NovelToon NovelToon

NICHOLAS And His Plan

SEMUA KARENA KEADAAN

Pagi hari di bulan Desember, musim hujan sudah datang. Atau mungkin sudah sejak lama datang? Entahlah, karena tiga bulan terakhir aku hanya meringkuk di dalam kamar ku sendirian sambil terus mengumpat pada virus sialan yang terus bermutasi.

Sungguh, sejak satu tahun virus ini melanda negeri tercintaku, aku tak pernah terlalu memusingkan. Mungkin aku terlalu percaya diri karena sudah melakukan vaksin secara berkala dan protokol kesehatan yang selalu ku terapkan, sehingga aku tak mungkin terkena dampak penyebaran virus ini.

Ternyata aku salah.

Ugh! Aku terjatuh dari tempat tidur ketika ponselku terus berdering berisik. Oh tidak, mungkin saja itu panggilan penting.

Aku bangkit dari lantai mencari-cari ponsel yang masih memiliki tunggakan lima bulan lagi itu. Astaga, Fiona. Di kamar sekecil ini, kamu bahkan gak tahu dimana kamu meletakkan ponsel?

Ketika aku meraih ponsel dengan merk buah ini, deringnya sudah berhenti. Saat ku lihat, ternyata panggilan telepon tak terjawab dari... Ibu kos! Habislah aku. Memangnya sekarang tanggal berapa? Ya ampun, genap dua bulan aku belum membayar tagihan kos.

Jika saja dua tahun lalu aku tidak pergi dari Surabaya ke Jakarta untuk bekerja sebagai staf keuangan seorang diri.

Jika saja aku bisa merebut hati bosku sehingga aku tidak perlu masuk daftar karyawan yang di-PHK karena imbas pandemi yang membeludak.

Aku berjalan ke arah dapur ketika merasa perutku sudah keroncongan. Sungguh, hanya ada beberapa lembar uang yang aku punya saat ini. Dan aku belum mendapatkan pekerjaan baru.

Mungkin, aku akan pulang ke Surabaya. Dan mengenai tunggakkan kos, mungkin aku akan kabur dengan meninggalkan pesan permintaan maaf karena tak bisa membayar.

Astaga! Aku menyentak mangkuk yang kugunakan untuk makan mie instan dengan kesal. Entah sudah berapa kali aku mengutuk hidupku yang jadi menderita seperti ini.

Baru satu suap aku memakan mie instan rebus dengan tambahan nasi ini, tiba-tiba ponselku berdering tanda panggilan masuk.

Mama. Baiklah, mungkin kali ini aku akan memelas kepada mama dan mengakui semuanya kalau selama ini aku sudah dipecat dan jika mama meminta ku pulang, aku akan senang hati pulang.

"Hallo, Ma."

"Fio, kamu lagi dimana sekarang?" tanya Mama yang langsung membuatku dilema. Bagaimana aku menjawab? Langsung saja bilang kalau aku di tempat kos?

"Fio, ada di kos-an kok, Ma."

"Kos-an? Kamu diliburkan juga?" tanya Mama. Tiba-tiba aku bingung bagaimana menjelaskannya. Padahal rencanaku sudah bulat untuk menjelaskan semuanya.

"Ah, sudahlah. Bagus kalau begitu, jadi kamu bisa langsung pulang ke Surabaya. Ada pertemuan penting."

"Pertemuan?" tanyaku curiga.

"Kamu ingat kan anaknya Pak Martin? Joshua lho, dia baru pulang dari Kalimantan. Rencananya, Mama sama Pak Martin mau menjodohkan kamu sama dia. Terus Joshua kelihatannya setuju sekali," oceh mama yang hanya bisa aku dengarkan.

Ternyata, aku hampir melupakan alasan utama ku nekat pergi ke Jakarta seorang diri dua tahun lalu. Yaitu untuk menghindari niat Mama yang ingin menjodohkan ku.

Jika aku pulang ke sana dan mengatakan semua yang terjadi kalau aku dipecat dan terombang-ambing hidup sendirian di sini, mereka pasti akan merasa puas dan semakin bersemangat untuk menjodohkan aku. Memaksaku untuk tunduk dan bergantung kepada laki-laki.

"Fio? Kamu dengar Mama gak sih?"

"Ma, Fio gak diliburkan. Tapi memang sekarang tugas Fio dikerjakan di rumah. Work from home. Jadi kayanya, Fio belum bisa pulang ke Surabaya."

"Ya ampun, Fio. Sudahlah, kamu buat apa sih kerja keras di sana pontang-panting tapi gajinya pas-pasan untuk biaya hidup sendiri? Lebih baik kamu pulang dan menikah dengan Joshua, Fio. Dia itu diwariskan tanah banyak lho. Bahkan Pak Martin ini sedang membangun Villa. Joshua juga mau kok sama kamu..."

"Ma, Fio harus zoom meeting nih. Udah dulu ya," sergahku sebelum mama semakin panjang bicara. Bermaksud membujukku, tapi yang ku rasakan hanyalah sebuah ketidakeprcayaan orang tua kepada putrinya.

Sejujurnya, aku tidak pernah punya masalah dengan Joshua. Atau laki-laki lainnya. Hanya saja, aku terlalu takut akan sebuah komitmen bernama pernikahan. Maraknya kasus perselingkuhan yang ku baca di portal berita gosip dan facebook, membuatku semakin paranoid.

Tak usah jauh-jauh. Kisah orang tua ku sendiri. Mama ditinggalkan oleh papa karena seorang perempuan. Tapi mama tidak perduli, karena baginya papa selalu memberikan kebutuhan finansialnya dan anak-anaknya.

Makanya, jangan salahkan aku jika sekarang aku tak begitu mempercayai sesuatu yang orang bilang 'cinta'. Aku lebih percaya pada pasangan suami istri yang menikah karena sang istri ingin menguasai harta suaminya sementara sang suami hanya ingin memuaskan nafsunya saja. Daripada mereka yang mengatakan menikah karena cinta.

Prinsip itu, membuatku dijauhi oleh orang-orang. Aku mengerti itu, mereka semua tak sependapat denganku. Mungkin karena mereka beruntung dalam hal percintaan dan tumbuh di keluarga yang penuh kasih sayang.

Kembali dalam kehidupan nyata. Aku duduk di depan laptop, berusaha mencari-cari pekerjaan di situs Linked In.

Di saat putus asa seperti ini, aku tak pernah memikirkan pekerjaan apa, dan berapa gajinya. Semuanya yang memungkinkan akan aku lamar. Yang terpenting untuk saat ini adalah bisa bertahan hidup.

Entah sudah berapa puluh email lamaran pekerjaan yang aku kirim sejak seminggu terakhir. Tapi tak ada satupun yang menghubungiku.

Mungkin ada beberapa yang masuk. Tapi, semuanya berasal dari perusahaan bodong. Maksudku perusahaan pialang, atau asuransi yang tak jelas asal-usulnya.

Teman? Aku tidak memiliki teman di kota ini. Aku pernah memiliki circle pertemanan di kantor. Tapi semakin lama, aku kesulitan untuk mengimbangi gaya hidup mereka, cara mereka berpikir, dan kehidupan sosialita mereka. Jadi aku mundur perlahan.

Aku benar-benar sendirian sekarang. Aku tak bisa bergantung pada siapapun. Mungkin, jika sudah waktunya, aku akan berakhir di dalam kamar ini sendirian.

Saat overthingking-ku kambuh, tiba-tiba ponselku berdering tanda panggilan masuk dari nomor kantor sepertinya. Tapi aku tak tahu kantor yang mana.

"Halo, iya, selamat pagi. Benar, ini saya sendiri. Apa? Hari ini? Bisa Bu, baik, baik saya akan datang sesuai jadwal. Iya, baik Bu, terimakasih ya, Bu."

Oh - My - God! Aku mendapat panggilan interview dari Ark's Film. Sebuah rumah produksi yang cukup terkenal di Indonesia. Mereka selalu memproduksi film-film romantis, kalau aku tidak salah.

Aku melamar sebagai asisten pribadi. Tapi aku sendiri tak tahu sebagai asisten pribadi siapa tepatnya, karena tidak dijelaskan dalam iklan lowongan kerja.

Sebelum bersiap-siap, aku memeriksa lagi dari situs resmi Ark's Film bahwa nomor yang baru saja menghubungiku adalah nomor kantor mereka.

Dengan cepat aku bisa menemukannya, dan ternyata benar. Bahkan alamatnya pun sama persis. Jadi aku segera bersiap-siap untuk pergi ke sana.

Berkas lamaran sudah tersedia sejak jauh-jauh hari. Kemeja, blezer dan rok semuanya juga sudah siap siaga di dalam lemari.

Akhirnya, hari ini pun tiba. Aku bersumpah akan bersungguh-sungguh menjalani interview ini.

***

Pukul 10:00 WIB, aku sampai di gedung besar ini. Astaga, baru kali ini aku menginjakkan kaki di gedung semegah ini.

Aku sampai sedikit kebingungan mencari tempat resepsionis untuk membantuku menunjukkan ruangan interview.

Namun akhirnya aku ditunjukkan oleh sang resepsionis. Ku rasa, mereka semua sangat bersikap ramah.

Saat berada di dalam lift besar dan bersih ini, aku berpikir mungkinkah aku akan bertemu dengan aktor-aktor Indonesia di gedung ini?

Membayangkannya saja membuatku sangat bersemangat. Tapi ketika lift ini mulai mendekati lantai yang ku tuju, tiba-tiba rasa gugup menjalar di sekujur tubuhku. Memikirkan kembali seperti apa bosku nantinya? Apakah orang yang menyebalkan? Apakah rumit? Atau sangat perfeksionis? Laki-laki atau perempuan?

Ya ampun, Fiona. Belum tentu juga kamu akan lolos dan diterima.

Ting! Lift akhirnya berhenti di lantai 15. Aku menghela napas panjang berusaha untuk tetap tenang. Tapi begitu pintu lift terbuka, sungguh aku rasa kaki ku lemas.

Melihat seorang laki-laki tinggi, dengan wajah orang asing dan bola mata hijau yang cantik, aku akui kalau aku sangat terpesona. Apakah dia seorang aktor?

Aku tersandung kaki ku sendiri ketika keluar dari pintu lift dengan gegabah hingga hampir terjatuh di depan laki-laki itu.

Tapi tangannya yang kuat mampu memegangi tanganku agar tak benar-benar terjatuh sementara tangannya yang satu lagi refleks memegangi punggungku.

Astaga, aroma maskulin parfumnya begitu membuatku membeku. Baru kali ini aku merasakan getaran aneh ketika tanganku berada di tangannya. Mungkinkah karena pesona wajahnya?

"Hati-hati," ucapnya dengan suara berat yang begitu menusuk. Aku tersadar dan segera berdiri dengan tegap meskipun aku rasa, kedua kaki ku masih gemetar. Mungkin efek terlalu banyak bersantai di rumah, aku kurang gerak jadi lebih lemah.

"Makasih," gumamku menundukkan kepala, malu untuk melihatnya.

Ia tak menjawab apa-apa. Seseorang yang tadi berjalan di sebelahnya sudah menunggu di dalam lift. Namun begitu melihat pulpen miliknya terjatuh, aku buru-buru menyusulnya dan menahannya.

"Maaf, pulpen Anda jatuh," ucapku menyodorkan pulpen itu kepada laki-laki itu.

Dia mengambil pulpen yang aku sodorkan, tapi kemudian ia menaruhnya ke dalam saku blezer ku dengan hati-hati.

"Kamu perlu pulpen untuk wawancara," ucapnya dengan tenang lalu berjalan memasuki lift.

Ya Tuhan, aku baru tahu ada laki-laki yang sangat berkharisma seperti itu. Orang-orang mungkin akan terpesona padanya karena dua hal. Penampilan dan perilakunya.

Tunggu, bagaimana dia tahu aku datang ke sini untuk wawancara? Apa karena penampilanku terlalu jelas kelihatan? Entahlah. Semoga pulang nanti aku bertemu dengannya lagi.

***

Ternyata benar apa yang dikatakan oleh laki-laki berkharisma tadi, aku benar-benar membutuhkan pulpen saat ini.

Aku dan 20 pelamar lain diminta untuk menunggu giliran di sebuah ruangan besar ber-AC. Ruangan ini memiliki design sederhana dengan cat dominan putih, jam dinding digital, lalu satu sisi dinding cermin yang mengkilat.

Sekarang, aku mengisi sebuah formulir yang diberikan oleh salah satu staf kantor ini.

Sebenarnya hanya mengisi beberapa data personal yang umum. Tapi, ada beberapa hal yang membuatku heran.

Di sini, ada pertanyaan seperti apakah sedang menjalin hubungan. Apakah maksudnya sudah menikah atau belum? Kemudian ada lagi pertanyaan hubungan dengan orang tua. Tinggal sendiri atau bersama orang tua. Ah, mungkin saja memang ada penilaian khusus mengenai ini.

Aku menyelesaikan tugasku mengisi formulir dan waktunya tiba semua formulir dikumpulkan. Lalu satu persatu dari kami dipanggil untuk mengikuti staf tersebut dan melakukan wawancara.

Aku belum memiliki pengalaman menjadi asisten pribadi. Dan lagi, sejujurnya aku sedikit merasa rendah diri melihat calon-calon pelamar di ruangan ini yang memiliki penampilan bak model atau bintang iklan.

Rasanya, aku seperti salah masuk ruangan. Mungkin ruangan ini bukan untuk calon pelamar asisten pribadi. Mungkin ini ruangan audisi menjadi aktris perusahaan ini.

Ku rasa, hanya keajaiban yang membuatku diterima bekerja di perusahaan ini.

***

AKU MENDAPAT PANGGILAN TELEPON DARI ARK'S FILM.

Sungguh ini sangat mengejutkan. Aku tidak salah dengar, mereka benar-benar menerima ku bekerja di sana. Dan hari ini aku diminta untuk datang ke kantor mereka seperti tempo hari untuk memperkenalkan lingkup kerjaku. Besok, baru aku akan resmi mulai bekerja dengan pelatihan selama satu minggu - katanya.

Hari ini, aku benar-benar berniat memperlihatkan sisi terbaik ku. Kemarin mungkin riasan ku agak kaku dan kurang menarik. Jika mereka menerima ku karena aku adalah pilihan terakhir, tak apa. Aku akan menunjukkan kalau mereka tidak akan menyesali pilihan mereka.

Setelah melakukan pemeriksaan suhu badan dan sebagainya, aku diizinkan masuk dan melepas masker ketika sampai di sebuah ruangan.

Seorang staf mengantarkan aku untuk menunggu di dalam ruangan calon bosku katanya. Wah, sungguh aku terpukau dengan ruangan besar nan rapi ini. Sangat elegan, simple, dan terlihat sangat profesional.

Staf yang berbicara denganku sebelumnya mengatakan kalau aku akan menjadi asisten pribadi CEO perusahaan ini. Ia juga memberikan aku sebuah map berisi tugas-tugas yang akan aku kerjakan selama menjadi asisten pribadinya.

Mr. Nicholas A. G. Itulah namanya. Sungguh aku merasa sangat gugup hingga hanya terfokus pada lembaran-lembaran tugas ini.

Selama menunggu, aku bahkan mencari lebih dalam mengenai tugas-tugas ini di internet. Tapi mendadak aku merasa lebih gugup lagi ketika mengetahui kalau aku harus siap selama 24 jam jika dibutuhkan. Aku tak yakin untuk ini, tapi mungkin akan didiskusikan lagi nanti.

Setelah dua jam menunggu, akhirnya pintu ruangan terbuka. Aku tak tahu waktu berjalan begitu cepat.

Begitu pintu terbuka, aku segera berdiri dengan gugup. Namun begitu melihat orang yang sedang dipersilakan masuk oleh staf wanita tadi, lagi-lagi aku hampir terjatuh karena melangkah terlalu gegabah untuk menghampirinya.

Staf wanita di belakang laki-laki berkharisma itu terlihat menahan tawa. Ini memang konyol. Tapi laki-laki yang saat ini berdiri di hadapanku, masih terlihat sama. Dia tenang, dan terlihat tak tertarik dengan kekonyolan yang ku buat. Sialnya ini terjadi setiap melihatnya.

"Miss Fariska?"

"Ya," jawabku masih terpengaruh olehnya.

"Silakan duduk," ucapnya kembali mempersilakan aku untuk duduk di sofa lagi. Begitu juga dengan dirinya yang duduk berbeda sofa denganku sehingga kami bisa saling berhadapan.

Sejenak, aku mencari-cari keberadaan staf wanita tadi. Mana mungkin aku langsung ditinggalkan sendirian di sini?

"Saya ingin bicara dengan asisten pribadi saya secara intens. Jadi Angeline saya minta menunggu di luar," ucap laki-laki itu sepertinya menyadari kegelisahanku mencari staf wanita bernama Angeline tadi.

Ternyata, laki-laki yang memberikan pulpennya pada ku kemarin adalah Mr. Nicholas. Orang yang akan menjadi atasanku. Astaga, ini berkah.

NICHOLAS

"Saya gak akan minta kamu memperkenalkan diri, karena saya sudah melihat semua data diri kamu," ucap Nicholas menjelaskan. Sementara aku tiba-tiba kehilangan fokus, mencoba menebak-nebak berapa umurnya? Tiga puluhan? Atau empat puluh? Cara bicaranya sangat dewasa, tapi wajahnya masih sangat muda.

"Kamu sudah baca tugas-tugas kamu?" tanya Nicholas menyilangkan kakinya dengan anggun sambil menatapku dengan mata indahnya.

"Oh, sudah Pak."

"Angeline akan menjelaskan semuanya sama kamu. Tapi ada beberapa hal yang perlu kamu garis bawahi, Miss Fariska."

"Baik, Pak."

"Poin pertama, kamu harus siap saya butuhkan selama 24 jam. Artinya, meskipun jam kerja kamu delapan jam. Tapi kamu harus siap lembur, atau mungkin menerima panggilan telepon saya kapanpun saya butuh. Kamu siap?" tanya Nicholas dengan tatapan yang ku rasa mengintimidasi. Seolah membujuk - atau memaksaku untuk setuju. Dan aku tahu aku pasti akan setuju.

"Saya siap, Pak."

Karena aku benar-benar membutuhkan pekerjaan ini.

Nicholas mengangguk puas. Kemudian ia menambahkan sesuatu yang tak pernah aku pikirkan akan diucapkan olehnya.

"Satu lagi, saya punya satu kucing. Kamu juga harus siap saat saya minta menjaga kucing saya."

Oh, laki-laki berperawakan sangar ini ternyata memelihara kucing? Manisnya.

"Kebetulan, saya juga cukup menyukai kucing, Pak," sahutku tanpa sadar tersenyum antusias. Dan melihat Nicholas hanya diam sambil menatapku, sontak aku buru-buru menghentikan senyumku. Kembali pada mode serius.

"Hari ini kamu akan mengikuti saya dan Angeline. Dia akan mengajarkan kamu untuk jadi asisten pribadi saya."

"Baik, Pak."

"Okay, ada yang ingin kamu tanyakan atau sampaikan?"

"Saya rasa, cukup, Pak."

"Mengenai gaji? Apa kamu punya keluhan mengenai gaji?"

"Tidak, Pak. Tidak ada sama sekali," sahutku dengan cepat karena merasa tak enak.

Nicholas menganggukkan kepala lagi kemudian ia beranjak dari duduknya menuju meja kerjanya. Ia meraih gagang telepon dan menelepon Angeline. Memintanya untuk masuk ke dalam ruangan.

Maka, masa trainee ku pun dimulai. Aku akan mengikuti Angeline untuk menyusun jadwal Nicholas hari ini dan besok. Jadi, aku adalah asisten dari asisten pribadinya Nicholas.

***

Mengingatkan setiap jadwal harian, memastikan makan pagi, siang dan malam, menyiapkan akomodasi dan transportasi perjalanan.

Sejauh ini, Nicholas hanya berputar disekitar Jakarta saja. Tapi menurut Angeline, jika sudah keluar kota, biasanya Nicholas lebih suka pakai helikopter pribadi. Belum selesai disitu keterkejutanku, karena ternyata aku pun harus mengikutinya.

Astaga, dia benar-benar kaya.

Setelah tidak ada jadwal, biasanya Nicholas akan langsung pergi ke ruang pribadinya. Aku heran kenapa dia tidak pulang saja?

Lebih jauh, Angeline menjelaskan juga kalau jadwal Nicholas datang ke perusahaan ini semakin sedikit karena semua pekerjaan sudah diurus oleh semua karyawannya. Jadi, paling tidak Nicholas hanya dua atau tiga kali dalam seminggu datang ke kantor.

Meskipun begitu, aku tetap harus datang ke kantor setiap hari untuk mem-follow up jika sewaktu-waktu ada hal yang perlu ditangani langsung oleh Nicholas. Jadi, apapun itu nantinya Nicholas hanya akan menerima kabar dariku.

"Satu hal yang perlu kamu ingat, Fiona. Ini sangat krusial, bahkan tercatat jelas di dalam kontrak kalau kamu, dilarang memberitahu atau menyebarluaskan apapun mengenai perusahaan apalagi kehidupan pribadi Pak Nicholas kepada siapapun," ucap Angeline memperingati ku saat kami berdiri di depan pintu ruang kerja Nicholas.

"Kalau terbukti, denda yang ada di dalam kontrak akan benar-benar harus kamu bayar, tidak perduli sampai kapanpun kamu bisa melunasi," bisik Angeline dengan serius hingga aku diam membeku. Setelah itu, Angeline kembali tersenyum seolah mencairkan suasana.

"Silakan masuk," ucap Angeline membukakan pintu ruangan Nicholas, memintaku untuk memberikan laporan untuk jadwal Nicholas besok sekalian berpamitan karena hari ini aku bisa pulang lebih awal.

Saat aku memasuki ruang kerja Nicholas, di sini begitu sepi. Pandangan ku langsung tertuju pada seekor kucing yang duduk di atas sofa. Warna bulunya putih bersih, wajahnya lancip, hidungnya mancung, dan matanya terang. Apa ini kucing anggora asli?

Langkahku pelan-pelan mendekatinya. Aku berjongkok menghadap kucing tersebut, tak berani terlalu dekat. Takut kucing ini terusik dengan kehadiran ku.

"Hai..."

Kucing itu menoleh padaku. Astaga bulunya lebat, aku ingin menyentuhnya sekali saja.

Kemudian kucing ini mengeong pelan. Apakah artinya boleh? Aku tersenyum semakin lebar dan menaruh telapak tanganku di atas kepalanya dengan sangat hati-hati.

Kucing ini tak berontak saat aku mengelus kepalanya. Dan seperti dugaanku, bulunya sangat lembut. Maafkan aku kucing, tapi aku mungkin agak tidak tahu diri karena ingin mengusap-usap dagu kecil mu juga. Kucingnya sangat cantik.

Kucing itu mengeong lagi, kali ini ia turun dari sofa dan berjalan melewatiku. Dan oh, Ya Tuhan...

Kucing itu menghampiri si empunya, yaitu Nicholas yang entah sejak kapan berdiri di belakangku. Aku segera berdiri dengan kikuk merasa tak enak karena sudah berani menyentuh kucingnya.

"Biasanya, saya gak akan izinkan orang asing menyentuh kucing saya," ucap Nicholas sambil menggendong kucingnya dan mengelus-elusnya dengan lembut.

"Apalagi saat pandemi begini," imbuhnya semakin membuat ku merasa bersalah.

"Maaf, Pak," jawabku menundukkan kepala merasa menyesal.

"Biasanya Fio juga gak mau disentuh orang asing sama sekali," ucap Nicholas lagi kali ini membuatku langsung mendongak menatapnya yang juga sedang menatapku dengan pandangan yang sedikit berbeda.

"Dia pasti ngamuk," lanjut Nicholas.

"Maaf, Pak. Tapi siapa nama... Kucingnya?"

Nicholas terdiam sejenak masih menatapku seolah penasaran. Sementara tangannya masih sibuk mengelus-elus kucingnya.

"Fio... Fiosky."

Saat itu, tepatnya setelah mendengar nama dari kucing Nicholas, aku mulai merasa sedikit ketegangan dalam diriku perlahan luntur. Entah apakah ada kolerasi antara kecanggungan ku dan nama kucing Nicholas yang sekilas mirip dengan namaku. Tapi, sungguh, Nicholas selalu membuatku terpukau.

***

Bermula dari Fiosky. Alih-alih mencari tahu tentang bosku, aku malah mencari tahu banyak mengenai kucing anggora.

Nicholas bukan membelinya, melainkan seseorang telah memberikan Fio kepadanya ketika masih kecil. Siapa yang memberi, Angeline mengaku kalau dirinya pun tak tahu.

Tapi yang pasti, Fio adalah hal yang paling diprioritaskan oleh Nicholas. Seperti hidupnya, Nicholas selalu menjaga Fio. Seperti udara, Fio pun selalu ada di sekitar Nicholas. Berani macam-macam, maka kau akan berurusan langsung dengan Nicholas Arrasya Gautama.

Bahkan, Angeline menceritakan kalau dulu Fio pernah menghilang dari kantor. Sebelum 1 x 24 jam, Nicholas sudah mengerahkan seluruh karyawan dan pemadam kebakaran untuk mencari Fio.

Pekerjaan ku berjalan dengan sangat lancar.

Nicholas orang yang sangat profesional, praktis, tidak ribet, dan sangat tenang. Pesonanya sangat besar.

Meskipun aku masih sering melakukan kesalahan, Angeline selalu membantuku dan Nicholas tak masalah soal itu. Jadi aku semakin bersemangat untuk memperbaiki kinerja ku.

Semakin bagus, dan semakin lancar dari hari ke hari. Fio juga sudah semakin dekat denganku. Jadi Nicholas memberiku tanggung jawab untuk menyisir bulu Fio dengan sisir khusus dan membantunya membawa Fio ke salon untuk perawatan sesuai jadwalnya.

Begitu melihat istrinya datang, aku kembali terpukau. Namanya Mia, dan dia perempuan yang sangat elegan, cantik, sangat pantas jika disandingkan dengan Nicholas.

"Pak Nicholas baru akan ada pertemuan dengan beberapa produser di Yogyakarta tanggal 17 Juli nanti, Pak," ucapku sambil berjalan berusaha menyeimbangi langkah panjang Nicholas.

"Oke, ingatkan saya untuk datang satu hari sebelumnya," jawab Nicholas.

"Baik, Pak," sahutku sambil buru-buru mencatat di tablet yang diberikan oleh perusahaan untuk keperluan pekerjaanku.

Nicholas selalu terlihat tenang bahkan ditengah perdebatan dalam rapat. Orang ini, seperti selalu diam dalam debat, namun memberikan keputusan final yang mampu membuat semuanya setuju dengannya.

Sore ini, sebelum pulang, aku sibuk berkeliling di sekitar ruang kerja Nicholas. Aku benar-benar panik, hingga rasanya sulit bernapas.

Habislah aku. Entah apakah aku akan dipecat atau malah ganti rugi berapa ratus juta?

Kedua kaki ku semakin lemas ketika mendengar pintu ruangan terbuka dan Nicholas masuk menghampiriku. Aku buru-buru berjalan menghadapnya dengan panik, rasanya ingin menangis.

"Kenapa?"

"Pak, Fio..." Aku bahkan tak sanggup melanjutkan. Namun aku menelan salivaku perlahan dan melanjutkan kalimatku dengan susah payah, "Fio gak ada, Pak. Saya sudah cari-cari di sekitar ruangan ini. Tapi, saya gak menemukan Fio."

Aku berhenti sejenak ketika tiba-tiba Nicholas mendekat dan menyeka keringat di pelipis ku menggunakan sapu tangannya.

"Kamu belum cari ke satu tempat, Fiona," ucapnya sambil berjalan begitu saja mendekati sebuah rak buku besar di ruangan ini. Ia menarik salah satu buku tebal yang dipajang di rak tersebut hingga rak itu tiba-tiba bergerak perlahan-lahan seperti terbuka.

Terbuka? Astaga, aku tercengang melihat rak buku tersebut bergerak seperti sebuah pintu yang terbuka. Saat itu, Nicholas menoleh ke belakang, lalu mengisyaratkan aku untuk mengikutinya.

Tanpa berpikir mungkin saja Nicholas akan melakukan hal tak senonoh, aku malah menurut saja dan langsung menyusulnya ke dalam.

Begitu sampai di dalam ruangan tersembunyi ini, rak buku itu kembali ia buat tertutup dengan menekan salah satu tombol di dinding. Dan ketika tertutup, ruangan ini menyala dengan lampu neon berwarna biru muda.

Terdapat sebuah karpet berbulu, sofa mini, rak buku yang lebih kecil, dan beberapa kanvas. Sebagian kanvas tersebut kosong, dan beberapa lagi ada gambaran abstrak. Dan aku ternganga, mungkinkah lukisan-lukisan abstrak yang dipajang di ruang kerjanya itu hasil lukisannya sendiri?

Fio datang menghampiri Nicholas dengan turun dari sofa sambil mengeong. Dan seperti biasa, Nicholas akan segera menggendongnya dengan raut wajah yang lebih 'manusiawi' dibanding biasanya yang jauh lebih mirip robot.

"Maaf, Pak. Kalau boleh tahu, ini ruangan apa?"

"My private room," jawab Nicholas sambil membuka sebuah jendela di dinding dekat rak buku besar itu berputar tadi.

"Kalau kamu gak menemukan saya di sana, artinya saya ada di dalam sini."

Aku terkejut melihat jendela yang baru saja dibuka oleh Nicholas, karena kaca jendela ini memperlihatkan keadaan ruang kerja Nicholas dengan sangat jelas.

"Ini... Cermin dua arah?" tebakku begitu saja karena terlalu terkejut.

Nicholas menganggukkan kepalanya pelan. "Saya suka memperhatikan perilaku karyawan saya kalau masuk ke ruang kerja saya."

Ah, sial. Pantas saja waktu aku mengelus kucingnya di sofa sana, dia langsung keluar dan memergoki aku. Ya ampun, ternyata Nicholas agak menyeramkan juga, ya.

"Oh iya, Pak. Lusa itu jadwalnya Fio ke dokter hewan," ucapku mengingatkan. Meskipun sebenarnya aku ingin bertanya apakah aku yang akan mengantar Fio ke dokter atau nanti Nicholas sendiri yang ke sana.

Tapi bukannya menjawab, Nicholas malah menatapku seolah menahan tawa. Ada yang salah?

"Apa orang-orang di sekitar kamu memanggil kamu dengan panggilan 'Fio'?" tanya Nicholas.

Aku menggigit bibirku merasa malu, tapi akhirnya aku menganggukkan kepala sambil terkekeh pelan.

"Kayanya mereka harus biasakan manggil kamu dengan nama lengkap kamu, terutama di depan saya," ucap Nicholas tak mau kalah. Atau atau tak mau nama kucingnya mirip denganku.

"Atau mungkin mereka akan pikir kamu yang punya jadwal ke dokter hewan," lanjut Nicholas seketika membuat tawa ku meledak. Kenapa juga aku tak menyadarinya jika Nicholas menahan tawa karena ucapanku tadi, 'lusa itu jadwal Fio ke dokter hewan'. Ya ampun, aku baru sadar soal itu.

"Maaf, Pak," ucapku memelas karena baru menyadari kecerobohanku tertawa begitu keras di depan bosku sendiri.

"Sepertinya kamu tertarik sekali dengan Fio. Kamu bahkan selalu tanya-tanya ke Angeline," ucap Nicholas.

Aku yakin Angeline gak mungkin mengadukan ini kepada Nicholas. Tapi mungkin, Nicholas tahu dari cermin satu arah ini.

"Pasti ada yang buat kamu penasaran tentang Fio. Kamu boleh tanya sekarang, Fiona."

"Saya penasaran, kenapa orang sesibuk Pak Nicholas masih memelihara hewan sendiri?" tanyaku akhirnya memberanikan diri.

Nicholas terdiam lagi sambil menatapku. Kemudian ia memutar tubuhnya menghadap ke cermin satu arah ini.

"Karena hewan adalah makhluk yang paling setia, Fiona. Satu kali saya beri makan hewan, mereka akan setia sama saya seterusnya. Tapi manusia, berkali-kali saya beri makan mereka, mereka tetap berkhianat. Meskipun setia, pasti ada syarat dan batas waktu yang bisa berubah-ubah."

Wah, aku tak mengira akan mendapatkan jawaban yang begitu dalam dari Nicholas. Aku pikir, Nicholas adalah seorang bos kaku yang sombong.

"Iya, kan?" tanya Nicholas membuatku kaget, dia baru saja meminta pendapatku?

"Pak Nicholas benar. Saya baru sadar soal itu sekarang," jawabku tersenyum penuh arti. Jika dipikir-pikir, memang benar apa kata Nicholas. Terkadang memang hewan yang akan terus setia pada kita, mungkin karena ketergantungan.

Aku rasa, Nicholas benar-benar definisi kesempurnaan. Dia kaya raya, pengusaha sukses, berwajah tampan, bijaksana, penyayang binatang, jauh dari gosip, memiliki istri yang cantik dan produktif. Tapi, ada satu hal yang membuat kecacatan dalam kehidupannya yang nyaris sempurna itu. Pernikahan yang hambar.

"Honey! Nick!"

Aku menoleh pada Nicholas, ingin bertanya apakah waktunya kita berdua untuk keluar. Karena di luar sudah ada Mia dan seorang laki-laki muda. Oh, dia aktor film terkenal, namanya Hero kalau gak salah.

Tapi Nicholas menggelengkan kepalanya, dan memintaku untuk tetap diam. Awalnya aku pikir mungkin Nicholas menyuruhku begini karena ia takut istrinya akan salah paham dengan posisi kami yang berada di dalam ruangan rahasia ini berdua.

Namun kemudian, aku membeku ketika melihat Mia berciuman mesra dengan aktor bernama Hero itu di sofa! Di dalam ruang kerja Nicholas. Astaga, apa aku tak salah lihat? Dan Nicholas melihat juga adegan ini.

TAK SEMPURNA

Mia dan Hero tertawa girang dan saling berpelukan sambil mengobrol akrab. Apa mereka tak tahu soal ruangan ini?

Ya Tuhan, situasi macam apa ini? Kenapa Nicholas terlihat masih saja tenang? Kenapa dia tidak keluar dan menegur mereka?

Suara dering ponsel Nicholas mengalihkan perhatianku. Dari reaksi Mia yang biasa saja, artinya ruangan ini kedap suara.

Nicholas mengangkat panggilan telepon tersebut. Aku tak tahu apa yang dikatakan oleh Mia di telepon, aku hanya mendengar Nicholas menjawab dengan tenang.

"Saya masih ada urusan dengan Fiona, asisten pribadi saya. Okay, kabarin saya lagi nanti."

Hanya itu yang Nicholas katakan. Ternyata keterkejutan ku tak usai di sini, satu fakta lagi, Nicholas bicara formal dengan istrinya. Maksud ku, 'saya', bukannya itu terlalu formal untuk sepasang suami istri?

Perhatianku kembali teralihkan oleh kelakuan Mia dan Hero. Mia terlihat begitu senang, begitu juga dengan Hero, hingga mereka berdua kembali berpelukan dan berciuman.

Aku diam, menundukkan kepala ku. Syaraf otakku seolah menolak lebih lama melihat adegan perselingkuhan itu. Jelas ini tak wajar.

Nicholas tak terlihat berapi-api, namun aku bisa melihat raut wajahnya berubah. Ia kelihatan marah.

Bahkan, begitu Mia dan Hero keluar dari ruang kerjanya, Nicholas segera menekan tombol agar rak buku besar itu terbuka.

Langkahnya cepat keluar dari ruangan ini. Dan aku refleks mengikutinya di belakang tanpa ingin berkata apa-apa. Toh sepertinya Nicholas juga tak ingin membicarakannya.

"Kamu boleh pulang, Fiona."

Aku segera menganggukkan kepala ku. Memang tidak enak juga ada di posisi seperti ini. Kenapa aku harus ikut melihatnya?

"Fiona," panggil Nicholas sebelum aku benar-benar keluar dari ruangan ini.

"Ya, Pak?"

"Angeline, sudah mengingatkan kamu tentang 'hal yang perlu kamu garis bawahi'?" tanya Nicholas. Nada suaranya jelas berbeda dari sebelum kejadian ini terjadi. Nicholas seperti sedang menahan sesuatu yang sulit dikatakannya.

"Sudah, Pak."

Nicholas menganggukkan kepalanya. Kemudian ia berjalan menghampiriku dengan raut wajah khawatir memenuhi wajah tampannya.

"Fiona..." Nicholas menggantung ucapannya. Ia terlihat sedang berusaha mengatakan sesuatu yang sepertinya ragu ingin ia ucapkan.

"Apa kamu bersedia jadi wanita simpanan saya?"

Sejak melihat sendiri bagaimana Nicholas berdiri menatap perselingkuhan yang dilakukan istrinya, aku merasa pandanganku terhadapnya perlahan berubah. Dia bukanlah laki-laki kuat seperti penampilannya.

Sekarang, satu kalimat pertanyaan itu, semakin mengubah pandanganku yang sempat terpesona padanya.

Aku sangat membutuhkan pekerjaan ini, tapi hanya sebatas asisten pribadinya. Bukan hal lain. Lalu, apa serendah itukah aku dimata orang kaya ini?

***

Kalimat pertanyaan itu masih terngiang-ngiang di benak ku. Kini aku sudah duduk di sofa dengan segelas air mineral yang rasanya tak nafsu untukku minum.

Menjadi wanita simpanan seorang Nicholas Arrasya Gautama, sama dengan sebuah kemakmuran bagi diriku yang tak memiliki apa-apa. Maksudku, dia benar-benar berniat membayarku, lima belas juta rupiah. Dan akan bertambah sesuai kondisi yang ada.

"Dengar, Fiona. Jangan melibatkan perasaan dalam hal ini -"

"Tidak pernah ada yang melibatkan perasaan dalam hubungan ranjang bukan, Pak?" tukas ku tanpa sadar berbicara tidak sopan. Jujur, aku sangat kesal dan kehilangan rasa hormatku pada orang ini sekarang. Aku ingin buru-buru pergi.

Aku menyadari kebodohanku sejenak ketika Nicholas menatapku dalam diam, seolah menyelidik sampai ke akar pikiranku. Dan aku tak suka ada orang lain yang berusaha menebak apa isi pikiranku.

"Oke, saya mengerti. Tapi jika kamu mau mendengarkan saya, maka kamu tidak akan semarah ini, Fiona," ucap Nicholas yang anehnya terlihat jauh lebih bersemangat dari sebelumnya. Padahal aku baru saja berbicara lancang padanya.

"Jadi, apa maksud Pak Nicholas?"

"Saya memiliki rencana, dan saya membutuhkan bantuan kamu untuk merealisasikannya. Dan hal paling penting adalah, saya membayar jasa kamu dalam berakting, bukan tubuh kamu."

Sial. Ya Tuhan, kenapa aku sulit sekali memahami maksud laki-laki ini? Sebelumnya dia memintaku menjadi selingkuhannya. Dan sekarang, dia mengatakan akan membayar jasa ku dalam berakting. Kemudian, rencana apa yang dimaksud olehnya?

Aku menahan napas ku, sebisa mungkin aku memberanikan diri untuk berdiri.

"Saya minta maaf, Pak. Tapi apapun rencana Pak Nicholas, saya tidak berminat untuk turut campur," ucapku pelan.

Nicholas ikut berdiri dan berjalan menghampiriku dengan kedua tangan yang ia masukkan ke dalam saku celananya.

"Apa kamu merasa bayarannya kurang? Kalau masalah itu, kita bisa bicarakan-"

"Saya permisi, Pak."

Aku segera melangkahkan kakiku pergi dari hadapan Nicholas yang masih terus membujukku.

Sungguh, aku memang sempat tertarik padanya. Tapi jika menjadi selingkuhannya, apapun dia menyebutnya, aku tak akan sudi. Seberapa pun dia akan membayarku.

Aku tahu, sejak aku meninggalkan kantor ini, artinya aku sudah kehilangan pekerjaanku lagi. Meskipun aku sekarat dalam hal finansial, meskipun aku terlahir dari keluarga yang berantakan, setidaknya aku masih memiliki harga diri.

Mungkin, aku memang harus pulang ke Surabaya. Dan kalau memang aku harus menikah dengan Joshua, baiklah. Itu terdengar lebih baik dibandingkan menjadi selingkuhan bos ku sendiri.

***

Kejadian siang ini, membuat ku tak bisa tidur semalaman suntuk. Aku telah mencurahkan segala masalahku pada Dinar, teman sekolah ku yang berada di Surabaya.

Dan aku juga menceritakan padanya juga kalau mungkin aku akan menerima perjodohan yang dilakukan ibuku.

Hanya saja, aku masih memikirkan bagaimana bisa aku merasa segila ini hanya dengan beberapa hari bekerja kepada sosok orang penting seperti Nicholas.

Entah pikiranku yang benar-benar naif, atau memang dunia ini sudah gila. Ku rasa tak ada celah sedikitpun untuk cinta tulus.

Bahkan sekelas Nicholas, laki-laki sempurna itu tetap diselingkuhi oleh istrinya. Ini lebih gila lagi, karena Nicholas tahu kelakuan istrinya dan hanya diam. Belum sampai disitu kegilaan Nicholas, ia juga meminta ku menjadi selingkuhannya. Kenapa harus aku?

Sudahlah Fiona, besok kau akan melarikan dari semua ini. Ah iya, aku belum menuliskan surat permintaan maaf kepada pemilik kos karena meninggalkan tunggakan hutangku.

Pagi datang begitu cepat. Rasanya aku belum siap dengan hari ini. Sebenarnya, rencana ku adalah kabur saat malam nanti. Ketika semuanya sudah gelap sempurna.

Jadi hari ini aku akan diam-diam membereskan barang-barangku. Sekarang, di otakku benar-benar penuh dengan banyak tekanan.

Baru saja semalam aku membicarakan soal rencanaku untuk pulang ke Surabaya, mama segera mengatakan hal ini juga kepada Joshua. Dia bilang, Joshua akan segera menjemputku di bandara.

Bahkan, Joshua sudah mengirim uang ke rekeningku untuk biaya transportasi. Astaga, mereka benar-benar serius menjodohkan aku.

Hari ini aku mungkin akan menghabiskan waktu ku dengan diam di dalam kos. Semuanya berjalan dengan lancar sampai tiba-tiba listrik padam. Apa sedang mati listrik?

Aku tidak bisa menyalakan televisi, atau men-charge laptop ku.

Kemudian aku dikagetkan dengan suara ketukan pintu yang sedikit brutal. Oh tidak, itu ibu kos.

Sontak, aku pelan-pelan berjalan ke belakang dan bersembunyi seperti biasa. Untung aku selalu mengunci pintu.

Saat ketukan pintu itu selesai, aku menoleh kembali ke arah pintu. Dan terdapat selembar kertas yang diselipkan melalui celah bawah pintu tersebut. Apa itu surat tagihan? Tidak biasanya.

Aku segera menghampiri pintu dan meraih kertas tersebut yang ternyata ditulis dengan tinta pulpen ini.

Mbak Fiona, maaf. Terpaksa listrik dan air saya matikan, sampai Mbak melunasi tunggakkan. Trims.

Ya Tuhan! Ayolah, aku belum mandi! Meskipun aku akan pergi dari tempat ini, tetap saja aku belum sempat mandi! Dan ponselku, astaga aku belum men-charge ponselku.

Fiona, kamu benar-benar sedang di ujung tanduk. Kenapa aku bisa sesial ini?

Belum selesai semua penderitaan ini, tiba-tiba ponselku bergetar tanda pesan masuk dari Dinar.

From: Dinar

Fio, gue lihat di rumah lo sekarang lagi di pasang tenda buat penyambutan lo. Ini, lo serius mau nikah sama si Joshua? Kalau iya, saran gue, nih... Tapi jangan bilang ke siapa-siapa ya. Saran gue mending sebelum nikah, lo minta tes kesehatan dulu deh ke si Joshua. Kata temen-temennya, dia sering banget jajan cewek di luar. Oh ya, lo yakin mau jadi istri siri dia?

What? Istri siri? Tunggu, apa yang Dinar maksud? Kenapa semua kabar ini membuatku benar-benar merinding. Aku tak bisa begini, maka aku buru-buru menelepon mama untuk mengkonfirmasi hal ini.

Tak butuh waktu lama, panggilan telepon ku akhirnya diangkat.

"Halo, Ma. Mama serius mau jodohin aku sama Joshua?"

"Iya, dong Fiona. Semuanya sudah disiapkan, kamu tenang saja. Makanya kan Joshua sampai ngirim uang tiket pesawat buat kamu, Fio. Kenapa?"

"Mama yakin dia kerja di Kalimantan bertahun-tahun dan dia tetep single?" tanya ku berusaha memancing.

"Kenapa sih? Dari pada kamu penasaran, lebih baik kamu cepetan deh pulang."

"Dia itu udah punya istri di Kalimantan, Ma," ucapku benar-benar gemas dengan jawaban mama yang berbelit. Namun mama tak langsung menjawab, aku pikir dia juga terkejut dengan pernyataan ini. Tapi bagaimana kalau mama tak percaya?

"Halo? Ma?"

"Oh, itu. Iya, Mama tahu. Emangnya kenapa kalau dia udah punya istri? Yang penting kan dia mau nikah -"

"Fio gak mau."

Aku hendak mengakhiri sambungan telepon, tapi ucapan Mama membuatku terdiam membeku.

"Cuma ini caranya, Fio. Selingkuhan Ayah kamu, dia pake data-data Mama untuk pinjaman online sebanyak 25 juta. Dan mereka gak mau tahu, mereka kasih waktu sampai bulan depan aja. Kalau nggak, mereka akan bawa Mama ke penjara."

Sungguh, remuk hati ku. Belum cukup ayah memberikan luka kepada ku saat kecil. Sekarang, hidup ku juga jadi susah karenanya.

"Fio, kamu tahu kan selama ini Mama gak pernah nuntut kamu ini - itu, tapi kali ini, Mama gak punya pilihan lain.  Pak Martin bilang kalau dia akan bantuin Mama bayar hutang kalau kamu menikah dengan Joshua."

"Tapi, Ma... Ayah dimana? Dia yang harus tanggung jawab!"

"Kamu pikir ayah kamu bisa diandalkan? Fio, Mama juga gak mau melakukan ini. Terkesan Mama itu mau menjual kamu. Tapi saat ini Mama cuma punya kamu, Fio."

Aku mengakhiri sambungan telepon ini. Di ruangan kos ini, gelap, pengap, dan hening. Aku termenung dengan pikiran yang kacau.

Menjual ku kepada Joshua? Memang itu yang dilakukan Mama. Entah akan diinjak-injak seperti apa aku di keluarga mereka nanti. Dan aku harus menjadi istrinya seharga 25 juta.

Tunggakan kos, listrik dan air yang mati, angsuran ponsel, tabungan yang habis, dan hutang yang disebabkan oleh wanita sialan itu, semua hal ini akhirnya mengerucut pada satu hal. Aku memang hanya memiliki diriku sendiri yang harus ku pertaruhkan untuk mengatasi itu semua.

***

Gedung kantor Ark's Film, akhirnya aku datang lagi kemari. Aku memberanikan diri untuk menanyakan mengenai keberadaan Nicholas melalui Angline melalui telepon dua jam lalu.

Sekarang, pukul 20:25 WIB. Satu-satunya waktu senggang sang pemilik gedung.

Awalnya, aku pikir Nicholas akan langsung menolak ku. Tapi ternyata, Angeline langsung mengatakan kalau Nicholas bisa ditemui pukul 20:30 WIB.

Sejujurnya, saat ini mungkin aku akan menjilat ludahku sendiri yang mengatakan dengan tegas kalau aku tak akan sudi datang lagi ke gedung ini. Aku harus menerima kenyataan ini, ketika kaki ku menginjak lantai mengilap ini, melangkah masuk ke dalam lift yang mewah, dan akhirnya bertemu lagi dengan sosok laki-laki yang elegan.

"Fiona," sapa Nicholas segera berdiri dari kursinya begitu Angeline memasuki ruangannya mengantarkan ku ke ruangan ini.

Setelah itu, Angeline pun segera berbalik melangkah keluar ruangan dan menutup pintu dengan hati-hati.

"Silakan duduk, Fiona," ucap Nicholas sambil berjalan dengan anggunnya ke sofa ruang kerjanya yang berwarna putih bersih dan pinggiran dari kulit jati mengilap ini.

Aku menghela napas sangat pelan, kemudian berjalan ke arah sofa, mengambil posisi yang sedikit lebih jauh dari Nicholas. Hanya untuk berjaga-jaga dan bisa diartikan, aku sedang menjaga jarak.

"Kenapa hari ini kamu tidak ke kantor?" tanya Nicholas menatapku dengan kedua mata indahnya. Alisnya terbentuk tegas dan matanya terkesan tajam. Meskipun begitu, bagiku wajahnya terlihat manis.

"Bukannya, niat awal Pak Nicholas mempekerjakan saya hanya untuk ditawari jadi wanita simpanan?" tanyaku yang berlandaskan sebuah kesimpulan yang ku dapat kemarin.

Nicholas menatapku, kemudian, aku melihat senyum di bibirnya. Sangat kecil.

"Ya, memang itu tujuan utama saya. Sebelum menerima kamu, saya mengirim orang untuk mencari tahu lebih banyak tentang kamu."

"Maksudnya? Kriteria wanita simpanan?"

"Ya. Kriteria wanita simpanan saya," jawab Nicholas membuatku semakin bingung menatapnya. Ketegangan di kaki ku perlahan luntur karena rasa penasaran yang sangat menggebu.

"Sepertinya kamu ingin menanyakan sesuatu, Fiona. Tanyakan saja?"

Nicholas cukup peka terhadap hal-hal seperti ini.

"Saya yakin ada banyak orang yang akan terima penawaran Pak Nicholas ini. Tapi kenapa harus saya? Apa ini pilihan terakhir?" tanya ku dengan hati-hati.

"Bukan. Kamu pilihan pertama. Karena kamu menolak, saya mungkin akan cari perempuan lain, yang seperti kamu."

Perempuan lain, yang seperti ku. Terdengar nampak romantis dan begitu berkesan. Sayangnya, makna dibalik kalimat itu sungguh menyedihkan.

"Apa saya punya kesempatan untuk menerima... Tawaran ini, Pak?" tanyaku dengan susah payah. Seolah ada yang mengganjal di tenggorokkan ku.

Nicholas bergerak menyenderkan kedua tangannya di atas lutut. Menautkan kedua telapak tangannya dan aku lihat, jarinya sedikit menekan punggung tangannya sendiri. Astaga, kenapa Nicholas tak langsung menjawab?

"Apa kamu ingin menerima tawaran ini?" tanya Nicholas tiba-tiba membuatku ragu lagi.

"Ya," jawabku dalam satu helaan napas. Apapun akan aku lakukan, anggap saja ini pekerjaan baru untuk ku. Entah rencana apa yang Nicholas punya, tapi apapun itu, aku akan menyetujuinya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!