Shanum mendarat saat hari menjelang senja, ia memesan sebuah grab untuk membawanya ke kampung sang nenek di timur Jawa. Menikmati pemandangan kota di senja hari, taburan lampu-lampu di sepanjang jalan, sejenak membuat Shanum melupakan kesakitan di hatinya.
Sengaja ia mematikan ponsel karena tak ingin ada yang mengganggu kesendiriannya.
"Udah lama juga nggak datang ke sini. Eyang sama si Mbah pasti kaget datang-datang bawa perut." Shanum tersenyum tipis, setetes cairan bening yang jatuh segera ditepisnya.
"Aku harus kuat, aku nggak boleh lemah. Demi anakku!" Shanum mengusap perutnya yang sudah terlihat menyembul. Karena kehidupan yang ada di dalam sana, dia kuat menghadapi pahitnya kenyataan hidup.
Setelah menempuh dua jam perjalanan akhirnya Shanum dapat menghirup aroma pegunungan yang khas dengan desa sang eyang. Berada dekat dengan sebuah danau dan dikelilingi pepohonan. Pemandangan yang tidak akan pernah ia jumpai di kota kelahirannya. Ia tahu meski kegelapan menyelimuti keindahannya.
"Eyang, Mbah, Asha datang!" lirih Shanum dengan senyum penuh haru. Tak terasa bulir-bulir bening berjatuhan meski berkali-kali disapunya.
"Di sini, Mbak?" tanya sang supir ketika tiba di depan sebuah rumah sederhana dengan halamannya yang luas.
Cepat-cepat Shanum menghapus jejak kesedihan di matanya, ia tersenyum dan memberikan ongkos kepada supir sebelum beranjak turun.
"Makasih, ya, Pak."
Shanum menghela napas sembari menatap rumah yang dikelilingi oleh pagar hidup itu. Terdetik kerinduan di mana saat kecil dulu, ia sering bermain bersama anak-anak lain di sekitar danau.
"Aku kangen banget desa ini," lirihnya seraya menggigit bibir menahan kesedihan.
Shanum melangkah perlahan mendekati gerbang yang terbuat dari bambu. Masih sama, hanya saja terlihat baru. Jemarinya meraba bambu yang dipoles cat kayu alami itu, membukanya. Seketika potongan-potongan kisah masa kecil hadir menyapa ingatan.
Dua anak berlarian di halaman rumah Eyang yang luas itu. Saling berkejaran, memperebutkan apa saja demi menarik perhatian. Air mata Shanum kembali terjatuh walaupun bibir mengukir senyum.
"Aku kangen masa kecilku dulu." Shanum kembali bergumam, seraya menapakkan kaki di atas teras rumah. Dulu, belum ada listrik yang menerangi tempat tersebut. Namun, semenjak terkenalnya danau di desa itu, listrik pun menerangi rumah Eyang.
Shanum menghentikan langkah di depan teras rumah Eyang, menatap pintu kayu yang meskipun sudah berusia puluhan tahun masih saja tetap kokoh dan bagus. Derit pintu khas terdengar perlahan, satu sosok laki-laki berambut putih dengan peci hitam bertengger di atas kepala, keluar. Masih sama seperti dulu, koko putih lengkap dengan sarungnya yang lusuh.
Mbah! Hati Shanum melirih. Dia mengenali sosok tersebut.
"Sapah rowa? (Siapa itu?)" Suara si Mbah bertanya dalam logat Madura.
Isak tangis terdengar lirih, apakah laki-laki tua itu sudah tidak mengenali cucunya?
"Mbah!" panggil Shanum bergetar dan nyaris tenggelam oleh isak tangis yang terus menjadi.
"Ya, sapah?" Lagi, si Mbah bertanya dengan logat khas dan bahasa daerah tersebut.
"Asha, Mbah!" Tangis Shanum menjadi, tapi tubuhnya membeku tak dapat digerakkan.
"Sapah? As-as ... sapah?" Si Mbah masih belum sadar yang berdiri di sana adalah orang yang selama ini dia nanti.
"Sapah, Mbah? Mak orak-orakan eluar bungkoh? Mak tak dulih nyimpang ke mesjid? (Siapa, Mbah? Kok, teriak-teriak di luar rumah? Bukannya cepet pergi ke masjid?)" Suara Eyang terdengar samar. Air mata Shanum semakin deras mengalir.
Berselang, sosok tua sedikit bungkuk keluar. Sudah tak ada hitam di setiap helai kepalanya. Disanggul asal, ditusuk sebuah sumpit yang terbuat dari bambu.
"Rowa. Bedeh oreng neng yadek en, tapeh tak paddeng jek sapah? (Itu, lho. Ada orang di depan, tapi nggak kelihatan siapa?)" Si Mbah menunjuk sosok Shanum, masih dengan bahasa yang sama. Bahasa yang tidak dimengerti Shanum.
Eyang mendekat, melangkah tertatih-tatih menuruni undakan anak tangga.
"Sapah rowa? (siapa itu?)" Eyang bergumam menggunakan bahasa daerahnya.
"Eyang! Asha, Yang. Ini Asha, Shanum!" pekik Shanum dengan suara parau dan tersekat di tenggorokan.
Langkah kaki ringkih itu terhenti, matanya yang berkabut memindai dari ujung rambut hingga ujung kaki wanita hamil di hadapannya.
"Asha? Shanum anak Hanan? Cucuku?" ucap Eyang dengan suara bergetar dan serak memastikan wanita di hadapannya yang terlihat remang-remang.
Shanum mengangguk, seraya berhambur memeluk Eyang.
"Iya, Eyang. Ini Asha. Ini Asha. Asha kangen sama Eyang sama si Mbah juga." Shanum menumpahkan tangisan di pelukan sang eyang.
Sejenak hening, baik Eyang maupun si Mbah tak ada yang bersuara sampai jerit tangis Eyang memecah kesunyian. Si Mbah pun ikut tersadar dari lamunan.
"Cucuku! Ini cucu kita, Mbah! Cucu kita, anak Hanan!" jerit Eyang mendekap erat tubuh Shanum, cucu yang amat ia rindukan.
"Asha? Anak Hanan?" Suara si Mbah ikut berbaur dengan tangis Eyang.
"Iya, Mbah. Ini Asha," sahut Shanum seraya melepaskan pelukan pada Eyang dan beralih pelabuhan di pelukan si Mbah.
"Mbah! Asha kangen sama si Mbah." Shanum kembali menangis, hangat dekapan si Mbah sama persis dengan sang ayah.
"Si Mbah juga kangen sama kamu, Ndok. Walah, lama sekali nggak datang. Datang-datang udah gede," ujar si Mbah ikut menangis terharu.
"Yo wis, masuk dulu. Sudah malam, nggak bagus ada di luar." Eyang menggiring keduanya masuk ke dalam rumah.
Rumah yang masih sama seperti dulu, tak ada yang berubah. Foto-foto keluarga masih terpajang rapi, ditata sedemikian rupa. Eyang dan si Mbah memang bukan orang berada, tapi mereka cukup terpandang di desa itu.
"Diminum dulu, Ndok. Kok, kamu datang sendirian, memangnya ke mana orang tua kamu?" tanya Eyang sembari meletakkan nampan berisi secangkir teh hangat yang berbau khas. Shanum sangat menyukai aromanya yang harum menyegarkan.
"Iya, Eyang. Asha sendirian ke sini. Papah masih sibuk kerja dan mamah nemenin papah," jawab Shanum seraya menyeruput teh hangat tersebut yang begitu menggugah.
"Si Hanan pajet gileh kah lakoh. Pelambek alakoh meloloh. Tak niser kah bedennah. Li-sekali deteng nginep dinnak. Eyang bik Mbah kerrong kah been kabbi. (Si Hanan itu memang gila kerja. Dari dulu kerja terus. Nggak sayang sama badan sendiri. Sekali-kali datang menginap di sini, Eyang sama si Mbah, 'kan, kangen sama kalian.)" Bibir keriput itu mengerucut lucu, terlihat menggemaskan sehingga membuat Shanum tertawa karenanya.
"Ndok, itu perut kamu, kok, buncit begitu? Kamu hamil?" Si Mbah yang sedari tadi memperhatikan perut Shanum akhirnya bertanya.
Senyum di bibir Shanum surut beberapa saat, ia menunduk dan mengusap perutnya. Ada getir yang menyambangi hati, tapi ia harus kuat.
"Iya, Mbah. Lima bulan-"
"Kamu udah nikah, Ndok?" Eyang memekik dengan kedua matanya yang membulat sempurna.
Shanum mengangguk, ada rasa tak enak melihat reaksi Eyang yang sedih.
"Oalah, Mbah, Mbah! Kita udah dilupain anak dan cucu kita. Sampai-sampai nikah aja nggak bilang-bilang. Tang ateh sossa! (sedihnya hatiku!)" racau Eyang sambil menangis.
Shanum serba salah, tak tega juga melihat Eyangnya menangis. Ia beranjak dan berpindah tempat duduk di samping wanita yang tengah terisak itu. Mengusap lengannya dengan lembut, seraya memeluk.
"Bukannya nggak kasih tahu, Eyang. Semua terjadi dadakan. Asha terpaksa menikah karena mempelai wanita sahabat Asha nggak datang ke pernikahannya. Jangan nangis lagi, Eyang." Shanum bergetar mengingat pernikahannya yang tak membuahkan bahagia.
"Apa? Keterlaluan bapakmu itu, Ndok. Masa maksa anak buat nikah. Ini nggak bisa dibiarin! Dia harus dimarahi!" geram Eyang, wajahnya memerah penuh emosi.
Shanum melirik si Mbah, lelaki sepuh itu hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis.
****
Mohon maaf bila ada kesalahan dalam penulisan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
Yani Cuhayanih
oalah aku ora ngerti bahasa jawa timur aku orang bandung....hehehe
2023-09-12
0
Mimi Ilham
othor orang madura yaa
2023-06-18
1
Ibuk Kumaiyah
maunabung part selanjutnya......
2023-05-25
1