Pernikahan Yang Tergadaikan
“Nafi, nanti sore main di sungai, yok,” seru Dian, sahabat Nafi sambil naik ke boncengan motor ibunya.
“Oke, tapi setelah Bundaku selesai makan dan mandi, ya,” balas Nafi tak kalah semangat dengan mata berbinar.
Bu Romlah, ibunda Dian menoleh lalu bertanya dengan nada prihatin.
“Bagaimana kondisi Bundamu, Nak?”
“Alhamdulillah, Tante, setelah kemo dua hari lalu, Bunda nggak lemas kayak biasanya. Tapi aku dan Ayah tetap jagain ketat. Bunda nggak boleh capek.”
“Semoga kanker Bundamu cepat teratasi bahkan hilang. Kamu harus kuat, ya. Telepon Tante kalau perlu bantuan,” ujar Bu Romlah tulus, menatap wajah Nafi yang cantik dengan pipi kemerahan.
“Aamiin. Terima kasih doanya, Tante. Nafi pulang dulu, ya. Assalamualaykum …”
“Kita barengan aja.” Dian meminta persetujuan ibunya.
“Astaghfirullah, Tante sampe lupa mau sekalian anter makanan buat Bundamu. Nggak apa, kan, boncengan bertiga?”
Nafi dan Dian saling melempar senyum.
“Nggak apa-apa, Tante. Makasi udah masakin buat Bunda dan Nafi dapat tebengan pulang.”
Romlah dengan hati-hati melajukan motornya menyusuri jalan kampung menuju rumah Nafi yang agak jauh dari musala tempat anak-anak belajar mengaji selepas sekolah.
Nafi dan Dian sibuk bercerita tentang kejadian di sekolah. Mengalahkan bunyi motor tua dan semilir angin yang menerpa wajah. Romlah senyum-senyum sendiri mendengarkan celoteh dua anak berusia sembilan tahun, panjang pendek menggosip tentang guru dan teman-teman mereka.
Tak lama, ketiganya tiba di depan rumah Nafi yang sejuk dan asri. Nafi dan Dian masih bercanda sambil turun dari boncengan motor ketika Romlah berseru, “Astaghfirullah, Jamila!”
Nafi tertegun mendengar nama ibunya dipanggil.
“Bunda!” Teriaknya melihat seorang wanita terbaring telungkup di teras rumah.
“Nafi tolong Bundamu. Dian, bantu Nafi, Ibu mau telepon dokter di puskesmas.”
“Bunda … Bunda!” Teriak Nafi yang berusaha membalik tubuh Bundanya.
“Dian, teleponkan Ayah. Tolong, pakai hapeku.” Nafi mengulurkan hape dengan tangan gemetar.
Wajah Jamila terlihat pucat, bibirnya membiru. Nafi mengusap wajah ibunya.
“Bunda … bangun Bunda, plis. Nafi udah di sini.”
Air mata bercucuran dan jatuh ke wajah Bundanya. Nafisa terus menepuk pelan wajah wanita yang melahirkannya, bibir kecilnya terus memanggil.
Tiba-tiba, Jamila mengerjap lalu membuka mata.
“Alhamdulillah, Bunda … Bunda ini Nafi. Kita pindah ke kamar, yuk.”
Jamila tersenyum lemah sembari menatap wajah cantik yang berurai air mata. Tangannya menyentuh pipi Nafisa dan mengusapnya lembut.
Lirih Jamila berpesan pada putri satu-satunya, “Sayang, maaf Bunda udah nggak kuat nemenin Mbak Nafi. Rajin shalat ya, Mbak. Jadilah anak yang tegar dan baik hati. Jaga ayahmu. Bunda sayang banget sama kalian berdua.”
“Kalau gitu Bunda nggak boleh pergi. Bunda … Bunda harus sembuh. Kita akan terus sama-sama. Bunda, Nafi mohon.”
Romlah lari mendekat. Ia melihat wajah Jamila yang sudah tak berdaya.
“Jamila …” Panggilnya pelan.
Tangan Nafisa terus mengelus wajah ibunya, keduanya lekat saling menatap.
Dengan punggung jari Jamila mengeringkan air mata dari wajah Nafisa. Bibirnya menyungging senyum terindah sebelum berucap, “Laa ilaaha illallah …”
Kemudian kedua matanya terpejam, untuk selamanya.
***
“Mbak Nafi, pulang, yuk,” ajak Yusuf sambil merangkul pundak putrinya.
“Nafi, pulang yuk. Kita semua akan nemenin kamu malam ini,” ucap Dian yang berjongkok di samping Nafisa disambut dengan anggukan teman-teman sebaya.
“Aku masih pengin nemenin Bunda.” Nafisa menghapus air mata.
“Kamu ingat pesan Bundamu? Harus tegar. Yuk gandeng tangan aku,” bujuk Dian lagi.
Nafisa mengusap kasar wajahnya, mengeringkan air mata yang terus mengalir padahal dia sudah berjanji tidak akan menangis.
Yusuf merengkuh tubuh kecil yang sedang berduka. Nafisa menangis di dada ayahnya.
Netra Yusuf menatap nanar ke gundukan tanah merah dengan taburan bunga di atasnya. Hatinya hancur namun ia harus kuat demi Nafisa.
“Bunda udah nggak kesakitan lagi sekarang, Mbak. Tapi Bunda bakal sedih kalau Mbak Nafi kayak gini. Kita harus kuat,” ucapnya dengan suara bergetar.
Satu tangan kokoh Yusuf membelai kepala Nafisa yang tertutup kerudung sementara tangan lain memeluk erat.
“Pulang yuk, langit sudah sangat mendung,” ajaknya lagi.
Berat hati Nafisa melihat ke pusara Bundanya.
“Bunda, Nafi pulang dulu. Jangan khawatir, Nafi akan rajin sholat dan doakan Bunda. Nafi juga berusaha untuk tegar dan jadi orang baik seperti pesan Bunda.”
Tangan kecil Nafisa mengelus nisan di depannya. Pedih rasanya karena belum bisa mengikhlaskan nama yang tertulis di sana.
Akhirnya dengan langkah berat, Nafisa diiringi Yusuf beranjak meninggalkan wanita yang begitu mereka cintai.
Diiringi rintik hujan, para pelayat pun berangsur meninggalkan area pemakaman menuju rumah duka untuk tahlilan.
***
Hari-hari berjalan. Kini hampir tiga bulan Nafisa kehilangan ibunya. Setiap hari sepulang sekolah, ditemani Dian, Nafisa selalu mengunjungi makam. Tak jarang Dian harus memaksa Nafisa agar mau pulang sebelum matahari beranjak turun.
Di rumah, Nafisa sering berdiri di depan kamar kedua orang tuanya, menatap sisi ranjang yang kini selalu kosong.
Lamunan membawa Nafisa ke dua tahun ke belakang saat Jamila mulai berjuang melawan kanker ovarium. Karena ayahnya, Yusuf, adalah seorang TKI yang bekerja di Timur Tengah, maka Nafisa-lah yang selalu menemani Jamila untuk berobat.
Kadang ditemani paman atau bibinya, namun lebih sering Nafisa sendiri karena kerabatnya juga memiliki tanggung jawab di tempat mereka bekerja.
Tak jarang, malam-malam gadis kecil itu mengetuk rumah tetangga karena ibunya mengalami pendarahan. Beruntung mereka memiliki tetangga - tetangga yang sangat pengertian dan langsung bahu membahu menolong Nafisa dan ibunya.
Setiap malam, ayahnya melakukan video call dengan istri dan anaknya, kemudian mereka bercanda ria melepas rindu.
Ketika kanker menyebar, ayahnya memutuskan untuk pulang. Penghasilan selama bekerja di luar negeri cukup bagus untuk membayar pengobatan.
Nafisa melihat betapa telaten ayahnya merawat ibunya. Nafisa bisa merasakan betapa kedua orang tuanya saling mencintai. Sesekali ia mendengar ibunya merasa bersalah dan meminta maaf karena sakit, namun Yusuf selalu menenangkan dan memeluk Jamila, menciumi wajah cantik yang kerap menyembunyikan rasa sakit.
Terkadang Nafisa melihat ibunya tersipu malu saat digendong ke kamar mandi atau ayahnya yang selalu memandang Jamila dengan binar-binar cinta. Keduanya juga melimpahkan kasih sayang yang sangat besar pada Nafisa.
Hari-hari diisi kebahagiaan untuk menikmati kebersamaan yang entah sampai kapan.
Saat kemoterapi terakhir, Jamila tidak merasakan pusing atau mual. Malah terlihat segar dan berseri-seri. Ia bahkan mulai bisa jalan walau perlahan. Kanker memang membuat Jamila sulit untuk menggerakkan kaki apalagi untuk melangkah.
Lamunan Nafisa buyar ketika mendengar motor ayahnya memasuki pekarangan.
Gegas Nafisa menyiapkan kopi dan cemilan pisang goreng yang sudah dibuat seperti yang diajarkan ibunya.
Yusuf masuk ke dalam rumah disambut Nafisa yang langsung mencium punggung tangannya. Laki-laki itu tersenyum melihat secangkir kopi dan pisang goreng sudah siap di meja makan. Persis seperti saat Jamila masih hidup.
“Assalamualaykum, Ayah.”
“Waalaykumussalam, Mbak Nafi.”
“Ayah mau mandi? Air di bak sudah Nafi isi. Bajunya juga sudah ada di tempat tidur. Buruan mandi setelah itu kita makan pisang goreng.”
Yusuf tersenyum mengingat dulu Jamila pun selalu sudah menyiapkan segala sesuatu. Bahkan jika ia pulang dari luar negeri namun harus pergi untuk keperluan singkat, Jamila selalu menyambut dengan kopi panas dan cemilan.
Nafisa terus menatap ayahnya yang malah termenung.
“Yah, haloooo, Nafisa to Ayah …”
“Eh iya, Sayang. Terima kasih. Ayah mandi dulu nanti kita makan pisang goreng bareng-bareng.”
“Oke, boss!” Sahut Nafisa dengan gembira.
Yusuf melangkah ke ruangan yang paling ia takuti. Kamarnya bersama Jamila. Begitu banyak kenangan yang tersisa di sana. Namun melihat Nafisa yang berusaha untuk tegar, Yusuf pun menguatkan hatinya.
Setelah selesai mandi dan memakai baju yang disiapkan Nafisa, Yusuf ke luar dari kamar. Nafisa sedang belajar di meja makan.
“Akhirnya Ayah selesai juga, ayo, Nafi udah lapar.”
“Iiih … Mbak Nafi kenapa nggak makan duluan?”
“Kata Bunda harus nunggu Ayah.” Suara Nafisa bergetar namun disembunyikan dengan senyum konyol ke ayahnya.
Yusuf memalingkan wajah, tidak ingin terlihat bahwa dirinya pun masih sangat berduka. Ia buru-buru duduk lalu menyeruput kopi.
“Maa syaa Allah, anak Ayah udah pinter bikin kopi.”
“Makasi. Ayo cobain pisangnya.”
Yusuf tersenyum lalu mengambil pisang dan mengulurkan ke Nafisa.
“Nih, Ayah ambilin buat Mbak. Kayaknya enak ya, legit.”
“Enak, tadi Nafi yang pilihin sendiri pisang lalu digoreng pake rese yang diajarin sama Bunda..” Tenggorongan Nafisa tercekat.
Yusuf menatap anak kecil yang berusaha tegar sambil mengigit pelan-pelan pisang goreng legit di tangannya.
“Mba Nafi, Ayah juga kangen Bunda.”
Nafisa berhenti sebentar lalu kembali menyantap pisang goreng, tidak mau menampakkan kesedihan.
“Bunda pesan Nafi harus jadi anak yang tegar dan baik hati. Nafi juga kangen sama Bunda, tapi nggak mau nangis, takut Bunda sedih di sana.”
Yusuf tersenyum dipaksakan lalu mengambil pisang goreng dan menyantap dengan lahap.
Mengibas rasa sedih, Yusuf mengigit pisang goreng lalu berkata, “Enak, Ayah suka.”
Nafisa hanya mengangguk sembari berusaha keras agar air matanya tidak tumpah.
***
Malam hari, Yusuf berbaring di ranjang sambil menatap bantal tempat istrinya dulu biasa merebahkan kepala.
“How are you, Sayang? If only I can see you smile for me for the very last time.”
Yusuf merutuki dirinya yang pergi meninggalkan Jamila hari itu untuk mengambil obat.
Tangannya meraih bantal Jamila lalu mendekapnya erat.
“Aku kangen banget sama kamu, Mil. Walau kita sering berjauhan tapi aku tau kamu akan selalu ada buat aku. Sekarang kamu nggak ada, Mil.“
Dari balik pintu, Nafisa mendengarkan ayahnya. Ia pun mengusap air mata yang berhasil lolos.
“Nggak boleh nangis, aku harus tegar. Kuat, Nafisa!”
Nafisa lalu melangkah ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan menjalankan sholat malam.
Lirih ia bermunajat, “Allah, tolong jaga Bunda di sana. Tolong kuatkan hamba dan Ayah.”
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments