Shanum melambaikan tangan sambil menahan tangis yang terus merangsek ke permukaan. Memberhentikan sebuah motor di tepi jalan tanpa peduli pada teriakan Raka dan Lia.
Sebuah motor berhenti tepat di hadapannya, seorang tukang ojek yang tertutup seluruh wajah tanpa sempat bertanya Shanum terus naik.
"Jalan, Pak!" Bergetar suara yang terdengar darinya. Berselang, isak tangis lirih menguar. Yang semakin lama semakin terdengar menyesakkan.
Sekuat apapun dia mencoba menahan agar air mata tidak tumpah, tetap saja rasa sakit itu terus memaksanya. Sayup-sayup suara tangis menyayat terbang terbawa angin. Membuat iba kang ojek di depan. Ingin bertanya, tapi segan.
Beberapa saat berjalan, Shanum tak kunjung mengatakan tujuannya.
"Mau ke mana kita, Kak?" tanya kang ojek hati-hati.
Shanum yang sibuk dengan rasa sakit di hati, tak mendengar pertanyaan itu. Air matanya jatuh menetes di atas permukaan kaos yang dikenakan kang ojek.
"Kak, kita mau ke mana?" Dia mengulang pertanyaannya dengan suara sedikit lebih tinggi.
Shanum tersentak, diam beberapa saat. Bingung ke mana dia akan pergi? Ke rumah, Raka pasti menyusulnya. Ke rumah orang tua, sama saja.
"Lurus aja, Pak. Nanti di depan belok kanan," jawab Shanum masih dengan suara yang bergetar.
Seolah-olah tahu ke mana tujuan Shanum, kang ojek tidak bertanya lagi. Membiarkan pakaian bagian belakangnya basah oleh air mata si Penumpang, dia hanya menghela napas.
Shanum terhenyak ketika motor berhenti tepat di hadapan toko cabangnya. Ke sanalah tujuannya, buru-buru turun dan membayar ongkos tanpa melihat berapa nominal uang yang dia berikan. Shanum berlari masuk ke dalam toko.
"Bu Shanum!" Ia tidak menanggapi sapaan karyawannya, terus berlari menapaki anak tangga menuju lantai dua. Sebuah ruangan di mana biasa ia beristirahat. Shanum menutup pintu dan menguncinya.
Luruh tubuh itu, bersamaan dengan derai air mata yang kian menganak sungai. Shanum menekuk lutut, mendekapnya erat. Menumpahkan tangis kekecewaan yang mengendap di dasar palung jiwa.
"Kenapa dia setega itu sama aku, ya Allah? Kurang apa aku selama ini?" Shanum mulai mengeluh, merintih dalam kesakitannya.
Seorang karyawan berdiri di depan pintu ruangan itu, berniat hendak mengantarkan minum dan berbincang, tapi urung saat mendengar tangisannya.
"Percuma rasa cinta ini aku pupuk, sia-sia. Rupanya mereka masih sering ketemu di belakang aku. Kenapa nasibku kayak gini, ya Allah?"
Tangis Shanum semakin histeris, dia mengangkat wajah membenturkan bagian belakangnya pada pintu. Berulangkali sebelum tubuhnya luruh di lantai, meringkuk tak berdaya.
"Kenapa?" tanya salah satu karyawan melihat rekannya yang hanya diam berdiri di depan pintu.
"Nggak tahu, Bu Shanum nangis. Aku nggak tega dengernya," jawab karyawan tersebut melirik pintu yang mengurung atasannya.
Ia merangsek ke depan, menghela napas sebelum mengetuk pintu.
"Bu! Bu Shanum! Saya antar minum buat Ibu, buka dulu pintunya, Bu!" Ia mengetuk dan memanggil Shanum, tapi tangis yang menguar dari dalam sana menyamarkan panggilannya.
"Nggak dijawab. Udahlah, mungkin Bu Shanum butuh waktu sendiri. Nanti kita coba lagi," ucapnya seraya membawa kembali air minum untuk Shanum.
Shanum meringis ketika merasakan denyutan di bagian perutnya. Sedikit merintih, berdesis dan menjeda tangisnya.
"Ya Allah!" keluhnya sambil mengusap-usap perut berharap sakit itu akan mereda.
"Nggak! Jangan! Ya Allah, sakit!" Shanum meracau, dia takut kehilangan bayinya.
Dengan sekuat tenaga ia mencoba untuk beranjak duduk, menghela napas pendek-pendek mengurangi rasa sakitnya. Shanum bersandar pada daun pintu dengan tangan yang terus berputar di permukaan perut.
Rasa sakit itu berangsur-angsur pergi, ada pergerakan dari dalam sana. Dia ikut merasakan sakit yang mendera ibunya. Air mata Shanum kembali berjatuhan, dia terlalu lemah. Pandangannya beralih turun menatap perut yang masih bergerak-gerak meski lemah.
"Maafin Mamah, Nak. Maafin Mamah. Mamah terlalu lemah, sampai-sampai nggak bisa nahan rasa sakit ini. Tolong, baik-baik saja di dalam sini. Jangan tinggalin Mamah. Jangan tinggalin Mamah sendirian." Shanum kembali terisak, meminta kepada si Jabang Bayi untuk tetap tenang di dalam sana.
Shanum menghela napas panjang, membuangnya perlahan. Dilakukannya berulangkali untuk menenangkan perasaan. Sungguh, tidaklah mudah menjadi kuat di saat hati remuk redam karena sebuah pengkhianatan.
"Mamah janji, Mamah nggak akan lemah lagi. Mamah akan kuat demi kamu. Bertahanlah, sayang. Jangan pergi tinggalin Mamah," lirih Shanum setelah berhasil menenangkan hatinya.
Ia mencoba berdiri sambil berpegangan pada pintu, membuka kunci, tapi tak berniat keluar. Tangannya meraba meja mencari pegangan, untuk dapat sampai pada sofa yang berada di dekat jendela. Shanum menghapus jejak air mata di wajahnya, duduk menghadap kaca memperhatikan lalu-lalang kendaraan.
Kedua alisnya bertaut ketika menangkap sosok laki-laki di atas motor yang masih mengenakan helm. Kang ojek yang mengantarnya masih di sana, memperhatikan Shanum dari balik jendela kaca.
"Kenapa tukang ojek itu masih di sana?" Shanum bergumam bingung. Ingin beranjak, tapi kedua kakinya masih terasa lemah tak bertenaga.
Tidak ada yang dilakukan tukang ojek itu selain mendongak ke arah jendela kaca. Menilik Shanum dalam diam, entah apa yang ada di dalam pikirannya.
"Bu!" Shanum tersentak ketika ketukan pada pintu kembali terdengar. Dengan gerakan cepat kepalanya berpaling dari si Tukang Ojek.
"Masuk aja!" ucap Shanum dengan suara yang sumbang khas seorang sehabis menangis.
Pintu terbuka, karyawan tadi kembali membawakan minum untuk Shanum. Segelas jus buah kesukaan atasannya.
"Saya bawa minum buat Ibu," katanya sambil meletakkan gelas jus di meja kecil di hadapan Shanum.
"Makasih, ya." Shanum memaksakan senyumnya, ada banyak yang memberinya perhatian meski mereka karyawan.
"Oya, coba kamu tanya kenapa tukang ojek itu masih ada di sana?" pinta Shanum sambil menunjuk tukang ojek yang tak lagi menatapnya.
Isak kecil masih tersisa, sesekali dia akan memberingsut cairan yang hendak keluar dari lubang hidung. Karyawan tersebut melirik, mengangguk dan kemudian pergi.
Shanum meraih gelas jus, menenggaknya perlahan. Tangannya sibuk mengusap hidung, membersihkan dari cairan sisa tangis tadi. Ia kembali termenung, memikirkan ke mana akan pergi setelah ini.
Tak sadar bahwa tukang ojek itu sudah tak terlihat di sana.
"Apa kita ke rumah eyang aja yang ada di luar daerah? Mamah ingin menjauh untuk sementara dari papah kamu. Yah, kita akan ke sana. Kamu harus kuat, sayang. Kita harus kuat," bisik Shanum sambil memaksakan senyumnya.
Ia membuka ponsel, memesan tiket penerbangan sore itu juga. Beruntung masih ada tiket yang didapatnya. Shanum menarik napas sebelum berdiri dan pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka.
Shanum menuruni anak tangga, mengenakan kacamata hitam untuk menutupi sembab di matanya. Berniat meminta bantuan kepada salah satu karyawan untuk mengantar ke bandara. Namun, ia mengernyitkan dahi ketika tiba di teras, melihat tukang ojek tadi. Seingatnya dia sudah pergi.
"Mau diantar lagi, Kak? Tadi ongkosnya kelebihan," katanya. Sekilas Shanum seperti mengenali suara itu, tapi ia menepisnya.
"Ke bandara, ya." Pada akhirnya, ia kembali menaiki ojek tersebut setelah berpamitan kepada karyawannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
Bintang Yafi
aku mampir rindu karyamu thor
2023-07-16
0
Rosna W gani
bagus ceritanya..
2023-06-06
1
Hafifah Hafifah
siapa tuh kang ojeknya bikin penasaran aja sih
2023-05-20
2