Lembaran Baru

“Suf, apa nggak bisa kamu cari kerja di kampung aja? Nanti Nafisa siapa yang jaga?” Tanya Siti, adik dari Jamila begitu mendengar kakak iparnya berencana membawa Nafisa ke Malaysia.

“Betul, Suf, setidaknya di sini Nafi bisa dititip ke kami,” sahut Ridwan, suaminya.

Yusuf menggeleng. “Aku nggak akan tenang kerja kalau Nafi nggak ikut. Maaf, sebetulnya aku ke sini mau pamit, bukan berunding.”

“Memangnya kamu sudah tanya Nafi? Apa dia mau?”

Lagi-lagi Yusuf menggeleng. “Nafi nggak mau jauh dari makam Jamila. Menurutku larut dalam kesedihan nggak sehat buat kami. Moga-moga di Malaysia kami bisa membuka lembaran baru.”

Siti masih tidak setuju, lalu bertanya, “Kalau kamu kerja, lalu Nafi siapa yang jaga? Kamu kan buruh tambang minyak, bisa berminggu-minggu kerja.”

“Sekarang aku kerja kantoran, jadi tiap sore bisa pulang. Paling Nafi bakal sendirian setiap pulang sekolah sampai aku pulang. Tapi karena kami tinggal di kompleks pertambangan jadi nggak sembarang orang bisa keluar masuk.”

“Suf, kami ikhlas Nafi tinggal di sini. Dia kan sebaya dan akrab dengan sepupu-sepupunya juga,” tegas Ridwan sambil melirik Siti, istrinya.

“Keputusanku sudah buat, Ridwan. Nafi akan ke Malaysia bersamaku. In syaa Allah kami akan pulang setiap lebaran.”

Ridwan dan Siti bersitatap.

“Kapan berangkat?”

“Nanti malam, in syaa Allah.”

“Loh, kok Nafi nggak diajak ke sini? Kami kan pengin ketemu.”

“Nanti malah dia sedih. Aku nggak mau nambah beban buat Nafi.”

“Ya sudah, kalian yang baik-baik. Kabarin jika perlu bantuan.”

Yusuf mengangguk ke arah Ridwan lalu mengatup tangan ke dada sambil melihat ke arah Siti. Setelah mengobrol sejenak, ia pun pulang.

Di rumah, teman-teman Nafisa sedang berkumpul. Wajah Nafisa dan Dian nampak sembap.

Nafisa menatap rumahnya yang kini sudah kosong. Yusuf menjual rumah dan pemilik baru sudah mengangkut barang-barang lama karena akan membawa miliknya sendiri.

Nafisa berteriak kencang ketika tempat tidur ibunya dibawa. Yusuf dibantu para tetangga harus menenangkan Nafisa.

Kesedihannya bertambah karena kini harus berpisah dengan Dian.

“Janji kita akan terus telponan, kasih kabar,” isak Dian. Air matanya berlinang.

“Aku janji. Kamu jangan lupa sama aku.”

“Nggak akan, bestie,” sahut Dian lalu memeluk erat Nafisa.

“Nafi, kita harus berangkat. Taksinya sudah datang,” ujar Yusuf yang sudah membawa beberapa tas dan koper dibantu bapak-bapak tetangga.

Nafisa berpamitan pada semua tetangga yang datang untuk mengucapkan salam perpisahan. Semasa hidup, Jamila sangat ramah dan tak segan membantu siapapun. Begitu juga Nafisa tumbuh menjadi anak yang menyenangkan.

Para ibu menyeka air mata yang menggenang sambil berpesan agar Nafisa tidak lupa shalat dan rajin belajar.

Tak lama taksi burung hijau membawa pergi Nafisa dan Yusuf meninggalkan rumah penuh kenangan.

“Yah, kita mampir makam Bunda sebentar, ya, plis.”

Yusuf mengangguk sambil mengelus pipi Nafisa, mengeringkan sisa air mata. Ia lalu memerintahkan supir menuju pemakaman di ujung desa.

Di depan makam ibunya, Nafisa berpamitan, “Bunda, Nafi akan pergi jauh. Kayaknya nggak bakal bisa tiap hari nengokin Bunda. Tapi Nafi janji tiap usai shalat akan doakan Bunda.”

Yusuf juga duduk di samping Nafi sambil meletakkan tangan di atas peristirahatan istrinya.

“Semoga tempat ini adalah taman surga buat kamu, Mil. Aku janji akan jaga Nafisa. Kamu baik-baik di sana, ya.”

Setelah mendoakan Jamila, keduanya berdiam sejenak kemudian bergandengan menuju taksi.

Melewati pagar pemakaman terdengar teriakan sekelompok anak.

“Dadah Nafi … jangan lupa sama aku, ya …” Nafisa menoleh dan mendapati teman-temannya berlarian di samping mobil. Dian berada tepat di samping jendelanya.

Dari dalam mobil Nafisa melambaikan tangan hingga mereka harus berpisah di persimpangan jalan besar menuju kota.

“Ayah …” Nafisa terisak lalu memeluk Yusuf.

“Menangislah, Sayang. Setelah ini kita buka lembaran baru bersama.”

***

“Nafi, ayahmu baru pulang.”

“Alhamdulillah, Nafi kangen. Makcik, Nafi pulang dulu ya, assalamualaykum.”

Nafisa lari melintasi jalan kompleks menuju rumahnya.

Tak terasa sudah setahun mereka tinggal di Malaysia. Nafisa sangat terhibur dengan teman-teman baru dari berbagai bangsa yang tinggal di kompleks perminyakan.

Pekan itu ayahnya pamit untuk pergi ke kota lain dan menitipkan Nafisa ke tetangga depan rumah untuk beberapa hari.

“Assalamualaykum, Ayah …”

Nafisa tertegun melihat seorang wanita hamil dan wanita lain yang lebih tua duduk di ruang keluarga.

“Nafi! Waalaykumussalam … ayah kangen!”

Mereka berpelukan lama meski Nafisa bertanya-tanya tentang keberadaan dua wanita itu.

Wanita yang sedang mengandung berdehem. Yusuf memandangnya sambil tersenyum.

“Nafi, ini Bunda Nina. Mmm, tiga bulan yang lalu, Ayah menikah dengan Bunda Nina dan sekarang Bunda sedang mengandung anak Ayah. Ini Oma Meli. Mulai hari ini mereka akan tinggal di sini jadi Nafi nggak sendirian lagi.”

Nafisa berusaha mencerna kalimat yang keluar dari bibir ayahnya.

“Hai Nafi, kita akan jadi sahabat baik. Ayah banyak cerita tentang Nafi,” ujar wanita bernama Nina sambil tersenyum.

“Cium tangan ke Bunda dan Oma,” titah Yusuf dengan lembut.

Walau masih bingung, tapi Nafisa menuruti perintah ayahnya.

“Nah, in syaa Allah kita akan jadi keluarga bahagia, ya Sayang. Nafi nggak usah khawatir. Ayah akan selalu sayang dan jagain kamu,” ujar Yusuf lalu memeluk putrinya.

Nafisa hanya mengangguk.

“Oya besok, Ayah akan bantu pindahin barang ke kamar depan. Kasihan Oma kalau tidur di sana karena kamarnya kecil. Nafi nggak keberatan kan?”

Nafisa melirik ke kamar yang saat ini dijadikan gudang penyimpanan.

Dengan senyum dipaksa ia mengangguk.

“Besok kita ke Likea untuk beli perabot baru. Ayah akan bantu Fisa dekorasi kamar yang cantik. Ayah juga sudah pesan AC supaya besok dipasang.”

Lagi-lagi Nafisa tak punya pilihan lain selain setuju dengan semua rencana Ayahnya.

***

“Nafisa! Kan sudah Bunda bilang, kalau seterika seprei harus rapi. Ulang lagi!”

Menahan tangis, Nafisa berkata, “Bunda, tangan Nafi capek dan belum bikin PR.”

“Capek? Baru bersihin rumah sama nyuci aja udah capek. Dasar anak pemalas! Pokoknya setrika sampe licin atau besok nggak usah sekolah!”

Nafisa menghela napas, tangannya sudah sangat pegal karena harus menyetrika tiga set seprei lengkap beserta sarung bantal, guling, dan selimut.

Begitulah kehidupan Nafisa setelah ayahnya dipindahtugaskan menjadi supervisor di tambang sehingga hanya pulang setiap akhir pekan.

Nafisa menjadi pembantu untuk ibu tiri dan omanya yang setiap hari hanya di depan televisi atau pergi ke mall. Sebelum sekolah, Nafisa harus menyiapkan makanan dan sepulang sekolah harus membereskan rumah hingga larut.

Beruntung Nafisa memiliki otak encer sehingga PR dan ulangan dapat dikerjakan dengan baik walau waktu belajarnya tersita untuk mengerjakan pekerjaan rumah.

Jika ayahnya pulang maka Nafisa akan diperlakukan bak putri raja oleh Nina dan Oma. Tentu saja setelah keduanya mengancam akan membuat Nafisa dibuang jika berani mengadu.

Tanpa kehadiran ayahnya, hidup Nafisa bagaikan di neraka. Semua pekerjaan rumah tangga menjadi tanggung jawabnya.

Belum lagi hukuman yang diterima jika saking lelah ia ketiduran. Sudah pasti Nina tidak memberinya makan. Nina juga melarang Nafisa untuk memakai AC padahal kamar depan tidak ada jendela, hanya lobang angin yang tidak begitu besar.

Para tetangga keheranan karena Nafisa yang tadinya ceria kini menjadi pendiam dan jarang mau diajak main, namun Nina menjelaskan bahwa Nafisa sedang mengalami transisi dari anak-anak ke remaja.

Mereka pun memaklumi dan percaya pada Nina karena di hadapan banyak orang, Nina bertingkah seolah sangat menyayangi anak tirinya.

***

“Nafi, tolong liat adek Farrel, apa perlu ganti popo atau tidak,” pinta Ayahnya yang sedang menikmati libur akhir pekan di rumah.

“Iya, Ayah.”

Jika ada yang membahagiakan adalah kelahiran Farrel. Bayi tampan yang merupakan adik tiri Nafisa.

Perlahan, Nafisa meraba popok Farrel agar tidak terbangun dari tidurnya. Tak sengaja, Nafisa menyenggol pinggiran tempat tidur sehingga Farrel terkejut dan menangis.

“Sssssh, bobo lagi yuk, Dek,” ucap Nafisa sambil menepuk-nepuk adiknya.

Nina masuk untuk memeriksa. Tak disangka ia membentak, “NAFISA! KENAPA KAMU CUBIT ADIKMU?”

Nafisa terjingkat dan mundur beberapa langkah. Tak lama, Ayahnya masuk dan menatapnya dengan marah.

“Nafisa? Kenapa sih kamu? Adek kan lagi tidur.”

“Mas, ini udah kesekian kali. Kadang Nafi nggak segan memukul Farrel. Dia iri sama Farrel. Pokoknya aku nggak mau ada dia di sini. Nanti anakku celaka!”

Terbelalak, Nafisa mendengar tuduhan ibunya.

“Enggak, Ayah, Nafi nggak pernah sakitin Adek. Nafi sayang sama Farrel.”

Yusuf mendekati Nafisa lalu menampar pipi putrinya. Begitu keras hingga Nafisa tersungkur.

Dalam hitungan detik, Yusuf menyesal dan langsung memeluk Nafisa.

“Nafi, maaf, Ayah minta maaf. Maafin Ayah.”

Tangan Nafisa memegang pipinya yang panas dan merah. Matanya menyorotkan kekecewaan teramat dalam pada ayahnya.

“Mas, pokoknya nggak mau tau, malam ini Nafisa harus pergi dari rumah ini!”

“Nin, sabar dulu. Emang Farrel terluka?”

“Tapi bisa membahayakan. Mama juga beberapa kali melihat Nafi ingin menyakiti adiknya. Dia belum siap punya adik setelah sepuluh tahun jadi anak tunggal.” Oma ikut mendukung anaknya.

“Nafi pergi atau Aku, Mama, dan Farrel yang akan pergi.”

“Nin, sebentar, jangan seperti itu. Nafi anakku juga.”

“Lalu Farrel siapa?”

Netra Yusuf beralih ke Nafisa. Ia duduk di atas lututnya untuk menyamakan tinggi dengan putrinya.

“Sayang, Ayah minta maaf. Tapi sepertinya Ayah akan mengirimu ke asrama. Sampai Bunda tenang. Nafi ngerti, kan?”

“Nggak. Nafi nggak ngerti dimana salahnya. Selama ini Nafi sayang sama Farrel nggak pernah sekali pun sakitin seperti yang Bunda Nina bilang.”

“Anak brengsek! Kamu bilang Bunda dan Oma bohong? Mas, tolong tegas dong sama anakmu. Fine kalau kamu nggak sanggup. Aku aja yang pergi.”

“Nin, sebentar.”

“Nafi please kasih Ayah waktu untuk membicarakan ini sama Bunda. Mungkin di asrama kamu bisa lebih tenang.”

Nafisa tidak berkata apa-apa. Anak berumur sepuluh tahun itu berusaha menguatkan diri melawan badai kekecewaan yang terus melanda hatinya.

“Yuk, Ayah temani berkemas. Biar Bunda menyusui adek di sini.”

Yusuf menggandeng Nafisa menuju kamarnya.

“Heh, Mas, kok Nafi nggak minta maaf?”

“Sayang, minta maaf sama Bunda dan Oma, lalu cium adiknya.”

Dengan hati terluka, Nafisa menuruti perintah ayahnya lalu menjauh menuju kamarnya.

“Oya Nafi, remote AC ada di laci tadi tukangnya baru selesai perbaiki,” ucap Oma dengan lembut.

“AC kamar kamu rusak? Kan panas di sana kalau nggak ada AC.”

“Nafi tidur sama Oma, ya, kan?” Tanpa terlihat Yusuf, Oma mendelik ke arah Nafisa.

“Iya,” jawab Nafisa lirih.

“Ya sudah, dimana, Mah?”

“Tuh di situ.” Tunjuk Oma ke laci paling atas.

Tanpa banyak bicara, Yusuf mengambil remote AC lalu menggandeng Nafisa ke kamarnya.

“Mas, pokoknya Nafisa harus keluar malam ini. Aku udah khawatir dia makin membahayakan Farrel,” tegas Nina lagi.

Di kamar, Nafisa mengemasi pakaiannya dalam diam. Tidak ada air mata karena ia sudah lelah menangis.

Yusuf berulang kali melirik anaknya. Bingung harus percaya siapa. Nafisa memiliki hati lembut namun Nina juga tidak mungkin tega melontarkan fitnah.

“Bawa secukupnya saja. Kamu nggak akan lama kok di sana. Kalau Bunda sudah tenang, Ayah akan jemput lagi.”

Tangan Nafisa meraih foto ibunya yang tersimpan di laci nakas. Nina tidak membolehkan ada foto Jamila di kamarnya.

Yusuf tertegun.

“Kenapa foto Bunda nggak dipasang?”

“Mmm … karena bikin kangen dan nangis,” jawabnya singkat.

“Kalau foto kita bertiga pas di Dufan?”

“Nafi simpan juga.”

“Mbak Nafi,” ucap Ayahnya.

Nafisa terkesiap, sudah lama ayahnya tidak memanggil dirinya dengan sebutan Mbak Nafi seperti yang dulu biasa dilakukan sebelum kehadiran Nina dan ibunya.

“Peluk Ayah,” pinta Yusuf sambil merentangkam tangan.

Tak tahan, Nafisa menghambur ke pelukan ayahnya. Sekuat tenaga menahan tangis karena ingin menuruti nasihat ibunya harus menjadi manusia yang kuat dan tegar.

“Mba Nafi nggak usah khawatir. Ayah akan segera jemput dan kita akan hidup bahagia seperti waktu Bunda Mila masih ada.”

Nafisa menggigit bibir. Dalam hati ia berkata, “Tidak ada yang bisa mendatangkan kebahagiaan buat Nafi kecuali Bunda Mila.”

Mereka berpelukan cukup lama sampai Nina muncul di pintu.

“Ayo Mas, cepet antar Nafisa. Nanti keburu kemalaman.”

Yusuf menghela napas lalu mengurai pelukannya. Mengambil tas Nafisa lalu menggandengnya ke luar rumah menuju mobil.

***

“Bu Reni, ini Nafi. Saya pernah datang bersama istri saya beberapa minggu lalu menanyakan akomodasi dan sekolah untuk putri saya. Sepertinya mulai malam ini, Nafisa akan ada di sini.”

“Oh baik. Tadi Bu Mila juga sudah sampaikan.”

Kening Nafisa berkerut mendengar percakapan Yusuf dan wanita bernama Reni.

“Ayah, memang sebelumnya Ayah dan Bunda ingin mengirimku ke sini?” Tanya Nafisa dengan suara tercekat.

“Betul, Sayang. Asrama ini salah satu yang terbaik. Makanya Bunda ingin mengirimu ke sini.”

“Nafi, sekarang sudah malam. Besok, Ibu akan antar kamu melihat fasilitas di sini. Pasti kamu suka.”

Yusuf menoleh ke anaknya.

“Mbak Nafi, Ayah janji akan jemput secepatnya. Selalu rajin shalat ya. Jangan lupa doakan Bunda Mila.”

“In syaa Allah, Nafi nggak akan pernah lupa doakan Ayah dan Bunda.”

“Terima kasih buat pengertiannya. Ayah yakin bisa bicara dengan Bunda Nina.”

“Ayah, nggak pernah sedikit pun Nafi sakitin Adek Farrel. Nafi cuma berharap Ayah percaya.”

Yusuf mengeratkan pelukannya. Enggan rasanya meninggalkan putrinya di sana.

“Sayang, sabar, ya.”

“In syaa Allah, Ayah.”

Tak sanggup menatap wajah Nafisa, Yusuf langsung berbalik meninggalkan putrinya tanpa mau menoleh lagi.

Bu Reni menggamit Nafisa yang masih mematung menatap ayahnya yang lurus berjalan ke parkiran.

“Ayo, Ibu tunjuki kamarmu. Nanti kamu berbagi dengan tiga orang teman sebaya. Hampir lupa. Ini uang saku mingguan. Diirit karena baru akan dibagikan lagi minggu depan.”

Bu Reni merangkul Nafisa dan membimbingnya menaiki tangga.

Di dalam mobil Yusuf memukul-mukul stir. Entah apa, tapi ia memiliki firasat bahwa ia tidak akan bertemu putrinya lagi.

Hapenya kembali berdering.

“Assalamualaykum, Mas dimana? Cepat pulang Farrel demam.”

“Waalaykumussalam,” jawab Yusuf dengan suara serak.

“Mas …”

“Iya sebentar. Mas baru mau berangkat. Berapa panasnya?”

“Lumayan, aku nggak berani kasih parasetamol. Kita harus bawa ke balai emergency.”

“Ya ya, Mas otw.”

Yusuf menyalakan mobil, ia menoleh ke arah lobby berharap Nafisa masih berdiri di sana. Tak melihat seorang pun, Yusuf menjalankan mobilnya keluar dari pekarangan asrama.

Di rumah, Nina berkata pada ibunya, “Mah, siapin selimut hangat. Nanti aku akan pakaikan ke Farrel jadi badannya seolah demam.”

“Sudah Mamah siapkan. Apakah kamu sudah kasih instruksi untuk besok?”

“Sudah, Mah. Besok, anak sialan itu nggak akan ganggu kita lagi.”

***

Terpopuler

Comments

Nurgusnawati Nunung

Nurgusnawati Nunung

semoga di asrama Nafi baik baik saja. daripada dirumah dijadikan pembantu..

2023-12-02

1

🟡𓆉︎ᵐᵈˡ 𝐀⃝🥀sthe⏤͟͟͞R🔰¢ᖱ'D⃤

🟡𓆉︎ᵐᵈˡ 𝐀⃝🥀sthe⏤͟͟͞R🔰¢ᖱ'D⃤

kasian nafi,malah tambah sengsara

2023-07-02

1

lihat semua
Episodes
1 Kehilangan
2 Lembaran Baru
3 Sesal Tak Bertepi
4 Terurai
5 Bahagia Selamanya?
6 Gonjang Ganjing
7 Dela Mayangsari
8 Ingin Berhenti
9 Pasangan yang Diuji
10 Pernikahan Yang Tergadaikan
11 Berpisah
12 Tegar dan Baik Hati
13 Pebinor?
14 Tergantikan
15 Ini Bercanda, Kan?
16 Tak Cinta Lagi
17 Pasangan Sampah
18 Menolak Lemah
19 Tak Kan Kubiarkan
20 Terjebak
21 Valerie Malik
22 Hukum Mati
23 Ku Fayakun
24 Jiwa Yang Rusak
25 Bangun, Sayang
26 Pantang Menyerah
27 Pria Misterius
28 Merajut Hidup yang Terurai
29 Belum Janur Kuning
30 PDKT
31 Telat, Minggir
32 Berjuang
33 Ulah Dela
34 Demi Kamu
35 Bendera Kuning
36 Gerbang Kebahagiaan
37 Malam Pertama
38 Rasa Cinta Ini
39 Tiga Bulan
40 Takdir Cinta Nafisa
41 Menyingkir
42 Menemukan Keluarga
43 Pasti Bisa
44 Ketika Cinta Tak Bertasbih
45 Ayah
46 (Bukan) Bidadari Surga
47 Jomblo Fisabilillah
48 Manten Anyar
49 Bayiku …
50 Kamu Punya Aku
51 Bayi Cinta
52 Pertautan Cinta 1
53 Pertautan Cinta 2
54 Pertautan Cinta 3
55 Dimiko Malik
56 Bertemu Oom Bupati
57 Jangan Ke Sini!
58 Mau Sama Mama
59 Ancaman Baru
60 Backstreet
61 Dingdong
62 Rungkad
63 Mengejar
64 Mencari
65 Gelud
66 Pelakon Takdir
67 Papa Perkasa
68 Tumbang
69 Tabur Tuai Itu Ada
70 Daniah Maryam Malik
71 Penganten Somplak
Episodes

Updated 71 Episodes

1
Kehilangan
2
Lembaran Baru
3
Sesal Tak Bertepi
4
Terurai
5
Bahagia Selamanya?
6
Gonjang Ganjing
7
Dela Mayangsari
8
Ingin Berhenti
9
Pasangan yang Diuji
10
Pernikahan Yang Tergadaikan
11
Berpisah
12
Tegar dan Baik Hati
13
Pebinor?
14
Tergantikan
15
Ini Bercanda, Kan?
16
Tak Cinta Lagi
17
Pasangan Sampah
18
Menolak Lemah
19
Tak Kan Kubiarkan
20
Terjebak
21
Valerie Malik
22
Hukum Mati
23
Ku Fayakun
24
Jiwa Yang Rusak
25
Bangun, Sayang
26
Pantang Menyerah
27
Pria Misterius
28
Merajut Hidup yang Terurai
29
Belum Janur Kuning
30
PDKT
31
Telat, Minggir
32
Berjuang
33
Ulah Dela
34
Demi Kamu
35
Bendera Kuning
36
Gerbang Kebahagiaan
37
Malam Pertama
38
Rasa Cinta Ini
39
Tiga Bulan
40
Takdir Cinta Nafisa
41
Menyingkir
42
Menemukan Keluarga
43
Pasti Bisa
44
Ketika Cinta Tak Bertasbih
45
Ayah
46
(Bukan) Bidadari Surga
47
Jomblo Fisabilillah
48
Manten Anyar
49
Bayiku …
50
Kamu Punya Aku
51
Bayi Cinta
52
Pertautan Cinta 1
53
Pertautan Cinta 2
54
Pertautan Cinta 3
55
Dimiko Malik
56
Bertemu Oom Bupati
57
Jangan Ke Sini!
58
Mau Sama Mama
59
Ancaman Baru
60
Backstreet
61
Dingdong
62
Rungkad
63
Mengejar
64
Mencari
65
Gelud
66
Pelakon Takdir
67
Papa Perkasa
68
Tumbang
69
Tabur Tuai Itu Ada
70
Daniah Maryam Malik
71
Penganten Somplak

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!