Mia dan Hero tertawa girang dan saling berpelukan sambil mengobrol akrab. Apa mereka tak tahu soal ruangan ini?
Ya Tuhan, situasi macam apa ini? Kenapa Nicholas terlihat masih saja tenang? Kenapa dia tidak keluar dan menegur mereka?
Suara dering ponsel Nicholas mengalihkan perhatianku. Dari reaksi Mia yang biasa saja, artinya ruangan ini kedap suara.
Nicholas mengangkat panggilan telepon tersebut. Aku tak tahu apa yang dikatakan oleh Mia di telepon, aku hanya mendengar Nicholas menjawab dengan tenang.
"Saya masih ada urusan dengan Fiona, asisten pribadi saya. Okay, kabarin saya lagi nanti."
Hanya itu yang Nicholas katakan. Ternyata keterkejutan ku tak usai di sini, satu fakta lagi, Nicholas bicara formal dengan istrinya. Maksud ku, 'saya', bukannya itu terlalu formal untuk sepasang suami istri?
Perhatianku kembali teralihkan oleh kelakuan Mia dan Hero. Mia terlihat begitu senang, begitu juga dengan Hero, hingga mereka berdua kembali berpelukan dan berciuman.
Aku diam, menundukkan kepala ku. Syaraf otakku seolah menolak lebih lama melihat adegan perselingkuhan itu. Jelas ini tak wajar.
Nicholas tak terlihat berapi-api, namun aku bisa melihat raut wajahnya berubah. Ia kelihatan marah.
Bahkan, begitu Mia dan Hero keluar dari ruang kerjanya, Nicholas segera menekan tombol agar rak buku besar itu terbuka.
Langkahnya cepat keluar dari ruangan ini. Dan aku refleks mengikutinya di belakang tanpa ingin berkata apa-apa. Toh sepertinya Nicholas juga tak ingin membicarakannya.
"Kamu boleh pulang, Fiona."
Aku segera menganggukkan kepala ku. Memang tidak enak juga ada di posisi seperti ini. Kenapa aku harus ikut melihatnya?
"Fiona," panggil Nicholas sebelum aku benar-benar keluar dari ruangan ini.
"Ya, Pak?"
"Angeline, sudah mengingatkan kamu tentang 'hal yang perlu kamu garis bawahi'?" tanya Nicholas. Nada suaranya jelas berbeda dari sebelum kejadian ini terjadi. Nicholas seperti sedang menahan sesuatu yang sulit dikatakannya.
"Sudah, Pak."
Nicholas menganggukkan kepalanya. Kemudian ia berjalan menghampiriku dengan raut wajah khawatir memenuhi wajah tampannya.
"Fiona..." Nicholas menggantung ucapannya. Ia terlihat sedang berusaha mengatakan sesuatu yang sepertinya ragu ingin ia ucapkan.
"Apa kamu bersedia jadi wanita simpanan saya?"
Sejak melihat sendiri bagaimana Nicholas berdiri menatap perselingkuhan yang dilakukan istrinya, aku merasa pandanganku terhadapnya perlahan berubah. Dia bukanlah laki-laki kuat seperti penampilannya.
Sekarang, satu kalimat pertanyaan itu, semakin mengubah pandanganku yang sempat terpesona padanya.
Aku sangat membutuhkan pekerjaan ini, tapi hanya sebatas asisten pribadinya. Bukan hal lain. Lalu, apa serendah itukah aku dimata orang kaya ini?
***
Kalimat pertanyaan itu masih terngiang-ngiang di benak ku. Kini aku sudah duduk di sofa dengan segelas air mineral yang rasanya tak nafsu untukku minum.
Menjadi wanita simpanan seorang Nicholas Arrasya Gautama, sama dengan sebuah kemakmuran bagi diriku yang tak memiliki apa-apa. Maksudku, dia benar-benar berniat membayarku, lima belas juta rupiah. Dan akan bertambah sesuai kondisi yang ada.
"Dengar, Fiona. Jangan melibatkan perasaan dalam hal ini -"
"Tidak pernah ada yang melibatkan perasaan dalam hubungan ranjang bukan, Pak?" tukas ku tanpa sadar berbicara tidak sopan. Jujur, aku sangat kesal dan kehilangan rasa hormatku pada orang ini sekarang. Aku ingin buru-buru pergi.
Aku menyadari kebodohanku sejenak ketika Nicholas menatapku dalam diam, seolah menyelidik sampai ke akar pikiranku. Dan aku tak suka ada orang lain yang berusaha menebak apa isi pikiranku.
"Oke, saya mengerti. Tapi jika kamu mau mendengarkan saya, maka kamu tidak akan semarah ini, Fiona," ucap Nicholas yang anehnya terlihat jauh lebih bersemangat dari sebelumnya. Padahal aku baru saja berbicara lancang padanya.
"Jadi, apa maksud Pak Nicholas?"
"Saya memiliki rencana, dan saya membutuhkan bantuan kamu untuk merealisasikannya. Dan hal paling penting adalah, saya membayar jasa kamu dalam berakting, bukan tubuh kamu."
Sial. Ya Tuhan, kenapa aku sulit sekali memahami maksud laki-laki ini? Sebelumnya dia memintaku menjadi selingkuhannya. Dan sekarang, dia mengatakan akan membayar jasa ku dalam berakting. Kemudian, rencana apa yang dimaksud olehnya?
Aku menahan napas ku, sebisa mungkin aku memberanikan diri untuk berdiri.
"Saya minta maaf, Pak. Tapi apapun rencana Pak Nicholas, saya tidak berminat untuk turut campur," ucapku pelan.
Nicholas ikut berdiri dan berjalan menghampiriku dengan kedua tangan yang ia masukkan ke dalam saku celananya.
"Apa kamu merasa bayarannya kurang? Kalau masalah itu, kita bisa bicarakan-"
"Saya permisi, Pak."
Aku segera melangkahkan kakiku pergi dari hadapan Nicholas yang masih terus membujukku.
Sungguh, aku memang sempat tertarik padanya. Tapi jika menjadi selingkuhannya, apapun dia menyebutnya, aku tak akan sudi. Seberapa pun dia akan membayarku.
Aku tahu, sejak aku meninggalkan kantor ini, artinya aku sudah kehilangan pekerjaanku lagi. Meskipun aku sekarat dalam hal finansial, meskipun aku terlahir dari keluarga yang berantakan, setidaknya aku masih memiliki harga diri.
Mungkin, aku memang harus pulang ke Surabaya. Dan kalau memang aku harus menikah dengan Joshua, baiklah. Itu terdengar lebih baik dibandingkan menjadi selingkuhan bos ku sendiri.
***
Kejadian siang ini, membuat ku tak bisa tidur semalaman suntuk. Aku telah mencurahkan segala masalahku pada Dinar, teman sekolah ku yang berada di Surabaya.
Dan aku juga menceritakan padanya juga kalau mungkin aku akan menerima perjodohan yang dilakukan ibuku.
Hanya saja, aku masih memikirkan bagaimana bisa aku merasa segila ini hanya dengan beberapa hari bekerja kepada sosok orang penting seperti Nicholas.
Entah pikiranku yang benar-benar naif, atau memang dunia ini sudah gila. Ku rasa tak ada celah sedikitpun untuk cinta tulus.
Bahkan sekelas Nicholas, laki-laki sempurna itu tetap diselingkuhi oleh istrinya. Ini lebih gila lagi, karena Nicholas tahu kelakuan istrinya dan hanya diam. Belum sampai disitu kegilaan Nicholas, ia juga meminta ku menjadi selingkuhannya. Kenapa harus aku?
Sudahlah Fiona, besok kau akan melarikan dari semua ini. Ah iya, aku belum menuliskan surat permintaan maaf kepada pemilik kos karena meninggalkan tunggakan hutangku.
Pagi datang begitu cepat. Rasanya aku belum siap dengan hari ini. Sebenarnya, rencana ku adalah kabur saat malam nanti. Ketika semuanya sudah gelap sempurna.
Jadi hari ini aku akan diam-diam membereskan barang-barangku. Sekarang, di otakku benar-benar penuh dengan banyak tekanan.
Baru saja semalam aku membicarakan soal rencanaku untuk pulang ke Surabaya, mama segera mengatakan hal ini juga kepada Joshua. Dia bilang, Joshua akan segera menjemputku di bandara.
Bahkan, Joshua sudah mengirim uang ke rekeningku untuk biaya transportasi. Astaga, mereka benar-benar serius menjodohkan aku.
Hari ini aku mungkin akan menghabiskan waktu ku dengan diam di dalam kos. Semuanya berjalan dengan lancar sampai tiba-tiba listrik padam. Apa sedang mati listrik?
Aku tidak bisa menyalakan televisi, atau men-charge laptop ku.
Kemudian aku dikagetkan dengan suara ketukan pintu yang sedikit brutal. Oh tidak, itu ibu kos.
Sontak, aku pelan-pelan berjalan ke belakang dan bersembunyi seperti biasa. Untung aku selalu mengunci pintu.
Saat ketukan pintu itu selesai, aku menoleh kembali ke arah pintu. Dan terdapat selembar kertas yang diselipkan melalui celah bawah pintu tersebut. Apa itu surat tagihan? Tidak biasanya.
Aku segera menghampiri pintu dan meraih kertas tersebut yang ternyata ditulis dengan tinta pulpen ini.
Mbak Fiona, maaf. Terpaksa listrik dan air saya matikan, sampai Mbak melunasi tunggakkan. Trims.
Ya Tuhan! Ayolah, aku belum mandi! Meskipun aku akan pergi dari tempat ini, tetap saja aku belum sempat mandi! Dan ponselku, astaga aku belum men-charge ponselku.
Fiona, kamu benar-benar sedang di ujung tanduk. Kenapa aku bisa sesial ini?
Belum selesai semua penderitaan ini, tiba-tiba ponselku bergetar tanda pesan masuk dari Dinar.
From: Dinar
Fio, gue lihat di rumah lo sekarang lagi di pasang tenda buat penyambutan lo. Ini, lo serius mau nikah sama si Joshua? Kalau iya, saran gue, nih... Tapi jangan bilang ke siapa-siapa ya. Saran gue mending sebelum nikah, lo minta tes kesehatan dulu deh ke si Joshua. Kata temen-temennya, dia sering banget jajan cewek di luar. Oh ya, lo yakin mau jadi istri siri dia?
What? Istri siri? Tunggu, apa yang Dinar maksud? Kenapa semua kabar ini membuatku benar-benar merinding. Aku tak bisa begini, maka aku buru-buru menelepon mama untuk mengkonfirmasi hal ini.
Tak butuh waktu lama, panggilan telepon ku akhirnya diangkat.
"Halo, Ma. Mama serius mau jodohin aku sama Joshua?"
"Iya, dong Fiona. Semuanya sudah disiapkan, kamu tenang saja. Makanya kan Joshua sampai ngirim uang tiket pesawat buat kamu, Fio. Kenapa?"
"Mama yakin dia kerja di Kalimantan bertahun-tahun dan dia tetep single?" tanya ku berusaha memancing.
"Kenapa sih? Dari pada kamu penasaran, lebih baik kamu cepetan deh pulang."
"Dia itu udah punya istri di Kalimantan, Ma," ucapku benar-benar gemas dengan jawaban mama yang berbelit. Namun mama tak langsung menjawab, aku pikir dia juga terkejut dengan pernyataan ini. Tapi bagaimana kalau mama tak percaya?
"Halo? Ma?"
"Oh, itu. Iya, Mama tahu. Emangnya kenapa kalau dia udah punya istri? Yang penting kan dia mau nikah -"
"Fio gak mau."
Aku hendak mengakhiri sambungan telepon, tapi ucapan Mama membuatku terdiam membeku.
"Cuma ini caranya, Fio. Selingkuhan Ayah kamu, dia pake data-data Mama untuk pinjaman online sebanyak 25 juta. Dan mereka gak mau tahu, mereka kasih waktu sampai bulan depan aja. Kalau nggak, mereka akan bawa Mama ke penjara."
Sungguh, remuk hati ku. Belum cukup ayah memberikan luka kepada ku saat kecil. Sekarang, hidup ku juga jadi susah karenanya.
"Fio, kamu tahu kan selama ini Mama gak pernah nuntut kamu ini - itu, tapi kali ini, Mama gak punya pilihan lain. Pak Martin bilang kalau dia akan bantuin Mama bayar hutang kalau kamu menikah dengan Joshua."
"Tapi, Ma... Ayah dimana? Dia yang harus tanggung jawab!"
"Kamu pikir ayah kamu bisa diandalkan? Fio, Mama juga gak mau melakukan ini. Terkesan Mama itu mau menjual kamu. Tapi saat ini Mama cuma punya kamu, Fio."
Aku mengakhiri sambungan telepon ini. Di ruangan kos ini, gelap, pengap, dan hening. Aku termenung dengan pikiran yang kacau.
Menjual ku kepada Joshua? Memang itu yang dilakukan Mama. Entah akan diinjak-injak seperti apa aku di keluarga mereka nanti. Dan aku harus menjadi istrinya seharga 25 juta.
Tunggakan kos, listrik dan air yang mati, angsuran ponsel, tabungan yang habis, dan hutang yang disebabkan oleh wanita sialan itu, semua hal ini akhirnya mengerucut pada satu hal. Aku memang hanya memiliki diriku sendiri yang harus ku pertaruhkan untuk mengatasi itu semua.
***
Gedung kantor Ark's Film, akhirnya aku datang lagi kemari. Aku memberanikan diri untuk menanyakan mengenai keberadaan Nicholas melalui Angline melalui telepon dua jam lalu.
Sekarang, pukul 20:25 WIB. Satu-satunya waktu senggang sang pemilik gedung.
Awalnya, aku pikir Nicholas akan langsung menolak ku. Tapi ternyata, Angeline langsung mengatakan kalau Nicholas bisa ditemui pukul 20:30 WIB.
Sejujurnya, saat ini mungkin aku akan menjilat ludahku sendiri yang mengatakan dengan tegas kalau aku tak akan sudi datang lagi ke gedung ini. Aku harus menerima kenyataan ini, ketika kaki ku menginjak lantai mengilap ini, melangkah masuk ke dalam lift yang mewah, dan akhirnya bertemu lagi dengan sosok laki-laki yang elegan.
"Fiona," sapa Nicholas segera berdiri dari kursinya begitu Angeline memasuki ruangannya mengantarkan ku ke ruangan ini.
Setelah itu, Angeline pun segera berbalik melangkah keluar ruangan dan menutup pintu dengan hati-hati.
"Silakan duduk, Fiona," ucap Nicholas sambil berjalan dengan anggunnya ke sofa ruang kerjanya yang berwarna putih bersih dan pinggiran dari kulit jati mengilap ini.
Aku menghela napas sangat pelan, kemudian berjalan ke arah sofa, mengambil posisi yang sedikit lebih jauh dari Nicholas. Hanya untuk berjaga-jaga dan bisa diartikan, aku sedang menjaga jarak.
"Kenapa hari ini kamu tidak ke kantor?" tanya Nicholas menatapku dengan kedua mata indahnya. Alisnya terbentuk tegas dan matanya terkesan tajam. Meskipun begitu, bagiku wajahnya terlihat manis.
"Bukannya, niat awal Pak Nicholas mempekerjakan saya hanya untuk ditawari jadi wanita simpanan?" tanyaku yang berlandaskan sebuah kesimpulan yang ku dapat kemarin.
Nicholas menatapku, kemudian, aku melihat senyum di bibirnya. Sangat kecil.
"Ya, memang itu tujuan utama saya. Sebelum menerima kamu, saya mengirim orang untuk mencari tahu lebih banyak tentang kamu."
"Maksudnya? Kriteria wanita simpanan?"
"Ya. Kriteria wanita simpanan saya," jawab Nicholas membuatku semakin bingung menatapnya. Ketegangan di kaki ku perlahan luntur karena rasa penasaran yang sangat menggebu.
"Sepertinya kamu ingin menanyakan sesuatu, Fiona. Tanyakan saja?"
Nicholas cukup peka terhadap hal-hal seperti ini.
"Saya yakin ada banyak orang yang akan terima penawaran Pak Nicholas ini. Tapi kenapa harus saya? Apa ini pilihan terakhir?" tanya ku dengan hati-hati.
"Bukan. Kamu pilihan pertama. Karena kamu menolak, saya mungkin akan cari perempuan lain, yang seperti kamu."
Perempuan lain, yang seperti ku. Terdengar nampak romantis dan begitu berkesan. Sayangnya, makna dibalik kalimat itu sungguh menyedihkan.
"Apa saya punya kesempatan untuk menerima... Tawaran ini, Pak?" tanyaku dengan susah payah. Seolah ada yang mengganjal di tenggorokkan ku.
Nicholas bergerak menyenderkan kedua tangannya di atas lutut. Menautkan kedua telapak tangannya dan aku lihat, jarinya sedikit menekan punggung tangannya sendiri. Astaga, kenapa Nicholas tak langsung menjawab?
"Apa kamu ingin menerima tawaran ini?" tanya Nicholas tiba-tiba membuatku ragu lagi.
"Ya," jawabku dalam satu helaan napas. Apapun akan aku lakukan, anggap saja ini pekerjaan baru untuk ku. Entah rencana apa yang Nicholas punya, tapi apapun itu, aku akan menyetujuinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments
Zuraida Zuraida
ada ya orang tua yang mau ngejual anaknya untuk laki-laki yang bisa dibilang durjana
2023-06-14
1