendirian sambil terus mengumpat pada virus sialan yang terus bermutasi.
Sungguh, sejak satu tahun virus ini melanda negeri tercintaku, aku tak pernah terlalu memusingkan. Mungkin aku terlalu percaya diri karena sudah melakukan vaksin secara berkala dan protokol kesehatan yang selalu ku terapkan, sehingga aku tak mungkin terkena dampak penyebaran virus ini.
Ternyata aku salah.
Ugh! Aku terjatuh dari tempat tidur ketika ponselku terus berdering berisik. Oh tidak, mungkin saja itu panggilan penting.
Aku bangkit dari lantai mencari-cari ponsel yang masih memiliki tunggakan lima bulan lagi itu. Astaga, Fiona. Di kamar sekecil ini, kamu bahkan gak tahu dimana kamu meletakkan ponsel?
Ketika aku meraih ponsel dengan merk buah ini, deringnya sudah berhenti. Saat ku lihat, ternyata panggilan telepon tak terjawab dari... Ibu kos! Habislah aku. Memangnya sekarang tanggal berapa? Ya ampun, genap dua bulan aku belum membayar tagihan kos.
Jika saja dua tahun lalu aku tidak pergi dari Surabaya ke Jakarta untuk bekerja sebagai staf keuangan seorang diri.
Jika saja aku bisa merebut hati bosku sehingga aku tidak perlu masuk daftar karyawan yang di-PHK karena imbas pandemi yang membeludak.
Aku berjalan ke arah dapur ketika merasa perutku sudah keroncongan. Sungguh, hanya ada beberapa lembar uang yang aku punya saat ini. Dan aku belum mendapatkan pekerjaan baru.
Mungkin, aku akan pulang ke Surabaya. Dan mengenai tunggakkan kos, mungkin aku akan kabur dengan meninggalkan pesan permintaan maaf karena tak bisa membayar.
Astaga! Aku menyentak mangkuk yang kugunakan untuk makan mie instan dengan kesal. Entah sudah berapa kali aku mengutuk hidupku yang jadi menderita seperti ini.
Baru satu suap aku memakan mie instan rebus dengan tambahan nasi ini, tiba-tiba ponselku berdering tanda panggilan masuk.
Mama. Baiklah, mungkin kali ini aku akan memelas kepada mama dan mengakui semuanya kalau selama ini aku sudah dipecat dan jika mama meminta ku pulang, aku akan senang hati pulang.
"Hallo, Ma."
"Fio, kamu lagi dimana sekarang?" tanya Mama yang langsung membuatku dilema. Bagaimana aku menjawab? Langsung saja bilang kalau aku di tempat kos?
"Fio, ada di kos-an kok, Ma."
"Kos-an? Kamu diliburkan juga?" tanya Mama. Tiba-tiba aku bingung bagaimana menjelaskannya. Padahal rencanaku sudah bulat untuk menjelaskan semuanya.
"Ah, sudahlah. Bagus kalau begitu, jadi kamu bisa langsung pulang ke Surabaya. Ada pertemuan penting."
"Pertemuan?" tanyaku curiga.
"Kamu ingat kan anaknya Pak Martin? Joshua lho, dia baru pulang dari Kalimantan. Rencananya, Mama sama Pak Martin mau menjodohkan kamu sama dia. Terus Joshua kelihatannya setuju sekali," oceh mama yang hanya bisa aku dengarkan.
Ternyata, aku hampir melupakan alasan utama ku nekat pergi ke Jakarta seorang diri dua tahun lalu. Yaitu untuk menghindari niat Mama yang ingin menjodohkan ku.
Jika aku pulang ke sana dan mengatakan semua yang terjadi kalau aku dipecat dan terombang-ambing hidup sendirian di sini, mereka pasti akan merasa puas dan semakin bersemangat untuk menjodohkan aku. Memaksaku untuk tunduk dan bergantung kepada laki-laki.
"Fio? Kamu dengar Mama gak sih?"
"Ma, Fio gak diliburkan. Tapi memang sekarang tugas Fio dikerjakan di rumah. Work from home. Jadi kayanya, Fio belum bisa pulang ke Surabaya."
"Ya ampun, Fio. Sudahlah, kamu buat apa sih kerja keras di sana pontang-panting tapi gajinya pas-pasan untuk biaya hidup sendiri? Lebih baik kamu pulang dan menikah dengan Joshua, Fio. Dia itu diwariskan tanah banyak lho. Bahkan Pak Martin ini sedang membangun Villa. Joshua juga mau kok sama kamu..."
"Ma, Fio harus zoom meeting nih. Udah dulu ya," sergahku sebelum mama semakin panjang bicara. Bermaksud membujukku, tapi yang ku rasakan hanyalah sebuah ketidakeprcayaan orang tua kepada putrinya.
Sejujurnya, aku tidak pernah punya masalah dengan Joshua. Atau laki-laki lainnya. Hanya saja, aku terlalu takut akan sebuah komitmen bernama pernikahan. Maraknya kasus perselingkuhan yang ku baca di portal berita gosip dan facebook, membuatku semakin paranoid.
Tak usah jauh-jauh. Kisah orang tua ku sendiri. Mama ditinggalkan oleh papa karena seorang perempuan. Tapi mama tidak perduli, karena baginya papa selalu memberikan kebutuhan finansialnya dan anak-anaknya.
Makanya, jangan salahkan aku jika sekarang aku tak begitu mempercayai sesuatu yang orang bilang 'cinta'. Aku lebih percaya pada pasangan suami istri yang menikah karena sang istri ingin menguasai harta suaminya sementara sang suami hanya ingin memuaskan nafsunya saja. Daripada mereka yang mengatakan menikah karena cinta.
Prinsip itu, membuatku dijauhi oleh orang-orang. Aku mengerti itu, mereka semua tak sependapat denganku. Mungkin karena mereka beruntung dalam hal percintaan dan tumbuh di keluarga yang penuh kasih sayang.
Kembali dalam kehidupan nyata. Aku duduk di depan laptop, berusaha mencari-cari pekerjaan di situs Linked In.
Di saat putus asa seperti ini, aku tak pernah memikirkan pekerjaan apa, dan berapa gajinya. Semuanya yang memungkinkan akan aku lamar. Yang terpenting untuk saat ini adalah bisa bertahan hidup.
Entah sudah berapa puluh email lamaran pekerjaan yang aku kirim sejak seminggu terakhir. Tapi tak ada satupun yang menghubungiku.
Mungkin ada beberapa yang masuk. Tapi, semuanya berasal dari perusahaan bodong. Maksudku perusahaan pialang, atau asuransi yang tak jelas asal-usulnya.
Teman? Aku tidak memiliki teman di kota ini. Aku pernah memiliki circle pertemanan di kantor. Tapi semakin lama, aku kesulitan untuk mengimbangi gaya hidup mereka, cara mereka berpikir, dan kehidupan sosialita mereka. Jadi aku mundur perlahan.
Aku benar-benar sendirian sekarang. Aku tak bisa bergantung pada siapapun. Mungkin, jika sudah waktunya, aku akan berakhir di dalam kamar ini sendirian.
Saat overthingking-ku kambuh, tiba-tiba ponselku berdering tanda panggilan masuk dari nomor kantor sepertinya. Tapi aku tak tahu kantor yang mana.
"Halo, iya, selamat pagi. Benar, ini saya sendiri. Apa? Hari ini? Bisa Bu, baik, baik saya akan datang sesuai jadwal. Iya, baik Bu, terimakasih ya, Bu."
Oh - My - God! Aku mendapat panggilan interview dari Ark's Film. Sebuah rumah produksi yang cukup terkenal di Indonesia. Mereka selalu memproduksi film-film romantis, kalau aku tidak salah.
Aku melamar sebagai asisten pribadi. Tapi aku sendiri tak tahu sebagai asisten pribadi siapa tepatnya, karena tidak dijelaskan dalam iklan lowongan kerja.
Sebelum bersiap-siap, aku memeriksa lagi dari situs resmi Ark's Film bahwa nomor yang baru saja menghubungiku adalah nomor kantor mereka.
Dengan cepat aku bisa menemukannya, dan ternyata benar. Bahkan alamatnya pun sama persis. Jadi aku segera bersiap-siap untuk pergi ke sana.
Berkas lamaran sudah tersedia sejak jauh-jauh hari. Kemeja, blezer dan rok semuanya juga sudah siap siaga di dalam lemari.
Akhirnya, hari ini pun tiba. Aku bersumpah akan bersungguh-sungguh menjalani interview ini.
***
Pukul 10:00 WIB, aku sampai di gedung besar ini. Astaga, baru kali ini aku menginjakkan kaki di gedung semegah ini.
Aku sampai sedikit kebingungan mencari tempat resepsionis untuk membantuku menunjukkan ruangan interview.
Namun akhirnya aku ditunjukkan oleh sang resepsionis. Ku rasa, mereka semua sangat bersikap ramah.
Saat berada di dalam lift besar dan bersih ini, aku berpikir mungkinkah aku akan bertemu dengan aktor-aktor Indonesia di gedung ini?
Membayangkannya saja membuatku sangat bersemangat. Tapi ketika lift ini mulai mendekati lantai yang ku tuju, tiba-tiba rasa gugup menjalar di sekujur tubuhku. Memikirkan kembali seperti apa bosku nantinya? Apakah orang yang menyebalkan? Apakah rumit? Atau sangat perfeksionis? Laki-laki atau perempuan?
Ya ampun, Fiona. Belum tentu juga kamu akan lolos dan diterima.
Ting! Lift akhirnya berhenti di lantai 15. Aku menghela napas panjang berusaha untuk tetap tenang. Tapi begitu pintu lift terbuka, sungguh aku rasa kaki ku lemas.
Melihat seorang laki-laki tinggi, dengan wajah orang asing dan bola mata hijau yang cantik, aku akui kalau aku sangat terpesona. Apakah dia seorang aktor?
Aku tersandung kaki ku sendiri ketika keluar dari pintu lift dengan gegabah hingga hampir terjatuh di depan laki-laki itu.
Tapi tangannya yang kuat mampu memegangi tanganku agar tak benar-benar terjatuh sementara tangannya yang satu lagi refleks memegangi punggungku.
Astaga, aroma maskulin parfumnya begitu membuatku membeku. Baru kali ini aku merasakan getaran aneh ketika tanganku berada di tangannya. Mungkinkah karena pesona wajahnya?
"Hati-hati," ucapnya dengan suara berat yang begitu menusuk. Aku tersadar dan segera berdiri dengan tegap meskipun aku rasa, kedua kaki ku masih gemetar. Mungkin efek terlalu banyak bersantai di rumah, aku kurang gerak jadi lebih lemah.
"Makasih," gumamku menundukkan kepala, malu untuk melihatnya.
Ia tak menjawab apa-apa. Seseorang yang tadi berjalan di sebelahnya sudah menunggu di dalam lift. Namun begitu melihat pulpen miliknya terjatuh, aku buru-buru menyusulnya dan menahannya.
"Maaf, pulpen Anda jatuh," ucapku menyodorkan pulpen itu kepada laki-laki itu.
Dia mengambil pulpen yang aku sodorkan, tapi kemudian ia menaruhnya ke dalam saku blezer ku dengan hati-hati.
"Kamu perlu pulpen untuk wawancara," ucapnya dengan tenang lalu berjalan memasuki lift.
Ya Tuhan, aku baru tahu ada laki-laki yang sangat berkharisma seperti itu. Orang-orang mungkin akan terpesona padanya karena dua hal. Penampilan dan perilakunya.
Tunggu, bagaimana dia tahu aku datang ke sini untuk wawancara? Apa karena penampilanku terlalu jelas kelihatan? Entahlah. Semoga pulang nanti aku bertemu dengannya lagi.
***
Ternyata benar apa yang dikatakan oleh laki-laki berkharisma tadi, aku benar-benar membutuhkan pulpen saat ini.
Aku dan 20 pelamar lain diminta untuk menunggu giliran di sebuah ruangan besar ber-AC. Ruangan ini memiliki design sederhana dengan cat dominan putih, jam dinding digital, lalu satu sisi dinding cermin yang mengkilat.
Sekarang, aku mengisi sebuah formulir yang diberikan oleh salah satu staf kantor ini.
Sebenarnya hanya mengisi beberapa data personal yang umum. Tapi, ada beberapa hal yang membuatku heran.
Di sini, ada pertanyaan seperti apakah sedang menjalin hubungan. Apakah maksudnya sudah menikah atau belum? Kemudian ada lagi pertanyaan hubungan dengan orang tua. Tinggal sendiri atau bersama orang tua. Ah, mungkin saja memang ada penilaian khusus mengenai ini.
Aku menyelesaikan tugasku mengisi formulir dan waktunya tiba semua formulir dikumpulkan. Lalu satu persatu dari kami dipanggil untuk mengikuti staf tersebut dan melakukan wawancara.
Aku belum memiliki pengalaman menjadi asisten pribadi. Dan lagi, sejujurnya aku sedikit merasa rendah diri melihat calon-calon pelamar di ruangan ini yang memiliki penampilan bak model atau bintang iklan.
Rasanya, aku seperti salah masuk ruangan. Mungkin ruangan ini bukan untuk calon pelamar asisten pribadi. Mungkin ini ruangan audisi menjadi aktris perusahaan ini.
Ku rasa, hanya keajaiban yang membuatku diterima bekerja di perusahaan ini.
***
AKU MENDAPAT PANGGILAN TELEPON DARI ARK'S FILM.
Sungguh ini sangat mengejutkan. Aku tidak salah dengar, mereka benar-benar menerima ku bekerja di sana. Dan hari ini aku diminta untuk datang ke kantor mereka seperti tempo hari untuk memperkenalkan lingkup kerjaku. Besok, baru aku akan resmi mulai bekerja dengan pelatihan selama satu minggu - katanya.
Hari ini, aku benar-benar berniat memperlihatkan sisi terbaik ku. Kemarin mungkin riasan ku agak kaku dan kurang menarik. Jika mereka menerima ku karena aku adalah pilihan terakhir, tak apa. Aku akan menunjukkan kalau mereka tidak akan menyesali pilihan mereka.
Setelah melakukan pemeriksaan suhu badan dan sebagainya, aku diizinkan masuk dan melepas masker ketika sampai di sebuah ruangan.
Seorang staf mengantarkan aku untuk menunggu di dalam ruangan calon bosku katanya. Wah, sungguh aku terpukau dengan ruangan besar nan rapi ini. Sangat elegan, simple, dan terlihat sangat profesional.
Staf yang berbicara denganku sebelumnya mengatakan kalau aku akan menjadi asisten pribadi CEO perusahaan ini. Ia juga memberikan aku sebuah map berisi tugas-tugas yang akan aku kerjakan selama menjadi asisten pribadinya.
Mr. Nicholas A. G. Itulah namanya. Sungguh aku merasa sangat gugup hingga hanya terfokus pada lembaran-lembaran tugas ini.
Selama menunggu, aku bahkan mencari lebih dalam mengenai tugas-tugas ini di internet. Tapi mendadak aku merasa lebih gugup lagi ketika mengetahui kalau aku harus siap selama 24 jam jika dibutuhkan. Aku tak yakin untuk ini, tapi mungkin akan didiskusikan lagi nanti.
Setelah dua jam menunggu, akhirnya pintu ruangan terbuka. Aku tak tahu waktu berjalan begitu cepat.
Begitu pintu terbuka, aku segera berdiri dengan gugup. Namun begitu melihat orang yang sedang dipersilakan masuk oleh staf wanita tadi, lagi-lagi aku hampir terjatuh karena melangkah terlalu gegabah untuk menghampirinya.
Staf wanita di belakang laki-laki berkharisma itu terlihat menahan tawa. Ini memang konyol. Tapi laki-laki yang saat ini berdiri di hadapanku, masih terlihat sama. Dia tenang, dan terlihat tak tertarik dengan kekonyolan yang ku buat. Sialnya ini terjadi setiap melihatnya.
"Miss Fariska?"
"Ya," jawabku masih terpengaruh olehnya.
"Silakan duduk," ucapnya kembali mempersilakan aku untuk duduk di sofa lagi. Begitu juga dengan dirinya yang duduk berbeda sofa denganku sehingga kami bisa saling berhadapan.
Sejenak, aku mencari-cari keberadaan staf wanita tadi. Mana mungkin aku langsung ditinggalkan sendirian di sini?
"Saya ingin bicara dengan asisten pribadi saya secara intens. Jadi Angeline saya minta menunggu di luar," ucap laki-laki itu sepertinya menyadari kegelisahanku mencari staf wanita bernama Angeline tadi.
Ternyata, laki-laki yang memberikan pulpennya pada ku kemarin adalah Mr. Nicholas. Orang yang akan menjadi atasanku. Astaga, ini berkah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments